Chapter 2 - BAB 2

"Arriena, jangan menyerah!"

Suara Leah membuyarkan ketegangan yang melingkupi arena duel, membangunkanku dari keadaan yang hampir limbung.

"Kalau kamu kalah, jangan harap lagi aku akan berbagi telur orak-arikku denganmu!" Ancamannya terdengar seperti kilat menyambar, membuat darahku langsung berubah jadi sirup maple saat mendengarnya.

Ya ampun, telur orak-arik buatan Leah itu memang legend! Dalam situasi genting seperti ini, itu adalah taruhan yang benar-benar membuatmu merenung, apakah berjuang demi kemenangan, atau demi sepiring telur orak-arik yang legit!

Seketika aku tersadar kembali, aku tidak boleh berbaring pasrah dan mengharapkan 'pingsan' sebagai penyelamat ku. Aku tidak boleh dipandang sebagai pecundang oleh ratusan mata yang menonton dengan pandangan tajam seperti belati. Mereka, saksi dari kelemahanku. Mereka memandang betapa payahnya aku.

Detik itu juga, aku mengeluarkan sebuah mantra yang sebenarnya belum aku kuasai penuh, selama ini aku hanya berlatih sendirian di rumah, terkadang berdua dengan sahabat kecilku, Isaac.

"Arriena, bangkitlah!" Aku berbisik pada diriku sendiri, memanggil keberanian yang terpendam di dalam hati.

Waktu terasa lambat.

Tanpa ragu lagi, aku menggenggam erat tongkat sihirku, merasakan energi yang mengalir deras di dalamnya. Mantra yang pernah aku pelajari di tengah malam gelap, sekarang menjadi senjata terakhirku.

"Jangan meremehkan ku," bisikku pada golem, dengan nada yang penuh dengan ketegasan.

"Ignis ...,"

"Elementum,"

"SIMULATIO FLAMMA!!"

Saat aku merapalkan mantra tersebut, golem itu terlihat menjadi terbakar lentur oleh api magis yang tercipta.

Aku mengarahkan tongkat sihir ku tepat di bagian ulu hatinya, meski aku yakin bahwa golem tidak mungkin memiliki bagian semacam organ dalam, namun aku tetap berharap itu ampuh untuk meruntuhkan nya menjadi kepingan batu tipis atau bahkan menjadi butiran debu yang terbakar.

Sengaja aku merapalkannya dengan bertahap, agar fokus ku dalam memberikan serangan menjadi lebih intens. Setiap kata yang terlontar, seperti pukulan yang mematikan, mengirimkan gelombang panas ke arah musuh.

Mantra itu adalah 'Ignis Elementum, Simulatio Flamma' yang berarti 'Elemen Api, Tirukanlah Dalam Kebakaran'.

Saat api magis menyelimuti golem, aku bisa melihatnya terbakar lentur, menyiratkan kelemahan yang tak terbantahkan di balik lapisan batunya yang kokoh.

Namun, aku tidak puas dengan sekadar melihat golem terbakar. Dengan kecepatan yang membuat mata terbelalak, aku melompat maju, memberi jarak untuk memperkirakan serangan selanjutnya.

Dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa, aku melompat ke depan, menjauh—memberi jarak—kemudian aku mengeluarkan sebilah pedang dengan ukiran yang khas—naga merah yang menyala—pedang itu muncul dari cincin batu giok yang aku kenakan di jari tengah.

Pedang ajaib milikku siap untuk melancarkan serangan pamungkas pada golem yang terluka parah itu. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

"Ini akan menjadi yang terakhir, aku janji."

Dalam sekejap, golem itu runtuh dan hancur, meninggalkan hanya puing-puing yang mengepul dari tanah.

Nafasku tidak karuan, golem itu cukup kuat ternyata untuk bertahan—padahal tampangnya seperti makhluk besar idiot tanpa otak yang lemah.

Aku melihat Leah, serta gadis berambut ikal dengan poni lurus itu terkejut melihatku yang mampu mengeluarkan mantra dengan elemen api yang begitu dahsyat.

Jangankan mereka, aku pun terkejut, bagaimana bisa aku mengeluarkan mantra api melebihi batas kemampuanku?

Namun, sedikit kebanggaan menyeruak dalam hati, aku tersenyum tipis.

Segera aku keluar dari arena, hal yang tidak disangka-sangka adalah

... aku mendapatkan tepuk tangan dari berbagai sudut penonton atau siswa lain di sekitar yang memuji atas kemenanganku melawan golem.

