Ezra Fauzian adalah pemuda berusia tujuh belas tahun yang tengah menempuh pendidikan di SMK 777, jurusan Sastra Mesin. Sebagaimana hari-hari biasanya, pagi itu terasa seperti mimpi di atas awan kelabu, langit mendung yang menggantung di atas kepala.
Sejak beberapa pekan terakhir, Ezra merasakan kejenuhan yang mendalam. Ia merasa hidupnya hanya berputar dalam lingkaran monoton: bangun, sekolah, pulang, tidur, dan ulang lagi.
Sudah 2 minggu ini dirinya tercatat tidak nampak lagi di sekolahnya.
"Apa iya bakal terus begini-gini saja ya?"
Ezra menoleh sekitar kamarnya dengan perasaan hampa.
Di meja belajar kecilnya, tumpukan buku-buku Sastra Mesin tergeletak berdebu, tidak tersentuh sejak beberapa waktu yang lalu.
Poster-poster idolanya yang menghiasi dinding kamarnya terlihat samar di bawah lapisan debu yang mulai menumpuk.
Ezra duduk di tepi tempat tidurnya, "...yah lagian mau gimana lagi kan? Sepeda yang dulunya hadiah ulang tahun dah dijual pula, mana jarak tempuh ke sekolah sekitar 5,2 km."
Ezra menarik nafasnya dalam-dalam, "....bukan salahku juga kalo dialfa akhir-akhir ini kan? Kondisiku sendiri saja seterpuruk ini."
Sejak kepergian ibunya tiga tahun lalu, Ezra hidup bergantung pada uang saku tipis yang dirinya peroleh dari pekerjaan part-time setiap malam entah menjaga warung ataupun menjual barang-barang miliknya sendiri.
Dirinya teringat tentang cita-citanya bagaimana dulu dirinya sangat ingin menjadi fotografer, di dalam benak pikirannya jika menjadi seorang fotografer maka dirinya bisa lebih sering mengabadikan foto-foto bersama keluarganya.
Nyatanya, justru orang tuanya cerai dan Ezra diasuh oleh ibunya seorang, lalu setahun kemudian ibunya menderita penyakit komplikasi dan berpulang lebih dulu sebelum dirinya dapat mewujudkan impiannya.
"...huft, ternyata berat juga ya jadi perintis..." Ezra menatap langit-langit kamarnya.
Ezra mencoba menciptakan ketenangan di keheningan yang dia ciptakan di dalam kepalanya.
"Disaat-saat kek gini, adakah yang bakal setidaknya... nyariin ya?"
Ezra merogoh-rogoh sakunya dan hanya terdapat selembar uang lima ribu rupiah dan seribu rupiah.
"Ke warnet kali ya? Akhir-akhir ini jarang keliatan di sekolah... perlu gak ya kabarin temen di sekolah."
"Eh tapi buat apa ya?"
"....mungkin, setidaknya biar mereka tahu kalo aku masih hidup? Iya deh gitu aja."
Ezra menghela napas panjang dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke warnet.
Dirinya menyelipkan uang lima ribu dan seribu rupiah ke dalam sakunya, mengenakan jaket lusuhnya, dan berjalan keluar dari kamar kosannya yang sempit.
Saat membuka pintu kosannya, udara pagi yang dingin menyambutnya. Dengan langkah gontai, dirinya berjalan menyusuri lorong sempit menuju pintu keluar kosan.
Belum sempat mencapai gerbang, suara tegas terdengar dari belakang.
"Ezra! Mana uang kos bulan ini?" suara itu berasal dari Mpok Airin, pemilik kosan yang terkenal galak dan tak kenal kompromi.
Ezra menoleh dengan wajah pucat. "Eh, Mpok Airin... Saya belum ada uangnya. Nanti saya bayar begitu gajian, ya?" jawab Ezra dengan suara memelas.
Mpok Airin menatapnya dengan tajam. "Kamu udah nunggak dua bulan. Kalau sampai akhir minggu ini kamu belum bayar, maaf-maaf saja, kamu harus cari tempat lain."
Ezra hanya bisa mengangguk lemah, merasa semakin terpuruk. Setelah percakapan singkat itu, ia melanjutkan langkahnya menuju warnet yang terletak tak jauh dari kosannya.
Perjalanan menuju warnet terasa panjang meski sebenarnya hanya beberapa ratus meter saja.
Begitu sampai di warnet, Ezra merogoh sakunya dan menyerahkan uang lima ribu rupiah kepada penjaga warnet. "Satu jam aja, Bang," ucap Ezra.
Setelah mendapatkan bilik komputer, Ezra segera duduk dan menyalakan layar. Ketika halaman beranda terbuka, ia merasa sedikit lebih tenang.
