Ezra Fauzian adalah pemuda berusia tujuh belas tahun yang tengah menempuh pendidikan di SMK 777, jurusan Sastra Mesin. Sebagaimana hari-hari biasanya, pagi itu terasa seperti mimpi di atas awan kelabu, langit mendung yang menggantung di atas kepala. Sejak beberapa pekan terakhir, Ezra merasakan kejenuhan yang mendalam.
Ia merasa hidupnya hanya berputar dalam lingkaran monoton: bangun, sekolah, pulang, tidur, dan ulang lagi. Sudah selama dua minggu ini dirinya tercatat tidak nampak lagi di sekolahnya.
Ezra menoleh sekitar kamarnya dengan perasaan hampa. "Apa iya bakal terus begini-gini saja ya?"
Sejak tiga tahun lalu, Ezra menjalani masa percobaan akibat insiden yang menjeratnya saat masih remaja. Ia kini bertahan hidup dari uang saku tipis yang ia dapatkan dari pekerjaan part-time setiap malam, entah menjaga warung atau menjual barang-barang miliknya sendiri.
Dirinya mengingat impian masa kecilnya—menjadi seorang fotografer. Dulu, ia percaya bahwa dengan menjadi fotografer, ia bisa mengabadikan momen-momen indah dalam hidupnya, terutama bersama orang-orang terdekat.
Nyatanya, kini kehidupannya berubah ketika sebuah insiden membuatnya harus menjalani hukuman masa percobaan. Dirinya tinggal sendiri, berusaha meraih kembali impian yang sempat tertunda, sambil menghadapi konsekuensi dari masa lalunya yang kelam.
Ezra merogoh-rogoh sakunya dan hanya terdapat selembar uang lima ribu rupiah dan seribu rupiah. "Ke warnet kali ya? Akhir-akhir ini jarang keliatan di sekolah... kudu kabarin temen di sekolah."
Ezra menghela napas panjang dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke warnet. Dirinya menyelipkan uang lima ribu dan seribu rupiah ke dalam sakunya, mengenakan jaketnya, dan berjalan keluar dari kamar kosannya yang sempit. Saat membuka pintu kosannya, udara pagi yang dingin menyambutnya. Dengan langkah gontai, dirinya berjalan menyusuri lorong sempit menuju pintu keluar kosan.
Belum sempat mencapai gerbang, suara tegas terdengar dari belakang. "Ezra! Mana uang kos bulan ini?" suara itu berasal dari Mpok Airin, pemilik kosan yang terkenal galak dan tak kenal kompromi.
Ezra menoleh dengan wajah pucat. "Eh, Mpok Airin... Saya belum ada uangnya. Nanti saya bayar begitu gajian, ya?" jawab Ezra dengan suara memelas.
Mpok Airin menatapnya dengan tajam. "Kamu udah nunggak dua bulan. Kalau sampai akhir minggu ini kamu belum bayar, maaf-maaf saja, kamu harus cari tempat lain."
Ezra hanya bisa mengangguk lemah, merasa semakin terpuruk. Setelah percakapan singkat itu, ia melanjutkan langkahnya menuju warnet yang terletak tak jauh dari kosannya.
Perjalanan menuju warnet terasa panjang meski sebenarnya hanya beberapa ratus meter saja. Begitu sampai di warnet, Ezra merogoh sakunya dan menyerahkan uang lima ribu rupiah kepada penjaga warnet. "Satu jam aja, Bang," ucap Ezra.
Setelah mendapatkan bilik komputer, Ezra segera duduk dan menyalakan layar untuk membuka pesan grup sekolahnya, mencoba mencari tahu apakah ada yang memperhatikan ketidakhadirannya. Banyak pesan-pesan yang belum terbaca, sebagian besar hanya obrolan ringan dan tugas-tugas sekolah.
Dari sekian pesan tagihan tugas maupun tagihan uang kas kelas. Ezra tersorot pada satu pesan, ada satu pesan dari Faustine, teman sekelasnya yang cukup dekat.
Paustin X SM : "Jrah, kamu kemana aja? Udah dua minggu nggak kelihatan di sekolah. Ada masalah?"
Ezra menatap pesan itu cukup lama sebelum akhirnya membalas.
Anda : "Iya, Tin. Lagi banyak pikiran. Nggak ada yang serius, cuma lagi butuh waktu sendiri."
Faustine merespon dengan cepat, "Kalu butuh bantuan atau teman ngobrol, kasih tahu aja ya."
Ezra tersenyum tipis ketika chat diakhiri oleh Faustine dengan mengiriminya stiker lucu.
Ketika hendak menutup pesan tersebut, tiba-tiba muncul notifikasi aneh di emailnya. "Email kategori spam... loh, apa-apaan ini." Ezra kembali membaca dengan seksama, "...jual umur untuk uang? Alah yang bener aja!"
Dirinya terdiam sejenak, "...ehh, tapi mungkin gak sih?"
Rasa penasarannya seketika membuatnya tergerak untuk mencari tahu lebih dalam dengan membuka browser dan mengetikkan kalimat jual umur untuk uang di kolom pencarian.
Tak disangka, banyak hasil pencarian yang muncul.
