Keramaian yang begitu asing di mata Cana, membuatnya menjadi linglung harus kemana ia pergi. Satu-satunya jalan untuk kali ini hanya diam dan mengikuti arus kemana Zidan akan membawanya.
"Cana!" panggil seorang wanita dari belangnya.
Awalnya Cana cukup sedikit merinding, tapi saat melihat siapa orang yang telah memanggilnya ia menjadi semakin merinding dan tersenyum kaku. Untuk menghindari wanita itu Cana memilih untuk lebih mendekatkan dirinya lagi ke Zidan, tapi sayangnya Zidan sudah lebih dulu hilang dan meninggalkannya sendiri.
"Kak Calie," sapanya.
Wanita seksi dengan dress mini tanpa lengan tersebut tersenyum. "Ayolah, panggil aku Mama sekali-kali." Calie benar-benar berusaha untuk menggodanya.
Cana menghembus nafas panjang, untuk berapa kalinya ia mendengar kata itu dari Calie. Tak tahu alasannya tapi wanita dari keluarga Taza ini sangat obeses untuk menjadi simpanan Ayahnya, bahkan pada suatu waktu Calie pernah mengaku pernah tidur dengan Ayahnya, walaupun Cana tidak pernah mempercayainya.
"Apa kau telah lihat kado ulang tahunmu yang dua puluh tahun ini? Kau sudah melihat kado dariku? Itu keren bukan?" Calie bertanya dengan tangan telah melingkar indah di lengan Cana.
Banar, kado dari Calie adalah kado terbaik yang pernah ia dapatkan. "Uhm terimakasih." Untuk sesaat Cana kembali berfikir, dari mana wanita itu mendapatkan buku diary milik ayahnya? "Dari Mana kau mendapatkan itu?"
Calie lagi-lagi tersenyum. "Sudah ku bilang, aku adalah simpanan tersayang Ayahmu. Buku kecil itu sudah lama denganku."
Cana memutar matanya malas. "Itu terdengar seperti cita-cita anak kecil."
"Siapa yang kau sebut anak kecil, umurku dua puluh tujuh tahun hah, aku bahkan lima tahun lebih tua dari kakakmu itu," amuk Calie.
"Yaya terserah denganmu saja." Cana terlalu sibuk untuk berdebat dengan Calie, sekarang yang paling penting ialah mencari keberadaan orang yang telah merampok isi rumahnya.
"Siapa yang kau cari?" tanya Calie yang sedari tadi memperhatikan Cana. "Kau mencari Calix?"
Cana langsung menoleh dan mengangguk cepat. "Di mana orang itu?"
Calie hanya bisa melepaskannya sambil menunjuk lantai dua dari rumah utama yang megah itu. "Mungkin dia sedang tidur, orang seperti dia tidak mungkin tertarik dengan pesta ini. Benar-benar darah tak pernah bohong, pantas saja kalian bersaudara."
Sesaat setelah Calie berucap, Cana telah hilang dari jangkauan matanya. Cana melesat lebih cepat daripada orang yang sedang kebelet. Terkadang hal seperti itu membuat Calie berfikir kalau Cana benar-benar menghindarinya.
Kembali dengan Cana yang telah berdiri di lantai dua, ia terus memutar untuk menghindari orang-orang dan menuju ketempat ruangan Calix. Namun, perjalanan yang seharusnya mulus malah menjadi begitu sendat karena dia bertemu dengan beberapa orang yang ia kenal, seperti; pembantu lamanya, teman waktu sekolah, atau beberapa keluarga yang mengenalnya.
Contohnya sekarang, ia yang seharusnya sudah sampai di ruangan Calix malah harus terlibat dengan teman lamanya, atau bisa di sebut sebagai orang sumber masalah dari tidak kebahagiaannya di Desa Yutaf ini.
"Hah, trio merah," gumam Cana dengan begitu lelahnya.