Ezra membuka media sosial dan melihat-lihat kabar terbaru teman-temannya.
"Ternyata mereka tetap hidup bahagia ya, meski aku nggak ada," batin Ezra.
Ezra membuka pesan grup sekolahnya, mencoba mencari tahu apakah ada yang memperhatikan ketidakhadirannya.
Banyak pesan-pesan yang belum terbaca, sebagian besar hanya obrolan ringan dan tugas-tugas sekolah.
Dari sekian pesan tagihan tugas maupun tagihan uang kas kelas.
Ren tersorot pada satu pesan, ada satu pesan dari Faustine, teman sekelasnya yang cukup dekat.
Paustin X SM : "Ren, kamu kemana aja? Udah dua minggu nggak kelihatan di sekolah. Ada masalah?"
Ezra menatap pesan itu cukup lama sebelum akhirnya membalas,
Anda : "Iya, Tin. Lagi banyak pikiran. Nggak ada yang serius, cuma lagi butuh waktu sendiri."
Faustine merespon dengan cepat, "Kalu butuh bantuan atau teman ngobrol, kasih tahu aja ya."
Ezra tersenyum tipis. Setidaknya ada yang peduli.
Ketika hendak menutup pesan tersebut, tiba-tiba muncul notifikasi aneh di emailnya.
"Email kategori spam... loh,"
Ezra kembali membaca dengan seksama, "...jual umur untuk uang? Alah yang bener aja!"
"...."
"...ehh, tapi mungkin gak sih?"
Ezra membuka browser dan mengetikkan kalimat "jual umur untuk uang" di kolom pencarian.
Tak disangka, banyak hasil pencarian yang muncul.
Sebagian besar terlihat seperti iklan palsu atau artikel clickbait, matanya tersorot pada satu situs yang menarik perhatiannya.
Situs itu menawarkan layanan untuk "menukar waktu hidup dengan uang," lengkap dengan testimoni dari orang-orang yang mengklaim telah melakukannya.
"Apakah ini benar-benar mungkin?" pikir Ezra sambil mengklik tautan tersebut.
Halaman situs terbuka dengan tampilan yang sederhana. Ada kolom pendaftaran yang meminta informasi pribadi dan jumlah waktu hidup yang ingin ditukar.
Ezra merasa ragu dan sedikit takut.
"Emangnya apa yang tak takutin yha? Lagian orang udah susah gini, yakali kan makin susah..."
Dengan kondisi yang dialaminya saat ini, apa yang dirinya miliki untuk kehilangan?
Ezra mulai mengisi formulir pendaftaran. Setelah semua informasi terisi, dirinya sempat ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol "Submit."
"Apapun yang terjadi, semoga ini bisa membawa perubahan," gumam Ezra.
---------------
Notifikasi: SUBMITTED!
Terima kasih, Ezra!
Pendaftaran Anda telah berhasil disubmit. Kami akan memproses permintaan Anda sesegera mungkin. Harap tunggu konfirmasi selanjutnya.
---------------
Setelah itu, Ezra menutup browser dan bersandar di kursinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi setidaknya sekarang dia memiliki sesuatu untuk ditunggu.
Ia bangkit dari kursinya, menyimpan sisa waktu yang belum terpakai di warnet, dan melangkah keluar dengan perasaan campur aduk.
"Tinggal seribu ya? Harus jual barang apalagi dah..." gumamnya sambil berjalan menuju kosannya.
Ezra tiba di area kosannya dengan langkah gontai. Pikiran tentang waktu yang tersisa dan barang-barang yang bisa dijual terus berputar di kepalanya. Sesampainya di depan pintu gerbang kos, ia melihat Mpok Airin, pemilik kos, sedang menyapu halaman.
"Eh baru balik orangnya. Noh ada surat barusan aja dateng, cek aja di loker."
Ezra mengangguk, merasa sedikit penasaran. Ia segera menuju ke loker surat yang ada di dekat pintu masuk. Di sana, ia menemukan sebuah amplop berwarna cokelat dengan namanya tertulis di atasnya. Tangannya sedikit gemetar saat membuka amplop itu, berharap mungkin ada kabar baik di dalamnya.
"Kalo dipikir-pikir aneh juga, perasaan barusan tak pesen..."
"....Wah jangan-jangan pesan hari ini datangnya kemarin? Siapa sangka."
Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca surat tersebut. Di dalamnya, terdapat selembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi :
---------------
Kepada Ezra,
Kami ingin memberitahukan bahwa permohonan Anda telah kami terima dan sedang diproses. Harap datang besok sebelum matahari terbit ke Klinik Sehat-sehat Saja untuk langkah selanjutnya. Siapkan diri Anda untuk instruksi lebih lanjut.
