Selamat membaca
***
Di pagi buta, di salah satu kamar kediaman keluarga Sandara Alexander, putri bungsu masih terlelap dalam mimpi. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki dengan topi di kepalanya masuk ke kamar, membawa gayung di tangannya. Dia adalah putra sulung keluarga Sandara Alexander. Dengan gerakan yang lembut namun pasti, si Sulung menggoyangkan tubuh kecil si Bungsu, berusaha membangunkannya. "Dik, bangun, woi!" serunya, suaranya menggema di dinding kamar.
Namun, si Adik tak kunjung memberi respons, masih terhanyut dalam tidurnya yang nyenyak.
"Dik, bangun atau kakak siram pakai air, nih!" tanpa peringatan, si Sulung menyiramkan air dari gayung ke arah adiknya.
Si Adik pun terbangun, berdiri dengan baju basah kuyup.
"Kakak, kenapa menyiramku sih?" tanya si Adik dengan nada tinggi.
"Yang pertama, kamu itu sulit dibangunkan. Dan yang kedua, kamu lupa kalau ibu dan ayah akan pergi hari ini," jawab si Kakak dengan nada santai.
"Tapi, nggak perlu disiram dengan air juga kan?! hmmm," si Adik berkata sambil menyilangkan tangan di dada dan mengembungkan pipinya, tatapannya tajam pada si Kakak.
"Jangan marah, kamu itu seperti kucing saat marah, bukan seram malah imut," si Kakak berkata sambil mencubit lembut pipi adiknya.
"Tapi, Kakak jangan—"
Di tengah perdebatan mereka di lantai dua, terdengar suara Ibu dari lantai bawah, memanggil karena sudah lama menunggu. "Sahrul, Akira! Cepat ke sini, nak!"
Kakak beradik itu bergegas keluar dari kamar dan menuruni tangga dengan cepat. Di halaman, mereka mendapati ibu, ayah, pembantu, dan supir sedang sibuk mengemasi koper.
Dengan langkah yang ringan, mereka berdua mendekati ibu mereka.
"Ibu, mau ke mana?" tanya Akira dengan rasa ingin tahu.
"Ibu dan ayah akan ke luar negeri untuk mengurus beberapa keperluan," jawab si Ibu dengan lembut.
"Akira boleh ikut nggak?" mata Akira berbinar penuh harap.
"Akira sayang, ibu dan ayah punya urusan penting di sana. Kalau sudah selesai, Akira boleh ikut lain kali," si Ibu menjelaskan sambil mengelus pipi Akira dengan penuh kasih.
"Kalian akan mendapatkan hadiah spesial dari kami saat kami pulang," sang Ayah menambahkan dengan senyum. "ngomong, kenapa kamu basah kuyup begini?" tanyanya heran.
"Ini.semua salah kakak!" Akira menunjuk kakaknya. Sedangkan yang ditunjuk memalingkan wajahnya pura pura tidak tau.
"Sahrul." Si ibu tersenyum saat melihat Sahrul memalingkan wajahnya. Dia tahu anaknya itu memalingkan wajahnya karena tidak mau disalahkan atas kejahilannya.
"Hehe, iya, Bu," Sahrul menghadap ibunya, tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Ada apa, Bu?"
"Sahrul, kenapa kamu menyiram adikmu?" tanya si Ibu dengan nada penasaran.
"Dia susah banget dibangunin, Bu. Aku udah coba bangunin, tapi dia nggak mau bangun. Jadinya aku siram aja. Percaya deh sama aku!" Sahrul berusaha meyakinkan ibunya dengan nada yang agak tinggi.
"Kau seharusnya tidak menyiramnya, namun, meneriakkan toa ke telinganya." saran si Ayah sambil terkekeh kecil setelah mendengar cerita anak sulungnya itu.
Mendengar saran Ayah, Akira langsung berlari dan memukuli kaki Ayahnya.
"Ayah jahat, Akira lebih sayang Ibu!" Akira memprotes sambil terus memukul kaki Ayahnya dengan tangan kecilnya.
Tentu saja setelah semua yang dilalui pukulan Akira yang lembut tidak terasa sakit bagi si Ayah, yang hanya bisa tersenyum melihat wajah marah putri bungsunya yang menggemaskan. "Jangan dipukul, nanti kaki Ayah bisa patah karena saking kuatnya pukulanmu," canda si Ayah sambil mengangkat Akira dan menggendongnya. Namun, Akira, masih dengan semangat yang sama, memukul wajah Ayahnya.
