Sewajarnya anak sekolah, tentu kita semua pernah melakukan kenakalan remaja pada umumnya. Menjalani kehidupan remaja yang penuh dengan canda tawa, dengan sedikit bumbu "nakal" seperti merokok, berkelahi, atau bahkan bolos sekolah.
Aku yang mempunyai idiologi tentang hidup normal, damai tanpa ada bumbu kenakalan perlahan berubah ketika bertemu dengan "mereka".
Dan kisah ini dimulai ketika aku masih SMP. Tempat kelahiranku adalah sebuah desa kecil yang cukup jauh dari perkotaan, hidup di keluarga yang berkecukupan membuatku menjalani keseharian dengan normal dan harmonis. Hingga suatu ketika aku memutuskan untuk bersekolah di kota terdekat dari desaku.
"Yohan, sarapannya sudah siap" Ucap ibuku dengan lembut.
"Iya bu"
Keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu, adik perempuan dan diriku. Jarak dari rumah menuju sekolah cukup memakan waktu, dan selalu aku tempuh menggunakan kereta antar kota.
"Aku berangkat" Sembari mengeluarkan sepeda fixie berwarna hitam dari garasi samping rumah.
Dari rumah aku berangkat menggunakan sepeda menuju stasiun lalu disambung naik kereta untuk sampai ke sekolah.
Sesampainya di stasiun pemberhentian kota akhir, aku berjalan menuju sekolah. Jarak dari stasiun sampai sekolah sangat dekat, dan tentu saja banyak anak sekolah yang menggunakan kereta antar kota.
Hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah, kegiatan akan diawali dengan upacara penyambutan dan dilanjut homeroom bersama wali kelas masing-masing.
Suara hiruk-pikuk menggema di sepanjang lorong kelas, anak-anak yang berlarian di lorong sembari bercanda tawa. Para gadis yang terus bergosip dan terkadang ada beberapa guru yang menegur anak-anak yang berlarian.
Kita semua berkumpul untuk upacara penyambutan di indoor sekolah. Cahaya matahari masuk dari celah-celah jendela indoor, bau parfum para murid yang bercampur, dan hanya terdengar satu suara orang yang sedang berpidato, kepala sekolah.
"Terimakasih atas waktunya, dan tetap semangat jiwa muda!"
Penutupan yang cukup bergairah walaupun cukup menggelikan jika didengar langsung.
Setelah pembagian kelas, aku memasuki kelas 7-E. Harapanku tidak ada pembully atau semacamnya, aku hanya ingin bersekolah dengan normal sepanjang masa sekolah.
"Semoga hari ini dan seterusnya normal lancar aman" ucap lirih dalam hati.
"Bangsat ya!"
Seketika tuhan menolak permohonanku, perkelahian dimulai tepat di depanku. Entah apa yang mereka ributkan, sepertinya hal sepele.
"Sudah kubilang kalau gadis itu pacarku! Menjauh darinya"
"Hah!? Mana aku tau bodoh! Kamu pikir aku peduli soal itu hah!"
Sebagai seorang dengan idiologi hidup normal dan cinta damai tentu saja dengan tidak terlibat masalah adalah salah satu dari isi idiologiku. Tanpa memperdulikan mereka, aku berdiri dan pergi keluar kelas.
Dan lagi, tuhan langsung menolak idiologiku.
"Woi kamu yang disana!" Menunjuk ke arahku.
"Eh?aku?" Ucapku sembari menengok sekitar.
Aku yang bingung hanya menjawab singkat tanpa paham alasan aku ikut terlibat.
"Kamu tadi lihat kan kalau si cunguk ini bercanda dengan ceweku?"
"Maaf aku tidak tahu"
Dan dari sini dimulailah kehidupanku yang menyimpang jauh dari idiologiku, tanpa basa-basi anak itu memukul wajahku karena kesal dengan jawabanku.
"Apa yang kamu lakukan! Dia tak melakukan apapun, kenapa kamu pukul!"
Ucap anak yang berseteru dengan si pemukul wajahku.
Sepersekian detik aku teringat dengan ucapan kakekku, sekan aku sedang keritis dan menunggu ajal.
"Sampai kapanpun kamu tidak boleh memukul orang tanpa alasan, kesampingkan emosimu dan tetap berpikir jernih"
Kakekku merupakan veteran tentara elite yang pernah membasmi PHI, organisasi yang pemberontak negara. Dan tentu saja kita tau seberapa kuat pasukan elite yang ditugaskan untuk membasmi organisasi tersebut.