Petunjuk : Carilah jalan yang menurut Anda paling lebar dan terbentang dari timur ke barat. Setelah menemukan jalan tersebut, lewati saat angin tidak berhembus. Setelah melintasi jalan itu, berdirilah menghadap ke Timur dan menundukkan kepala Anda. Jika bayangan Anda tidak mengarah ke Timur, berarti Anda berada di jalan yang salah. Jika ketentuan sudah benar Anda akan segera menemukan Klinik Sehat-sehat Saja dalam jangkauan pengelihatan Anda.
"Aku ingin mencari obat untuk menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan."
Terima kasih atas kepercayaan Anda.
Hormat kami,
Tim Administrasi
---------------
Ezra membaca kalimat tersebut berulang kali, merasa sedikit terkejut dan tidak percaya.
"Yang bener aja!?" gumamnya, merasa kaget dengan surat yang tidak biasa itu terlebih lagi sebuah nama klinik untuk dibuat bahan bercandaan.
"Sengaja ya cari masalah!? Ada masalah apa dengan nama kliniknya!? Klinik... Sehat-sehat Saja!?"
"Woi aku lagi butuh uang malah disasarin ke klinik gadungan gini, lucu kali hidupku ini wak. Waduhh... kacau ini."
Ezra mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata tersebut. Ia merasa ini seperti teka-teki yang harus dipecahkan. Meskipun petunjuknya samar, ia memutuskan untuk mencoba memahami maksud dari kata-kata yang diberikan.
"Petunjuk macam apa pula ini? Jangan sampai saat aku kebingungan tiba-tiba disekap nih!?"
Ezra menghabiskan waktu semalaman untuk mencoba mencerna petunjuk tersebut. Akan tetapi akhirnya, kelelahan mengalahkan rasa frustrasinya, dan Ezra tertidur pada jam 2 pagi.
(!) 05.42 WIB
Keesokan harinya, Ezra terbangun tiba-tiba pada pukul 05.42 pagi. Ia segera bangun dan menuju kamar mandi di kosannya. Karena masih begitu pagi, ia tidak perlu berebut dengan penghuni kos lainnya.
Ezra mengenakan celananya dan merogoh saku untuk mengecek apakah ia memegang uang. Saat itulah ia menemukan selembar kertas kusut di dalam saku celananya, "...Eh apanih!?"
Ezra mengeluarkan selembar kertas kusut tersebut dari dalam sakunya, "WOAHHH... MAYANNN 10 RIBU."
"Duh, untung masih ada sisa. Lumayan buat keperluan sehari-hari," gumam Ezra sambil tersenyum kecil meskipun jumlah uangnya tidak banyak.
Setelah menyiapkan diri, Ezra keluar dari kosannya. Ia membawa surat petunjuk yang aneh itu, dan dompetnya, serta uang yang baru saja ditemukannya. Ezra terus membaca dan mencerna instruksi yang diberikan.
"Pertama-tama tuh... Carilah jalan yang menurut Anda paling lebar dan terbentang dari timur ke barat," gumam Ezra sambil tersenyum kecil.
Jalanan di sekitar gang masih sepi pagi itu, Ezra terus mengikuti instruksi petunjuk dengan hati-hati.
"Jalan paling lebar dan terbentang... yah kalo sesuai deskripsi ini, mungkin maksudnya jalan raya kan ya? Aku tahu inimah, ez sih ini."
Ezra memutuskan untuk menuju ke arah jalan raya terdekat. Setelah beberapa menit berjalan kaki, ia akhirnya berada di tepi jalan yang menurutnya lebar dan terbentang dari timur ke barat, seperti yang diinstruksikan dalam surat.
Jalanan itu ramai dengan berbagai kendaraan: mobil, bus, dan sepeda motor melintas dengan cepat. Suara klakson dan deru mesin menggema di sekitarnya. Ezra sedikit terkejut melihat keramaian ini, merasa agak cemas dengan keadaan yang mendadak sangat sibuk.
"Ya ampun, ini tidak seperti yang kubayangkan," gumam Ezra, mencoba menenangkan diri di tengah keramaian yang mengelilinginya sambil kembali mencerna petunjuknya.
"Selanjutnya... apalah instruksinya ini? Lewati jalan tersebut saat angin tak berhembus? Apa-apaan maksudnya!?"
"....Ini pula banyak kendaraan seliweran!"
"....Jalan paling besar dari barat ke timur tuh ya jelas ini kan?"
"....Instruksi sesat! Mana mungkin aku tiba-tiba melompat ke tengah sana!?"
Setelah beberapa saat merasa kebingungan dan frustasi, Ezra akhirnya melihat ke depan dan merasa lega. Ia melihat sebuah persimpangan di ujung jalan yang tampak sepi, tanpa kendaraan yang melintas.
