Chereads / The Anomali / Chapter 2 - Chapter 2

Chapter 2 - Chapter 2

Terkejut, itulah yang pertama kali dirasakan oleh Agra, lalu disusul oleh rasa bingung, sebelumnya ia bisa merasakan panasnya darah yang menggenang serta kerasnya beton jalan tol, namun sesaat kemudian semua rasa itu digantikan oleh sepoi angin yang masuk melalui celah jendela dan dinginnya kursi serta meja yang ia tempati.

Namun tiba-tiba tubuhnya bereaksi, seolah tersadar, lebih cepat dari pikirannya, rasanya sangat panas dan menyebar ke sekujur tubuh, disusul dengan rasa gemetar hebat di seluruh bagian tubuh Agra, merasakan itu semua secara insting kedua tangannya yang juga bergetar hebat langsung meraba tubuhnya.

Merasakan reaksi yang sangat hebat dari tubuhnya, pikiran dan ingatan Agra pun tersadar dari kebingungan yang sedang ia alami, rentetan ingatan menerjang kepala malangnya tanpa ampun, membuat Agra mengingat semua dengan instan.

Seketika tangannya yang belum selesai meraba harus terjatuh ke atas meja yang Agra tempati, menghasilkan suara yang cukup keras serta membuat buku yang tertata rapi di atasnya bergetar, beruntung tak ada satu pun yang terjatuh. Kepalanya serasa sangat ringan, tidak lebih tepatnya, Agra merasa seolah ia telah kehilangan kepalanya, seolah terpisah sepenuhnya dari bagian tubuh yang lain.

Agra memandang ke arah meja, matanya terbuka lebar dan membulat, pupilnya membesar, nafasnya terasa berat dan tak beraturan, itu semua diperparah oleh pemandangan di depannya yang dalam sekejap berubah menjadi merah darah, permukaan meja yang berwarna cokelat kehitaman tiba-tiba berubah menjadi genangan darah, genangan tersebut mengalir sangat deras, berusaha merendam semua yang ada di jalurnya, termasuk tangan Agra yang masih terletak kaku di atas meja, tak dapat digerakkan sedikit pun.

Perutnya serasa seperti dipukul sangat keras, tangannya serasa ditusuk-tusuk, kepalanya, ya kepalanya serasa tiada, yang mana menggambarkan seberapa parah kondisi tubuh serta mental Agra, ditambah dengan pemandangan tak masuk akal di depannya, tentu ia tahu ini hanya halusinasi, tapi pikirannya seolah memaksa ia untuk melihat dan menanamkannya dalam-dalam di ingatannya.

"Agra sadar nak! Kamu kenapa?!"

Semua momen gila ini yang terasa selamanya namun hanya sesaat terhenti ketika seseorang di depan Agra berteriak dan memegangi bahunya dengan erat, membuat ia terbangun dari alam bawah sadarnya, namun Agra tetap diam sejenak, seseorang di depannya pun semakin panik, dibuktikan dengan teriakan keduanya yang lebih keras serta yang awalnya hanya menggenggam mulai menggoyang-goyangkan bahunya.

Agra pun mengalah, ia memejamkan matanya, walaupun pemandangan darah di depannya sudah menghilang entah ke mana, perlahan-lahan ia mendongakkan kepalanya yang anehnya terasa sangat berat sekarang. Setelah merasa ia sudah persis berhadapan dengan seseorang di depannya, Agra perlahan membuka kelopak matanya, berharap melihat sesuatu yang lebih baik dari sebuah genangan darah yang akan menenggelamkan tubuhnya hidup-hidup.

Hatinya pun serasa berhenti ketika matanya sepenuhnya terbuka dan terlihat dengan jelas wajah seorang wanita dengan tampang yang menunjukkan kepanikan, dan sedikit rasa iba, rambutnya yang berwarna cokelat kehitaman tersinari oleh merahnya matahari sore, mata biru nya yang secerah langit terbuka lebar, menatap balik mata Agra seolah-olah ingin menangisi kondisinya sekarang.

"Ah-"

Agra ingin berbicara, menyuarakan hatinya kepada wanita di depannya, meyakinkan bahwa dia baik-baik saja seperti biasanya, namun di kondisi ini Agra tak bisa mengucapkan kebohongan manis itu, tidak untuk kali ini, yang mana memang ia tak baik-baik saja.

Melihat Agra yang sedikit kesusahan, wanita yang di depannya pun menenangkan diri dan mulai berbicara dengan nada yang lebih halus serta menggerakkan tangannya yang lembut untuk mengusap bahunya secara perlahan, mulutnya terbuka dan suaranya yang familiar berkata.

"Shh... Tarik nafas dalam-dalam lalu buang, tenang, nah ya seperti itu, tak apa-apa, miss tunggu..."

Agra mengikuti instruksi yang diberikan dan mulai bernafas perlahan, detak jantungnya pun mulai menurun temponya, tubuhnya sudah tak bergemetar separah sebelumnya, panas yang ia rasakan pun perlahan-lahan menghilang, pikirannya mulai semakin jelas serta tatapannya semakin fokus.

Sekali lagi membuka mulutnya, berusaha untuk mengucapkan sepatah kata, dan usahanya pun berhasil walaupun hanya kalimat singkat dan pelan, hampir tak terdengar, namun tetap tersampaikan ke wanita di hadapannya.

"Mi-miss...Via..?"

Sekarang jelas sudah siapa wanita di depannya, guru yang baru satu jam lalu menasehati Agra untuk pulang lebih cepat muncul lagi di depannya, yang mana itu adalah sebuah hal yang tak masuk akal, namun faktanya terpampang jelas di hadapannya. Agra lalu melihat sekelilingnya, lagi dia merasa bingung dan mungkin hampir gila dengan apa yang dia lihat, perpustakaan sekolahnya, tersinari oleh matahari sore yang sudah mulai berwarna oranye, sepoi-sepoi angin dari sela-sela jendela yang terbuka. Semua pemandangan ini, rasa tenang ini, dan wanita yang ada di depannya, semua terasa tak masuk akal, namun di hadapannya mereka hadir, sejelas dan senyata mungkin.

"Ya nak...Miss di sini, sudah tenang sekarang?" Miss Via menjawab, suaranya tetap halus dan lembut.

"Di mana ini? Jam berapa sekarang?" Agra lanjut berkata, nadanya cepat, seolah-olah seperti orang bingung, panik, dan tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.

"Jam lima lewat lima belas menit Agra, sudah hampir petang ini, matahari sebentar lagi terbenam, kalau kemalaman kamu pulangnya nanti macet nak, rumah kamu jauh kan?" Miss Via jelas terlihat bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan Agra, tapi melihat Agra yang bingung dan panik, ia hanya bisa menjawabnya sehalus mungkin.

"Kamu juga kayaknya kurang enak badan, lebih baik cepat pulan-"

"Tidak! Saya tidak apa-apa miss..."

Miss Via lanjut berbicara melihat murid di depannya masih kaku terdiam, namun ia tak menyangka untuk Agra menjawab dengan nada sekeras itu. Di sisi lain Agra juga tak berniat untuk suaranya untuk keluar sekeras itu, ia tak mengerti kenapa ia sangat panik dan tak dapat mengontrol emosinya, ini tidak seperti dirinya, namun Agra tetap berusaha untuk menenangkan diri dan mulai berbicara lebih pelan kali ini.

"Maaf...Saya tidak apa-apa miss, cu-cuma mimpi buruk saja...Ya cuma mimpi buruk." Agra pun berhasil mengeluarkan kata-kata yang lebih jelas sekarang, walaupun dengan suara yang perlahan-lahan memelan, dan kalimat terakhir yang dilontarkannya terdengar sangat pelan seolah seperti ditujukan hanya untuk dirinya sendiri.

"Kamu yakin tidak apa-apa? UKS sudah tutup pula jam segini, jadi sebaiknya kamu langsung pulang nak, kamu ada teman buat antar kamu pulang? Miss kalau begini khawatir akan terjadi sesuatu ke kamu saat di jalan pulang."

