Angin berhembus sayu, meliuk diantara rumput mendayu-dayu. Diujung angkasa terlihat seorang wanita, tersenyum hangat bagai ibu yang hendak membukakan pelukan. Seorang anak kecil lugu terdiam, lalu ia berlari menghampiri dekapan. Langkah kakinya menghilang, rumput rumput menutupi bayangannya.
Beep beep- beep beep-
Terdengar suara alarm berbunyi.
"Ugh...Jam sialan- huh, HUH??? Sial sial sial! Aku akan terlambat!". Jam "sialan" itu telah menunjukkan pukul 9 pagi.
Menyiapkan baju, menyiapkan sarapan, mandi, memakai baju, menyisir rambut bob berwarna gradasi senja-nya , dan memakan sarapannya, semuanya ia lakukan secara terburu buru. Ia tidak bisa terlambat melapor absensi setelah mendapat teguran dari bosnya sebanyak tiga kali, atau dia akan dipecat dari pekerjaannya yang baru ia jalani selama 4 bulan tersebut. Tak lupa ia memakai lipbalm andalannya, memakai kacamata, dan membawa kartu tanda pengenalnya.
Pok pok pok
Ia menampar-nampar pipinya sendiri secara halus.
"Huff...kunci rumah, cek. Pistol, cek. Deodorant cadangan, cek. Oke...Detektif Estelle Foster, siap bekerja!" Sayangnya ia lupa mematikan radio dikamarnya yang ia tinggalkan menyala semalaman.
Ia tinggal di apartemen yang, sayang sekali, minim akan perawatan. Jadi, walau apartemennya itu memiliki lift, fasilitas tersebut hampir tidak pernah bisa dipakai dan hanya tuhan dan pemilik apartemen yang tahu alasan dibalik itu. Mau tidak mau, ia harus selalu berlari menuruni 7 lantai lewat tangga spiral yang terlihat suram dan mencekam apalagi saat malam tiba. Belum sampai di kantornya tapi ia sudah kehabisan nafas duluan.
Untungnya, Estelle memilih apartemen yang sekiranya dekat dengan kantornya. Walau kehabisan nafas, ia tegarkan tekad dan terus berlari menuju kantornya. Tak lepas ia sembari melihat-lihat sekitar. Terlihat gedung gedung yang cukup indah dengan gaya arsitektur Italianate. Para pengantar surat mulai berkeliling sambil melihat-lihat alamat, para lansia berjalan-jalan pagi sambil membawa anjing peliharaan mereka, burung-burung merpati berterbangan diikuti oleh pekerja korporat dengan wajah cetus mereka, Mobil-mobil dengan klakson mereka berlalu lalang. Matahari bersinar terang, sungguh hari-hari sibuk yang indah di kota "kesayangan" para penduduknya, Carrasco.
Carrasco adalah Ibukota dari negara Edia, negara yang terkenal akan hukum dan keadilannya. Atau, begitulah kata orang. Setelah berlari-lari bak orang yang sedang dikejar setan, Estelle pun tiba di kantornya. Sotto La Verità, agensi detektif swasta yang konon katanya pernah memecahkan salah satu kasus pembunuhan paling fenomenal di seluruh antero Edia. Kantornya berpusat disini, di bangunan ruko yang sekarang ini Estelle lihat, tepatnya di lantai 2. Setelah mengambil nafas dan duduk sebentar di tepian trotoar, ia pun berjalan menuju ke kantor melalui tangga yang terletak disamping ruko tersebut. Setelah mengorbankan seluruh tenaga dan ambisi untuk mencapai kantor yang payah itu, ia masih terlambat 10 menit.
...
"Ini sudah keempat kalinya kau terlambat, Estelle." Keluh sang bos yang duduk di meja kerja kesayangannya sembari meminum kopi hangat dan membaca koran.
"Ughhh... Saya minta maaf..." Estelle hanya bisa berdiri terdiam sambil mencoba mengontrol nafasnya.
"Sigh... Sana, minum dulu. Saya tidak mau kau tergeletak lemas disini. Setelah itu, lanjutkan tugas yang saya berikan kemarin." Ujar sang bos, mengisyaratkan kesempatan bagi Estelle untuk tetap melanjutkan pekerjaannya lagi.
".... B-baik. Terimakasih, Pak Vittorio."
Glug glug
"Pwah, segarnya~!" Estelle terduduk lelah di kursi area lounge sambil meneguk minuman yang ia beli dari Vending Machine di kantornya. Setidaknya, kali ini ia hanya terlambat 10 menit dan bosnya masih bisa memaafkannya.
"Hmm.." Estelle larut dalam pikirannya sendiri sambil menatap langit-langit ruangan sembari menyuruput minuman yang ia pegang. Di amatinya beberapa retakan yang dapat terlihat. 1....2....3....7....10 retakan yang bisa ia hitung. Semua orang yang kenal dekat dengan dirinya tahu kalau ini sudah menjadi kebiasaannya jika ia sedang istirahat atau merasa bosan. Terkadang mereka berpikir, bagaimana bisa seseorang seperti dirinya menjadi seorang detektif?
Tiba tiba seseorang memanggilnya, seketika menyadarkan Estelle.
"Oy, Estie! Terlambat lagi?" Sapa seseorang itu sembari menepuk pundak Estelle.