Sebagian besar terlihat seperti iklan palsu atau artikel clickbait, matanya tersorot pada satu situs yang menarik perhatiannya.
Situs itu menawarkan layanan untuk menukar waktu hidup dengan uang lengkap dengan testimoni dari orang-orang yang mengklaim telah melakukannya.
"Apakah ini benar-benar mungkin?" pikirnya sambil mengklik tautan tersebut. Halaman situs terbuka dengan tampilan yang sederhana. Ada kolom pendaftaran yang meminta informasi pribadi dan jumlah waktu hidup yang ingin ditukar.
Tak percaya dengan apa yang telah ia baca membuatnya merasa ragu dan sedikit takut. "Emangnya apa yang tak takutin yha? Lagian orang udah susah gini, yakali kan makin susah..."
Dengan kondisi yang dialaminya saat ini, apa yang dirinya miliki untuk kehilangan?
Ezra mulai mengisi formulir pendaftaran. Setelah semua informasi terisi, dirinya sempat ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol "Submit."
"Apapun yang terjadi, semoga ini bisa membawa perubahan," gumam Ezra.
---------------
Notifikasi: SUBMITTED!
Terima kasih, Ezra!
Pendaftaran Anda telah berhasil disubmit. Kami akan memproses permintaan Anda sesegera mungkin. Harap tunggu konfirmasi selanjutnya.
---------------
Setelah itu, Ezra menutup browser dan bersandar di kursinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi setidaknya sekarang ia memiliki sesuatu untuk ditunggu.
Ia bangkit dari kursinya, menyimpan sisa waktu yang belum terpakai di warnet, dan melangkah keluar dengan perasaan campur aduk.
"Tinggal seribu ya? Harus jual barang apalagi dah..." gumamnya sambil berjalan menuju kosannya.
Setibanya di area kosannya, ia melihat Mpok Airin, pemilik kos, sedang menyapu halaman. "Eh baru balik orangnya. Noh ada surat barusan aja dateng, cek aja di loker."
Ezra mengangguk, merasa sedikit penasaran. Ia segera menuju ke loker surat yang ada di dekat pintu masuk. Di sana, ia menemukan sebuah amplop berwarna cokelat dengan namanya tertulis di atasnya. Tangannya sedikit gemetar saat membuka amplop itu, berharap mungkin ada kabar baik di dalamnya.
"Kalo dipikir-pikir aneh juga, perasaan barusan tak pesen..."
"....Wah jangan-jangan pesan hari ini datangnya kemarin? Siapa sangka."
Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca surat tersebut. Di dalamnya, terdapat selembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi :
---------------
Kepada Ezra,
Kami ingin memberitahukan bahwa permohonan Anda telah kami terima dan sedang dalam proses. Harap menunggu konfirmasi lebih lanjut dari pihak kami. Untuk langkah selanjutnya, kami akan memberikan instruksi yang diperlukan.
Terima kasih atas kepercayaan Anda.
Hormat kami,
Tim Administrasi
---------------
Ezra membaca kalimat tersebut berulang kali, baik secara bolak-balik maupun kebalik, merasa sedikit terkejut dan tidak percaya.
"Yang bener aja!?" gumamnya, merasa kaget dengan surat yang tidak biasa itu.
"Seriusan ini? Dibales loh suratnya, aku lagi butuh uang sih ya,"
Ezra mengerutkan kening. "Dikerjain gak sih? Lucu kali hidupku ini wak. Waduhh... kacau ini."
Ia merasa ini seperti teka-teki yang harus dipecahkan. Bagaimana bisa ternyata dirinya mendapat balasan dari permintaannya yang ia kira akan ditipu.
Sampai-sampai dirinnya menghabiskan waktu semalaman untuk mencoba mencerna apa yang terjadi hari ini. Akan tetapi, akhirnya kelelahan mengalahkan rasa frustrasinya, dan Ezra tertidur pada jam 2 pagi.
(!) 04.13 WIB
Ezra perlahan membuka matanya. Masih setengah mengantuk, ia bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke kamar mandi kos untuk membersihkan diri. Air dingin menyegarkan pikirannya yang masih kacau, dan setelah beberapa saat, Ezra mulai merasa lebih segar dan siap menghadapi hari.
Setelah mandi, Ezra kembali ke kamarnya. Ia mulai merapikan ruangan kecilnya yang berantakan, mencoba membuatnya sedikit lebih nyaman. Saat ia sedang menyusun buku-buku dan mengatur barang-barangnya, terdengar suara dari luar kamar. "Ezra, ada tamu noh!" panggil Mpok Airin.
Ezra mengernyitkan dahi, merasa heran siapa yang datang pagi-pagi begini. Dengan rasa penasaran, ia berjalan menuju pintu kamarnya dan membukanya. Di depan pintu, berdiri Faustine dengan mengenakan cardigan krem favoritnya yang sudah Ezra kenali sejak pertama kali mereka bertemu.
"Faustine? Loh, kamu kenapa pagi-pagi kesini?" tanya Ezra merasa sedikit panik, berusaha menyembunyikan ketidakrapian kamarnya dengan menutup pintu sebagian.
Faustine memiringkan kepalanya, memperhatikan ekspresi gugup Ezra. "Aku mau memastikan kamu baik-baik aja. Dua minggu nggak ke sekolah, terus tiba-tiba aja jarang jawab chat. Aku khawatir."