Meskipun sempat merasa puas, aku tetap merasa rendah hati dan sadar bahwa aku hanya melaksanakan tugas sebagai seorang calon siswa di akademi tersebut.

Aku segera menghampiri Leah, menebak apa yang akan terjadi, aku tahu Leah akan bertanya banyak, jadi ku pikir aku harus membual saat menjawab pertanyaannya.

"Hei, Arriena! Aku sangat senang melihatmu menang melawan golem itu! Kemenangan yang luar biasa!" kata Leah dengan antusias.

"Apa elemen dasar mu, api? Tapi setahuku elemen dasar mu adalah angin."

Aku balas dengan tersenyum, "Terima kasih, Leah. Dan terkait dengan elemen sihirku, sebenarnya aku lahir dengan bakat alami untuk mengendalikan elemen api. Tapi aku juga telah berlatih keras setiap hari untuk memperkuat kemampuan sihirku."

Jelas sekali aku berbicara dengan penuh kebohongan, apa yang di ucapkannya benar, elemen asliku adalah angin. Ada kejanggalan yang terasa disini, semua calon penyihir memang bisa untuk menggunakan semua sihir elemen, namun tidak untuk menguasainya.

Contohnya, seperti aku. Elemen dasarku adalah angin, namun, aku masih mampu untuk menggunakan elemen api atau air tapi tidak sempurna, seperti yang aku bilang di pertengahan duel, aku belum bisa menguasai, karena aku bukan ahli. Ini jelas sebuah paradoks yang menyelinap di balik kekuatan sihirku.

Namun, yang membuatku terkejut adalah saat aku merapalkan mantra itu, hasilnya justru sangat memuaskan. Api magis yang tercipta begitu kuat dan mempesona, seolah mengabaikan keterbatasan yang kurasakan sebelumnya.

Entah itu keberuntungan atau mungkin nasib yang berpihak padaku.

Tentu saja, ini menimbulkan pertanyaan dalam pikiranku. Bagaimana mungkin aku bisa melontarkan sihir api dengan begitu lancar dan kuat, padahal aku belum sepenuhnya menguasainya?

Bahkan mustahil bagi si elemen angin mampu menguasai elemen lainnya.

Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Rasanya seperti ada kekuatan lain yang bekerja di balik layar, mendorongku untuk melepaskan sihir dengan begitu sempurna.

Aku mengalihkan pandanganku, melihat Leah yang terdiam.

Tak lama kemudian dia berkata dengan nada lelucon, entah apa maksudnya. "Jadi, apakah kamu punya kemampuan untuk memanggang marshmallow di atas tanganmu tanpa terbakar?" ucapnya mengundang gelak tawa.

"Elemen dasar mu api, kan? Seharusnya kau tidak dapat merasakan api tersebut yang berkobar di telapak tanganmu." lanjutnya mengedipkan sebelah matanya.

Aku berpikir sejenak, langsung memainkan kata-kata seperti Leah meski sebenarnya aku kurang paham dengan selera humor miliknya, "Sayangnya, kemampuan ku hanya sebatas memanggang musuh yang ingin merusak kecantikan kita tanpa terbakar."

Aku tidak yakin ada tangan manusia yang kuat untuk menampung api selama proses memanggang marshmallow.

***

Baiklah, setelah melewati waktu yang cukup lama, akhirnya ... giliran siswa terakhir untuk simulasi duel tiba!

Bokongku sudah cukup panas hingga mengeluarkan uap saking lamanya menunggu. Mungkin aku bisa mendirikan sauna di sini!

Hum, dia tampak bersemangat sedari awal—seperti aku—Pemuda blonde itu kemudian bergabung dalam arena yang sudah berisi golem di dalamnya. Aku bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya akademi ini menyimpan berapa banyak golem untuk kita taklukkan? Atau mungkin akademi ini sedang berencana untuk membuat spesies golem punah dari peradaban, ya? Tapi ya, who knows, toh golem itu cuma makhluk besar tanpa akal—beneran, mereka tuh gak ada otaknya, absolutely clueless!

Mereka seperti lelucon besar, makhluk bodoh yang hanya menghabiskan tempat.

Leah sungguh beruntung, dia tidak sepenuhnya harus mengikuti tes. Peranannya hanya sebatas membuat laporan untuk data, sebuah tugas yang diberikan kepada OSIS di Melldfy's Academy.

