"Gar, kamu sakit jiwa? Apa kamu tahu ruangan itu setidaknya perlu 220 juta lebih? "seru Sekar sembari memelototi Tegar.
"Iya, jangan bilang kamu tidak tahu standar biaya di Hotel Star Palace?" Air muka Dony saat ini sudah berubah suram. Dia sama sekali tidak menyangka Tegar akan memesan ruangan VVIP. Jangankan ruang VVIP, ruang VIP saja dia tidak mampu-mampu amat!
Ekspresi manager cantik juga berubah. Dia tidak menyangka yang benar-benar kaya bukanlah Dony, Melainkan Tegar yang berpenampilan sangat sederhana.
Mengamati Tegar dengan kebingungan. Dia tidak mengerti kenapa Tegar yang selalu pelit bisa berubah sedemikian rupa, seolah bukan Tegar yang sama lagi.
"Gar, kamu mampu mengeluarkan uang sebanyak itu?" tanya Firga.
"Tentu saja mampu, Aku malah khawatir
Dony yang tidak mampu." Tegar menjawab dengan enteng.
Dony tertegun sesaat mendengar perkataan Tegar.
"Oke, bukankah hanya ruang VVIP? Mana mungkin aku tidak mampu? Kalau memang Tegar mau, ya sudah, yang itu saja!" Dia lalu menimpali tanpa ragu-ragu.
Dony benar-benar terlalu terbawa gengsinya sendiri. Dia malu mengatakan kalau dirinya tidak punya uang, jadi hanya bisa nekat mengiyakan.
Manager hotel pun segera membimbing rombongan Tegar memasuki ruangan VVIP dengan hati senang.
"Gar, kamu serius mau traktir kita makan disini?" nada bicara Arum pada Tegar saat ini sudah agak berubah. Sepasang mata indahnya terus mengamati Tegar.
"Tentu saja. Pesan saja apa pun yang kalian ingin makan," jawab Tegar.
Mendengar perkataan Tegar, mereka pun mulai memesan tanpa bepikir.
Dony yang masih tidak terima, langsung memesan sebotol wine seharga dua belas juta lebih. Yang lebih mengejutkannya adalah Tegar bahkan menambahkan sepuluh botol lagi!
Itu berarti biayanya bertambah seratus lima puluh juta lebih. Ekspresi wajah Dony pun serba salah. Jelas, itu karena dia tahu uangnya tidak mungkin cukup untuk membayar semua ini.
"Dony, ekspresimu kelihatan serba salah? Mulai merasa tidak rela?" Tegar bertanya pada Dony.
"Haha! Hanya seratus juta saja, enteng!" jawab Dony terbata-bata. Dia kemudian melihat ponselnya sesekali, tampak ingin mulai meminjam uang.
Teman sekelas lainnya sudah tidak peduli apakah Tegar dan Dony bisa membayar atau tidak, yang pasti bukan mereka yang akan membayar.
Widi yang duduk di sebelah Dony juga mulai serba salah. Dia tahu uang Dony tidak cukup untuk membayar semua ini. Kalau Tegar mampu membayar pun, pasti akan menghabiskan semua uangnya.
Menghabiskan semua uang demi gengsi, apakah pantas?
Memikirkan hal ini, tatapan Widi terhadap Tegar semakin menghina.
Dia merasa Tegar seharusnya tidak perlu beradu dengan anak orang kaya seperti Dony. Bisa menang sekali pun tidak dapat mengubah kenyataan kalau Tegar itu orang miskin.
Dua jam kemudian, setelah semuanya selesai makan, teman-teman mulai menoleh kearah Tegar dan Dony. Mereka mulai khawatir kedua orang tersebut tidak mampu membayar.
Manager cantik itu menghampiri Tegar dan Dony dengan lenggak lenggok manisnya, lalu berkata perlahan,
"Bos-bos muda, biaya untuk ruangan ini adalah 220 juta, dan untuk 11 botol wine harganya 156 juta, jadi total semuanya 376 juta. Anda mau membayar dengan uang tunai atau dengan kartu?"
Tiga ratus tujuh puluh enam juta?
Semuanya mendesis tidak percaya ketika mendengar nominal tersebut. Mereka tidak menyangka makan-makan kali ini begitu mahal.