Ezra tertawa kecil, meski jelas itu tawa yang dipaksakan. "Aku nggak apa-apa kok, cuma lagi sibuk aja. Lagian, nggak ada yang perlu dikhawatirin."
"Jrah..." Faustine memotong dengan nada serius. "Aku tahu kamu nggak suka cerita sama orang, tapi ini aku, Faustine. Kalau kamu butuh bantuan, aku bakal ada di sini." Ia melangkah lebih dekat, hingga pintu kamar tak lagi jadi penghalang.
Ezra menghela napas berat. "Beneran, Tin. Aku cuma lagi banyak pikiran aja. Urusan kerjaan sama uang kos. Gak ada yang perlu kamu susahin."
Faustine mengerutkan kening. "Dengar, aku nggak datang ke sini cuma buat basa-basi. Kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa, tapi aku nggak akan pergi sampai aku tahu kamu beneran butuh waktu sendiri, bukan karena kamu ngelakuin sesuatu yang nekat."
Ezra mengangguk pelan dan mempersilakannya masuk. Faustine duduk di kursi kecil di sudut kamar, sementara Ezra duduk di tepi kasur. Ada jeda hening sejenak sebelum Faustine akhirnya angkat bicara.
"Aku tahu apa yang kamu lakukan tadi malam," ucap Faustine, suaranya terdengar serius.
Ezra mengernyitkan dahi. "Maksudmu apa? Aku cuma ke warnet—"
"Dan mengisi formulir untuk... menukar umurmu," potong Faustine, matanya menatap Ezra dengan tajam.
Ezra terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Faustine. "Menukar umurku? Maksudmu apa, Tin? Itu kan cuma cerita buat nakut-nakutin orang," Ezra mencoba tertawa, meski jelas ada rasa takut di balik tawanya.
Faustine menatapnya dalam-dalam, lalu perlahan mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas kecilnya. "Kamu pikir aku bercanda, Ezra? Aku nggak datang ke sini buat main-main."
Ezra memperhatikan buku itu dengan cermat. Sampulnya berwarna hitam legam, tanpa judul atau tanda pengenal lainnya. Hanya ada pola lingkaran emas yang tampak seperti simbol kuno.
"Ini apa?" Ezra bertanya sambil mengerutkan kening.
Faustine membuka buku tersebut dan menampilkan halaman yang penuh tulisan rumit dan angka-angka yang terasa asing. Di salah satu halaman, tertulis jelas nama Ezra dengan angka di sebelahnya: 52 tahun.
"Dengan sisa umurmu... 52 tahun, Ezra. Jika diuangkan, totalnya mencapai sekitar 15 miliar rupiah."
Ezra terperanjat. "Apa-apaan ini, Faustine? Kamu bercanda, kan? Mana mungkin umur bisa dijual begitu aja!"
Faustine mendesah pelan, menutup bukunya. "Dunia ini lebih rumit dari yang kamu pikirkan. Aku di sini sebagai pemandumu, Ezra. Kamu sudah mengisi formulir itu, dan itu bukan keputusan main-main. Sekarang, pilihannya cuma ada dua: lanjutkan proses ini atau batalkan sepenuhnya, tapi konsekuensinya kamu nggak bisa mengubah pikiran lagi."
"Aku nggak ngerti. Pemandu? Kenapa kamu?" Ezra menatap Faustine dengan bingung, ada rasa marah bercampur takut di suaranya.
"Aku dipilih untuk ini. Sebelum kamu tanya lebih banyak, jawab dulu. Apa yang kamu inginkan? Uang itu nyata, Ezra. Kamu bisa menyelesaikan semua masalahmu. Tapi... ada harga yang harus kamu bayar," ujar Faustine.
Setelah beberapa saat berpikir panjang, Ezra mengangguk perlahan. "Baiklah. Aku setuju."
Faustine memandang Ezra dengan sedikit khawatir. "Yakin? Dengan semua sisa umurmu?"
"Tunggu, kalau dihabiskan semua umurnya, lalu.... udah dong gitu aja?"
"ekhem. Maksudnya... kalau begitu, sisakan 3 hari saja untukku menikmatinya"
"Akan dipersilahkan untuk mempertimbangkannya lagi, jika sudah bersedia. Boleh mengkonfirmasinya sekali lagi."
"15 miliar rupiah..." Ezra mengulang angka tersebut dalam hati, mencoba memprosesnya. "Itu cukup untuk menyelesaikan semua masalahku, untuk masa depanku..."
Ezra menarik nafas dalam-dalam, memutuskan untuk menindaklanjuti keputusannya. "Baiklah, aku setuju. Aku ingin menukar sisa umur dan menyisakan 3 hari saja dengan uang sebesar 15 miliar rupiah."
Faustine mengangguk, tampaknya mengerti keputusan Ezra meskipun dengan sedikit kekhawatiran tersembunyi di matanya. "Baiklah. Proses ini tidak bisa diubah, dan keputusan ini sepenuhnya milikmu."
Ezra mengangguk, "Ya."