"Ah! Roelle!" Estelle lantas tersentak.
Seseorang itu adalah Roelle, Roelle Christiane. Ia adalah salah satu dari 5 orang (termasuk Estelle) yang Pak Vittorio rekrut menjadi anggota agensinya tersebut. Ia juga rekan kerja yang paling dekat dengan Estelle. Mereka berdua terbilang yang paling baru bekerja disini. Roelle sudah bekerja di agensi ini sebulan lebih lama dari Estelle, yaitu 5 bulan. Dari segi visual, Roelle adalah seseorang yang atletis dan atraktif. Tinggi, dengan fisik yang bagus, dan juga di lengkapi dengan muka yang tampan dan rambut sedikit ikal berwarna Gold Blonde dan hitam. Entah apa yang membuat dia masih belum mempunyai pasangan sampai saat ini.
Roelle melirik tas selempang yang dibawa Estelle dan melihat pistol yang ia bawa.
"Kau tidak harus selalu membawa pistol mu kemana-mana, Estie." Sahut Roelle yang sudah duduk disampingnya sambil memainkan koin yang ia pegang.
"Hanya untuk jaga jaga jikalau aku mendapatkan tugas penyelidikan yang berbahaya, atau sedang dalam bahaya." Estelle mengambil pistol revolver nya yang belum ia beri peluru.
"Ambil contoh seperti penyelidikan organisasi mafia besar yang kejam. tanpa senjata seperti ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku akan bertahan hidup dikejar-kejar oleh para mafia itu jika aku ketahuan. Aku bahkan tak yakin bisa lolos hidup-hidup walau dengan senjata" Jelas Estelle dengan nada sedikit bercanda.
"Pfft- terus kenapa kamu selalu membawa pistol mu itu kemana mana kalau tau kamu akan mati juga? Lagipula, kau masih terlalu rookie sebagai detektif untuk bisa terjerumus ke dalam situasi seburuk itu." Ejek Roelle sambil tertawa kecil. Estelle hanya bisa menghela nafas sambil memainkan cylinder pistol nya itu
"Aku akan pergi keluar untuk bermain arcade nanti siang, kau mau ikut?" Ajak Roelle.
"Ahh..tidak dulu. Aku masih harus membantu merestorasi beberapa arsip kasus lawas yang kemarin aku terima dari Pak Vittorio untuk keperluan penyelidikannya." Tolak Estelle.
"Hm. Yah, derita mu deh, bye ~" Roelle beranjak begitu saja dengan muka cocky nya yang membuat Estelle kesal.
"Sialan.."
...
■ Hari ini adalah hari Jumat, tepatnya tanggal 7 November 1980. Ya, apakah kau masih ingat? 20 tahun yang lalu, di hari yang sama, kau-░░░░
"....aku merindukanmu...kak"
JENG JENG JENG
"Astaga!" Estelle terbangun dari tidurnya mendengar suara pendulum dari grandfather's clock milik bosnya, Pak Vittorio, yang menggema kencang ke seluruh ruangan kantor. Ia tak sengaja tertidur di kantornya hingga larut malam.
"Aduh...aku lupa memberikan arsip arsip ini ke Pak Vittorio."
Dengan terburu buru (lagi), Estelle segera memasukkan dan menata seluruh arsip yang sudah ia restorasi kedalam box kardus penyimpanan dokumen sesuai dengan urutan tanggal kejadian kasus dan kemudian membawanya ke ruang kerja sang bos.
Tock tock tock tock
"Pak Vittorio? Permisi, apakah bapak masih ada di dalam?" Estelle mengetok-ngetok pintu ruangan itu, namun tidak ada jawaban.
"Idiot, tentu saja tidak! Ini sudah larut malam." Ia bergumam pada dirinya sendiri. Pada akhirnya, Estelle membuka pintu ruangan bosnya itu (tanpa sepengetahuan bosnya). Namun aneh, pintunya tidak terkunci.
"Um...permisi." Perlahan Estelle masuk dan menaruh box dokumen yang ia bawa di atas meja bosnya.
"Ugh, kenapa dia tidak membangunkan ku saja." Estelle bergumam lagi.
Sebelum ia beranjak pergi, ia melihat koran yang tadi pagi di baca oleh bosnya. Disitu, tampak berita mengenai hilangnya seorang pastor secara misterius di sebuah desa di tepi laut bernama desa Alba.
"...Alba?" Belum sempat Estelle membaca beritanya lebih lanjut, tiba tiba telepon di ruang administrasi berbunyi.
Kriiing Kriiing
...
Malam itu, langit terasa sangat suram. Burung burung camar berterbangan menghiasi awan gelap. Seorang biarawati berlarian menembus angin dingin menuju sebuah rumah. Disana, ia dengan tergesa-gesa mencari sesuatu. Dia mencari seluruh penjuru rumah, dan akhirnya menemukannnya. Ia mencari sebuah telepon.
"..."
"Halo, anda menghubungi agensi detektif Sotto La Verità. Ada yang bisa kami bantu?"
"..."
"Halo?"
"..."
"Tolong... Tolong bawa saya keluar dari sini. "
"Uh...Tenangkan diri dulu, bisa jelaskan-"
"To-"
"Halo?"
Beeep--
Telepon pun terputus.
To be Continued...