"Akhirnya, jalanan sepi!" pikir Ezra lega.
Tanpa ragu, Ezra segera melintasi jalan menuju persimpangan tersebut.
"....Loh bentar, maksudnya angin tak berhembus itu... jalanan sepi kan ya!?"
"....Apa susahnya tinggal bilang gitu coba!? Kalau begini kan nambah beban pikiran aja!!"
Akhirnya ia bisa merasa lega ketika dapat sampai di tepi lainnya tanpa masalah.
"Ah, akhirnya bisa melintas," gumam Ezra dengan sedikit napas lega.
Di tepi jalan ini, suasana lebih tenang dan jauh dari keramaian yang tadinya mengganggu. Ezra melihat sekeliling, mencoba mencari tanda-tanda lanjutan dari petunjuk yang diberikan. Meskipun masih bingung dengan beberapa bagian petunjuk yang samar, ia merasa sedikit lega karena berhasil melewati hambatan awal.
"Dari sini harus menghadap ke Timur dan menunduk," ujar Ezra sambil mencoba memperbaiki cara bacaannya
"....Sudah lalu, jika bayangan tidak mengarah ke Timur maka anda berada di jalan yang salah."
Saat menunduk Ezra menyadari bayangannya tidak mengarah ke Timur.
"....Apa-apaan ini!? Jadi maksudnya aku di jalan yang salah!?"
"....Atau ini maksudnya, sama aja disuruh nunggu sampe sore biar mataharinya di Barat dulu!?"
"....Oh enggak dong! Enak aja! Surat petunjuk aneh ini mempermainkanku!"
Ditengah betapa frustasi dirinya saat ini, seseorang pria melewatinya.
"Kalo memang benar Klinik gadungan itu nyata. Harusnya orang sekitar sini... setidaknya tahu!"
"Yoh masbro! Tahu gak alamat klinik yang namanya tuh sehat-sehat aja?"
Pria yang tampaknya tengah terburu-buru itu berhenti sejenak. "Tempe lah."
Ezra mengernyitkan dahi, "Gak lucu masbro."
"Loh iyakah? Yaudah deh. Klinik Sehat-Sehat Aja kan? Tuh di depan sana. Lurus aja. Tempatnya agak masuk gitu. Ntar dulu ya sob, buru-buru nih!"
Pria itu melihat Ezra dengan serius sebentar, lalu akhirnya memberikan jawaban yang lebih jelas, "Loh iyakah? Yaudah deh. Klinik Sehat-Sehat Aja kan? Tuh di depan sana. Lurus aja. Tempatnya agak masuk gitu. Ntar dulu ya sob, buru-buru nih!"
Ezra mengucapkan terima kasih kepada pria itu, meskipun agak skeptis dengan jawaban awalnya. "Yaya... nice ingfo masbro!"
Ezra melanjutkan langkahnya sesuai arahan yang diberikan oleh pria tadi. Setelah beberapa menit berjalan, ia akhirnya melihat sebuah bangunan.
"Hah, ini dia... Klinik Sehat-sehat Aja," gumam Ezra, sedikit terheran melihat kondisi bangunan tersebut.
"Klinik macam apa ini!? Masa iya bangunan usang dan tua begini tuh klinik? Terus juga kayak bangunan peninggalan zaman penjajahan pula."
Klinik tersebut terlihat tidak terawat dengan baik. Catnya sudah mengelupas, dan jendela-jendela besinya terlihat berkarat. Ezra merasa agak ragu, akan tetapi mau bagaimana lagi bukan, dirinya juga penasaran untuk melangkah lebih dekat.
"Dari mana petunjuk aneh itu bisa ngebawa ke tempat seperti ini?" rengeknya dalam hati, tetapi ia tetap memutuskan untuk masuk ke dalam klinik.
Ezra membuka pintu masuk klinik dengan hati-hati. Ia disambut oleh suasana yang hening dan sepi di dalamnya. Klinik tersebut terlihat tidak banyak dikunjungi, dengan perabotan yang sudah agak lapuk dan terkesan kuno.
Pria itu mengangkat kepalanya dari meja resepsionis yang sudah usang. Wajahnya penuh dengan keriput dan ekspresi lelah.
"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" tanya pria tua itu dengan suara serak.
Ezra sedikit terkejut melihat pria tersebut, tetapi mencoba untuk tetap tenang. "Oh, pagi. Aku... aku kesini mencari Klinik Sehat-sehat Aja," ucap Ezra dengan sedikit ragu.
Pria tua itu mengangguk perlahan. "Ya, ini Klinik Sehat-sehat Aja. Anda datang untuk apa?"
Ezra merasa lega mengetahui bahwa dia telah menemukan tempat yang dicari, meskipun suasana klinik terlihat agak suram.