Faustine menghela napas, mengeluarkan sebuah pena kecil yang tampak antik dari sakunya. Dia membuka buku hitam itu kembali, lalu menunjuk sebuah garis kosong di bawah tulisan dengan nama Ezra. "Tanda tangan di sini untuk mengesahkan kontrak. Begitu kamu tanda tangan, tidak ada jalan kembali."
Ezra menatap pena itu sejenak, lalu menerimanya. Jemarinya sedikit gemetar. Dengan satu goresan, ia menulis namanya di garis yang ditunjukkan Faustine.
"Sudah selesai?" tanya Ezra dengan suara pelan.
Faustine menutup bukunya lagi, kali ini dengan ekspresi serius. "Sudah. Mulai sekarang, uang 15 miliar itu akan langsung ditransfer ke rekeningmu dalam waktu 24 jam. Tapi ingat, ini juga saat di mana pengawasanku dimulai. Tiga hari yang tersisa akan dihitung mulai dari sekarang."
Ezra mengangguk, menunduk menatap lantai sejenak. "Baiklah... jadi apa yang harus aku lakukan?"
"Hidup. Gunakan tiga hari ini untuk hal yang benar-benar ingin kamu lakukan. Kalau ada hal yang selama ini kamu tunda, sekarang waktunya. Aku nggak akan ikut campur, tapi aku tetap akan mengawasimu," jawab Faustine.
Ezra tertawa kecil, meskipun ada kegetiran di balik tawanya. "Mengawasi? Kamu kayak semacam malaikat penjaga gitu?"
"Kalau mau dibilang begitu, terserah kamu," jawab Faustine sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia membuka kembali buku hitam yang tadi.
Ezra memiringkan kepala, menatap Faustine dengan bingung. "Rencana? Belum. Aku bahkan belum tahu apa yang harus kulakukan pertama kali."
Faustine melirik ke arahnya sambil terus mencatat. "Mulai dari hal yang sederhana. Hal yang bikin kamu bahagia, mungkin?"
Ezra tertawa tipis. "Bahagia, ya? Aku bahkan nggak yakin apa yang bisa bikin aku bahagia sekarang." Ia mendekati Faustine, mencoba mengintip apa yang sedang dia tulis. "Eh, kamu nulis apa, sih?"
Faustine buru-buru menutup buku catatannya. "Rahasia. Kalau aku kasih lihat, itu nggak lagi disebut rahasia, kan?"
Ezra mengangkat alis, penasaran. "Ayolah, kasih bocoran dikit. Kamu nggak mungkin cuma duduk di sana nulis hal-hal random, kan?"
Faustine tersenyum, tapi tidak menjawab. "Yang jelas, aku cuma mencatat sesuatu untuk memastikan kamu tetap di jalurmu. Jangan pikirkan terlalu jauh."
"3 hari ya? Hari ini banyak sekali yang terjadi," gumam Ezra, perlahan dirinya mencari buku kosong untuk ia tuliskan daftar keinginannya.
"Oke, hal pertama... aku ingin memperbaiki hubungan dengan teman-temanku. Aku tidak ingin pergi dengan perasaan bersalah atau dendam. Aku akan mencoba menghubungi mereka dan meminta maaf jika perlu."
"....Tapi jika aku tiba-tiba pergi tanpa kabar setelah 3 hari, malah repot ya."
"....Yasudahlah tampung dulu." Ia menulis lagi di catatan tersebut.
"Kedua, aku ingin merasakan kebahagiaan sederhana. Mungkin jalan-jalan di taman, menikmati makanan favoritku, atau melakukan hobi yang sudah lama aku tinggalkan. Bepergian jauh akan menyenangkan kurasa?"
Faustine terus memperhatikan Ezra dari sudut matanya.
"Menurutmu bepergian jauh oke nggak sih?"
"Bepergian jauh bisa jadi ide yang bagus, selama kamu tahu kenapa kamu pergi. Jangan cuma lari dari masalah. Tapi, kalau itu yang kamu butuhkan, kenapa tidak?"
Ezra mengangguk, "Oke, kalau begitu aku akan coba. Aku akan beli kamera dulu buat hobi lama itu, dan mungkin jalan-jalan ke tempat yang belum pernah aku kunjungi."
Sejenak, ia menutup mata, mencoba menenangkan diri.
Tak lama setelah itu, langkah-langkah terdengar mendekat. Ezra membuka matanya, berdiri di peron stasiun, matanya melirik ke arah jam tangan, memeriksa waktu. Perasaannya campur aduk, seolah segala sesuatu yang ia lakukan sejak beberapa hari terakhir hanya sekadar pelarian. Pikirannya masih dipenuhi dengan rencana-rencana yang ia buat, meskipun hatinya merasa tak tenang.
Angin pagi yang sejuk meniup perlahan, membuat rambutnya bergerak-gerak. Ia menoleh ke arah kereta yang semakin mendekat, dan di antara kerumunan orang, ia melihat sosok yang dikenalnya dengan sangat baik. Faustine.