"Ga-gak apa-apa kok miss, saya bisa pulang sendiri, sekali lagi hanya mimpi buruk saja, saya pernah mengalami kejadian yang...bisa dibilang cukup mengganggu pikiran, jadi terkadang suka muncul mimpi buruk seperti ini, tapi saya sudah berobat dan dapat menanganinya dengan lebih baik sekarang, saya berterima kasih atas perhatian miss, tapi sungguh sudah tak apa-apa."

Miss Via menatap Agra dengan tatapan yang skeptis, jelas ia tidak menerima sepenuhnya jawaban yang diberikan oleh Agra, namun melihat betapa buruknya ekspresi Agra hatinya menjadi tidak kuat dan iba, sehingga ia akhirnya mengalah, ia tidak mau kekhawatirannya justru semakin menambah beban yang sudah ada pada muridnya.

"Yasudah kalau begitu...Sekarang rapikan semua buku ini lalu kamu pulang ya, bisa kan kamu mengembalikan semua buku ini sendirian?" Balas Miss Via dengan nada yang pelan.

"Iya baik bisa kok miss, beri saya waktu lima menit."

"Ya tenang saja, tak usah buru-buru."

Agra pun mulai melakukan tugasnya, ia perlahan-lahan mengumpulkan buku-buku yang berserakan di atas meja yang baru saja ia gunakan, cukup banyak namun masih sanggup untuk Agra bawa di kedua tangannya sehingga ia hanya perlu sekali jalan dan tak bolak balik antara meja dan rak buku.

Miss Via memperhatikan sejenak, ketika sudah yakin bahwa Agra dapat mengandalkan dirinya sendiri ia pun berbalik ke arah meja resepsionis perpustakaan.

Dari kejauhan ia bisa melihat seorang pria tua duduk di meja resepsionis yang ia tuju, pria tua itu menatap lurus ke arah mata birunya seolah menanyakan apa yang baru saja terjadi?

"Kenapa dengan nak Agra Via? Dia tidak apa-apa kan? Bapak dengar suara kamu panik tadi, gak ada masalah kan?" Baru saja sampai di depan meja resepsionis, guru muda ini sudah langsung menerima beberapa pertanyaan dari pria tua penjaga perpustakaan di depannya, cara bicaranya pun pelan dan tegas, berbeda dari biasanya yang penuh dengan lelucon dan canda gurau.

"Hahh...Saya juga tidak tahu pak, saya ingin tanya lebih jauh, ingin lebih mengerti permasalahannya juga, tapi dengan ekspresinya yang seperti itu saya jadi iba dan gak tega, takut malah memperparah kondisinya."

"hmmm..." Sang bapak pun tak berkata apa-apa, hanya merespons dengan nada pelan, menginstruksikan guru muda di depannya untuk menjelaskan lebih lanjut.

"Tatapannya seperti habis melihat hantu, penuh dengan rasa takut, bilangnya sih mimpi buruk dari kejadian di masa lalu, ya kemungkinan besar sebuah trauma."

"Begitu ya...Memang kalau menyangkut mental, apalagi mental yang sudah terluka berat, pasti akan sulit untuk didekati, kita hanya bisa tetap berada di samping orang tersebut, selalu menemaninya sambil menunggu cangkang yang mereka buat untuk melindungi diri mereka perlahan-lahan terbuka untuk kita, kuncinya adalah kesabaran, kegigihan, serta rasa peduli dan kasih sayang."

Begitulah kata pria tua penjaga perpustakaan yang biasa di panggil Pak Rafiq, atau murid-murid suka menyebut dia dengan sebutan 'pak tua', memang terdengar sedikit kasar, tapi bagi pak Rafiq itu hanya candaan remaja saja, lagi pula Pak Rafiq juga terkenal suka bercanda gurau dengan banyak murid, tidak ada satu pun murid yang lolos dari candaannya. Di samping sifatnya yang suka lelucon, ia terkenal dengan nasihat-nasihatnya yang bijak, sering kali ia memberikan saran entah itu kepada murid ataupun sesama guru, oleh karenanya ia di hormati oleh hampir seluruh warga sekolah.

Mendengar nasihat dari pria yang di anggap bijak oleh seluruh warga sekolah, Miss Via pun merasa sedikit lebih lega, walaupun wajahnya masih menunjukkan ekspresi masam, sebagai seorang guru ia merasa bahwa ini juga bagian dari tugasnya, tak hanya memberi ilmu, namun juga mendewasakan kepribadian serta menjaga kondisi mental muridnya.

"Semoga...suatu saat nanti dia mau terbuka kepada kita semua."

"Hmmm....ya semoga..."

Akhirnya kedua guru pun merasa damai karena dapat menemukan solusi untuk sementara ini, memang mereka hanya bisa menunggu serta berharap agar murid tersebut untuk terbuka nantinya.

Senyum pun tumbuh di wajah Miss Via setelah seharian ia membiarkan wajahnya kaku, namun itu tak bertahan lama karena ia melihat guru di depannya juga ikut tersenyum, seharusnya itu tak masalah, tapi ia sudah terlalu familiar dengan senyuman ini hingga cukup sadar bahwa ada yang salah dengan kondisinya saat ini jika guru di depannya sampai tersenyum seperti itu, ya ia sudah masuk dalam jebakan leluconnya, sayang guru muda satu ini telat menyadarinya.

"Mis-"

"HYA!"

Miss Via yang baru saja merasakan ketenangan harus dikejutkan dengan kedatangan yang tiba-tiba dari seorang remaja lelaki di belakangnya, keberadaannya yang tiba-tiba muncul di belakang tubuhnya membuat ia sangat terkejut sampai harus mengeluarkan suara teriakan melengking yang sangat feminim sebagai respons alaminya.

"Eh...maaf?"

"Ah! Ternyata kamu Agra...kamu ini bikin Miss jantungan tahu!"

"Mohon maaf miss, saya tidak bermaksud, saya hanya ingin izin pamit duluan."

Mendengar permintaan maaf yang tulus dari muridnya serta nada dan ekspresinya membuat guru muda ini sekali lagi luluh hatinya di hadapan muridnya. Sementara itu Pak Rafiq hanya mengamati dari samping dengan senyum kecil, dia ingin membuat sedikit lelucon atas kejadian yang baru saja terjadi, namun melihat ekspresi Agra ia pun menahan diri, merasa ini bukan waktu yang tepat, meskipun demikian ia tetap mencoba membuka pembicaraan dengan pelanggan setia perpustakaannya itu.

"Gimana nak? Menemukan sesuatu yang seru di perpustakaan hari ini?"

Senyum kecil pun tumbuh di wajah Agra setelah mendengar pertanyaan yang tulus dari penjaga perpustakaan yang selalu menemaninya setiap ia membaca di perpustakaan sendirian.

"Kebetulan akhir-akhir ini saya sedang sering membaca tentang kisah-kisah mitologi pak."

"Oho...begitu ya, kayaknya bapak perlu minta stok tambahan buku nih ke pak kepala."

Mendengar ucapan Pak Rafiq, Agra hanya bisa lanjut tersenyum, namun dalam lubuk hatinya rasa deja vu yang sangat kuat menghantui, ia merasa bahwa semua percakapan ini sudah pernah terjadi, ia menduga ini ada hubungannya dengan mimpi sebelumnya, namun pikirannya pun juga seolah berkata kepadanya bahwa mimpi yang ia alami itu tidak seperti mimpi pada umumnya.

Semua dugaan itu hanya bisa Agra kubur dalam-dalam di lubuk hatinya, hal yang paling ingin ia hindari saat ini adalah menambah masalah pada dirinya yang memang sudah bermasalah.

"Haha...ya jika bapak tidak keberatan, kalau begitu saya pamit duluan ya pak, miss, sekali lagi maaf merepotkan."

Sekali lagi Agra meminta maaf dan izin pamit pulang, tak lupa ia mencium tangan kedua gurunya sebelum melangkah keluar, yang mana ia juga merasa sudah pernah melakukannya.

"Langsung pulang ya nak, jangan pergi ke mana-mana, gunakan waktunya sebaik mungkin untuk istirahat ya." Balas Miss Via, tak lupa pula ia mengingatkan Agra untuk memperbanyak istirahat.