"Langsung saja keintinya. Jadi aku mau jual umur untuk uang."
Pria tua itu mendengar ucapan Ezra dengan tatapan heran. Dia tertawa kecil, mengangguk-nodong seolah-olah mengerti, "Ya, ya, tentu saja... Jual umur untuk uang. Anda benar-benar orang yang kreatif."
Ezra merasa jengkel dengan reaksi pria tua itu. "Bukan bercandaan! Aku serius!" desaknya dengan nada yang agak keras.
Pria tua itu hanya terus tersenyum dengan nada remeh. "Tenang, tenang. Jangan terlalu serius. Di sini kami tidak menjual umur, bung."
Ezra semakin frustrasi dengan perlakuan pria tua itu. "Tapi suratnya..." ia mencoba menjelaskan, akan tetapi terputus oleh gelak tawa pria tua itu.
"Apa-apaan ini, surat aneh-aneh. Anda ini sedang terpengaruh obat-obatan atau apa?"
"Ngetes kesabaran ya?" Ezra mendesis dengan nada frustrasi yang semakin memuncak. Emosinya mulai meluap karena merasa tidak dipercaya dan dianggap gila.
"Umur masih muda kok udah muncul tanda-tanda aja. Hadehhh..." Pria tua tersebut malah menyibukkan diri dengan menyortir barang tanpa memberikan perhatian lebih ke Ezra.
"Kenapa aku malah diolok-olok sama pria tua ini!?"
"Bukankah aku seharusnya yang mengolok orang ini balik karena bisa-bisanya bekerja di sebuah klinik dengan nama sehat sehat aja!?"
"Ingfo loker aja inimah, klinik sehat sentosa abadi nan jaya."
Sisi Gelap Ezra : "Wah parah sih, ini tua bangka... cari masalah sih...."
Sisi Terang Ezra : "Jangan gitu Ezra! Ayolah lebih sabar... lebih sabar.... lebih sabar....."
"Begini ya, tua bangka, biar kuperjelas," ucap Ezra akhirnya dengan suara sedikit gemetar, mencoba untuk menjelaskan kembali maksud kedatangannya.
Emosinya mulai meluap karena rasa frustrasi dan ketidakpastian yang semakin membesar. Ezra berusaha menahan diri agar tidak meledak dalam kemarahan.
"Hm?" Pria tua tersebut hanya melirik ke arah Ezra.
"Aku ingin mencari obat untuk menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan."
Setelah Ezra mengucapkan kalimat itu, pria tua itu tiba-tiba membunyikan semacam bel dan masuk ke dalam pintu khusus yang diperuntukkan bagi karyawan. Ezra merasa agak bingung dengan reaksi pria itu.
Beberapa saat kemudian, dari bilik lain muncul seorang gadis yang menggantikan posisi resepsionis. Gadis itu tampak lebih muda dan berpenampilan yang lebih rapi, serta berbicara dengan sopan.
"Selamat pagi, maafkan kekacauan tadi," ucap gadis itu sambil tersenyum ramah. "Bagaimana saya bisa membantu Anda?"
"Oh iya tidak masalah kok-" gumam Ezra dalam hati, mengenali teman sekelasnya yang sekarang berada di hadapannya sebagai resepsionis. "Loh bentar... bukannya ini si Faustine ya?"
Ezra merasa ragu untuk menyapanya. Dikarenakan status dirinya saat ini jarang masuk ke sekolah, terlebih lagi akan canggung jika ternyata mereka tak saling mengenal.
"Salam, Sapa, Senyum gak nih?"
"Aku yakin banget ini Faustine."
"....Yaudah deh senyum aja," Ezra memutuskan untuk mengatasi kebingungannya dengan tersenyum sopan kepada Faustine.
Faustine hanya merespon dengan memiringkan kepalanya kebingungan. Merasa canggung Ezra memutuskan untuk langsung bertanya.
"Apa benar... di sini bisa jual umur buat uang?"
tanyanya dengan nada yang agak ragu.
Faustine mendengarkan pertanyaan Ezra dengan serius, dan kemudian mengangguk mengerti. "Oh, jadi Anda bermaksud tentang pertukaran waktu hidup untuk uang. Ya, itu adalah layanan yang kami tawarkan di sini."
Ezra merasa sedikit lega mendengar jawaban tersebut, meskipun masih merasa sedikit tidak percaya dengan semua yang terjadi.
"Apa Anda punya kartu identitas Anda?" tanya Faustine, sambil menunjuk ke arah mesin untuk memindai kartu identitas.
Ezra mengeluarkan kartu identitasnya dari dompet dan memberikannya kepada Faustine. Gadis itu mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mesin pemindai di depannya.
