Chereads / Cerita Seorang Guru - Based on True Story / Chapter 1 - Akhirnya Menjadi Guru

Cerita Seorang Guru - Based on True Story

Shri_Ayu
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.2k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Akhirnya Menjadi Guru

Waktu aku masih di usia muda, menjadi guru adalah salah satu cita-cita yang ku tuliskan dengan penuh do'a di atas selembar kertas yang harus dikumpulkan sebagai tugas di sekolah. Menjadi guru, juga mungkin adalah do'a ibuku yang berkelana menembus langit, bernegosiasi dengan Sang Maha Penulis Takdir hingga entah bagaimanapun aku hendak melarikan diri, tetap saja kembali pada profesi ini.

Dulu ibu pernah berkata bahwa menjadi guru adalah pekerjaan yang mudah. 'Hanya' mengajar anak-anak di kelas saja, dan banyak bonus liburannya. Kalau muridnya libur, maka gurunya juga akan libur. Kalau muridnya sudah pulang, ya gurunya juga akan pulang. Sungguh suatu gambaran penuh romantisme untuk sebuah pekerjaan di dalam pikiran anak-anak yang masih lugu.

Ketika aku mengatakan bahwa aku tidak mau menjadi guru, ibu kembali membujukku dengan kalimat yang berbeda lagi. Katanya, menjadi guru itu enak karena memiliki status sosial atau 'aji' di masyarakat. Menjadi guru cenderung dihormati dan dihargai, sehingga meski gajinya hanya pagi ketemu malam, tapi terlihat gagah berwibawa. Keluar rumah tiap pagi bawa tas, pakai seragam, bersepatu. Dipanggilnya bapak dan ibu. Seandainya waktu bisa diputar kembali, ingin ku sanggah dengan sepenuh hati segala macam bujuk rayu ibu supaya aku mau jadi guru.

Bertahun-tahun yang lalu, guru mata pelajaran kimia sekaligus walikelasku di kelas XII SMA pernah mengatakan, bahwa kalau mau cepat kaya, kerja mudah, jangan jadi guru. Apalagi guru kimia, pokoknya jangan. Ah, waktu itu aku masih tidak paham. Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, baru ku sadari bahwa aneka macam kewajiban guru yang sesungguhnya itu tidak akan habis dikerjakan dari pagi sampai pagi lagi.

Ini adalah ceritaku pribadi, mungkin juga akan kuselipi beberapa cerita dari kawan dan rekanku. Kami adalah para guru muda yang memiliki segudang mimpi tentang generasi muda dan Indonesia. Tetapi seringkali profesionalitas kami digaji bercanda. Ah tak apa, katanya memang guru pekerjaan paling mulia. Karena guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Jasanya besar, tapi tanpa tanda. Entah kenapa.

--

Biar sedikit ku kenang dulu. Pertama kali menjadi guru secara nyata sepertinya terjadi pada tahun 2019. Pada saat itu, aku melihat ada lowongan pekerjaan sebagai guru pengganti di salah satu SMP swasta di kabupaten Gresik. Lokasinya berjarak 60 menit perjalanan dari kos tempatku bermukim. Mengajar mata pelajaran IPS untuk kelas 8 dan 9, plus menjadi wali kelas pengganti.

Ah, waktu itu aku masih idealis sekali. Pertama kalinya menjadi guru, aku berani sekali mengiyakan untuk menjadi guru pengganti dengan total 36 jam pertemuan per minggu plus menjadi wali kelas. Otak dipenuhi segudang teori tanpa praktek. Ilmu psikologi remaja ku ulangi berkali-kali. Teori pembelajaran inklusi ku baca lagi dan lagi. Dan ya, aku kira dunia persekolahan adalah tentang dunia dimana aku pernah menempuh wajib belajar selama 12 tahun di kota asal nan jauh di lereng gunung sana. Ternyata salah, aku salah besar. Barulah aku menyadari dengan sepenuh hati, bahwa karakter remaja di daerah-daerah kota besar seperti Surabaya plus daerah penyangga sekitarnya, utamanya yang masih berbatasan, sangat sangat sangat jauh berbeda dengan karakter remaja di kota asalku.

Takdir mengantarkanku pada sebuah pertemuan dengan anak-anak yang berkarakter cenderung memberontak terhadap aturan orang dewasa. Awalnya ku kira karena mereka memang minim akhlak, ternyata aku salah lagi. Ada banyak cerita kompleks di dalamnya.

Pencarian jati diri, keluarga yang tidak peduli, lingkungan yang tidak mendukung, hingga kecenderungan pembiaran terhadap perilaku pemberontakan ini menjadi penyebab yang saling menggandeng satu sama lain.

Kisah tentang anak di bawah umur yang sudah harus bekerja setiap pulang sekolah atau kebutuhannya tidak akan tercukupi, kisah tentang anak yang tinggal bersama kakek neneknya karena kedua orangtuanya berpisah dan sibuk dengan keluarga barunya masing-masing, hingga kisah anak yang hidup terkekang di bawah bimbingan paksa orang tua yang justru menghalangi tumbuh kembangnya.

Bulan September 2019. Aku akhirnya mengawali karir secara serius di dunia pendidikan sebagai seorang guru. Dan untuk pertama kalinya menyadari, bahwa dalam dinding-dinding tempat mendidik itu, ada jiwa-jiwa anak yang terluka tapi tak kunjung sembuh. Sebab nyatanya, ketidakpedulian mereka dapatkan bukan hanya di rumah, tapi juga dalam institusi yang mereka sebut sebagai sekolah.

Saat itu, saat kesadaran itu muncul dalam pikiranku, aku menyadari, bahwa takdir telah menuntunku bertemu mereka. Jiwa masa kecilku pernah terluka, dan aku dipertemukan dengan anak-anak yang juga terluka.