"Ya ya, langsung pulang jangan keluyuran gak jelas, bapak nanti sedih kalau kamu kenapa-napa." Lanjut balas Pak Rafiq dengan nada santainya serta dibumbui oleh sedikit lelucon khasnya.

Agra berbalik dan lanjut berjalan menuju pintu keluar perpustakaan, langkahnya lebih cepat dari biasanya, seolah ia sedang lari dari sesuatu, tidak seolah ia sedang mengejar sesuatu, ia terus berjalan dengan cepat, langkah cepat itu perlahan berubah menjadi lari kecil.

Tak lama keluar dari perpustakaan Agra disambut oleh pemandangan taman sekolah, ia bisa melihat seorang OB, Pak Deden namanya, mereka berdua pun saling menyapa dengan singkat dari kejauhan lalu Agra lanjut berlari menuju gerbang sekolah, dalam larinya Agra mengeluarkan ponsel dari sakunya dan melihat jam berapa sekarang ini.

'17.22, bus akan sampai pada jam 17.30 dan akan berangkat lagi dari stasiun pada jam 17.40, sepuluh menit setelah sampai di stasiun, itulah yang kulihat di mimpi, lalu aku akan menunggu di lampu merah penyeberangan, terdapat dua orang yang kuingat, seorang pria yang lesu dan seorang wanita yang terlihat ia sehabis menangis, tunggu lebih tepatnya ada tiga yang menarik perhatianku, orang ketiga itu adalah seorang pria tinggi kekar, lebih besar daripada orang-orang yang melangkah di sekitarnya, tatapannya tajam dan mengerikan, serta perawakannya yang asing. Huff...bahkan sampai sekarang aku masih merasa tidak enak dengan pria itu, sebenarnya siapa dia? Tidak lebih tepatnya apakah dia nyata?'

Agra merenung dalam perjalanannya menuju lampu merah penyeberangan, ia masih belum yakin dengan semua yang sudah terjadi, kedatangannya di tempat penyeberangan menuju stasiun bus nanti mungkin akan menjadi jawaban atas keraguannya.

Akhirnya setelah berlari selama beberapa saat ia sampai di tempat penyeberangan, persis di seberang adalah stasiun bus yang biasanya ia tuju sehabis pulang sekolah. Agra menghela nafasnya pelan-pelan, berlari sejauh itu cukup memberi beban pada tubuhnya, memang kalau soal fisik Agra ini kurang karena ia memang bukan pria yang atletis, bisa hidup lebih dari umur 60 saja sudah cukup baginya.

Ia membuka ponselnya lagi, melihat dari menu utamanya, 17.30, lebih cepat dari yang ia ingat di mimpi, ya itu normal karena Agra berlari untuk bisa sampai di sini sekarang, sedangkan dari yang ia ingat di mimpi ia tidak berlari, lalu ia melihat ke seberang, dugaannya tepat, bus yang ia maksud baru saja sampai dan sedang menunggu penumpang untuk naik, belum cukup kepastian, ia melihat ke samping kanannya, dan benar saja seorang pria yang persis karakteristiknya dengan yang di mimpi sedang berdiri dengan lesu di depan Agra, lalu ia melihat ke kiri, wanita yang juga ia ingat dari mimpi baru juga sampai di tempat penyeberangan, persis seperti yang Agra ingat, rambut hitam pendek, mengenakan cardigan dan celana hitam serta tas selempang, dengan ekspresi seolah ia sehabis menangis.

Sejauh ini semuanya sesuai, hanya satu lagi variabel yang dibutuhkan dan semuanya akan sesuai, yang di mana jika benar maka Agra tak tahu ini sebuah keajaiban yang indah atau malapetaka yang mengerikan, oleh karena itu Agra hanya bisa mengamati untuk saat ini.

Belum sempat berhenti dari renungannya, variabel terakhir yang menjadi penentu dari kebenaran mimpi Agra akhirnya muncul, perbedaannya kali ini ia tak tertabrak dari belakang. Agra pun mengamati dengan seksama pria besar yang sekarang berdiri di depannya, badan tinggi nan berotot, hoodie hitam dan celana jeans birunya pun tak bisa menyembunyikan otot-otot gagah yang dimilikinya, lalu yang paling membekas, wajah serta tatapannya yang entah mengapa memiliki niat membunuh, seolah-olah ia sedang mencari mangsanya di kerumunan ini, selagi tetap menjaga pertahanannya.

Agra tak berani mengamati pria itu lebih lama, hanya perlu tatapan singkat dan ia sudah dapat memastikan bahwa benar itu pria yang muncul di mimpinya, sekarang semuanya sesuai, dan jika sesuai, kemungkinan besar di bus itu akan terjadi aksi terorisme.

Dia pun bingung harus melanjutkan bagaimana dari sini, apakah ia tetap harus menaiki bus itu untuk memastikan aksi terorisme benar-benar terjadi? Atau ia dapat pergi saja dan melupakan semuanya, karena memang walaupun sampai sini semuanya sesuai, kemungkinan aksi terorisme akan terjadi belum tentu seratus persen.

Kembali dalam renungannya atas pilihan yang akan ia ambil, Agra tak sadar lampu hijau untuk pejalan kaki sudah menyala sedari tadi, dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya sudah mulai menyeberang serta memasuki bus, ia pun di pandang aneh oleh para pejalan kaki, namun Agra tak peduli, ia lanjut merenungkan pilihannya sampai akhirnya bus yang seharusnya ia naiki memacu gas dan akhirnya meninggalkan stasiun bus di seberang jalan.

Telat menyadari keberangkatan busnya, Agra pun hanya bisa menghela nafas dan lanjut berjalan, setidaknya ia tak harus berurusan dengan para teroris, itu pun kalau benar aksi teroris itu terjadi.

Agra pun berjalan sembari membuka ponselnya, mencoba mencari berita terkini untuk mengalihkan pikirannya dari ingatan mimpi gila sebelumnya, belum jauh ia tenggelam ke dalam dalamnya jurang internet, sebuah judul berita muncul di bawah kolom pencarian.

"Aksi teroris semakin menggemparkan, sebuah bom rakitan meledak di stasiun Mengkarak, sepuluh orang luka-luka dan dua tewas di tempat..."

Langkahnya pun perlahan-lahan memelan, sampai akhirnya berhenti sepenuhnya, matanya terpaku pada judul berita di ponselnya, pikirannya kembali kacau, sebuah peristiwa terputar lagi dalam ingatannya.

'Ma-maaf pak...'

'Woi sini kau lawan aku!...'

'Aku urus yang ini, kau fokus sama yang satu lagi!...'

Suara seorang wanita, seorang ibu memohon sambil melindungi anaknya, lalu di lanjutkan oleh suara dua pria yang berbeda terdengar jelas di telinga Agra, momen dalam ingatannya seolah terputar kembali di hadapannya, layaknya sebuah rekaman lama.

'ini bukan urusanku...ini bukan...'

"Taksi!"

Agra berdiri persis di trotoar samping jalan, melambaikan tangannya tinggi ke atas, berusaha menarik perhatian mobil taksi yang lewat, dari kejauhan sebuah mobil dengan campuran warna kuning dan biru tua menghampiri lalu berhenti persis di depan Agra, tanpa berlama-lama ia langsung membuka pintu belakang dan masuk ke dalam mobil tersebut, sang sopir dengan sopan langsung menyambut kedatangan Agra di dalam mobilnya dan menanyakan destinasi yang ingin dituju.

"Selamat sore kak, destinasi ke mana?"

"Sore mas, langsung jalan saja ke stasiun Jatimangan ya mas."

Agra menjawab dengan sigap, nafasnya sedikit tak beraturan, entah kenapa rasa gugup sebelumnya kembali muncul, untungnya nada bicaranya masih terdengar normal dan tak terbata-bata.

"Baik destinasi stasiun Jatimangan, jangan lupa sabuk pengamannya ya kak, terima kasih."

