Di tengah teriknya siang hari, masih di hari yang sama, Dean berjalan keluar dari minimarket sambil menenteng sebuah tas kresek plastik penuh makanan yang kemudian diikatkan pada stang sepeda, lalu kembali ke rumah.
Selama perjalanan pulang, ia tidak bisa berhenti memikirkan ingatan di dunia ini. Ia merasa bersalah atas apa yang sudah 'dirinya' lakukan kepada Maya selama ini. Ia merasa muak dan jijik. Karena itulah, sudah ditetapkan di hatinya kalau ia ingin mengubah alur kehidupan ini.
Dean akhirnya tiba. Setelah meletakkan sepedanya di samping rumah, ia masuk dari pintu depan.
Di ruang keluarga, terlihat Maya duduk di sofa bersantai sambil menonton acara televisi.
Hanya dengan melihat Maya, hati Dean langsung terasa panas. Tapi niatnya sudah teguh, ia ingin memperbaiki semuanya.
"Oi, Ya! Sini deh." panggilnya masih berdiri di pintu depan.
Panggilan tersebut terdengar oleh Maya. Segera saja ia beranjak dari sofa dan berjalan mendekati Dean.
"Ada apa, kak?"
Hatinya semakin bergejolak. Tapi demi apapun, dia harus dapat menahannya.
"Oh, ini aku bawakan jeli ama permen kesukaanmu."
Ia pun mengambil sebungkus besar jeli dan permen lalu memberikannya kepada Maya.
Maya terdiam sesaat ketika melihat pemberian Dean tersebut sebelum akhirnya diterima.
"Terima... kasih." ucapnya pelan.
Untuk sesaat, Maya hanya bisa termenung sebelum akhirnya pergi menuju dapur dan memasukkan barang tadi ke dalam kulkas. Dengan langkah sedikit berlari, ia segera mematikan televisi dan masuk ke kamarnya.
"Yah, akhirnya beres juga. Tapi, masalah aslinya bakalan muncul entar malem."
Lantas, beberapa minuman yang ia beli dimasukkannya ke dalam kulkas. Sementara beberapa jajan ia bawa masuk ke kamarnya.
Malam harinya sekitaran pukul 12 tengah malam, di kamar Dean. Hanya bercahayakan lampu tidur, ia bermalas-malasan sambil memainkan ponsel di atas kasur memakai celana boxer dan kaos coklat.
"(Ada PR gak ya? Bodolah, besok nyontek aja.)"
Ia pun bangun dari tempat tidur dengan malasnya seperti koala, dan men-charge baterai ponselnya.
Suatu peristiwa yang akan mengubah takdirnya akan dimulai sebentar lagi. Bahkan, mungkin saat ini 'sesuatu' itu sedang berada tepat di balik pintu kamarnya yang tertutup.
Dari arah luar, terdengar suara ketukan pintu kamarnya lirih.
*Tok... Tok... Tok...
"Masuk."
Pintu itu sedikit terbuka, memperlihatkan Maya yang mengenakan setelan piyama putih bergambar beruang teddy. Ia mengintip dari celah pintu, lalu berjalan masuk dan langsung mengunci pintu kamar. Perlahan, ia mendekati Dean yang terlentang di atas kasur dengan kedua lengan yang ditekuk sebagai bantalan.
"Baik, aku mulai ya, kak."
Tiba-tiba Maya menduduki 'bagian bawah' Dean. Bibir merahnya mendekati wajah Dean sampai-sampai hembusan nafas hangat dapat ia rasakan.
Sekuat tenaga ia lawan hawa nafsu di hatinya. Namun ternyata hal itu lebih berat dari dugaan, karena bukan hanya nafsunya saja, tubuhnya juga tidak bergerak sesuai keinginannya.
"(Sial! Kenapa ini?! Tubuhku... gak bisa gerak!)"
Tekad bulat sudah terpatri di hatinya, dan pada detik-detik terakhir itulah akhirnya ia mulai bisa bergerak. Kedua tangannya segera mendorong pundak Maya dengan sangat kuat hingga membuat posisi mereka bertukar.
Keringat bercucuran dari wajah Dean, nafasnya bahkan juga tak karuan saat ini. Kelihatannya melawan 'dirinya sendiri' dari dunia ini memang lebih susah dari perkiraannya.
"To-tolong jangan terlalu kasar."
Maya pun membuka satu per satu kancing piyamanya sembari menutup matanya ketakutan.
Melihat itu, Dean pun segera menghentikan Maya dengan menahan kedua tangannya.
"Maya, dengerin gue sebentar. Oke?"
Maya hanya bisa mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Badan Dean yang semula menindihnya pun segera menyingkir dan duduk di pinggir kasur, sementara Maya juga ikut duduk di sampingnya dengan beberapa kancing baju yang masih terbuka.