Dari belakang, pembantu keluarga Sandara mendekat. "Nyonya, Tuan, barang-barang sudah siap," ucapnya memberi tahu.
"Baiklah, Sri," jawab si Ibu.
Si Ibu berdiri dan mengusap kepala Akira dengan lembut. "Akira, jangan nakal ya! Jangan menyusahkan Bi Sri, hormati dan patuhi kakakmu," ujar si Ibu dengan senyum hangat.
Si Ayah tertawa dan menepuk jahil pipi si Ibu. "Haha, hanya di depan anak-anakmu kamu bisa berekspresi seperti ini."
"Aku menyayangi mereka lebih dari nyawaku sendiri. Walaupun harus menderita seumur hidup, aku rela jika itu demi kebahagiaan mereka," balas si Ibu dengan tatapan dingin.
"Dengar itu, patuhi kakakmu," celetuk Sahrul sambil menatap Akira yang nakal.
"Gak mau, wleek!" Akira menjulurkan lidahnya, mengejek Sahrul.
"Sahrul, jaga adikmu, sayangi dia, dan jangan terlalu usil padanya. Dengarkan ucapan Bi Sri. Selama Ibu tidak ada, anggap Bi Sri sebagai Ibu, ya! Dan yang terakhir, jangan sampai kamu melupakan segalanya saat bermain game," pesan si Ibu sambil mengusap pipi Sahrul.
"Masa nasehat untukku banyak sekali," protes Sahrul dengan memanyunkan bibirnya.
"Sahrul, dengarkan kata Ibumu!" tegas si Ayah.
"Baik, Ayah," jawab Sahrul, menundukkan pandangannya.
Si Ibu menyenggol lengan si Ayah sambil menatapnya dengan tatapan dingin.
"Kok jadi salahku? Perbuatanku ini benar, kan?" tanya si Ayah, heran mengapa si Ibu menatapnya begitu.
"Wleek, wlek, kena marah, huu!" Akira yang digendong Ayahnya mengejek Sahrul.
Si Ayah berlutut di hadapan Sahrul untuk menyamakan tinggi dengan anaknya. "Ayah minta maaf karena sudah membentakmu tadi, ya. Ayah lupa bahwa dulu Ayah juga sering kurang ajar kepada buyutmu," ujar si Ayah sambil mengusap rambut Sahrul, membuatnya tersenyum lagi. "Seperti sebentar lagi Ayah sudah mau pergi, jadi sebenarnya ini adalah waktu yang tepat untuk Ayah berpesan kepada kalian berdua sebelum Ayah pergi. Tapi, karena semua hal itu sudah dikatakan oleh Ibumu, jadi Ayah hanya bisa bilang, Ayah menyayangi kalian berdua." Ayah menurunkan Akira dari gendongannya.
Sahrul dan Akira menyalami dan mencium tangan Ayah dan Ibu mereka, sebuah tanda hormat dan kasih sayang yang mendalam.
"jaga diri kalian baik baik. Jangan sampai ada yang tahu rahasia kita ya!" si Ayah mengusap lembut wajah kedua anaknya sambil tersenyum. Dibalas senyuman manis dari Sahrul dan Akira.
Si Ayah dan si Ibu melangkah perlahan menuju mobil, tangan mereka saling menggenggam. "Bahkan seorang jenius yang sangat terkenal dingin banget bisa bersikap sebaliknya saat berada di depan anak mereka," gumam si Ayah dengan nada penuh cinta.
"Tadi setidaknya itu membuktikan bahwa kasih sayangku pada kedua anak kita itu sangat tulus. Berbeda dengan orang yang sangat mencintai pekerjaannya sehingga selalu hidup dalam kepalsuan sepertimu, hal itu cukup meragukan," sahut si Ibu dengan nada pelan untuk bercanda.
"Haha, bagaimana aku bisa membuktikan ketulusan kasih sayangku pada kalian?" Ayah mengusap rambut Ibu sambil tersenyum ke arahnya. Dengan penuh kasih, si Ayah mencium kening si Ibu. "Aku berjanji, selama aku hidup aku akan terus menyayangi kalian. Di saat tarikan napas terakhirku, aku akan tetap menjaga kalian, bahkan mengorbankan nyawaku untuk kalian. Bahkan setelah aku mati, aku tetap akan melindungi anak-anak kita."