Dia mengenakan kardigan krem yang masih sama, seolah itu sudah menjadi ciri khasnya. Kancing kardigannya tertutup rapi, hanya sedikit bagian atas yang terbuka, memperlihatkan dress putih di bawahnya. Sepatunya, sepatu boots cokelat yang sudah sedikit aus di bagian ujung, dan tas kecilnya di pundaknya. Rambutnya yang hitam panjang jatuh menutupi bahunya, dan matanya, teduh dengan ketegasan yang tak terbantahkan, meski ada sedikit kelelahan yang tak bisa dia sembunyikan, seolah menyimpan cerita yang tak terucapkan—sesuatu yang membuat Ezra menatap lebih lama.
Faustine berjalan dengan langkah tenang, seolah tidak terburu-buru.
"Lama menunggu?" Faustine bertanya saat tiba di dekatnya, tanpa banyak bicara.
Ezra menggelengkan kepala. "Enggak kok," jawab Ezra cepat, meski ia sudah setengah jam menunggu. Ia sedikit mengusap tengkuknya yang terasa kaku.
Kereta akhirnya tiba dengan deru mesinnya yang berat, berhenti dengan mulus di peron. Pintu-pintu kereta terbuka, dan orang-orang mulai beranjak masuk. Ezra mengamati sekelilingnya, mencoba mencari tempat duduknya. "22C… 22D..."
Faustine, yang mengikuti di belakang, melirik ke sekeliling sebelum akhirnya menunjuk dengan tegas, "Jra, itu 22C."
Ezra mengangguk dan melangkah menuju kursi yang dimaksud. Mereka berdua akhirnya berdiri di depan dua bangku yang berdekatan—22C dan 22D, seperti yang mereka cari. Ezra melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang menghalangi mereka untuk duduk.
"Jadi kamu mau duduk dekat jendela?" Faustine bertanya dengan nada datar, tatapannya lurus ke arah kursi.
Ezra menoleh sekilas, sedikit ragu. Entah kenapa, meski ia memang lebih suka duduk di dekat jendela, ia malah menunduk sejenak, seperti membiarkan Faustine mengambil tempat itu. "Natain barang, kamu duluan aja," jawab Ezra cepat, sedikit kikuk, seolah menghindari pembicaraan lebih lanjut.
Faustine diam sejenak, lalu hanya mengangguk ringan, mengerti tanpa banyak bicara. Dia melangkah menuju kursi 22D dan duduk dengan tenang. Ezra mengikuti, duduk di kursi 22C. Sambil meletakkan tasnya di atas pangkuan, Ezra merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi hening, meskipun kereta mulai berjalan, meninggalkan stasiun.
Sesekali, pandangan mereka saling bertemu dalam keheningan yang tak terucapkan, dengan masing-masing berpikir tentang hal yang tidak bisa diungkapkan.
Kereta melaju dengan tenang, suara deru mesin yang stabil menambah keheningan di dalamnya. Faustine, setelah menurunkan tasnya di pangkuan, perlahan mengeluarkan sebuah buku catatan dari dalam tas kecilnya—buku yang tidak asing di mata Ezra. Matanya sejenak tertuju pada buku itu, dan rasa ingin tahu yang sulit ditahan mulai merayapi pikirannya. Buku itu selalu menjadi misteri bagi Ezra. Faustine selalu menjaga buku itu dengan sangat hati-hati, tidak pernah membiarkan orang lain, apalagi Ezra, melihat isinya. Itulah salah satu hal yang selalu membuatnya penasaran.
Faustine mulai menulis dengan pena, wajahnya serius dan konsentrasi. Sesekali, dia menengok keluar jendela, memandangi pemandangan yang berlalu begitu cepat. Ezra, yang merasa penasaran dan juga agak bosan, tidak bisa menahan diri untuk mencuri sedikit pandangan ke arah Faustine yang sedang menulis.
"Faustine," kata Ezra akhirnya, mencoba memecah keheningan. "Apa yang kamu tulis di buku itu?"
Faustine mengalihkan pandangannya sekilas, tidak menjawab, hanya memberi senyum samar yang membuat Ezra tahu bahwa pertanyaan itu tidak akan mendapat jawaban mudah. Dia kembali fokus pada tulisannya. Ezra pun hanya menggelengkan kepala, tak ingin memaksa.
Ezra menghela napas pelan, memandangi Faustine yang kembali tenggelam dalam dunia tulisannya, sambil sesekali melirik keluar jendela, memandangi pemandangan yang cepat berlalu.
Waktu terus berjalan, dan tiba-tiba Faustine berhenti menulis. Pena yang sebelumnya bergerak cepat kini terhenti di atas halaman. Seperti ada sesuatu yang membuatnya ragu, atau mungkin kehabisan ide. Ezra, yang melihatnya, merasa saat yang tepat untuk menawarkan sesuatu.
Tanpa ragu, ia mengeluarkan beberapa cemilan dari tasnya dan menyodorkannya ke Faustine. "Mau coba?" tanya Ezra.
Faustine menoleh, matanya sedikit curiga, lalu menatap cemilan itu sejenak. "Aku nggak lapar," jawabnya dengan nada datar, meski ada sedikit keengganan di matanya.
Ezra tetap menatapnya dengan senyuman yang terus mengembang, tidak menyerah.
"Ayo lah, nggak enak kalau kamu nggak coba," Ezra membujuk, sambil sedikit menyodorkan kembali cemilan itu ke arah Faustine.