Sang sopir langsung menancap gas mobilnya dan dengan keahlian serta pengalaman yang matang ia menyusuri jalan yang padat dengan cepat. Stasiun Jatimangan sendiri tidak terlalu jauh, namun karena memang kondisi jalan raya yang sangat padat, kemacetan terjadi hampir di mana-mana, apa lagi ini sudah masuk jam pulang kantor, sehingga memerlukan waktu hampir tiga puluh menit untuk tiba di stasiun.

'Kenapa sebenarnya aku ini? Apa maksud mimpi itu? apakah itu benar sebuah mimpi? Rasanya terlalu nyata untuk sebuah mimpi...'

'Tidak, mimpi atau bukan kenapa aku peduli sekali dengan apa yang terjadi di bus itu, dugaanku belum tentu benar dan kalaupun benar, maka nyawaku sudah pasti terancam, ini serangan teroris Agra yang benar saja!'

Di dalam taksi Agra lanjut merenungkan keputusannya, mengalami konflik batin antara lari atau menghadapi situasi yang ada.

Taksi yang mengangkut Agra akhirnya tiba di destinasi yang dituju, Agra menghentikan renungannya dan melalui jendela ia melihat bus yang seharusnya ia naiki di stasiun sebelumnya sudah mulai berjalan lagi ke arah gerbang jalan tol.

'Cukup berpikirnya, jalani saja dulu.'

"Tidak jadi mas, tolong lanjut jalan masuk tol, saya bayarkan ongkosnya."

Sang sopir melihat Agra dengan ragu namun tetap mengikuti permintaannya, ia lanjut mengendarai taksinya menuju gerbang tol, bus yang menjadi target Agra persis berada di jalur sebelah, jalur khusus kendaraan besar.

Agra mengeluarkan ponselnya, membuka kontaknya lalu mengetik nomor gawat darurat. Ponselnya berdering beberapa kali hingga akhirnya terdengar suara seorang wanita menyapa dengan sopan.

Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?

"Sore mba, saya tadi sedang berada di stasiun Jatimangan dan melihat dua orang yang, maaf, sedikit mencurigakan, mereka menaiki bus yang lalu masuk menuju ke jalan tol setelah stasiun Jatimangan."

Memang omongan Agra terdengar tidak masuk akal, namun mengingat kejadian pemboman belakangan ini, maka Agra bisa menggunakan alasan itu sebagai bentuk trauma yang tumbuh di kalangan masyarakat umum.

Baiklah, bisakah bapak beri tahu kedua ciri orang tersebut?

Sang wanita di balik telepon membalas perkataan Agra dengan pelan dan lembut, pengalamannya sebagai petugas respons gawat darurat benar-benar bersinar di sini.

"Berkulit cokelat kehitaman, yang satu memiliki gaya rambut afro serta tinggi dan ramping, yang satunya lagi botak serta berotot dan sedikit lebih pendek. Mereka sama-sama menggunakan celana jeans dan jaket kulit hitam, saya lihat salah satu dari mereka membawa tas kecil, saya juga mencurigai kalau mereka membawa senjata api."

Agra menjelaskan sebisanya sesuai yang ia ingat, memang Agra belum pernah melihat dengan dekat dua orang yang ia cirikan, namun ia yakin pasti kalau penjelasannya tepat dan akurat, karena sekali lagi mimpinya terbukti benar setelah ia melihat dengan jelas dari kejauhan dua pria yang sama persis seperti kedua orang pria yang muncul di mimpinya melakukan aksi terorisme.

Baik, lalu mereka berdua menaiki bus pada stasiun Jatimangan?

"Ya betul, bus tersebut masuk ke gerbang tiga jalur tol Cianjas setelah stasiun Jatimangan." Agra membenarkan pernyataannya dan menambahkan informasi tambahan terkait jalur bus yang dinaiki oleh kedua pria terduga teroris.

Baik..lalu jika bapak ingat, apakah bapak bisa memberitahukan pelat nomor kendaraan dari bus yang bapak maksud.

Sang wanita menanyakan satu pertanyaan lagi, namun nadanya sekarang lebih santai, mungkin ia tidak terlalu berharap Agra bisa menjawab pertanyaannya, hanya sekedar prosedur tambahan.

Namun di sinilah Agra dapat bersinar lebih karena memang dari awal ia sudah mengetahui seluruh kronologinya dari mimpi yang ia lihat, sehingga ia sudah berniat untuk mengikuti bus tersebut, jadi ia dengan mudah melihat pelat nomor bus itu lewat jendela samping mobil taksi, dan sekali lagi apa yang ada di mimpinya sesuai persis dengan kenyataan yang ada.

"Kalau tidak salah...B 7129 PGH? Tidak PGF, ya B 7129 PGF kalau saya tidak salah ingat, maaf tapi saya tidak terlalu memperhatikannya saat itu."

Walaupun yakin dengan jawabannya, Agra tetap memasang nada ragu dalam kalimatnya, ingin membuat semua ini terasa natural dan agar tidak membawa kecurigaan ke pihak berwenang, hal terburuk yang ingin ia hindari adalah dianggap sebagai komplotan mereka.

Baiklah, kami akan memproses semua laporan bapak, mohon tetap tenang dan tunggu pihak berwajib tiba untuk menangani ya pak, terima kasih.

"Iya terima kasih juga mba, mohon dipercepat ya." Dan panggilan pun berakhir, sekarang Agra hanya bisa menunggu sampai pihak berwajib datang, namun ia tetap akan mengikuti dan mengamati busnya dari belakang bersama sang sopir taksi, beruntungnya arah yang dituju bus sejalan dengan arah pulang ke rumahnya.

"Umm...kak? Tadi kakak nelfon nomor gawat darurat ya? Ada masalah apa ya-" Sebelum Agra dapat bersuara, sopir yang sedari tadi terdiam selama Agra menelfon akhirnya berbicara, ia terdengar sedikit ragu dan gelisah.

"Maaf mas, bisa tolong ikuti bus di depan itu? Nanti saya kasih tip tambahan, tujuan saya juga sejalan dengan bus itu, dan kalau bisa jangan terlalu dekat, pastikan saja busnya tidak hilang dari pandangan kita." Dengan nada serius, Agra lanjut memberitahukan sang sopir permintaannya sambil sedikit membuat gestur dengan tangannya, meyakinkan sang sopir bahwa ia memang akan memberikan biaya tambahan.

"Baiklah kak, tapi mohon jangan libatkan saya dengan apa pun yang akan terjadi selanjutnya..." Dengan nada lemas ia pun menyetujui permintaan Agra, berpikir ini tidak akan membawanya ke hal yang merepotkan bahkan berbahaya, benar-benar terjerat masuk dengan godaan material tanpa tahu apa yang akan ia hadapi.

Pedal gas diinjak dan mobil taksi mulai melaju lebih cepat, perlahan mendekati bus namun tetap berada di jarak yang aman. Laju jalan pun semakin memadat dikarenakan hari yang semakin sore, Agra menunggu dengan diam, mata terus menatap ke arah belakang bus, ketegangan dalam hatinya terpancar secara samar melalui pupil matanya.

Sepuluh menit pun berlalu setelah memasuki jalur tol, kondisi masih terlihat kondusif dengan banyaknya kendaraan saling menyalip, kecepatan yang tinggi dan padatnya kendaraan menjadi resep awal akan bencana yang mendekat.

Agra sudah bisa melihat kejanggalan dari bus yang menjadi targetnya, lajunya menjadi lebih cepat dalam sekejap, membuat taksi yang ia tumpangi hampir tertinggal jauh di kerumunan kendaraan. Sang sopir yang terkaget pun berusaha meningkatkan laju kecepatan taksinya, situasi di dalam pun menjadi tegang, namun tidak ada satupun dari mereka yang berani mengeluarkan suara.

Waktu terasa melambat, penglihatan sekitar menjadi kabur, Agra hanya bisa fokus ke arah bus yang melaju dengan gesitnya, melika-liku di antara banyaknya kendaraan lain, situasi di jalan menjadi tak terkendali karena adanya bus yang melaju tak karuan dengan sangat cepat. Dari situasi yang tak terkendali seperti ini, bencana hanya tinggal menunggu waktu.