Dony menatap manager hotelitu dengan terbengong. Totalnya 376 juta, setengahnya berarti 188 juta. Dony sama sekali tidak punya uang sebanyak itu!
Di saat semuanya masih dalam keterkejutan, Tegar menyodorkan sebuah kartu dari sakunya ke hadapan manager cantik dan berkata, "Pakai kartu!" Jawab Tegar dengan tenang.
"Ba... baik!" Managercantik sepertinya tidak menyangka Tegar akan begitu murah hati. Membayar uang sebanyak tiga ratus tujuh puluh enam juta tanpa ragu.
"Namun, aku hanya membayar setengahnya saja. Sisanya akan dibayar oleh dia." Tegar berkata sambil menunjuk Dony ketika manager cantik hendak pergi.
Teman-teman lainnya pada menatap Tegar dengan mata terbelalak, di sertai dengan ekspresi terperanjat. Mereka sungguh tidak menyangka Tegar benar-benar membayar 188 juta tanpa berpikir dua kali.
Sementara Dony, dia hanya terdiam dan berkeringat dingin di tempatnya tanpa tahu harus berbuat apa.
"Baik." Manager cantik itu mengangguk kecil, lalu bertanya pada Dony, "Bos, anda mau membayar dengan uang tunai atau kartu?"
Dony merasa pikirannya seketika kosong begitu mendengar pertanyaan tersebut.
Meskipun dia tahu biaya makan hari ini tidak sedikit dan diam-diam sudah meminjam uang 70 jutaan dari temannya, tetapi dia tidak menduga totalnya mencapai 376 juta lebih!
"A... Aku telpon orang dulu." Dony menjawab dengan terbata-bata, lalu mengambil ponselnya dan mulai menelpon.
Sebelum kemari, tidak seorang pun dari mereka yang menyangka kalau orang yang tak mampu membayar bukanlah Tegar, melainkan Dony.
Beberapa saat kemudian, manager cantik kembali ke sisi Tegar dan mengembalikan kartu bank nya, "Bos, pembayaran Anda sudah selesai."
"Oke." Tegar mengangguk dan langsung beranjak keluar dari ruangan.
Dia tidak peduli apakah Dony mampu membayar tagihan hari ini atau bagaimana dia akan membayar.
Melihat Tegar beranjak keluar, Sandy, Dani dan Sekar segera mengikuti.
"Gar, tunggu!" Johan memangil setelah keluar ruangan.
"Kenapa, Sandy?" Tegar menoleh ke Sandy dan bertanya dengan berseri-seri.
"Kamu dapat uang dari mana sebenarnya? Apakah kamu terlalu tertekan karna putus dari Widi?" tanya Sandy dengan bingung.
"Ini tidak ada hubungannya dengan Widi " Tegar menjawab dengan tertawa kecil. Dia melanjutkan, "Aku menang lotre dua hari lalu, jadi aku punya sedikit uang." Tegar tidak berniat membeberkan identitasnya, jadi dia pun sembarangan mencari alasan.
"Ternyata begitu," Sekar mengangguk mendengarkan dan bertanya lagi,
"Tapi, susah payah kamu menang lotre, kenapa tidak menggunakan uang ini untuk membeli pakaian yang lebih bagus atau melakukan sesuatu yang lebih bermakna? Sungguh tidak pantas dihabiskan untuk mentraktir kami semua makan."
"Aku tidak berpikir sebanyak itu," jawab Tegar.
"Pantas saja kamu punya uang untuk mentraktir kita makan disini," ujar Dani.
"Apakah kalian ada keperluan lain? Kalau tidak, aku mau pulang dulu," Tegar takut dirinya akan keceplosan kalau terus mengobrol dengan mereka.
"Oh, iya! Nomor Whattsapp kamu berapa? Di kelas kita ada grup Whattsapp, hanya kurang kamu seorang di dalamnya. Aku masukan kamu ke grup, ya!" ujar Sekar mengeluarkan ponsel Iphone terbaru dari dalam sakunya.
"Ehh..." Tegar tertegun sejenak dan menjawab tak berdaya, "Ponselku yang sekarang belum bisa Whattsapp. Tunggu besok setelah aku mengganti ponsel baru, ya!" jawab Tegar. "Oke!" Sekar mengangguk.