Si Ibu tersenyum tipis. "Ucapanmu terdengar tidak masuk akal. Namun, aku akan tetap percaya padamu," katanya dengan penuh keyakinan. Mereka berdua masuk ke dalam mobil.
Dari dalam mobil, terdengar teriakan si Ibu, "Akira, jangan nakal! Sahrul, jaga adikmu! Sri, tolong jaga mereka!"
"Baik, Bu," jawab mereka bertiga serempak.
Mobil pun perlahan menjauh, meninggalkan rumah keluarga Sandara. Akira, Sahrul, dan Bi Sri berdiri di halaman, menatap hingga mobil tersebut benar-benar hilang dari pandangan. Setelah itu, mereka bertiga memasuki rumah, memulai hari tanpa kehadiran Ayah dan Ibu.
***
Pukul *06:30* di ruang makan, Sahrul dan Akira sudah siap dengan seragam sekolah mereka, duduk manis di meja makan. Di dapur, Bi Sri sibuk memasak. Tak lama, dia datang dengan piring berisi masakan yang harum, menaruhnya di meja makan.
"Sahrul, Akira, makanan sudah siap," ucap Bi Sri dengan suara lembut.
Sahrul hanya melirik sejenak ke arah makanan, lalu kembali fokus pada game online di handphonenya.
"Tuan muda, silakan dimakan," tawar Bi Sri lagi.
"Sebentar lagi, Bi," jawab Sahrul tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphone.
"Tuan muda, Anda harus segera makan sebelum makanannya dingin," desak Bi Sri.
"Kakak, kamu harus ingat apa kata Ibu. Ibu bilang, kita harus menganggap Bi Sri sebagai Ibu kita sendiri," ingatkan Akira.
Sahrul mendecak kesal. "Cih, berisik. Aku juga ingat, jadi tidak perlu kamu ingatkan lagi," sahut Sahrul, masih asyik dengan handphonenya.
"Hmm, dasar Kakak. Oh iya, Bi, kira-kira Ibu ada urusan apa ya di luar negeri?" tanya Akira penasaran.
"Untuk itu, Bibi juga kurang tahu. Maaf ya, Non," jawab Bi Sri. Dia hendak berlalu pergi.
"Bibi mau kemana?" tanya Sahrul ketika melihat bi sri hendak pergi.
"Bibi, mau menyiapkan kendaraan untuk kalian," Jawab bi Sri.
"Tidak boleh!" Sahrul meletakkan handphonenya di meja dan berjalan ke arah Bi Sri. Dia menarik tangan Bi Sri kembali ke meja makan.
"Tapi Tuan, aku—"
"Bibi harus adil. Bibi menyuruh kami makan, tapi Bibi tidak makan. Apakah makanan ini ada racunnya yang hanya bisa dimakan oleh kami? Tidak kan? Jadi, ayo makan bersama kami," ajak Akira.
"Tapi Non Akira, Bibi harus menyiapkan keperluan untuk kalian—"
"Aku tidak terima penolakan, pokoknya Bibi harus makan," tegas Sahrul. Dia mengambilkan lauk dan nasi di atas piring dan memberikannya kepada Bi Sri. "Duduk dan makanlah." Sahrul menarik tangan Bi Sri sehingga dia terduduk di kursi di belakang meja makan. Karena dipaksa oleh Sahrul dan Akira, mau tidak mau Bi Sri ikut makan bersama dengan dua saudara Sandara pagi itu.
"Non, Tuan, ayo kita berangkat! Nanti kita bisa terlambat," ajak Bi Sri setelah dia selesai makan dan melihat dua saudara Sandara telah menghabiskan makanan mereka.
"Oke, Bos," jawab Sahrul dan Akira kompak.
Mereka beranjak keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. Sahrul dan Akira diantar oleh supir ke sekolah mereka.
***
Saat memasuki waktu istirahat sekolah. Sahrul mengendap endap masuk ke toilet lalu mengeluarkan handpone dari saku celananya. Sahrul duduk dan mulai asyik memainkan game online favoritnya.
Kegembiraan Sahrul terhenti ketika handphonenya berdering, sebuah panggilan video masuk. "Hmm, nomor tak dikenal? Mungkin salah sambung," gumam Sahrul sambil menolak panggilan tersebut.
