"Elena?"
Rian yang bertelanjang dada segera bangkit dari atas tubuh wanita yang dikungkung pria itu di atas sofa.
Sementara Elena tersenyum getir saat wanita tanpa busana itu menoleh padanya.
"Na!"
Elena tak mempedulikan panggilan Rian. Tubuhnya berbalik, beranjak pergi dari pintu apartemen milik pria itu.
Yang sialnya Rian berhasil menghentikannya.
"Minggir!"
"Dengarkan aku dulu."
Rian keukeh mengungkung Elena di balik tembok. Tangan besarnya terangkat untuk mengusap air mata sang kekasih, tapi Elena tak sudi.
"Jangan menatap ku seperti itu."
Apa Rian tengah meminta senyuman Elena disaat wanita itu baru saja memergoki kekasihnya main gila dengan wanita lain?
"Kenapa setelah 2 tahun? Apa selama ini kau memang berniat basa-basi pada ku?"
Elena menepis tangan Rian yang sekali lagi ingin menyentuhnya. Matanya yang sudah memerah melotot tajam.
"Maaf, aku hanya tak menyadarinya. Semuanya terjadi begitu saja. Dan aku menyesal, aku tak sanggup melihat mu menangis."
Cih. Ingin sekali Elena meludahi tampang buaya itu. Elena masih tak habis pikir tentang betapa bodoh dirinya yang akhir-akhir ini mengabaikan perubahan drastis Rian yang mulai tak mempedulikannya. Elena sangat menyesal, bahkan sampai sedetik lalu ia masih terbesit untuk mempertahankan hubungannya dengan seorang bajingan.
"Tentang alasan perselingkuhan mu dan juga kenapa harus dia!" Elena mengalihkan pandangannya, menunjuk wanita jalang yang telah mengobrak-abrik pagi harinya dengan mimpi buruk.
"Katakan padanya persis seperti yang kau bisikkan pada ku sebelum dia tiba-tiba menyusup masuk."
Tanpa rasa bersalah, Renata malah menunjukkan kebanggaannya dengan tersenyum pongah. Wanita selingkuhan Rian sekaligus mantan sahabat Elena setelah ini. Demi apa pun, seberapa tebal topeng yang digunakan Renata sampai Elena tertipu selama ini?
"Sayang... Bukankah kau sangat mencintai ku?" Jelas Renata. Semakin dekat dan merengkuh Rian mencari perhatian.
"Ren!" Yang membuat Rian makin frustasi. Menghempas keras tubuh Renata yang membuat situasinya bertambah runyam.
"Loh, kenapa kau malah membentak ku? Apakah aku salah jika berkata jujur? Kau memang sangat mencintai ku, kan?"
Elena bahkan sampai menggelengkan kepala. Renata yang selama ini nampak seperti wanita pemalu rupanya tak lebih dari seorang jalang.
"Bahkan kau sangat bangga menjadi selingkuhan. Apa kau tak sadar jika tubuh mu hanya dimanfaatkan?"
"Apa kau bilang!?"
Sindiran keras Elena membuat Renata kesurupan. Kuku-kuku runcing bercat hitam itu nyaris mencakar wajah Elena, jika saja Rian tak sigap menjadi benteng.
Sekarang Elena bahkan menjadi penonton pertengkaran dua orang munafik itu. Semakin lama, Elena muak dengan drama yang membawanya ini. Bibirnya terbuka, lantas menceloskan keputusannya dengan mantap. "Aku ingin putus."
Senyap. Sejenak Elena hanya mengawasi respon keterkejutan Rian. Tangan pria itu bahkan terlepas dari upaya jeratannya di tubuh Renata. Yang otomatis membuat setan yang merasuki Renata kembali menguasai.
"Bodoh! Harusnya kau putuskan dulu wanita sok suci itu. Dia sudah menghina ku, brengsek!"
"Na-"
Rian nampak lemas, sementara Renata nampak kesenangan dengan kemenangan curangnya.
"Terimakasih, karena setidaknya selama ini kau membantu ku menghemat biaya transport dengan suka rela menjadi supir ku. Sungguh, aku sama sekali tak rugi kehilangan pria tak berkualitas seperti mu."
"Ku mohon dengarkan penjelasan ku. Posisi ku benar-benar sulit, Na!"