Karena kedua orang tuaku sibuk diluar negeri untuk bekerja, dari kecil aku dirawat oleh kakekku. Saat itu hari-hariku hanyalah neraka, latihan fisik, mental merupakan makanan sehari-hari. Kakekku memaksaku untuk berlatih beberapa beladiri, guna suatu saat diperlukan.
Setelah terkena pukulan, aku hanya berdiri diam. suasana kelas yang hening, membuat perasaan tak nyaman. Akupun berjalan keluar dari kelas.
"Apa-apaan dia, banci banget" Umpat si pemukul tanpa merasa bersalah.
"Heh seharusnya kamu minta maaf, kenapa harus dia yang dipukul"
Aku tak tahu obrolan apa yang mereka teruskan, aku hanya berjalan diam menuju ruang kesehatan untuk menyembuhkan lukaku. Tanpa disadari, darah merembes keluar dari hidungku dan para murid melihat heran ke arahku.
"Permisi bu, saya mau merawat luka-"
Mataku terpana melihat seorang gadis cantik yang sedang menata obat-obatan. Rambut terurai dengan poni menutupi dahi mungilnya dan matanya beriklap seperti permata, menggambarkan sesosok gadis cantik nan elegan.
"Ah maaf, aku bukan sedang mencuri" Ucap gadis itu malu.
"Tidak, aku butuh perawatan dan-"
Belum juga selesai kalimat yang keluar dari mulutku, gadis itu berlari menghampiriku dengan membawa plaster dan antiseptik.
"Kamu kenapa? Biar aku rawat yah!"
Aku hanya terdiam tanpa berkata-kata. Sentuhan lembut dari kapas yang diluluri antiseptik menempel di luka wajahku. Mata gadis itu penuh kekhawatiran membuatku merasakan sensasi yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
"Terimakasih, maaf siapa?" Balas canggung.
"Namaku Freya kelas 7-A, kalau kamu?"
"Aku Yohan kelas 7-E, maaf merepotkan kamu".
Freya merawatku dengan lembut, walaupun ini merupakan pertemuan pertama kita.
"Hari ini kakaku datang terlambat, aku diminta untuk menggantikannya sebentar"
"Kakak kamu perawat sekolah?" Tanya penasaran.
"Yah seperti itu, dan aku cukup menyukai dunia kesehatan"
Sembari mengobati luka, kami mengobrol cukup lama hingga terdengar suara bel penanda masuk kelas.
"Terimakasih Freya, kalau begitu aku kembali ke kelas"
"Tunggu Yohan!"
Suara tegas tetapi lembut membuat langkahku terhenti seketika. Aku menoleh kebelakang, fokusku terpecah karena wajah cantiknya.
"Iya?"
"Maaf, tetapi maukah kamu membantuku merapihkan ini?Tentu saja, kamu akan mendapat dispensasi nanti"
Merasa telah berhutang budi kepadanya, akupun mengiyakan ajakannya.
Entah mengapa, berada di dekatnya merupakan sebuah sensasi yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Rasa nyaman dan canggung bercampur menjadi satu.
"Bagaimana kamu bisa dapat luka seperti itu? Kamu berkelahi ya"
"Aku cuma ceroboh dan terjatuh di lorong sekolah"
Berpikir akan merepotkan jika kuberitahukan yang sebenarnya, aku berbohong kepadanya.
"Bohong" Balas singkat, tegas, tetapi lembut.
"Maaf, aku cuma tidak mau melibatkan kamu Freya" Jawab canggung.
"Pasti karena Dion yah? Kudengar dia masuk ke kelas 7-E. Karena rasa obsesi yang berlebihan dia memperlakukan orang sekitar sangat kasar ketika bersinggungan tentang diriku. Padahal dia anak yang baik, semasa kecil dia pun seperti itu akan tetapi semenjak kepergian kedua orang tuanya, dia berubah menjadi seperti itu jadi aku mint-"
"Jangan meminta maaf, itu bukan kesalahmu Freya"
Suasana menjadi hening seketika, entah ada yang salah dari ucapanku yang membuat Freya terdiam dan terus merapihkan obat-obatan.
"Yohan, apakah kamu punya impian atau semacamnya?" Tanya Freya memecah suasana sunyi.
"Hmm … Ingin menjadi tentara, kalau Freya?"Tanpa berpikir aku asal mengucapkan.