"A-awas mas!" Dengan sigap, sopir membanting stirnya, memasuki arus kanan, menghindari mobil yang ada di jalur depan.

Sang sopir pun mulai ikut berkendara dengan tak karuan, berusaha sebaik mungkin untuk mengejar bus di depan, menyalip kerumunan mobil dengan membabi buta, kanan kiri, terus berganti-ganti alur, berusaha terus menambah kecepatan di padatnya jalan tol.

Terbungkam dalam ketegangan, terdiam di dalam duduknya dan terikat oleh sabuk pengaman yang menahan tubuhnya, Agra terus menatap ke depan, memikirkan segala skenario, dari awal, berlanjut sampai saat ini, hingga apa yang akan mungkin terjadi ke depannya, merekap semua yang sudah terjadi serta memprediksi apa yang akan terjadi.

Berbagai macam kemungkinan muncul, isi pikirannya menjadi kacau, tenggelam dalam banyaknya gambaran imajinasi akan segala skenario yang ia buat. Tubuhnya tak berhenti mengucurkan keringat dingin, tersebar ke seluruh bagian tubuh, sebagai respons dari otaknya yang sedang dalam keadaan stress.

Pada akhirnya ia mencapai suatu kesimpulan, kenangan itu muncul kembali, ia ingin menolaknya, namun itu terasa sangat nyata untuk dapat diabaikan, rasa sakit itu, rasa takut itu, dan rasa dingin yang mengakhiri semuanya. Ia pernah hidup, Agra pernah hidup, pernah mengalami menaiki bus itu pada jam yang sama seperti saat ini.

Namun kehidupan itu sudah berakhir.

Kesimpulan yang ia dapat memunculkan perasaan itu kembali, karena memang skenario terburuk adalah kematian, sama seperti pada saat itu.

Sayangnya dunia terus berjalan, waktu terus berdetik, mengikuti porosnya, tak menunggu untuk sesaat pun, terlebih hanya untuk renungan seorang bocah. Dan terjadilah, segala skenario yang berkecamuk dalam pikiran Agra. Semuanya terjadi dalam rentang waktu yang sangat cepat, begitu singkat. Atau mungkin juga karena kelalaiannya sendiri, yang terlalu terlena oleh sekedar imajinasi dan skenario di dalam dunianya sendiri, sampai tak sadar akan kenyataan yang sudah menunggu dalam diam di depannya.

*CRASH!

Lagi, sangat jelas terasa kerasnya beton, berkontak langsung dengan tubuh Agra, seolah mengoyak kulit dan dagingnya, mengirisnya dari luar. Pandangan yang buram dan denging yang memekakkan telinga serta rasa sakit yang menjalar ke seluruh bagian tubuh menyerang indra Agra tanpa henti. Perlahan-lahan ia sadar apa yang terjadi, namun naas semuanya sudah terlambat, dan apa yang awalnya sekedar mimpi buruk menjadi kenyataan.

Hanya sebentar ia dapat sadar, dan kesadaran itu perlahan mulai pergi darinya, ia hanya bisa memandangi api yang juga perlahan melahap tubuhnya, sakit rasanya, tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa dengan rasa sakit itu, dan dengan percikan terakhir, ia melihat semuanya untuk terakhir kali.

*BOOM!

Termakan oleh api dan dilahap sepenuhnya oleh ledakan, hidupnya pun diakhiri oleh rasa sakit yang sangat luar biasa dan dalam instan kegelapan mengambil alih.

Sekali lagi kematian datang kepadanya.

.

.

.

Dingin, menyesakkan, seperti tenggelam ke dalamnya lautan, tertekan oleh tekanannya. Rasanya sangat melelahkan, rasa kantuk yang tak tertahankan melahap seluruh kesadarannya, keinginan yang tak tertahankan untuk menutup matanya selamanya membanjiri alam bawah sadarnya.

Teruslah ia tenggelam, semakin dalam, semakin dingin, semakin gelap, hingga titik cahaya terakhir menghilang.

Namun seolah tertolak, ia tertarik kembali ke atas, menuju permukaan dari entah di mana ini, dia tak melawan, tak seperti dia bisa melakukan perlawanan apa-apa, sehingga ia hanya bisa pasrah merasakan tubuhnya, kesadarannya di permainkan oleh sesuatu yang tak ia pahami.

Dekat, semakin dekat, ia akan melihat cahaya dari permukaan itu sekali lagi, semakin terang, hingga perlahan terangnya cahaya itu membutakan pandangannya, rasa hangat kembali menyelimuti tubuhnya, menggantikan rasa dingin yang menyiksa sebelumnya, dan ia pun akhirnya kembali kepada cahaya.

"Agra?"

Di dalam cahaya yang membutakan ini, sebuah suara memanggilnya, membawa kehangatan yang ia rasakan meningkat ke tingkat yang berbeda, ketenangan yang dihasilkan suara ini membuat ia kembali merasakan seluruh tubuhnya, seluruh keberadaannya, perlahan cahaya yang membutakan pandangannya tergantikan oleh pemandangan sesosok yang ia sangat familiar.

"Ms...Via?" Menengadahkan kepala sedikit ke atas, dan di situlah ia melihat kehadiran wanita dengan ekspresi khawatir dan sedikit rasa frustasi tergambar dari lekukan wajahnya.

"Kamu...Hah...Kenapa kamu belum pulang nak?" Nadanya terdengar pasrah, seolah ingin mengeluarkan amarahnya kepada murid bebal di depannya namun tak memiliki hati untuk melakukannya.

Agra tiba-tiba berdiri dengan sekuat tenaga, membuat kursi yang ia duduki terhantam ke belakang, dengan postur yang sangat kaku dan sigap, menatap ke depan dengan mata yang terbuka selebar mungkin.

Seperti itu dia diam selama beberapa detik, namun perlahan tubuhnya melemas, ia tak bisa berhenti bergemetar, dan dengan tiba-tiba pula ia memeluk satu-satunya orang yang sedang berdiri di hadapannya, nampaknya ia juga tak sadar siapa yang ia dekap di momen itu, ia termakan oleh instingnya, hanya berusaha menemukan suatu bentuk ketenangan sebagai bentuk pelampiasan.

"A-Agra?! Kamu ini!-"

"Hic...hic..."

Mendengar rintihan tangisan dari belakang telinganya, sekali lagi guru muda itu tak memiliki hati untuk melepas dekapannya, apalagi sampai memarahinya, awalnya ia ragu tentang segala yang terjadi pada situasi saat ini, namun merasakan blouse nya yang semakin terbasahi air mata, ia menjadi yakin ini serius, dan seperti orang berhati nurani pada umumnya, ia melakukan apa yang terlintas di dalam benaknya pada saat itu juga, membalas pelukannya.

"Hus...Tenang, tarik nafas, tidak apa-apa...tidak apa-apa."

Selama beberapa saat, ditemani oleh sinar matahari sore yang merangkak masuk melalui jendela perpustakaan serta semilir angin yang lembut, mereka tertahan dalam posisi itu, mendapatkan ketenangan yang mereka butuhkan untuk perlahan menerima semuanya.

"Sudah tenang, jadi sebenarnya ada apa nak?" Mereka berdua akhirnya saling melepaskan tubuh masing-masing dan berdiri memandangi satu sama lain, Agra dengan matanya yang masih memerah karena tangisan dan Ms. Via yang penuh kerutan menghiasi setiap sudut wajahnya, memandangi kondisi muridnya yang malang.

"Tak mau menjawab ya?...Hah...Kamu memang selalu ms lihat sebagai pribadi yang menjaukan diri, tidak seperti penyendiri pada biasanya, kau selalu aktif berusaha untuk menghindari semuanya, tapi ini...sudah tak biasa nak, ms khawatir, semua orang khawatir dan heran denganmu."

Dengan pasrah guru tersebut mengeluarkan kalimatnya, kali ini lebih panjang, walaupun ia merasa, semua kata yang ia keluarkan tak berarti sama sekali di hadapan anak satu ini.

