Chereads / Brutal Invasion / Chapter 2 - Hati Yang Terbelah

Chapter 2 - Hati Yang Terbelah

Setelah kemenangan di benteng Xraptar, pasukan Soraz kembali ke kamp mereka dengan semangat yang membara. Miguel Zakon, sang pahlawan dari pertempuran itu, duduk sendirian di tenda komandonya, peta perang terbentang di depannya. Namun, pikirannya tidak pada peta itu, melainkan pada bayangan-bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.

"Kau tampak jauh, Miguel," suara lembut menginterupsi lamunannya. Itu adalah Elena, penyembuh terbaik di Soraz, yang kecantikannya hanya disaingi oleh keberaniannya. "Luka-lukamu perlu diobati," lanjutnya, mendekati Miguel dengan kit medis di tangannya.

Miguel menatapnya, matanya yang biasanya dingin kini menunjukkan sedikit kelembutan. "Luka ini tidak apa-apa dibandingkan dengan apa yang telah kita saksikan hari ini," jawabnya.

Elena duduk di sampingnya, tangan lembutnya bekerja pada luka di lengan Miguel. "Kau tidak selalu harus menjadi yang terkuat, Miguel. Kadang-kadang, membiarkan orang lain membantumu juga merupakan kekuatan," katanya sambil tersenyum.

Percakapan mereka terputus ketika seorang kurir masuk dengan tergesa-gesa. "Pesan dari Jenderal Armand, tuan. Bala bantuan dari utara telah tiba, dan mereka membawa berita penting."

Miguel segera berdiri, menyembunyikan rasa sakit yang muncul dari gerakannya. "Apa beritanya?" tanyanya dengan nada yang menuntut.

Kurir itu menarik napas dalam-dalam. "Negara Xraptar telah meminta gencatan senjata, tuan. Mereka ingin bernegosiasi."

Berita itu seperti petir di siang bolong. Miguel merasa ada yang tidak beres. "Gencatan senjata? Setelah semua yang mereka lakukan?" gumamnya.

Elena menatapnya dengan kekhawatiran. "Mungkin ini kesempatan kita untuk mengakhiri pertumpahan darah tanpa perlu lebih banyak korban," ujarnya dengan nada penuh harap.

Miguel menggeleng. "Atau mungkin ini jebakan," balasnya. "Kita harus waspada."

Dengan hati yang terbelah antara keinginan untuk perdamaian dan ketidakpercayaan terhadap musuh, Miguel memutuskan untuk menghadiri pertemuan dengan utusan Xraptar. Di sana, dia bertemu dengan Jenderal Zorin, komandan tertinggi pasukan Xraptar.

"Kita telah bertarung dengan gagah berani, Zakon," kata Zorin dengan suara yang berat. "Tapi sudah saatnya kita berpikir tentang rakyat kita, bukan tentang kebanggaan kita."

Miguel menatapnya, mencoba membaca kebenaran di balik kata-katanya. "Dan apa yang kau tawarkan, Zorin?"

"Sebuah perjanjian," jawab Zorin. "Kita akan mundur dari wilayah Soraz, dan kau akan menghentikan invasimu. Kita akan hidup berdampingan dalam damai."

Miguel merenung. Tawaran itu terdengar terlalu baik untuk menjadi kenyataan, namun dia juga tahu bahwa setiap pertempuran yang dihindari adalah nyawa yang diselamatkan. "Aku akan membicarakannya dengan Jenderal Armand," katanya akhirnya.

Ketika Miguel kembali ke kamp, dia tahu bahwa keputusan yang akan diambilnya bisa mengubah nasib kedua negara.

Malam itu, kamp Soraz dipenuhi dengan bisikan dan debat. Berita tentang tawaran gencatan senjata dari Xraptar telah menyebar seperti api di padang rumput kering. Prajurit-prajurit berkumpul di sekitar api unggun, mempertanyakan masa depan yang tak pasti.

Miguel duduk di tenda komandonya, peta perang terbentang di hadapannya, namun pikirannya melayang jauh. Elena, yang telah mengobati lukanya, duduk di sudut tenda, matanya tidak lepas dari sosok Miguel yang tampak tenggelam dalam dilema.

"Kau harus beristirahat, Miguel," kata Elena, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. "Kau telah berjuang lebih keras daripada siapa pun."

Miguel mengangkat kepalanya, menatap Elena. "Istirahat adalah kemewahan yang tidak bisa kita miliki sekarang," jawabnya. "Keputusan yang aku buat malam ini akan menentukan nasib banyak orang."

Elena mendekat, duduk di samping Miguel. "Dan apa yang dikatakan hatimu?" tanyanya.

"Hatiku?" Miguel tertawa kecil, suara yang jarang terdengar dari seorang prajurit sekeras dia. "Hatiku telah lama hilang dalam pertempuran, Elena. Yang tersisa hanyalah tugas dan tanggung jawab."

Elena menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. "Tapi bahkan prajurit terkuat pun memiliki hati, Miguel. Dan terkadang, hati itulah yang membimbing kita ke jalan yang benar."

Miguel menarik napas dalam-dalam, membiarkan kata-kata Elena meresap. Dia tahu bahwa dia tidak hanya berperang untuk Soraz, tetapi juga untuk masa depan yang damai bagi rakyatnya. Dengan pikiran yang berat, dia memutuskan untuk menerima tawaran gencatan senjata dan bernegosiasi dengan Xraptar.

Keesokan harinya, Miguel dan utusan dari Xraptar bertemu di sebuah lembah netral, di mana mereka menandatangani perjanjian gencatan senjata. Namun, saat tinta masih basah pada dokumen itu, sebuah serangan mendadak dari Xraptar menghancurkan harapan akan perdamaian.

Ledakan mengguncang lembah, dan prajurit-prajurit Xraptar yang sebelumnya menyembunyikan diri sekarang muncul, senjata siap di tangan. Miguel, yang terkejut namun tidak terkalahkan, mengambil pedangnya dan bersiap untuk pertempuran yang tidak dia harapkan.

"Kau telah membohongi kami, Zorin!" teriak Miguel, sambil menghindari serangan yang datang ke arahnya.

Jenderal Zorin, yang berdiri di atas bukit, hanya tersenyum sinis. "Perang adalah permainan tipu muslihat, Zakon. Dan kau baru saja kalah."

Pertempuran berkecamuk sekali lagi, dan Miguel, meskipun merasa dikhianati, bertarung dengan keganasan yang lebih besar dari sebelumnya. Setiap pukulan pedangnya adalah pembalasan atas pengkhianatan itu, dan setiap teriakannya adalah sumpah untuk tidak pernah lagi percaya pada musuh. Namun pasukan Zorin terlalu banyak, akhirnya Zakon dan pasukannya memutuskan untuk mundur.