Faustine tampak ragu, tapi akhirnya mengambil satu potong dan menyantapnya dengan ekspresi yang tak bisa disembunyikan. "Tuh, kan enak," Ezra menambahkan dengan nada jenaka, sambil melihat ekspresi Faustine yang mulai melunak.
Mereka kembali terdiam sejenak, tetapi kali ini, suasana sedikit lebih cair. Ezra mulai mencari topik baru, berusaha membuka percakapan.
"Ngomong-ngomong, Faustine," kata Ezra, memulai percakapan lagi, "kamu suka banget nggak sih sama musik klasik? Kayaknya aku lihat kamu sering banget dengerin lagu-lagu kayak gitu."
Faustine mengangkat alis, matanya sedikit bersinar. "Iya, sih. Musik klasik itu enak buat menenangkan pikiran," jawabnya, suara sedikit lebih hangat dari sebelumnya.
Ezra menyeringai, senang melihat Faustine mulai berbicara dengan lebih antusias. "Aku juga sebenarnya dengerin, tapi lebih suka yang lebih modern. Tapi kalau ada waktu, kita bisa bareng dengerin, ya?" tawarnya sambil sedikit bercanda.
Faustine, meski tetap terkesan tenang, tidak bisa menutupi senyuman kecil yang muncul di sudut bibirnya. "Nggak bisa bayangin kalau kamu yang ngenalin musik klasik ke aku," jawabnya dengan nada bercanda.
Ezra tertawa, merasa sedikit lega bisa membuat Faustine berbicara lebih santai. "Mungkin kamu bisa ngenalin aku ke genre lain yang lebih seru. Kayaknya kita bisa saling berbagi musik."
Di tengah perbincangan itu, Ezra tiba-tiba merasa ada kesempatan sempurna untuk menciptakan momen. Tanpa ragu, ia mengeluarkan kamera dari tas kecil yang sebelumnya ia beli. Kamera itu masih baru, dan ia sudah cukup lama ingin memotret momen seperti ini—ketika suasana terasa nyaman dan santai.
"Eh, Faustine," kata Ezra, "pemandangannya bagus banget kan? Kenapa nggak kita ambil foto berdua?"
Faustine menoleh ke arahnya, matanya masih sedikit skeptis. "Foto? Di sini?" tanyanya, sedikit bingung.
Ezra mengangguk antusias. "Iya, apa salahnya? Mumpung momentnya pas, kan? Nanti kamu bisa lihat sendiri, siapa tahu foto ini jadi favoritmu."
Faustine, yang biasanya tak terlalu suka berfoto, tampaknya mulai luluh. "Baiklah," jawabnya, setengah malas, setengah menerima.
Ezra tidak membuang waktu. Ia langsung mengarahkan kameranya ke Faustine, yang masih sedikit canggung di awal. "Santai aja, Faustine. Cuma sebentar kok," katanya, berusaha membuat suasana lebih rileks.
Faustine menarik napas panjang, lalu tersenyum, meskipun senyumnya tampak sedikit dipaksakan dan masih agak enggan. Ezra pun menekan tombol shutter dengan cekatan, lalu menunjukkan hasilnya.
"Lihat nih," katanya sambil memperlihatkan layar kamera. "Kamu kelihatan cemong banget." Ezra tertawa kecil, menggoda Faustine dengan ekspresi lucunya setelah makan cemilan tadi.
Faustine langsung menatap layar kamera, dan ekspresinya berubah. Wajahnya sedikit sewot, bibirnya menyunggingkan sedikit rasa kesal. "Serius, Ezra? Ini kenapa jadi kayak gini? Aku kan baru makan cemilan, muka aku cemong banget," ujarnya, setengah kesal, setengah geli.
Ezra tidak langsung membantah sewot Faustine. Ia hanya diam, memperhatikan wajahnya yang mulai cemberut semakin dalam. Tanpa berkata apa-apa, ia menggulirkan satu per satu gambar untuk melihat kembali foto pertama yang ia ambil tadi.
Faustine yang masih sedikit sewot itu terus menatapnya, berharap Ezra akan melunak atau setidaknya mengakui bahwa foto itu memang tak bagus.
Ezra hanya mengamati foto dengan tenang. Matanya tetap terfokus pada layar, seolah mengabaikan keluhan Faustine.
Akhirnya, setelah beberapa saat, Ezra melemparkan satu kalimat singkat tanpa mengalihkan pandangannya. "Lihat deh," katanya sambil menunjukkan foto pertama yang ia ambil, "Kamu kelihatan cukup oke, kok."
Faustine masih mendengus dan hampir tak ingin percaya. Tapi saat matanya akhirnya menatap layar kameranya Ezra, dia melihatnya. Tanpa cemong, tanpa rambut yang menempel di bibir, Faustine terlihat lebih dari sekadar cantik—dia terlihat alami, seolah momen itu adalah potret dari dirinya yang jarang terlihat.
Ezra tetap diam, memberi ruang bagi Faustine untuk mencerna apa yang baru saja dia lihat. Faustine pun akhirnya terdiam, sejenak, sebelum dia mengalihkan pandangannya dengan sedikit rasa kikuk. "Kamu memang tahu gimana caranya bikin orang gak nyaman ya," ujarnya, meskipun ada senyum samar yang mulai terbentuk di bibirnya.