Satu orang temen lamanya, satu orang bisa di bilang keluarganya, dan satu lagi adalah pewaris dari keluarga Taza. Ketiga wanita yang suka sekali mengenakan baju tradisional dari beberapa negara dengan warna merah yang menyala. Tiga wanita yang selalu terlihat glamor dan memukau.
Pewaris Taza dengan rambut bobnya mulai mengangkat bibir dan bersuara, "Apa kau begitu sangat menyukai jalang Calie itu, bahkan kau sampai kemari hanya untuk menemuinya."
"Dia jarang bicara, tapi entah kenapa jika itu tentang kakaknya sendiri dia menjadi begitu bersemangat untuk mencaci. Bukankah Calie adalah kakak kandungnya," pikir Cana, hanya bisa diam dan mematung.
Jilid kedua tampaknya akan di buka oleh si cantik Yutaf dari keluarga Bingwen, Si Dewi Kecantikan. "Lucu sekali melihatmu menginjakkan kaki di sini," ucapnya dengan kipas lipat yang menutupi separuh wajahnya.
Itu kata yang cukup mudah dimengerti, tapi anehnya Cana menjadi terkejut karena orang yang seharusnya lebih banyak berceloteh malah diam sambil memperhatikannya. Wanita itu memperlihatkannya dari atas hingga bawah.
"Tampaknya.."
"Yo Cana!" pekik Zidan yang datang dari belakang tiga wanita tersebut.
Beruntung sekali, karena kedatangan Zidan telah membatalkan cacian dari Si Teman Lamanya itu.
Zidan menoleh ke arah ketiga wanita tersebut, dia tersenyum lebar. "Wow, Nona Pewaris Elis Taza, Nona Muda Vanessa Bingwen, dan Nona Aria Buana. Sungguh mengejutkan bertemu dengan kalian bertiga."
"Pewaris Rawi, Zidan Rawi." Aria tersenyum pahit. "Suatu kehormatan kehormatan bisa bertemu dengan Emas Yutaf."
Sungguh pemandangan yang langka, karena dua orang wanita yang tak pernah menundukkan pandangannya kini harus menundukkan kepalanya di depan Zidan yang ada di sampingnya ini. Cana merasa beruntung hari ini, haruskah ia merekamnya.
"Aku benar-benar terkejut saat mendengar kau di angkat menjadi Nona Buana. Oh iya kalau di pikir-pikir apa julukanmu..." Zidan berhenti untuk berpura-pura berfikir. "Ah iya, Jangkrik Buana bukan?"
Bisa dilihat jelas, raut wajah Aria semakin menghintam. Kali ini dia benar-benar di hina dengan cara yang baik. Apalagi orang yang berkata adalah seorang Pewaris, dia tidak akan bisa menang.
"Itu Belalang Emas Buana," cetus Elis tetap dengan pandangan lurusnya.
Kipas Vanessa mulai bergerak anggun. "Saya juga terkejut mendengarnya, kau naik menjadi Nona karena kehebatnmu. Aku jadi malu hanya karena aku naik menjadi Nona Muda karena ayahku adalah seorang Ketua."
"Ah tidak, tidak, kau tidak pantas bicara seperti itu. Vanessa kau pantas karena kau itu hebat dan bekerja keres untuk keluarga, kau adalah keindahan dari Bingwen." Aria mulai mengikuti drama mini ini.
"Terimakasih." Vanessa menutup kipasnya. "Bukankah ucapanmu tajam sekali Tuan Zidan Rawi. Seharusnya kau lebih mengingat orang-orang yang naik karena kehebatan dan bakatnya, bukan orang yang naik hanya karena salah satu keluarganya menjadi Emas Yutaf, dan buruknya orang itu tidak ada bakat apapun selain menyusahkan saja."
Cana yakin, kata-kata itu pasti untuknya. Ia benar-benar tidak tahu apa letak salahnya selama ini. Bahkan bernafas saja salah di mata mereka.
Aura tidak bersahabat dari Zidan mulai keluar. "Apa kau.."
"Tidak! Kita harus cepat," pekik Cana tiba-tiba menyeret Zidan pergi.