Saat Faustine melihat hasil scan kartu identitas Ezra, wajahnya tiba-tiba terangkat dalam senyuman yang hangat.
"Ada apa? Wajahku terlihat aneh di kartu itu? Tapi memang tak akuin sesi pemotretan waktu itu benar-benar payah," celetuk Ezra.
Faustine tetap mempertahankan kesopanannya dan menjawab dengan santai, "Oh, tidak, tidak ada yang aneh."
Ezra mengernyitkan dahi, tetapi akhirnya tersenyum juga. "Gak aneh kan? Lagipula memang kenyataannya waktu itu begitu pas sesi pemotretan."
"Aku bisa bilang begini karena memang... ingin. Eh, bukan ingin, lebih ke... minat dalam bidang fotografi, mungkin."
Faustine tertawa kecil lalu dengan nada yang lebih rendah. "....Kamu ini suka kamera Sony A6000 bukan?"
Ezra membulatkan mata, sedikit tercengang karena tidak menyangka pertanyaan tersebut. "Eh, ya, benar. Bagaimana kamu tahu?"
Faustine tersenyum, nadanya semakin rendah. "Hanya saja... seseorang pernah bercerita lebar padaku bagaimana dirinya begitu menyukaai kamera itu."
Ezra mengernyitkan dahi, mencoba mengingat apakah dirinya pernah bercerita tentang minatnya pada fotografi, terutama tentang kamera Sony A6000.
"Oh, ya, mungkin saja," jawab Ezra dengan ragu.
Faustine mengangguk, memahami, lalu melanjutkan, "Baiklah, data Anda sudah tervalidasi. Jadi, apa benar Anda ingin menjual umur demi uang?"
Ezra mengangguk. "Iyap, betul."
Akan tetapi, Ezra terdiam sejenak, mempertimbangkan pertanyaan sebelumnya yang mendadak dari Faustine. Ia merasa terdorong untuk menjelaskan situasinya dengan lebih baik, meskipun dalam hati masih merasa ragu.
"Ya, maksudku... ya, ada... situasi tertentu," ucap Ezra, mencoba menjawab tanpa terlalu jelas.
Faustine menatap Ezra dengan penuh perhatian, seolah mencoba memahami lebih dalam. "Situasi tertentu... Saya mengerti. Tapi, Ezra, hidup kita adalah hal yang paling berharga. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kesulitan tanpa harus 'mengorbankan' sesuatu yang begitu berharga seperti umur kita."
Ezra merasa tersentuh dengan kata-kata Faustine. Dia merenung sejenak, "Aku mengerti, lagipula kondisi yang sedang kualami sekarang ini sedikit... susah kurasa?"
Ezra kembali terdiam memikirkan kembali niatnya.
"Menukarkan sisa hidupku untuk uang...."
"Apakah itu bisa dikatakan.... sepadan?"
"Sudah sejauh ini, tidak ada kata mundur.... bukan??"
Ezra menarik nafasnya dalam-dalam. "Kalau begitu, begini saja. Bagaimana kalau aku ingin tahu terlebih dahulu berapa banyak uang yang akan kuhasilkan jika menukarkan... sisa umurku?"
"Baiklah akan diproses." Faustine melihat data hasil validasi milik Ezra dan sedikit terkejut.
Faustine merendahkan nadanya kembali. "Dengan sisa umurmu... 52 Tahun. Diperkirakan total mencapai sekitar 15 milyar rupiah."
Ezra terdiam sejenak, mencerna angka yang baru saja disebutkan Faustine. 15 milyar rupiah untuk sisa umur 52 tahunnya. Angka itu begitu besar, membuatnya terguncang.
"15 Milyar... RUPIAH!?"
Setelah beberapa saat berpikir panjang, Ezra mengangguk perlahan. "Baiklah. Aku setuju."
Faustine memandang Ezra dengan sedikit khawatir. "Yakin? Dengan semua sisa umurmu?"
"Tunggu, kalau dihabiskan semua umurnya, lalu.... udah dong gitu aja?"
"ekhem. Maksudnya... kalau begitu, sisakan 3 hari saja untukku menikmatinya"
"Akan dipersilahkan untuk mempertimbangkannya lagi, jika sudah bersedia. Boleh mengkonfirmasinya sekali lagi."
"15 miliar rupiah..." Ezra mengulang angka tersebut dalam hati, mencoba memprosesnya. "Itu cukup untuk menyelesaikan semua masalahku, untuk masa depanku..."
Ezra menarik nafas dalam-dalam, memutuskan untuk menindaklanjuti keputusannya. "Baiklah, aku setuju. Aku ingin menukar sisa umur dan menyisakan 3 hari saja dengan uang sebesar 15 miliar rupiah."