Ezra tidak membantah, hanya tersenyum tipis. Ia tahu ini adalah momen kecil yang tidak akan dilupakan, meskipun Faustine mungkin tidak akan mengakuinya.
Ezra berkedip sekali, lalu dua kali. Dunia di sekitarnya perlahan kembali terasa nyata. Deru kendaraan di jalan, desiran angin di halte, dan aroma samar hujan yang mendekat—semua kembali mengisi kesadarannya.
Ia melirik ke tangannya yang menggenggam kamera, lalu mengusap wajahnya dengan lelah. Pandangannya jatuh pada layar kamera yang masih menyala, memperlihatkan foto-foto yang ia ambil selama tiga hari terakhir. Jemarinya bergerak pelan, menggulirkan satu per satu gambar yang penuh cerita.
Foto pertama yang muncul di layar adalah gambar Faustine yang ia ambil di kereta. Meski ia sempat menggoda Faustine karena cemong, Ezra tahu bahwa itu adalah salah satu sisi yang langka dari Faustine—sisi yang lebih santai, lebih manusiawi, di luar kesan dingin yang biasanya ia tunjukkan. Ezra tersenyum tipis, mengingat bagaimana Faustine akhirnya menyerah pada tawa kecil saat melihat fotonya sendiri.
Ia menggeser ke foto berikutnya. Ada gambar mereka bersama seekor kucing hitam kecil yang mereka temukan di stasiun. Faustine, yang awalnya ragu-ragu, akhirnya berjongkok untuk mengelus kucing itu dengan senyum yang benar-benar tulus. Ezra masih ingat bagaimana ia dengan cepat mengabadikan momen itu tanpa sepengetahuan Faustine, takut momen itu akan hilang sebelum ia sempat merekamnya.
"Faustine yang kayak gini jarang banget kelihatan," gumam Ezra sambil tersenyum, suaranya tenggelam oleh suara hujan.
Lalu ia sampai pada foto mereka berdua—foto yang diambil dengan bantuan timer kamera. Dalam foto itu, Faustine terlihat sedang mencoba merapikan rambutnya yang kusut, sementara Ezra masih tertawa karena ekspresi Faustine yang sedikit kesal. Yang membuatnya semakin lucu adalah rambut Faustine yang entah bagaimana malah tertempel di bibirnya, menciptakan ekspresi yang membuat Ezra hampir tertawa keras saat itu.
Ezra tersenyum kecil, lalu menarik napas panjang. "Tiga hari ini…" gumamnya pada dirinya sendiri, "mungkin tiga hari paling berarti yang pernah aku jalani."
Ia mengusap wajahnya perlahan, menyadari betapa singkatnya waktu itu. Di balik semua candaan, momen-momen sederhana, dan percakapan, Ezra mulai memahami sesuatu tentang dirinya sendiri. Tentang apa yang membuat manusia itu "manusia."
Ia mengangkat kamera sekali lagi, menatap layar yang kini gelap. "Kalau aku tahu tiga hari terakhir bisa berarti seperti ini…" ia berbicara pada udara, suaranya rendah, "aku nggak akan pernah bikin kontrak itu. Sama sekali."
Halte itu tampak sepi. Hanya ada dirinya yang duduk di sana, ditemani desiran angin yang membawa dedaunan kering berputar di atas aspal. Ezra menarik napas panjang, merasakan aroma hujan yang akan segera turun. Ia menunduk, memandangi sepatu hitamnya yang sedikit kotor.
Kemudian, sebuah bayangan melintas di sudut matanya. Ezra mendongak, dan di sana berdirilah Faustine.
Dia mengenakan dress putih yang sederhana, dengan cardigan tipis berwarna krem yang melapisi bahunya. Rok dress-nya sedikit bergoyang tertiup angin begitu pula dengan rambut hitamnya yang panjang terurai lembut.
"Hai," sapa Faustine, suaranya sedikit bergetar. Ezra terdiam, matanya tidak lepas dari wajah Faustine yang tampak bersinar di bawah sinar matahari. Dia tampak lebih manusiawi, lebih dekat… dan lebih rapuh.
Faustine tidak langsung berbicara. Dia hanya berdiri di sana, memandang Ezra dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kelembutan di matanya, tampak begitu teduh.
"Ada apa? Mau tanding siapa yang bisa kabur dari sekolah lebih cepat? Atau siapa yang lebih baik dalam hal menamai kucing hitam saat itu?" canda Ezra, mencoba meredakan ketegangan.
"Kamu malah bersikeras ngasih nama Megatron ke kucing itu," ucap Faustine, berusaha menyembunyikan perasaannya.
Senyumnya segera pudar ketika ia melihat mata Faustine yang penuh dengan sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya—kesedihan.
Faustine menghela napas, lalu duduk di samping Ezra, menyisakan sedikit jarak di antara mereka. "Aku dengar kamu tidak akan kembali ke sini… Tidak bilang apa-apa padaku. Kenapa, Ezra? Kenapa pergi tanpa pamit, huh?"
Ezra tertegun. Ia tidak pernah berpikir Faustine akan peduli sejauh itu. "Oh, aku tidak menyangka kamu bakal sampai sejauh ini," jawabnya.