"Wah tentara!keren dan sangat cocok denganmu haha … kalau aku sebenarnya ingin menjadi seorang idol yang terkenal"
"Walaupun suka dunia medis?" Kusipitkan mataku sembari berkata dengan nada mengejek.
"Ahaha apa-apaan wajahmu itu Yohan"
Tak terasa waktu menunjukan pukul 10 dibarengi suara bel istirahat. Karena pekerjaannya sudah selesai, aku dan Freya pergi ke kantor untuk mengurus surat dispendsasi dan laporan.
Suasana di kantor terlihat sangat sibuk, beberapa guru mondar-mandir mengurus berkas yang mungkin berisi tentang murid baru.
"Freya kemari" Dari kejauhan terdengar sesorang memanggil dan melambai ke arah kami.
Seorang guru yang tampan dengan kacamata persegi berwarna hitam.
"Terimakasih yah, sudah membantu kakak mengurus obat-obatan haha"
Dari sini aku paham, dia adalah kakak Freya. Wajah mereka berdua mirip, seakan kakak Freya terlihat seperti versi cowo dari Freya.
"Oh siapa anak laki-laki ini? Teman kamu Freya?" Tanya kakak Freya.
"Selamat pagi, perkenalkan nama saya Yohan"
Ku bungkukkan badanku untuk memberi salam.
"Karena dia terluka, ku rawat dia dan aku minta dia membantu menata obat-obatnya" Timpal Freya.
"Oh terimakasih Yohan, maafkan guru kamu yang ceroboh ini yah hahaha!"
Berbanding terbalik dengan Freya, kakaknya orang yang cukup ceroboh di usianya sedangkan Freya terlihat sangat biasa diandalkan.
"Apakah Freya merawatmu dengan benar Yohan?"
"Dia sangat terampil pak guru"Balasku.
"Kalau begitu silahkan kembali ke kelas, dan akan ku urus surat ijin tadi yah"
Kami berdua berjalan keluar dari kantor kembali ke kelas kita masing-masing.
Dari ke jauhan terlihat segerombolan anak laki-laki yang mendekat ke arah kami. Baru merasakan kehidupan normal langsung kembali ke kehidupan yang penuh masalah.
"Freya! Kenapa kamu jalan bareng dengan si banci itu hah!" Teriak Dion dari kejauhan.
"Apa-apaan sih! Dia itu terluka karena dirimu dan kebetulan aku yang ada di ruang kesehatan, jadi aku yang merawatnya" Balas Freya dengan nada tegas.
Hanya hitungan langkah saja mereka sudah mengelilingi kami berdua, entah sejak kapan Dion punya banyak orang seperti ini.
"Heh jangan belagu ya! Freya itu milikku! Dan cecunguk rendahan sepertimu mana pantas bersanding dengannya"
Dion menarik kerah bajuku dan berbicara cukup dekat dengan wajahku. Bahkan sesekali air liurnya memciprat ke wajahku.
"Dion cukup! Lepaskan Yohan" Ucap marah Freya membelaku.
Mengetahui Freya yang tahu namaku, membuat dia makin marah dan lagi, tanpa basa-basi dia hampir memukulku dan tepat sebelum Dion memukulku datang seorang laki-laki menendang wajah Dion dengan keras.
"Minggir kau monyet" Ucap pria yang menendang Dion.
"Siapa yang beraninya menendang wajahku hah!" Bentak Dion yang terjatuh di tanah.
Tak disangka daya tahan Dion cukup kuat untuk masih sadar setelah wajahnya tertendang tadi. Dan yang membuatku tertarik adalah cara menendang laki-laki tadi, dia ahli beladiri.
"Monyet sebaiknya diam saja dan minggir, lagi pula apa-apaan kau ini hah mengeroyok dua kecoa lemah ini"
Agak kesal mendengar ucapan bocah songon ini, tapi untuk sementara aku lebih baik diam saja.
"Dia kan! Salah satu anggota-"
Belum selesai salah satu teman Dion mengucapkan sepatah katanya, mulutnya langsung dibungkam pria yang menendang Dion.
"Jaga mulutmu kambing"
Entah kebiasaan atau kesengajaan, pria itu terus memanggil orang-orang dengan sebutan hewan. Aku yang tak mau terlibat apa-apa tentu saja hanya diam menonton mereka.
"Ayo Yohan, kita kembali ke kelas" Ucap Freya menarik lenganku.
"Kalian pikir mau kemana hah? Setelah ku bantu kalian seenaknya pergi tanpa berterimakasih" Balas pria penendang menghadang kami berdua.