Faustine mengangguk, tampaknya mengerti keputusan Ezra meskipun dengan sedikit kekhawatiran tersembunyi di matanya. "Baiklah. Proses ini tidak bisa diubah, dan keputusan ini sepenuhnya milikmu. Akan kami proses permintaanmu segera."
Ezra mengangguk, mencoba menenangkan diri di tengah perasaan campur aduk yang dirasakannya. Ezra merasa sedikit lega setelah membuat keputusan tersebut, meskipun ada keraguan dalam pikirannya. Setelah proses pertukaran umur selesai diproses, Faustine memberikan kartu identitas Ezra kembali.
"Terima kasih, Faustine," ucap Ezra sambil mengambil kartu identitasnya yang baru saja diberikan. "Ini untuk apa?"
Faustine tersenyum ketika Ezra menyebut namanya, lalu menjelaskan dengan lembut, "Kartu ini sekarang berfungsi sebagai pengganti uang tunai untukmu. Dengan saldo yang sesuai dengan jumlah yang sudah kamu sepakati. Gunakanlah dengan bijak."
Ezra merasa agak terkejut juga lega dengan kemudahan penggunaan kartu ini. Meskipun awalnya merasa cemas dengan pilihan yang dibuatnya, sekarang dia merasa sedikit lega karena memiliki solusi untuk masalah keuangannya.
"Terima kasih atas semua bantuannya, Faustine," ucap Ezra dengan tulus.
Faustine mengangguk, "Semoga ini membawa perubahan positif dalam hidupmu, Ezra. Jaga kartu itu dengan baik dan gunakanlah sebaik mungkin."
Ezra mengangguk dan berbalik untuk keluar dari ruangan. Akan tetapi, sebelum dirinya benar-benar meninggalkan tempat itu, Faustine menyelutuk, "Tunggu, Ezra... satu hal lagi."
Ezra berbalik, menatap Faustine dengan rasa ingin tahu. "Apa itu?"
Faustine menatap Ezra dengan serius. "Mulai besok... mulai besok aku akan jadi pengawasmu. Jadi pikirkanlah matang-matang dengan sisa hidupmu... 3 hari ke depan."
"...3 hari ya?"
"...Apa rencanaku selanjutnya?"
"Iya. Tentu saja," jawab Ezra.
Ezra mengangguk lagi dan akhirnya meninggalkan klinik tersebut. Pikiran tentang kedepannya dan keputusan yang telah diambilnya berputar-putar di kepalanya saat ia berjalan kembali ke kosannya.
Setibanya di kosan, Ezra duduk di atas tempat tidurnya dan menatap kartu identitas yang sekarang juga berfungsi sebagai kartu pembayaran. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukannya. Ezra meletakkan kartu itu di meja kecil di samping tempat tidurnya dan membaringkan dirinya, menatap langit-langit kamar yang usang.
"3 hari lagi...," gumamnya, mencoba mencerna kenyataan baru ini. "Apa yang sebaiknya aku lakukan?"
Ezra mencoba menciptakan ketenangan di keheningan yang ia ciptakan di dalam kepalanya. Meskipun demikian, kejadian barusan dari ingatannya menyelinap masuk, mengganggu kedamaian yang dia coba bangun.
"...Apa aku ini dah gila ya?"
"...Kok beneran ada jual umur dapet uang??"
"...Kena tipu gak sih??"
"...Tapi saldonya masuk loh!?"
"...Mana iya lagi, beneran masuk saldonya??"
"...Terus juga kenapa malah resepsionisnya si Paustin?"
Ezra merasa semakin frustrasi saat mencoba memahami situasi ini. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran yang membuatnya merasa semakin tertekan.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumamnya. "Aku punya uang, tapi hanya punya tiga hari... Aku harus melakukan sesuatu yang berarti."
Ezra berdiri dan berjalan mondar-mandir di kamar kosnya yang kecil. "Oke, aku harus tenang. Aku harus berpikir jernih. Setidaknya, aku ingin jadi lebih baik dari hari sebelumnya. Mungkin, aku bisa mulai dari hal-hal kecil yang berarti."
"MANA BISA TENANG. DALAM SITUASI BEGINI..."
Ia duduk kembali dan mencoba membuat daftar hal-hal yang ingin ia lakukan dalam tiga hari ke depan. "Oke, hal pertama... aku ingin memperbaiki hubungan dengan teman-temanku. Aku tidak ingin pergi dengan perasaan bersalah atau dendam. Aku akan mencoba menghubungi mereka dan meminta maaf jika perlu."
"....Tapi jika aku tiba-tiba pergi tanpa kabar setelah 3 hari, malah repot ya."
"....Yasudahlah tampung dulu."