Namun, panggilan itu masuk lagi. "Orang ini benar-benar ngotot," pikir Sahrul. Dengan rasa penasaran, ia pun mengangkat panggilan tersebut. Tiba-tiba, sebuah video muncul dan diputar secara otomatis. "Ini video apa?" keluh Sahrul. Layar menampilkan pesawat yang terdampar di hutan, yang kemudian terbakar dan meledak.
"itulah akhir dari kedua orang tuamu," kata suara misterius di akhir video.
Panggilan pun terputus.
"Ibu... Ayah...!" teriak Sahrul dengan suara bergetar.
Sahrul langsung keluar dari toilet lalu berlari ke gerbang sekolah. "entah kenapa perasaanku tidak enak. Aku harus memastikan bahwa video itu bohong. Ayah dan ibu, Ini nggak mungkin." Air mata Sahrul tiba tiba mengalir.
"Pak, tolong buka gerbang ini!" pinta Sahrul kepada satpam sekolah.
"Tidak bisa, Nak. Belum waktunya pulang," jawab pak satpam dengan tegas.
"Tapi pak, ini sangat penting!" Sahrul memohon dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf, Nak. Aturan adalah aturan."
"Pak, tolong... ini penting sekali," desak Sahrul dengan mata berkaca-kaca.
Melihat keseriusan di wajah Sahrul, satpam itu mengerti dan segera membuka gerbang sekolah. "Cepat pergi, Nak. Semoga semuanya baik-baik saja," ucapnya dengan nada penuh kekhawatiran.
Sahrul bergegas keluar dari sekolah, hatinya dipenuhi kecemasan. "Itu pasti tidak benar." pikirnya sambil menghubungi supir keluarganya. "aku harus memastikan bahwa itu adalah video bohong. Ayah dan ibu nggak mungkin mati." batin Sahrul.
"tuan muda, apa yang terjadi?" tanya supir dengan suara yang penuh kebingungan.
"Pak, saya mohon, jemput saya sekarang," pinta Sahrul dengan suara gemetar.
"Baik, Tuan muda. Saya akan segera kesana," jawab supir itu.
Menunggu kedatangan supir, Sahrul berusaha keras menenangkan diri. Air mata masih terus mengalir, namun ia berusaha tetap kuat, berharap bahwa video itu hanyalah sebuah kebohongan.
Ketika mobil supir tiba, Sahrul langsung masuk. "Pak, tolong antar saya pulang dengan cepat," ucapnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Sesampainya di rumah, Sahrul disambut oleh Bi Sri yang tampak terguncang. Dengan mata yang merah dan suara yang bergetar, Bi Sri memeluk Sahrul erat.
Bi Sri langsung memeluk sahrul
"nyonya dan tuan besar." lirih bi Sri.
"Ada apa dengan ibu dan ayah?" tanya Sahrul panik.
"Bibi mendapat telpon bahwa pesawat yang nyonya dan tuan naiki mengalami kecelakan." Bi Sri menangis.
Sahrul merasakan dunianya runtuh. "Bi, tolong katakan ini tidak benar," rintihnya dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.
Bi Sri hanya bisa memeluk Sahrul lebih erat, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah kabar duka yang belum pasti.
Beberapa saat kemudian, Akira tiba di rumah setelah hari yang panjang di sekolah. Langkahnya ringan dan wajahnya ceria, namun suasana hatinya segera berubah ketika ia melihat kakaknya dan Bi Sri terisak.
"Hei, kenapa kalian berdua menangis?" tanya Akira dengan rasa khawatir yang tiba-tiba muncul.
Sahrul, yang tampaknya telah menahan air mata, mendekati Akira dan memeluknya dengan erat. "Kak, aku tidak bisa bernapas," keluh Akira, merasa sesak dalam pelukan yang terlalu kuat.
Dengan lembut, Sahrul melepaskan pelukannya. "Maafkan aku, Akira. Aku hanya… sedikit rindu padamu," ucapnya, mencoba menyembunyikan kecemasannya.
"Kak, sebenarnya apa yang terjadi?" desak Akira, tidak yakin dengan jawaban Sahrul.
Sahrul menghela napas, mencari kata-kata yang tepat. "Mataku terkena debu, itu saja," jawabnya, berusaha tetap tegar di depan adiknya.