Tegar lalu berjalan keluar dari hotel. Sandy dan Dani ditinggal di belakang masih agak curiga. Walaupun tadi Tegar menjelaskan kalau dia menang lotre, tapi mereka tetap merasa Tegar yang sekarang berbeda dari Tegar yang kemarin.
Di sisi lain, Dony dan Widi yang masih duduk di dalam ruangan sudah menelpon hampi semua temannya. Tetapi tidak satupun yang dapat meminjamkan uang padanya.
Melihat Dony tidak punya uang, manager hotel langsung menyuruh petugas keamanan untuk berjaga di ruangan tersebut.
"Sayang, cepatlah pikirkan solusi!" ujar Widi dengan panik sambil melihat satpam yang mengawasi mereka.
"Aku akan menelpon ayahku untuk mengirimkan uang." Dony menjawab dengan tak berdaya.
"Aku ke toilet dulu kalau begitu." usai berkata demikian Widi langsung keluar ruangan.
"Aku juga..." Dea dan Arum juga takut Dony akan meminjam uang dengan mereka, jadi mereka pun ikut keluar dari ruangan.
Setelah memasuki toilet, Dea mulai memperbaiki riasannya di depan cermin. Sesaat kemudian ketika mereka hendak keluar dari toilet.
"Plaakk!" Saat ini seorang pria berambut pirang menepuk b****g Sinta, lalu bertanya girang.
"Hei cantik. mau minum bersama kami?"
Penampilan Widi hari ini sangat seksi. Setiap pria yang normal pasti akan melirik ke arahnya.
Widi yang bokongnya ditepuk, langsung melayangkan satu tamparan pada orang tersebut,
"Dasar tak tahu diri! Mau mengajakku minum? Memangnya kamu pantas?" Dia berseru sambil melotot.
Sejak berpacaran dengan Dony, Widi menjadi sangat emosional. Kejadian Tegar hari ini membuat suasana hari Widi menjadi buruk.
Pria yang di tampar itu segera terbengong sesaat. Lalu mengumpat, "Dasar jalang! Berani-beraninya kamu menamparku?"
"Aduuhh!"
Belum selesai menyelesaikan umpatannya, pria itu menjerit dan menutupi area selangkangannya.
Saat pria itu lengah tadi, Widi segera menendang selangkangan pria itu dengan sepatu hak tingginya.
"Lain kali berhati-hatilah saat diluar. Tidak semua orang dapat kamu singgung!" Widi berseru tanpa berekspresi, lalu segeran pergi meninggalkan toilet.
"Ingin mengajak Widi minum? Dasar berengsek! Sama menjijikan seperi Tegar.
Dea mengejek pria itu, kemudian mengikuti di belakang Widi menjauhi toilet.
"Dasar tiga wanita sialan! Awas saja kalian!" Pria berambut pirang berjongkok di lantai dengan kesakitan sambil mengumpat.
Widi dan dua sahabatnya sama sekali tidak mengindahkan gertakan pria tersebut dan langsung bergegas kembali memasuki ruangan.
Sesampainya di dalam ruangan, Widi samar-samar mendengar omelan dari ayahnya Dony. Hari ini membuat suasana ruangan menjadi sangat serius, dan tidak ada yang berani bersuara.
Widi tau suasana hati Dony saat ini sedang buruk. Jadi, dia pun tidak mengungkit tentang pelecehan yang dia alami di toilet.
Sekitar setengah jam kemudian, ayah Dony tiba di hotel.
Dony segera menyapa begitu melihat ayahnya, "Ayah, kamu sudah datang?"
"Plak!" Pria paruh baya itu langsung melayangkan tamparan ke wajah dony dan mengomel.
"Berengsek! Kamu kira kamu itu siapa? Makan saja sampai menghabiskan 188 juta! Lihat saja bagaimana aku akan memberimu pelajaran sepulang nanti!" Teman sekelas menatap Dony dengan tak berdaya. Setelah sekian lama mengenal Dony, mereka belum pernah melihat Dony Semalang ini.
Dony yang ditampar oleh sang ayah di depan pacar dan teman sekelasnya tentu merasa luar biasa malu.