"Selama ini, Ezra," Faustine melanjutkan, suaranya mulai bergetar, "selama ini aku berpikir kamu akan selalu ada di sini. Tapi sekarang, kamu pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan. Apa semua yang kita jalani selama ini nggak berarti sama sekali untukmu?"
Saat itu juga terdengar suara gemuruh mesin mendekat. Sebuah bus perlahan berhenti tepat di depan halte. Pintu bus terbuka dengan bunyi desis hidrolik, tetapi tak ada seorang pun yang turun. Hanya mereka berdua yang berada di sana.
"Aku tahu kamu selalu penasaran," Ezra memulai, nadanya lebih serius dari biasanya. "Kenapa aku di sini, kenapa aku selalu diawasi. Aku tidak pernah memberitahumu karena aku tidak ingin kamu terlibat, Faustine. Tapi sekarang aku pergi, jadi mungkin kamu harus tahu. Aku dulu—"
"Tunggu." Faustine memotong, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih keras. "Jangan berpikir kamu bisa pergi begitu saja setelah mengatakan hal itu. Kamu berutang penjelasan padaku."
Ezra tertegun lalu tersenyum sembari perlahan berdiri. "Kalau begitu ikutlah denganku. Akan kuceritakan semuanya di perjalanan."
Faustine tertawa diantara air mata menggenang di matanya. "Kamu bodoh sekali, Ezra."
Dan sebelum Ezra bisa menanggapi, Faustine mendekat dan memeluknya, menenggelamkan wajahnya. Sebuah pelukan yang penuh kehangatan, penuh dengan perasaan yang tak pernah terucapkan. Ezra bisa merasakan detak jantung Faustine yang cepat, napasnya yang tersengal di telinganya.
"Aku akan merindukanmu," bisik Faustine di telinga Ezra, suaranya penuh harap. "Dan, jangan lupakan diriku," sebelum akhirnya melepaskan pelukan itu dan melangkah mundur.
Supir bus, seorang pria tua dengan seragam lusuh, menatap mereka dari balik kaca, menunggu penumpang yang mungkin akan naik. "Sampun mas? Nek kelamaan tak tinggal."
Merasa ditunggu oleh supir bus, Ezra beranjak pergi. "Waduh, dah ditunggu tuh."
Ezra menatap Faustine dalam-dalam, seakan ingin mengingat setiap detail dari wajahnya. Hening sejenak menyelimuti mereka, hanya suara angin yang berbisik di antara dedaunan kering dan deru mesin bus yang terus berputar.
"Aku juga akan merindukanmu, Faustine," Ezra akhirnya berkata, suaranya lirih.
Faustine mengangguk pelan, meskipun matanya berkaca-kaca. Dia ingin menghentikan Ezra, ingin bertanya lebih banyak, tapi kata-kata terasa tertahan di tenggorokannya. Dia hanya bisa berdiri di sana, berjuang melawan air mata yang hampir jatuh.
Ezra melangkah menuju pintu bus, tapi sebelum ia naik, ia berhenti sejenak dan menoleh. "Kamu benar, aku memang bodoh. Bodoh karena tidak pernah menyadari betapa berartinya dirimu selama ini."
Mata Faustine membulat, tak percaya mendengar pengakuan yang terlontar begitu saja. Sebelum dia bisa menjawab, Ezra sudah melangkah masuk ke dalam bus. Pintu bus tertutup dengan bunyi desis, seolah menjadi penanda akhir dari kisah mereka.
Bus perlahan mulai bergerak, meninggalkan halte yang kini terasa semakin sepi. Faustine hanya bisa berdiri terpaku, melihat Ezra yang duduk di bangku belakang, menatapnya melalui jendela kaca. Senyuman tipis terukir di wajahnya, senyuman perpisahan yang pahit.
Angin sore berhembus lebih kencang, membawa aroma hujan yang semakin dekat. Faustine melambai pelan, sebuah lambaian perpisahan yang terasa berat. Ezra membalas dengan anggukan kecil, dan kemudian bus berbelok, menghilang dari pandangan.
Kini hanya tersisa keheningan di halte itu, seolah semua kenangan yang mereka lalui bukan hanya tiga hari tapi selama tiga tahun di sekolah berputar di dalam benak Faustine.
Faustine menghela napas panjang, menutup mata sejenak, membiarkan setetes air mata jatuh di pipinya. "Selamat jalan, Ezra," bisiknya pelan, seakan angin akan membawa ucapannya pada pemuda itu.
Dan dengan itu, hari terakhir mereka berakhir. Faustine tetap berdiri di sana, dengan semua kenangan dan perasaan yang tak pernah terucap, seolah banyak yang ingin dia ceritakan jika saja punya banyak waktu.
Dia melangkah ke bangku halte dan duduk, membuka buku catatannya dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia mulai menulis, mencatat semua perasaan yang tak pernah bisa diungkapkan secara langsung.
Di halaman terakhir, Faustine berhenti sejenak, lalu menutup bukunya perlahan. Dengan satu halaman kosong yang tetap dibiarkan terbuka, seolah siap untuk melanjutkan cerita mereka yang tak pernah terucap.
Dan dengan itu, kisah mereka yang belum selesai pun tetap berjalan.