Bi Sri yang menyaksikan kedua bersaudara itu, menyarankan, "Non Akira, mungkin lebih baik kamu ganti baju dulu. Nyonya tidak suka jika kita tidak rapi."
Akira mengangguk dan berlari ke dalam rumah, masih dengan semangat yang tidak terpengaruh oleh suasana.
Sahrul menoleh ke Bi Sri, matanya mencari jawaban. "Bi, bagaimana kabar Ayah dan Ibu?"
"Heri sudah pergi ke tempat kejadian. Dia akan memberi tahu kita secepatnya," jawab Bi Sri dengan suara yang bergetar.
Sahrul merasakan gelombang emosi yang sulit untuk dikendalikan. "Om Heri… dia pasti bisa diandalkan. Tapi, aku masih tidak percaya ayah dan ibu akan pergi secepat ini," katanya, suaranya meninggi karena tidak bisa menahan perasaannya.
"Tuanku, kita harus tetap kuat. Kita harus berdoa untuk keselamatan mereka," ucap Bi Sri, mencoba memberikan dukungan.
"Berdoa?" Sahrul tertawa pahit. "Tuhan telah merenggut kebahagiaan dari keluarga ini. Bagaimana mungkin aku masih bisa berdoa kepadanya?" teriaknya marah.
Namun, setelah beberapa saat, Sahrul menenangkan diri dan menatap langit yang mulai menggelap. "Aku berharap ini semua hanya mimpi buruk, yang tak pernah jadi nyata. Tuhan berikan yang terbaik untuk keluargaku, terutama untuk Akira," bisiknya, hampir tidak terdengar.
Tiba-tiba, handphone Sahrul berdering, memecah kesunyian. Dengan tangan yang gemetar, Sahrul menatap layar handphonenya yang bergetar, nama "Paman Heri" terpampang di sana. Dengan jantung yang berdebar, ia menekan tombol hijau, dan suara Paman Heri segera mengisi kesunyian ruangan.
"Paman, kabarkan padaku, bagaimana kondisi mereka? Apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?"
Suara Paman Heri terdengar lelah dan berat, seakan membawa beban berita yang tak ingin disampaikan. "tuan muda, aku telah menemukan Ayahmu. Sayangnya, ia… ia telah berpulang. Aku sedang dalam perjalanan pulang dengan jasadnya."
Sahrul merasakan dunianya seakan runtuh, namun ia harus tahu tentang Ibu. "Ibu… apa Ibu juga bersama Ayah?"
Ada jeda, detik yang terasa seperti abadi, sebelum Paman Heri menjawab dengan suara yang penuh penyesalan. "Ibumu, Sahrul… Ia belum ditemukan. Aku sangat menyesal."
Sahrul menelan ludah, mencoba menstabilkan suaranya yang mulai goyah. "Terima kasih, Paman. Terima kasih telah melakukan segalanya."
"Tidak perlu berterima kasih, Nak. Aku akan menghubungimu lagi segera setelah kami tiba."
Dan dengan itu, panggilan berakhir. Sahrul menatap ke hamparan langit luas, mencari kekuatan di tengah badai emosi yang menerjangnya.
"Ayah," bisik Sahrul dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Heri bilang apa? Apa kabar mereka?" tanya Bi Sri dengan cemas.
"Ayah… sudah tidak ada lagi," jawab Sahrul, mencoba menahan emosinya.
"Tuanku, bagaimana cara kita memberitahu hal ini pada Non Akira?" tanya Bi Sri, khawatir.
Sahrul mengambil napas dalam, mencari kekuatan. "Kita tidak perlu mengatakan apa-apa. Biarkan Akira mengerti dengan sendirinya."
Tiba-tiba, Akira muncul dengan wajah yang ceria. "Kakak!" serunya, berlari mendekati Sahrul.
Dengan cepat, Sahrul menghapus air matanya.
"Kakak, ayo main!" ajak Akira dengan semangat.
"Main apa, Kira?" tanya Sahrul, memaksakan senyum.
"Kejar-kejaran! Kakak jadi penjaganya!" Akira sudah mulai berlari, tertawa riang.
Sahrul mengejar Akira, hatinya berat namun bertekad. "Ayah dan Ibu mungkin telah pergi, tapi aku tidak akan membiarkan senyummu hilang bersama mereka. Aku akan lakukan apa saja untuk menjaga senyum itu, bahkan jika itu berarti mengorbankan diriku sendiri."
¤sandara family¤