"Kenapa, kak? Apa kau tidak ma-"
"DENGARKAN AKU DULU!"
Maya pun kaget dan langsung menaruh wajah murungnya ke bawah. Ia takut kalau harus kena marah lagi.
"Sial, maafin gue yang barusan."
"Tak apa, kau memang berhak memarahiku."
Keduanya terdiam beberapa saat diiringi rasa canggung, hanya terdengar suara detakan jarum jam yang memecah kesunyian malam di kamar.
Di dalam benak Dean, ia mencoba merangkai kalimat yang cocok namun terus gagal. Ia pun mengambil sebuah nafas yang amat panjang, lalu menghembuskannya perlahan melalui mulut. Digaruk rambutnya yang tidak gatal lalu berkata.
"Gue... nggak pintar ngomong jadi langsung aja ke intinya. Gue pengen minta maaf."
"Minta maaf? Kenapa?" tanya Maya bingung.
"Gue minta maaf... atas... perbuatan bejat yang gue lakuin selama ini." jawabnya sambil menahan rasa malu yang tak terbendung di lubuknya.
Apa yang dilakukan Dean pada momen ini merupakan sebuah perubahan besar dalam kehidupannya. Arah takdir sudah berubah 180 derajat.
Maya terkejut mendengar pengungkapan tersebut. Wajahnya perlahan memerah dan ia tundukkan kepala karena saking malunya. Diremas kedua lututnya dan tanpa ia sadari, air mata bahagia menetes membasahi piyama.
"Aku... Aku..."
"Gue tau kalo nggak semudah itu buat dimaafin. Tapi-"
Tiba-tiba saja, Maya langsung memeluk Dean dengan cepat hingga membuat badannya terjatuh ke atas kasur.
"Aku tidak peduli kalo kakak berbohong! Tapi... tapi... tetep aja, itu... itu..."
Maya tak kuasa untuk menyelesaikan kalimatnya karena harus menahan air mata yang akan keluar.
Melihat tingkah Maya, Dean pun tersenyum sambil membelai lembut rambut Maya seraya berkata.
"Tidak apa-apa. Lepaskan saja."
Maya seketika menangis sejadi-jadinya seperti bayi sambil memeluk Dean sangat erat.
"Sudah, sudah, berhenti menangis. Entar Ibuk kalo denger susah jelasinnya." bisik Dean masih mendekap Maya.
"Aku... Aku tidak peduli! Biarkan!"
Namun usahanya tersebut gagal begitu saja. Setelah hampir lima menit berlalu, Maya akhirnya sudah tenang dengan sendirinya. Ia dongakkan kepalanya lalu berkata.
"Hei, boleh aku tidur semalam disini?"
"Ngg- Baik, baik, malam ini doang."
Dean ingin menolaknya namun melihat bagaimana Maya masih melekat badannya, dia lantas mengiyakan.
Mendengar jawaban tersebut, Maya lalu mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Dengan lengan Dean sebagai sandaran, perlahan ia pun menutup matanya dan tidur. Di sisi lain, Dean sendiri malah merasa agak sempit karena kasurnya sendiri yang memang hanya muat untuk satu orang.
Alangkah kagetnya Dean saat ia merasa ada sebuah ganjalan yang terasa empuk di badannya.
"Oi, Ya. Lo gak pake daleman?! Maya?"
Maya tidak menjawab pertanyaan tersebut. Benar saja, Maya sudah tertidur pulas dengan senyum kecil menghiasi wajahnya.
"Astaga! Nih anak malah tidur, anjir!"
Karena merasa tidak enak jika membangunkannya, pada akhirnya ia mengacuhkannya dan lebih memilih untuk tidur. Rasa kantuk pun mulai melahap kesadaranmya secara perlahan sebelum akhirnya ia terlelap.
Hari yang baru pun dimulai, alarm ponsel Dean berbunyi dengan sangat kencang hingga membuat pemuda itu bangkit dari efek gravitasi kasur untuk cepat-cepat mematikan alarmnya. Maya yang kemarin tertidur di atasnya juga sudah bangun terlebih dahulu seperti biasa.
Sambil mengucek matanya yang masih berat, dilihatnya jam ponsel yang menunjukkan pukul 06:05. Dengan pakaian yang terasa lembab, ia pun berjalan keluar dari kamarnya yang berantakan.
"Pagi, kak!" sapa Maya dengan senyum riang.
"Oh, pagi." jawabnya malas sambil meluruskan kedua lengannya ke atas yang diiringi dengan suara menguap yang panjang.
Sementara itu di Batas Semesta, Io yang duduk bersandar di pohon sedang memerhatikan langit keemasan. Dengan wajah puas, ia berkata pada dirinya.
"Lawanlah dunia, lawanlah takdir, bahkan lawanlah diri kalian sendiri. Aku tau kalian dapat melakukannya."