Hujan mengguyur kota malam ini. Seolah-olah menumpahkan kesedihan semesta akan apa yang terjadi saat ini. Saat dimana, Aksa terdiam akibat terlalu kaget mendapati muridnya meregang nyawa dalam pelukannya.
Entah apa yang terjadi pada awalnya. Aksara Awan ーnama si tuan, tak punya firasat apa-apa malam ini. Ia hanya tak bisa tidur, akibat mengkhawatirkan genteng area dapurnya yang bocor. Sehingga ia hanya bisa duduk termenung di pinggiran ranjang, sembari menghisap batang nikotin yang baru saja ia bakar.
Namun tak lama, suara pintu depan rumahnya terdengar. Seperti ada yang masuk. Tak usah heran bagaimana bisa terjadi. Rumah kos yang lelaki 25 tahunan itu tempati secara harfiah tak lagi layak untuk ditempati. Tapi apa dayanya yang hanya menjadi guru honorer di salah satu sekolah di Ibukota. Jauh dari asal membuatnya mau tak mau harus bertahan. Demi makan dan kebutuhan.
Perlahan, si tuan dengan mata sendunya itu bangkit dari tempat tidur. Menggesek bara nikotin ke ujung meja kerjanya. Lalu mengambil sebuah tongkat kayu, senjatanya selama ini untuk berjaga-jaga dari maling. Tapi malah ia sering bertanya sendiri, apa yang mau dimalingi dari tempatnya ini? sama sekali tak ada barang berharga disini.
Pelan ia berjalan dilantai yang dingin, keluar kamar sembari melirik kesana-kesini.
"Siapa disana?!" tegur Aksa sembari semakin menguatkan pegangannya terhadap tongkat kayu.
Suara gemerisik terdengar mendekat. Menuju Aksa yang kini sudah di ambang pintu menuju ruang tamu. Setelahnya, si tuan menghela nafas. Melihat siapa yang bertandang di tengah malam yang hujan.
"Harsa? Kenapa ada disini malam-malam?"
Sang tuan bertanya pada si tamu yang tak di undang. Bingung, bagaimana caranya sang tamu masuk tanpa mengetuk. Namun tak ada jawaban, hanya ada pelukan disertai desah yang panjang. Aksa ingin bertanya kepada murid lelakinya satu ini. Datang tengah malam dan basah terkena hujan. Tetapi Harsa ーmurid lelakinya hanya diam. Sebelum jatuh kelantai membuat Aksa ikut terjatuh sebab pelukan yang tak terlepas.
Disitu Aksa sadar, seluruh tubuh Harsa dingin. Harsa meregang nyawa dalam pelukannya. Hanya saja, Aksa menyadari satu hal. Ketika ia melepaskan pelukannya, Harsa tersenyum dalam tidur panjangnya.
  Harsa tampak indah di hari kematiannya.
Suasan berkabung masih terasa bahkan setelah Harsa dimakamkan. Yuanda Harsa, baru 17 namun sudah harus meninggalkan dunia. Padahal ia belum sempat menjelajahi banyak tempat baru. Mendapatkan teman baru atau mungkin merasakan lika-liku indahnya cinta monyet.
Masih terdengar suara tangis dari kediaman kecil si murid SMA itu. Suara tangis dari sosok yang mecoba tegar setelah ditinggal selamanya oleh sang keponakan. Tante Yul, satu-satunya wali dari sang Harsa. Tampak amat sangat terpukul atas kematian tiba-tiba sang keponakan.
Apalagi saat hasil otopsi keluar. Rasa hatinya remuk redam mengetahui keponakannya yang murah senyum itu meninggalkan dunia akibat menelan cairan pembersih lantai juga cairan pemutih baju. Hingga diputuskan jika penyebab kematian Harsa adalah bunuh diri.
Namun Aksa langsung menyangkal hal tersebut. Ia kenal benar anak didiknya yang memiliki badan lebih mungil daripada teman-teman sekelasnya. Anak paling ceria namun juga banyak memendam duka. Juga Aksa tau, Harsa adalah target perundungan di kelasnya. Hingga membuat Aksa menyangkal hal yang dikatakan pihak kepolisian. Aksa meyakini ada sesuatu yang cukup janggal.
Hanya saja, ia tahan untuk ia selidiki sendirian nantinya.
"Pak..."
Suara kecil itu membuatnya sadar dari lamunan. Aksa tersenyum kecil saat melihat Luna, gadis kecil yang memiliki rupa seperti Harsa. Gadis cantik yang murah senyum, baru berumur 5. Tetapi kenyataan memintanya untuk tidak lagi memiliki sang kakak. Satu-satunya saudara kandung yang ia punya.
"Iya sayang? ada apa?" tanya Aksa lembut. Memandang si gadis kecil yang kini tengah menunjukkan raut wajah sedih.
Gadis itu menunjukkan kedua kakinya. Memperlihatkan sepatu merah yang tampak baru. "Dari mas Harsa." Ujarnya.
Rasa sedih menghampiri relung Aksa. Memang ia bukan siapa-siapa mereka. Hanya seorang guru. Tapi kematian Harsa membuatnya terseret menjadi ikut bersalah.
"Cantik. Kamu suka kado dari mas Harsa?"
Gadis kecil itu mengangguk. Kemudian tangan kecilnya memegang lengan Aksa. Lalu sang gadis kecil itu menangis. Bergumam kenapa sang kakak pergi meninggalkannya. Mengapa begitu cepat si sulung meninggalkan bungsunya. Aksa membawa Luna dalam pangkuannya. Kemudian mendekap si kecil untuk menenangkan hatinya.
"Emang salah ya, Luna minta sepatu dari kakak? sampai kakak pergi dan gak mau kembali lagi?"
Perkataan si gadis membuat Aksa hanya terdiam. Gadis kecil itu masih terisak dalam pangkuannya. Aksa tidak tau harus bilang apa. Kepergian Harsa tak memiliki hal janggal apapun. Pun ketika 5 hari yang lalu, sulung dari Luna itu masih bertanya soal matematika kepadanya. Masih tertawa ketika Aksa memberinya lelucon. Masih menyapa dengan ramahnya.
Tapi kenapa....
Banyak kejanggalan yang membuat Aksara Awan tidak lagi hidup dengan tenang.