Ia menulis lagi di catatan tersebut. "Kedua, aku ingin merasakan kebahagiaan sederhana. Mungkin jalan-jalan di taman, menikmati makanan favoritku, atau melakukan hobi yang sudah lama aku tinggalkan. Bepergian jauh akan menyenangkan kurasa?"
Ezra merasa sedikit lebih tenang setelah menulis daftar tersebut. Ia melihat kartu identitasnya yang sekarang berfungsi sebagai kartu pembayaran dan merasa lega bahwa saldo tersebut benar-benar masuk.
"Hari ini banyak sekali yang terjadi," gumam Ezra yang perlahan merasa ngantuk.
"Setidaknya yang kuinginkan adalah.... jadi lebih baik dari hari sebelumnya.... kurasa?"
Ezra meletakkan kartu identitasnya di atas meja kecilnya, lalu perlahan mulai tertidur.
(!) 04.13 WIB
Ezra perlahan membuka matanya. Masih setengah mengantuk, ia bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke kamar mandi kos untuk membersihkan diri. Air dingin menyegarkan pikirannya yang masih kacau, dan setelah beberapa saat, Ezra mulai merasa lebih segar dan siap menghadapi hari.
Setelah mandi, Ezra kembali ke kamarnya. Ia mulai merapikan ruangan kecilnya yang berantakan, mencoba membuatnya sedikit lebih nyaman. Saat ia sedang menyusun buku-buku dan mengatur barang-barangnya, terdengar suara dari luar kamar.
"Ezra, ada tamu buat noh!" panggil Mpok Airin.
Ezra mengernyitkan dahi, merasa heran siapa yang datang pagi-pagi begini. Dengan rasa penasaran, ia berjalan menuju pintu kamarnya dan membukanya. Di depan pintu, berdiri Faustine dengan senyuman ramah di wajahnya.
"Faustine? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ezra, terkejut melihatnya.
"Aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja dan membantu kamu menyesuaikan diri dengan situasi baru ini," jawab Faustine. "Boleh aku masuk?"
Ezra mengangguk, masih merasa sedikit kebingungan. "Ya, tentu saja. Masuklah."
Faustine melangkah masuk dan melihat sekeliling kamar Ezra yang sederhana. "Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyanya, sambil duduk di kursi yang tersedia.
Ezra menarik napas dalam-dalam dan duduk di tepi tempat tidurnya. "Jujur saja, aku masih merasa bingung. Banyak yang terjadi kemarin, dan aku masih mencoba memahami semuanya."
"Oh iya, ada perlu apa kamu sampai datang kesini?" sambung Ezra.
"Kemarin sudah kukatakan, aku pengawasmu," jawab Faustine dengan tenang.
"Itu semacam ketentuannya... atau apa?" tanya Ezra lagi.
"Ya, karena kontrak ini dihitung sah saat aku mulai mengawasimu," jawab Faustine.
Ezra tertawa kecil. "Kalau begitu tidak usah awasi aku."
"Gak bisa begitu dong," jawab Faustine sambil tertawa kecil juga.
"Canda elah, lagipula biar apa ngawasin diriku ini?"
"Agar kamu tetap pada jalurnya. Jadi sudah adakah rencana untuk 3 hari kedepan?" Faustine perlahan mengeluarkan buku catatan dan mencatat sesuatu.
"3 hari kedepannya... apa ya... tunggu dulu, apa yang kamu catat?"
"Rahasia." Faustine terus mencatat.
"Aku gak boleh lihat?" Ezra mendekati Faustine dengan rasa penasaran.
"Kalau kamu lihat, itu bukan lagi disebut rahasia." Faustine menutup bukunya menyelesaikan catatannya.
"Oh iya satu hal lagi. Aku masih penasaran, kamu Faustine kan?"
"Bukan, coba tebak lagi."
"Pasti itu kamu, ini aku loh. Langganan alfa."
"Gak kenal sih."
"Lah kenapa gitu."
"Gak ada yang mengenalku di sini. Yang kamu tahu sekarang tuh, aku pengawasmu."
"Sama sekali gak ada yang kenal?"
"Iya."
"Orang tuamu tahu gak kalo kamu itu Faustine."
"Ya enggak lah."
"Nah udah, kamu Faustine dong. Terbukti tuh."
"Loh... oh iya juga."
"....Ah seharusnya aku jawab selain ya dan tidak... Kejebak."
"Tuhkan kamu emang Faustine!"
"Terserah kamu aja. Terlebih lagi gimana, 3 hari kedepanmu?"
"Aku bersyukur... bisa menghabiskan sisa hidupku, walau hanya 3 hari ini. Bersamamu."
"...Lagipula... aku penasaran, hal apa yang ngebuat diriku ini mengiyakan perjanjian oleh Tuhan, sehingga diriku ini lebih memilih untuk dilahirkan ke dunia?"