Elena tuli, tak berniat lebih lama untuk membuang-buang waktu. Ia pergi dengan langkah ringan, meninggalkan kedua pengkhianat yang sukses menipunya selama ini.
Seperti yang dikatakan, Elena sama sekali tak menyesal dengan keputusannya. Hanya saja yang tak ia pahami, kenapa dadanya begitu sakit? Sepulangnya, Elena bahkan langsung menggulung tubuhnya di balik selimut dan menangis sejadi-jadinya.
Dari sekian banyak permasalahan hidup, kenapa Elena harus mengalami perselingkuhan? Seakan perjuangannya mendoktrin diri jika sebuah hubungan romantis tak membahayakan hatinya selama ini sama sekali tak berguna.
Setelah perceraian orangtuanya karena perselingkuhan, sekali lagi Elena tertampar kenyataan. Tak ada diantara siapa pun yang memiliki hubungan serius. Dan Elena tak akan mengulangi kebodohan yang sama sampai kapanpun.
.
.
"Ku dengar kau putus dengan pak Rian, ya?"
Elena menghela napas panjang. Pertanyaan ini sudah di ulang ratusan kali oleh Gisel dan Anita.
"Hm."
"Yey!" Deheman malas Elena malah membuat kedua kawannya itu bersorak kegirangan. Terlalu heboh bahkan sampai menarik perhatian seluruh karyawan di kantin.
Elena melempar sendok garpunya di atas piring, buru-buru membungkam mulut lebar kedua kawannya. Sementara pandangannya menoleh kesekeliling dengan senyum bodoh penuh penyesalan pada karyawan lain yang terang-terangan menunjukkan ekspresi terganggu.
"Katakan sekali pagi pada kami. Kau benar-benar sudah putus dengan kadal buntung itu, kan?"
Elena bergidik, melepaskan bungkamannya dan menggosok-gosokkan telapak tangannya yang berembun ke baju milik Anita.
"Apa kalian sudah gila?"
"Kami tak gila, hanya saja kami terlalu bahagia karena kau akhirnya terbebas dari tipuan pria busuk itu," papar Gisel.
"Diam. Aku tak ingin mengingat kebodohan ku lagi."
Elena benar-benar sudah muak. Tapi mereka sepertinya masih tak memahami peringatannya.
"Benda ini yang kau tolak waktu." Sebuah chip memory diletakkan Anita di atas meja. Anita bahkan tak menyadari pelototan tajam Elena padanya alih-alih terus mengoceh. "Kau harus melihat betapa bajingannya dia. Kami benar-benar berusaha keras untuk mendapatkan video itu secara eksklusif."
"Benar, kami bahkan tak meminta mu untuk membayar kami sebagai gantinya. Tapi setidaknya dengan melihat terus video ini, kau akan semakin membenci bajingan itu dan tak akan pernah lagi tertipu mulut manisnya. Atau kau bisa menggunakan ini untuk balas dendam-"
Brak. Gisel dan Anita berjengkit, Elena menggebrak meja, kesabarannya sudah sangat tipis menghadapi kebisingan mereka.
"Bahkan aku sudah tak selera untuk mengunyah kalian." Elena meninggalkan makannya yang masih utuh.
Gisel kebingungan atas kemarahan Elena, sementara Anita malah berpikiran konyol. "Eh, apa dia berubah jadi kanibal?"
"Diam, kau masih saja membuat lelucon di saat keadaan darurat seperti ini. Lihat lah!"
Gisel menyentak kepala Anita. Dan keduanya pun ketakutan sampai menggigil saat melihat Elena dihadang oleh kedatangan Rian dan Renata yang membuat seluruh karyawan terkejut.
Elena tak ingin keributan, niatnya mengalah dan sedikit bergeser untuk melanjutkan langkahnya. Hanya saja tangannya di cengkram oleh Renata.
"Undangan pernikahan ku dan pak Rian. Semoga kau datang, ya."
Gisel dan Anita tau alasan Elena membatu ditempat setelah mereka mendapatkan undangan yang sama.
"Elena ku yang malang. Apa kita harus mengejarnya?"
Gisel kali ini mengangguk setuju pada Anita, takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Cepat-cepat memberesi barang-barang mereka. Sampai menyadari ada yang kurang.
"Loh, chip memory nya kemana?"