Agra menggelengkan kepalanya, entah mengapa itulah respons yang pertama kali dan satu-satunya yang ia bisa tuturkan pada saat ini, tak mampu untuk benar-benar menjawab semua pembicaraan gurunya, kepalanya terpenuhi oleh segala macam ingatan dan skenario sampai ia pun tak bisa peduli pada momen yang terjadi saat ini.

"Baiklah...sebaiknya kamu cepat pulang ya, jangan lupa rapikan tumpukan buku ini terlebih dahulu sebelum kau pergi, tak mau Pak Rafiq mengomelimu di awal pagi esok hari kan?"

Jawabannya yang tenang dan seolah tak memaksa untuk mengungkapkan lebih lanjut membuat Agra sedikit tak percaya, ia sekali lagi menatap wajah wanita di depannya, dan Agra hanya bisa melihat senyuman tulusnya, hilang sudah semua raut frustasi dari wajahnya yang lembut, tergantikan dengan senyuman halus nan pahit, namun tetap terlihat sedikit percik harapan di dalamnya.

"Ba-baik miss..." Agra hanya bisa membalas senyuman itu dengan jawaban singkat, dan ia pun melanjutkan langkahnya untuk merapihkan tumpukan-tumpukan buku yang menjulang tinggi bagaikan benteng mini di meja bacanya.

Sesudahnya ia merapikan buku, ia langsung menuju resepsionis perpustakaan dan memohon pamit pulang dengan kedua guru. Keluar dari perpustakaan, melewati taman ia bertemu dengan Pak Deden, menanyakan kenapa ia belum pulang dan apakah ia ingin membantu para OB bersih-bersih lagi hari ini. Setelah menolak dengan sopan ia sampai di depan gerbang sekolah, menghentikan langkahnya dan mengeluarkan ponsel dari sakunya, menyalakan layarnya, dan terlihat logo jam analog besar di menu utama menunjukkan pukul 17.22.

Semuanya terjadi sama seperti apa yang ada dalam ingatannya, rentetan-rentetan peristiwa yang sangat mirip, seolah pencerminan dari apa yang sudah ia alami sebelumnya.

Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku celana, dan mengangkat kepalanya ke atas, menatap ke cakrawala di mana matahari akan beristirahat untuk hari ini. Merasa cukup ia memejamkan matanya dan menghelakan nafas yang tak terasa ia tahan selama ini, perutnya masih terasa layaknya teraduk-aduk namun sudah tak separah tadi, sekujur badannya pun sudah mulai lepas dari rasa gemetar yang ia alami sebelumnya.

Dengan perlahan ia melanjutkan langkahnya, melewati kerumunan orang, melewati terminal bus, dan melewati bus itu.

"Taksi!"

Berhenti di pinggir jalan, ia melambai-lambaikan tangannya, berusaha untuk menarik perhatian taksi yang lewat, beruntungnya tak lama satu taksi menghampiri dirinya, tak beruntungnya taksi ini membawa ia kembali ke dalam ingatannya, membuat ia langsung menatap sang pengemudi dengan wajah sedih dan masam ketika sang pengemudi membalikkan tubuhnya untuk berbicara dengan Agra di kursi belakang penumpang.

"Se-selamat sore kak, ke mana tujuan anda?" Menyadari suasana yang ia berikan membuat semua ini canggung, ia memaksakan diri untuk memasang senyum dan menjawab dengan nada sopan.

"Maaf mas, antarkan saya ke Jalan Jatiumur, terima kasih."

"Baik~ Jalan Jatiumur, prediksi empat puluh menit tiba, mohon pakai sabuk pengaman anda."

Sekali lagi ia menghela nafas, sambil menyenderkan punggungnya ke kursi jok taksi, menikmati keempukannya, dari jendela ia bisa melihat kerumunan warga yang beraktivitas perlahan mulai menjadi samar, matanya tiba-tiba menjadi sangat berat, dan dengan pikiran terakhirnya, ia menutup matanya untuk sekejap, menikmati kenyamanan ini untuk sesaat.

*Sebaiknya pulang dan mengistirahatkan diri*

Empat puluh menit pun telah berlalu, taksi yang ditumpangi Agra sudah sampai dan berhenti persis di depan jalan yang di tuju, matahari sudah lama tenggelam dengan cahayanya di balik cakrawala, sekarang bergantian dengan bulan untuk menghiasi malam di temani dengan lampu-lampu rumah warga, suara jangkrik pun mengiringi malam yang cerah nan sepi ini.

Agra terbangun dari tidurnya persis saat taksi yang ia tumpangi menghentikan lajunya, perlahan ia tersadar dan pandangan buramnya sedikit demi sedikit semakin jelas, ia mengangkat tangannya dengan lesu mengusap sedikit air liur yang mengalir keluar dari mulutnya.

"Sudah sampai kak." Terdengar sang sopir memanggil dengan pelan dari kursi pengemudi, terlihat jelas niatnya oleh Agra untuk tak mengagetkan penumpangnya yang baru saja bangkit dari tidur lelapnya.

"Baik mas, terima kasih, ini bayarannya ambil saja kembaliannya." Agra mengeluarkan satu carik duit kertas berwarna biru berjumlah lima puluh ribu dan satu carik duit kertas berwarna hijau berjumlah dua puluh ribu.

"Baik kak, terima kasih banyak, semoga malam kakak menyenangkan."

"Ya sama-sama mas."

Agra pun turun dari mobil taksi dan perlahan mulai masuk menyusuri jalan di mana rumahnya berada, tak sampai lima menit ia telah sampai di depan sebuah kompleks kos-kos-an yang berada di samping kanan jalan, suasananya sepi namun menenangkan, walaupun tak semua lampu menyala tetapi kos-kos-an ini masih mampu menunjukkan bahwa ada yang tinggal dan hidup di sini.

Ia membuka pintu gerbang utama dengan perlahan, memasuki gerbang ia disambut oleh jalan setapak yang langsung menghubungkannya ke teras tengah kos, di samping kanan kiri jalan setapak terdapat taman yang lumayan luas untuk ukuran sebuah kos di tengah kompleks perumahan.

Terdapat tiga gedung kecil utama yang menjadi tempat kamar-kamar kos berada, dan setiap gedung memiliki tiga lantai, masing-masing gedung berjajar membentuk huruf u, membiarkan bagian tengah terbuka menjadi teras tengah kos, di atas teras, menyatu dengan ketiga gedung adalah atap bening layaknya rumah kaca untuk melindungi dari hujan, tempat yang sangat cocok untuk bersantai dan berdiskusi ria dengan sesama penghuni bila cuaca sedang bersahabat.

"Sudah pulang bocah!" Suara nyaring tiba-tiba memanggil Agra yang baru saja memasuki jalan setapak melalui pintu gerbang utama, menengok ke arah suara, Agra melihat seorang wanita tua memegangi selang yang ter aliri air sedang menyirami bunga-bunga di taman samping kanan.

"Iya nek, maaf pulang malam lagi, aku ketiduran di perpustakaan tadi." Agra langsung menghampiri wanita tua, yang di panggil nenek, di taman dan mencium tangannya, sang nenek memandangi wajah Agra yang memasang senyum canggung selama beberapa saat, lalu dengan tiba-tiba ia mencubit lengan bagian atas Agra dengan sekeras mungkin.

"Ouch-ouch...Maaf nek."

"Kamu ini gak jago berbohong, ada sesuatu kan?" Melepaskan cubitannya setelah beberapa saat, nenek pun langsung menanyakan pertanyaan yang tepat sasaran tanpa basa-basi ke Agra.

"Hahh...Gak apa-apa kok nek, cuman mimpi buruk saja pas ketiduran di perpustakaan, akhir-akhir ini juga banyak tugas di sekolah, jadi sedikit lelah aja." Agra menjawab pertanyaan sang nenek dengan mempertahankan senyuman kakunya, sambil mengusap-usap tangan yang baru saja dicubit dengan keras oleh wanita tua di depannya.

"Nek Ti, keran sudah beres di ganti ya!" Terdengar suara yang berasal dari kamar mandi lantai satu, Agra melirik ke arah tersebut dan benar saja ada seseorang yang sepertinya sedang memperbaiki sesuatu.