"Yaga hentikan, biarkan mereka pergi" Muncul orang lainnya lagi, wajah kantuk dengan postur tubuh yang cukup tinggi.
"Lagi pula kalau kau menghalangi mereka, bisa-bisa kau kena celaka loh"
"Siapa yang bisa membuatku celaka Koji?"
Koji langsung menarik dan membawa Yaga pergi, diikuti anggota lainnya.
"Maaf ya, bos kami lumayan sensitive dengan suasana seperti ini jadi lupakan saja kejadian hari ini yah"
Lagi, tiba-tiba muncul pria kurus pendek dengan rambut keritingnya. Dan entah mengapa aku merasa dirinya merupakan orang yang cukup aneh.
Aku dan Freya akhirnya kembali ke kelas, dan belajar sampai selesai waktu sekolah. Semenjak kejadian tadi, Dion tak kunjung kembali ke kelas.
Di kelas aku belum mendapatkan teman, akupun berjalan sendirian saat pulang sekolah. Sampai seseorang menghampiriku.
"Yohan, pulang bareng yuk?"
"Freya? Jangan-jangan kamu?
Seakan paham akan perkataanku yang sama-sama belum mendapatkan teman karena kami dispen dihari pertama, berakhir kita pulang bersama.
"Kamu naik kereta juga Freya?"
"Tidak, aku pulang bersama kakakku dan dia menunggu di caffe dekat sini"
Aku hanya tersenyum dan lanjut berjalan. Kebetulan caffe yang Freya maksud searah dengan stasiun.
"Yohan, bagaimana kalau pak guru antar ke rumah?" Tawar kakak Freya.
"Ah tidak perlu, terimakasih"
Kakak Freya hanya mengangguk sembari tersenyum, dan perlahan mobil mereka jalan.
"Hati-hati dijalan!" Ku lambaikan tangan dan dibalas lambaian tangan dan senyuman Freya.
Yah walaupun hari ini cukup membuat ekspetasiku akan hidup normal sebagai seorang pelajar jauh dari kata damai, setidaknya pertemuan dengan Freya mengobati semua itu.
"Gawat, kartu keretaku tertinggal di laci kelas"
Aku kembali ke sekolah untuk mengambil kartu keretaku dengan segera, karena takut sekolah akan dikunci.
Berjalan melewati parkiran sepeda yang sepi, diiringi suara daun-daun yang bergesekan membuat suasana sekolah menjadi cukup menyeramkan. Dan tentu saja, aku harap tak mengalami kejadian horror di hari pertamaku sekolah.
"Tolong …"
Tiba-tiba terdengar suara lirih yang entah dari mana, aku terperanjak dan memperhatikan sekeliling guna mencari sumber suara tetapi hasilnya nihil.
Di belakang sekolah terdapat tempat sampah yang cukup besar dan dari situ terdengar suara rintihan yang sama.
"Siapapun tolong …"
Dengan ragu aku mendekati tempat sampah itu dan mengecek apa yang ada di dalamnya, dan betapa mengejutkan ada Dion di dalamnya yang babak belur berlibah darah.
"Dion! Hey kau kenapa?"
Kukeluarkan dia dari dalam tempat sampah. Walaupun cukup kesal dengan perlakuan dia kepadakumelihat kondisi dia yang cukup mengenaskan, kuturunkan egoku untuk membantunya.
"Yohan, aku mohon maafkan aku"
Ucapan yang tak pernah kubayangkan akan keluar dari mulut Dion malah membuatku merinding.
Segera ku hubungi pihak berwajib untuk membawa Dion ke rumah sakit.Selang beberapa menit pihak berwajib datang, akupun ditanyai beberapa pertanyaan mengenai Dion dan beberapa hal lainnya
Menurut penyelidikan, luka yang diterima oleh Dion bukan luka yang diakibatkan oleh benda tumpul, melainkan luka pukulan, dan polisi akan terus melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Dion dibawa kerumah sakit, segera setelahnya pihak kepolisian membiarkan aku pulang karena semua bukti mengarah kepada sekelompok organisasi yang sedang mereka buru hingga saat ini, pihak kepolisian berkata mereka bernama"Headless God".
Menurut rumor yang beredar mereka merupakan sebuah organisasi yang cukup unik. Polisi menjelaskan, Headless God bergerak ketika ada sebuah permohonan atau doa yang ditulis di sebuah kertas dan diletakkan di sebuah kuil tua di kota. Akan tetapi, tidak semua permohonan akan mereka kabulkan, motif mereka dalam mengabulkan permintaan pun hingga kini tidak dapat dimengerti pihak kepolisian.