Lihatlah dia, sedari tadi hanya mencatat dan mencatat, memperhatikan arena—kemudian mencatat lagi. Dia seperti bangga menggandeng pena dan buku catatannya, sambil seolah berkata, "Kalian berjuang, aku mencatat! Hey, ada yang butuh minum atau camilan?"

Ah, beruntungnya Leah! Dia seperti seorang mata-mata yang berkeliaran di tengah-tengah pertempuran sengit, sementara kita semua harus bertarung dengan nyata! Aku hampir bisa membayangkan Leah duduk di meja kerjanya, mengetik dengan antusias sambil mengirim senyum kemenangan ke arah kita yang berkeringat dan kelelahan di arena.

Leah adalah senior sekaligus temanku, dia 2 tahun lebih tua. Juga lebih berpengalaman dariku.

Aku melihat pria blonde itu menyerang golem terlebih dahulu, sangat ku akui nyalinya, dia benar-benar berani.

Duel berlangsung semakin seru dan kejam! Kalian harus melihatnya—membayangkan saja, deh—dan kalian dilarang keras menutup buku ini.

Wow, pemuda itu benar-benar mengagumkan! Dia bergerak dengan begitu gesit dan penuh pengalaman. Dan ya, aku harus mengakui, dia juga cukup tampan—menggoda lebih tepatnya—uhumm.

"Jangan bermain-main denganku golem tanpa suara! Kau hanya mengaum aneh sedari tadi." ucapnya sembari menaiki sapu terbang nya dengan lihai.

Tidak hanya aku dan Leah, bersama dengan siswa lainnya kami menonton dengan serius di samping arena, pemuda itu mempertaruhkan kekuatannya melawan Golem.

Di detik-detik terakhir dengan golem yang hampir berhasil menang, pemuda itu memberikan serangan terakhir yang membawa golem ke ambang kekalahan.

"Bukankah ini terlalu bertele-tele makhluk besar yang bodoh, kita menghabiskan waktu. Mari segera kita akhiri." ucapnya sembari menghindari sihir yang dilemparkan oleh golem tersebut.

"Lux In Tenebris!" serunya gemilang, menyulut sorakan histeris yang mencapai telingaku dengan kerasnya, hingga gendang telingaku berdentum riang.

Tsk, payah, lebay sekali mereka.

Tapi, aku harus mengakui, dia punya gaya. Tapi, hei, telingaku hampir meledak mendengar teriakan itu. Aku nyaris memberi tonjokan kecil kepada gadis di sebelahku sebagai pelampiasan. Hehe, untungnya aku masih bisa menahan diri.

Fokus ku kembali ke arena, terlihat pemuda itu menerjunkan kekuatan cahaya ke arah golem sehingga menimbulkan ledakan cahaya yang begitu terang dan kuat.

Para siswa menahan napas mereka ketika pemuda itu menciptakan sebuah mantra yang kuat dan melemparkannya ke arah golem.

Mantra tersebut melintas dengan kecepatan tinggi, menyerang ketika golem berusaha untuk menyerang balik. Setelah mantra tercapai, golem itu meletus dalam cahaya bercahaya, meninggalkan fragmen batu kecil di tanah.

Pemuda itu kemudian turun kembali ke arena dengan senyum di wajahnya, para calon siswa-siswi berteriak-teriak memberikan ungkapan selamat dan tepuk tangan meriah untuknya. Jelas, aku dan Leah turut bangkit untuk bergabung dengan para siswa-siswi dalam memberikan apresiasi atas aksi yang hebat tadi.

"Woah! Good job, anak muda!" serunya dengan antusias. Aku menoleh ke samping dengan marah akibat sorakannya yang begitu keras, tapi jaraknya terlalu jauh untuk meninju orang itu. Baiklah, sepertinya aku harus menahan diri—lagi pula yang berteriak sebegitu kencang itu adalah seorang profesor! Siapa sangka dia bisa seantusias itu?

Namun tak berangsur lama, para siswa-siswi merasakan arena yang tiba-tiba gelap dan mencekam. Aura yang kuat dan menakutkan mengisi seluruh arena, seperti itu datang tiba-tiba entah dari mana.

Sadar, kami merasa dingin dan takut melihat tatapan Profesor Damiel yang tajam dan menusuk. Beberapa siswa bahkan sempat menggigil karena aura yang menakutkan tersebut.