"Sip Jo, sekalian bersihin juga ya kamar mandinya, hari ini giliranmu!" Nenek balik membalas sambil mengarahkan pandangan ke kamar mandi, melepaskan tatapan dari Agra.

"Oh...Oke!"

"Yasudah ya nek, Agra pamit masuk kamar duluan, masih ada tugas yang harus dikerjakan." Terlihat teralihkan, Agra mengambil kesempatan untuk lepas dari pembicaraan bersama sang nenek.

"Oh oke oke, yasudah balik sana ke kamar, istirahat yang bener." Beruntungnya untuk Agra ia mendapatkan kesempatan itu karena sepertinya sang nenek benar-benar melupakan percakapan sebelumnya dan membiarkan Agra pergi.

Menaiki tangga ke lantai dua, Agra pun akhirnya sampai di depan pintu kamarnya, kebetulan kamarnya ada di samping tangga sehingga tak perlu lagi berjalan jauh melewati lorong untuk sampai ke kamarnya.

Mengeluarkan kunci dari saku celananya, ia membuka pintu dengan perlahan, masuk ke dalam dengan kaki kanan terlebih dahulu dan menutup pintu kamarnya lagi sebelum menyalakan lampu.

"Aku pulang."

Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam, Agra melepaskan dulu kedua sepatunya dan menaruhnya di rak kecil yang berada di samping kiri pintu masuk, serta menggantungkan jas seragamnya di gantungan baju yang terletak di belakang pintu.

Berjalan masuk lebih dalam, dapat terlihat ruangan yang seharusnya kecil namun terlihat lebih luas dengan betapa hampanya ruangan Agra, tidak banyak barang-barang apalagi sekedar dekorasi, hanya sekedar tempat tidur satu orang di sebelah kanan dan lemari kecil di depannya, di tengah ruangan terdapat meja bundar kecil, lalu di samping kirinya lagi sebuah televisi LED kecil yang dibiarkan ditaruh di lantai tanpa meja. Ke arah kiri terdapat penyambung ruangan yang tersambung ke sebuah dapur kecil, dan di samping kanan langsung berhadapan dengan pintu kamar mandi. Memang kecil namun setidaknya terdapat kamar mandi pribadi di dalam masing-masing kamar.

Agra menaruh tasnya di samping kasur dan langsung menjatuhkan diri ke dalam empuknya matras yang menjadi tempat tidurnya setiap malam. Terdiam sejenak dalam posisi itu, ia berusaha mengingat semua yang terjadi hari ini, sore yang seharusnya berlangsung hanya beberapa jam entah mengapa terasa lebih lama dan menyiksa, dia kembali mereka ulang semua skenario mengerikan itu di dalam benaknya, perlahan ia memulai dari awal, sampai akhirnya ia tak bisa menahannya lagi dan bangkit dari tidurnya, berlari menuju kamar mandi, membuang semua isi perutnya ke wastafel.

"Hoek..Hoekk...Hah...Hah.."

*PSHHH

*SPLASH

Selesai mengosongkan isi perutnya, Agra lanjut membasuh wajahnya berkali-kali, sampai pada titik jika ada orang yang menyaksikannya sekarang mereka mungkin akan mengira Agra mengidap gangguan obsesif kompulsif. Setelah membasuh kedua tangan dan mukanya berkali-kali selama sepuluh menit penuh, Agra akhirnya berhenti dan memandangi wajahnya yang terpantul pada kaca wastafel.

Menatap wajahnya yang pucat dan masam, Agra tak bisa menahan air matanya lagi dan di kamar mandi kosnya, ia menangis semalaman, sampai akhirnya ia tertidur.

*RINGG

Suara nyaring menggema di dalam ruang kamar mandi yang kecil nan menyesakkan, membuat satu-satunya penghuni yang anehnya tertidur di dalamnya terbangun dengan kejutan, dengan panik mencari asal suara yang ternyata berasal dari ponsel di saku celananya, mengaktifkan layarnya ia melihat angka yang menunjukkan pukul empat pagi.

Setengah sadar Agra berdiri dan mulai berjalan keluar kamar mandi dengan tertatih-tatih, kepalanya terasa berputar-putar dan isi perutnya seolah ingin meledak, alih-alih menghilang atau setidaknya membaik, nampaknya rasa sakit dari semalam malah semakin memburuk, seolah tubuhnya perlahan membusuk dari dalam.

Awalnya ia berniat untuk absen sekolah hari ini, namun Agra pada akhirnya mengurungkan niatnya, di samping tugas yang menumpuk, ketidakhadirannya hari ini malah akan membuat gurunya semakin curiga dan khawatir.

Dengan rasa terpaksa, Agra mempersiapkan buku-buku yang perlu di bawa hari ini, setelahnya menyalakan keran air, sambil menunggu bak dipenuhi air, Agra melanjutkan soal matematika yang belum sempat selesai dikerjakan.

Mendengar cucuran air menjadi tanda Agra untuk segera menyelesaikan apa yang sedang ia lakukan sekarang atau kamar mandinya akan dibanjiri oleh air yang bocor dari bak, beruntungnya ia berhasil mengerjakan semua soal matematikanya dalam kurun waktu tersebut.

Membuka pintu kamar mandi, ia segera melepaskan baju dan menyirami tubuhnya dengan dinginnya air pagi. Sepuluh menit berlalu dan ia sudah selesai membersihkan setiap bagian tubuhnya serta siap dengan seragamnya, sebelum berangkat ia mengambil stok roti dan susu kemasan dari lemari pendingin untuk sarapannya dalam perjalanan.

Pukul lima lewat lima belas menit dan Agra sudah sampai di depan gerbang sekolah dan tentu saja gerbang sekolah masih tertutup, Agra bahkan bisa melihat para satpam yang masih bersiap untuk memulai pekerjaan mereka pada hari ini. Salah satu satpam menyadari keberadaan Agra di depan gerbang dan langsung membukakan gerbang kecil di samping kanan gerbang utama, membiarkannya masuk dan menyambutnya.

"Seperti biasa ya mas, datang pagi sekali, satpam saja lama-lama kalah ini." Sapa sang satpam berbadan kekar, postur tubuhnya menunjukkan dengan jelas bahwa dia sangat menyukai aktivitas fisik yang besar, memang ia dikenal dengan hobinya yang suka ke gym dan bodybuilding.

"Mau bagaimana lagi pak Anton, sudah kebiasaan, haha..." Agra hanya bisa tertawa masam sembari mengusap kepalanya mendengar candaan sarkas dari pria kekar di hadapannya.

"Wihh, baguslah kalau sudah jadi rutinitas, pertahankan anak muda!" Dengan semangat menggebu ia berteriak dan menggenggam pundak Agra, ia bahkan bisa melihat seolah mata pria kekar ini membara dengan api kebanggaan.

"Aish Pak Anton, masih pagi saja sudah heboh." Satu satpam lagi datang mendekati Agra dan Pak Anton yang sedang menggebu-gebu, dengan perawakan tinggi dan kurus, kulit putih cerah, wajah memesona serta rambut pirangnya, tak heran banyak murid perempuan yang menyukainya, dia adalah perwujudan pria sempurna di mata perempuan remaja di masa pubertas.

"Selamat pagi bang Alif, seperti biasa Pak Anton bersemangat sekali ya haha..."Agra mengalihkan pandangannya ke samping dan menyapa satpam yang biasa dipanggil bang Alif, memang di antara semua pekerja di sekolah ini, bang Alif bisa dianggap salah satu yang paling muda.

"Anak seperti ini sangat jarang pada masa sekarang Lif, kita harus melestarikan anak macam ini."

"Ya bukan berarti kau harus membuatnya seheboh itu Pak Anton, kau membuat anak malang ini ketakutan, ya kan Agra?" Bang Alif mencuri pandang ke arah Agra dan lalu berkedip-kedip, memberikan sinyal kepada Agra untuk beraksi.

"O-oh i-iya...tadi saya cukup terkejut, a-anda membuat saya takut Pak Anton."

"Oi aku tahu kalian mengejekku kan? Kalian tidak cukup pandai berakting untuk bisa membodohiku."