Beberapa kali pihak kepolisian membuat permohonan, dan yang mereka dapatkan hanya sebuah cemoohan dan terror dari Headless God seperti kantor polisi yang tiba-tiba terbakar, anggota polisi yang diserang secara acak oleh orang yang seolah-olah telah dicuci otaknya.
Kasus Headless God sudah berjalan cukup lama, kurang lebih 10 tahun tak dapat dipecahkan. Semua kejahatan besar selalu mengarah ke Headless God. Dan mereka digadang-gadang sebagai mafia Negara setara dengan Yakuza.
Seminggu setelah kejadian itu, suasana sekolah menjadi kembali seperti semula. Aku juga mendapat teman banyak, taka da pembullyan bahkan sering kali di akhir pecan aku jalan dengan Freya.
"Yohan, nanti pergi ke kantin yuk!" Ajak Zika, teman sebangku.
"Boleh, nanti kamu yang traktir yah haha"
" Hei bukanya kamu yang kalah bermain game kemarin ya!"
Kehidupanku berubah menjadi lebih normal, walaupun sesekali terbesit dipikiranku tentang Headless God.
"Yohan! Haah … haah .."
Tiba-tiba Sion datang terengah-engah, pria berkacamata ini tak akan berlari sekalipun dunia kiamat. Dia teman sekelasku yang cukup malas dan tidak suka berolahraga, dan entah apa yang membuat dirinya berlari.
"Kenapa kau berlari Sion? Tidak mungkin kau dikejar-kejar sekelompok orang dan mengadu kepadaku karena mereka mencariku kan hahaha"
Sekilas berpikir demikian, dan tanpa berpikir panjang aku ucapkan semua isi kepalaku, dan tentu saja aku tidak berharap hal yang aku ucapkan terjadi.
"Bbagaimana kamu tahu?"
"Eh, benarkah?"
Terdengar suara gaduh dari luar, sekelompok pria memaksa masuk dan seperti yang aku ucapkan mereka benar-benar mencariku. Dan dari sini aku belajar dan yakin bahwa ucapan adalah doa.
"Yo Yohan! Lama tidak bertemu" Sapa sesosok pria yang aku kenal.
"Yaga? Apa yang kalian lakukan?" Tanyaku cemas.
Aku berpikir keras dan berusaha mengingat hal atau kesalahan yang aku lakukan sehingga mereka datang menemuiku. Tanpa sadar seisi kelas dipenuhi kelompok Yaga. Terbesit dipikiranku kalau mereka adalah kelompok Headless God.
"Bisa kau ikut dengan kami?"Ajak Yaga, dengan halus.
Dari nada dan cara dia menatapku tak sedikitpun aku rasakan intimidasi, jadi aku ikuti perkataanya karena tak mau mendapatkan masalah yang merepotkan atau dengan ini aku bisa menemukan sedikit petunjuk menganai Headless God.
Aku dibawa ke belakang sekolah, tempat ini mengingatkanku tentang kejadian yang menimpa Dion.
"Dari tatapanmu aku tau pikiranmu dipenuhi banyak pertanyaan bukan, Yohan?" Ucap Yaga memulai percakapan.
Aku cukup curiga kepada kelompok Yaga, mengenai insiden yang menimpa Dion dan serangkaian hal yang secara tak langsung mengarah ke Headless God.
"Apakah aku melakukan suatu hal yang mengganggu kalian?Para anggota Headless God?"
"Ahahaha … dia pikir kita Headless God"
Mereka tertawa tak henti-henti, kurasa mereka serius menertawakan ucapanku. Mulai sekarang apapun yang akan terjadi, aku akan siap untuk menghadapinya.
"Sepertinya, kau salah paham Yohan. Kami disini tidak untuk menangkapmu atau apapun itu, melainkan ingin merekrutmu"
Aku hanya terdiam mencoba mencerna perkataan Yaga mengenai kata-kata"merekrut" jadi benar bahwa mereka kelompok Headless God, lalu kenapa mereka merekrutku bukan untuk menangkapku.
"Kalian bercanda?" Balasku sinis.
"Oh! Bukan bergabung dengan Headless God, kami berbeda dengan kelompok berandalan sadis itu. Bergabunglah dengan kami, kelompok Raven".
"Eh? Raven?"
Kehidupanku yang damai telah berakhir, dari sinilah kehidupan dan sensasi yang berbeda dimulai.