Usaha mereka tertangkap basah, pada akhirnya mereka bertiga tertawa bersama melihat kebodohan yang mereka lakukan sendiri, walaupun sebenarnya Agra bingung, kenapa dia harus tertarik ke suasana aneh seperti ini di pagi hari, ya biarpun begitu setidaknya ia bisa mendapatkan tawa ceria di awal hari ini, melupakan sejenak rasa sakit pada malam sebelumnya.

"Saya duluan ya Pak Anton, Bang Alif."

Agra pun akhirnya memasuki gerbang sekolah di pagi buta, menjadi yang pertama untuk menapaki kakinya di lingkungan sekolah pada hari ini, sama seperti di hari-hari sebelumnya, menjadi yang paling pertama masuk dan menjadi yang paling terakhir pulang.

*RING RING

Bel pulang sekolah pun berbunyi, jam telah menunjukkan pukul 15.30 sore, dan seperti biasa ini saatnya Agra untuk melakukan kunjungan rutin ke perpustakaan sekolah. Sayangnya kondisi cuaca sedang tak bersahabat, langit dipenuhi oleh awan hitam yang siap untuk menurunkan hujan kapanpun, angin dengan kecepatannya yang tinggi menghasilkan suara layaknya sebuah teriakan badai, para murid berburu-buru meninggalkan sekolah, berusaha untuk tak terkena hujan di tengah perjalanan pulang mereka.

Sementara itu Agra baru saja tiba di perpustakaan, Pak Rafiq yang sedang bersantai di meja resepsionis mencuri pandang ke arah pintu masuk, menyadari kedatangannya dan menyapanya dengan senyum.

"Nah ini, kalau bukan pelanggan setia bapak, mau hujan pun masih lebih memilih ke perpustakaan."

"Maaf pak, apakah mengganggu?" Agra bertanya dengan sopan, seolah meminta izin, ia sudah tahu pasti akan diizinkan, selain karena Pak Rafiq ini memang baik kepadanya, perpustakaan sekolah itu tempat gratis untuk para siswa menggunakannya. Pada akhirnya semua ini hanyalah sebuah formalitas dan kebiasaan, namun Agra suka untuk tetap pada alur seperti ini.

"Ya gak dong, perpustakaan gratis untuk semua selama gak berbuat aneh-aneh, bapak Cuma khawatir kamu gak bisa pulang karena hujan." Pak Rafiq membalas pertanyaan Agra dengan santai, menyambut Agra dengan bahagia ke perpustakaan yang telah ia jaga selama satu dekade lamanya.

"Saya menginap saja mau kok."

"Ngawur kamu."

Sejujurnya menurut Agra harus menunggu hujan reda semalaman di perpustakaan tidak terlalu buruk, bahkan bisa dibilang salah satu opsi terbaik baginya, lagi pula ia hanya membutuhkan buku untuk menemani pikirannya dan kesunyian untuk memberinya ketenangan.

"Tidak tidak, bapak tidak akan membiarkan kamu bermain-main dengan ide itu, apa lagi sampai benar-benar membiarkanmu melakukannya."

"Huff...Baiklah."

Merasa tidak bisa melanjutkan idenya dan membuatnya menjadi kenyataan, Agra pun menyerah dan memutuskan membaca sebentar, satu atau dua buku saja dan mungkin meminjam salah satu buku untuk dibawa pulang sebelum hujan benar-benar datang.

Mengelilingi barisan-barisan rak buku, Agra meraba-raba, menentukan buku apa yang harus dibaca hari ini, ia tak punya banyak waktu saat ini, jadi ia tak bisa berlama-lama membuka buku satu persatu untuk menentukan mana yang layak perhatian penuhnya.

Sebenarnya Agra cukup percaya diri menyatakan bahwa ia sudah hafal dengan semua buku yang ada di perpustakaan ini, tidak hanya sekedar judul, tapi juga isi dari seluruh ratusan buku yang ada di perpustakaan sekolah ini dan bahkan posisi peletakannya, sehingga Agra dapat tahu bila ada buku baru ataupun jika ada seseorang yang sembarangan mengembalikannya.

Maka Agra sangat yakin bahwa buku dengan sampul hitam polos yang sedang ia sentuh saat ini adalah buku baru, namun di sinilah Agra menyadari adanya keanehan, buku ini belum ada di bagian rak ini kemarin dan sepengetahuan Agra tidak ada jadwal pemasukan buku baru kemarin.

Mungkin saja Pak Rafiq diam-diam memasukkannya, tetapi pikiran ini juga langsung terbantahkan dengan fakta bahwa kemarin Agra tetap berada di perpustakaan hingga menjelang petang dan ia tidak melihat ataupun menyadari Pak Rafiq menyuplai masuk buku baru, lagi pula kalau memang benar ia menyuplai stok buku baru ke perpustakaan ia tak akan memasukkan satu buku seperti ini, setidaknya akan ada beberapa buku yang lain, namun kenyataannya hanya ada satu buku ini.

Ya bagaimanapun ia akan membaca buku ini, karena selain fakta bahwa buku ini muncul entah dari mana cukup untuk membuatnya menarik perhatian Agra, ada hal lain yang membuatnya tertarik dengan buku bersampul hitam polos ini, seolah ada sesuatu yang asing membawanya menemukan dan pada akhirnya membaca buku ini.

Mengambil buku tersebut dari raknya, Agra perlahan membuka halaman pertama dan mengejutkannya isi dari halaman pertama kosong, tidak memikirkannya Agra membalik ke halaman berikutnya, berikutnya dan berikutnya, semuanya kosong, ia terus membalikkan setiap halaman dari buku tersebut, perlahan semakin cepat, namun semua halaman itu tetap kosong tanpa ada satu pun kata yang tertulis di situ.

Akhirnya setelah membalikkan begitu banyak halaman dari buku tersebut ia melihat sepatah kata yang tertulis di dalamnya, namun kata yang tertulis di situ justru membuat buku ini semakin aneh. Sebuah kata singkat bertuliskan dengan warna merah, seperti ditulis oleh darah sebagai tintanya.

Tiba-tiba Agra merasakan dorongan yang kuat untuk membaca apa yang tertulis, rasa penasaran yang sangat kuat sampai menyiksa menyelimuti tubuhnya, memaksanya untuk melantunkan kata yang tertulis di buku yang ia genggam.

"Ia yang tak berasal dari dunia ini"

"Raja dari semua raja"

"Tiang dari segala takdir"

"Penguasa setiap ruh"

"Kau Sang Penyelamat"

"Maka aku terselamatkan"

"Ia yang maha tahu"

"Maka rahmatilah aku, dengan berkahmu"

Dunia seolah berhenti, ruang dimensi layaknya terkoyak, terlipat dan lalu hancur, membentuk dimensi baru. Agra tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan dunia di hadapannya hancur berkeping-keping layaknya kaca yang jatuh lalu terpecah menjadi beribu-ribu bagian kecil. Bagian-bagian kecil itu kemudian membentuk dunia baru di hadapannya dan ia tertarik ke dalamnya.

Membuka mata dan sekarang ia berada di tempat yang benar-benar berbeda, berbeda dari apa yang pernah ia lihat dan bahkan berbeda dari segala logika yang ia pahami. Agra seolah berdiri di atas permukaan air yang sangat luas, layaknya laut yang tak berujung, lautan hitam yang sangat dalam, tidak, tak hanya lautnya yang berwarna hitam, seluruh arah ia melihat hanya ada warna hitam, atau mungkin tak ada warna sama sekali, tidak, memang tak ada apa pun di sini, sebuah kekosongan yang sebenarnya, sebuah ketiadaan.

Agra mencoba bersuara, berteriak, namun tak ada yang keluar, karena memang tak ada apa pun di sini, tak ada hal yang bisa menjadi perantara untuk suaranya mengalir keluar, dan ia pun tersadar bahwa jika ini adalah sebuah ketiadaan, maka ia juga telah tiada, namun semuanya sudah terlambat.

'Apa yang nyata?'

Sebuah pertanyaan muncul di benaknya dan dengan itu, Agra termakan oleh ketiadaan absolut.

To be continued...