Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Hero's POV

NoireRavencroft
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.2k
Views
Synopsis
Schwaltz mengira petualangan di dunia lain itu mudah, tapi bagaimana jika dia disuguhi tugas untuk mengalahkan Raja Iblis sebagai Pahlawan yang dipanggil dari Bumi? Memang trope klise, tapi ternyata ada twistnya juga...

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Pemanggilan Pahlawan

AKU TERBANGUN ketika mendengar suara seseorang yang seolah sedang memintaku melakukan sesuatu yang mustahil. Kuharap itu hanya mimpiku.

Sayangnya, ada suara di lubuk hatiku yang mengatakan bahwa hal ini memang kenyataan. Aku tadi sedang bermimpi tentang kejadian yang membuatku dipanggil ke dunia lain; ya, mengikuti cerita yang barusan kubaca tempo hari, aku terpengaruh dengan serunya jalan cerita.

Pahlawan yang dipanggil akhirnya mendapatkan banyak sekali kekuatan baru yang kemudian dia gunakan untuk melawan monster-monster. Aku ikut terbawa suasana petualangannya yang akhirnya membayang-membayang di benakku.

Itu yang membuatku memimpikan kejadian yang serupa ini. Saat ini, aku lagi terbaring di lantai, memandangi langit-langit ruangan yang tinggi sekali diatas sana. Aku sudah membuka mataku, dan sekarang sedang mengamati lukisan di tembok dan tiang-tiang fondasi.

Aku merasa sedikit sakit. Ada rasa pegal-pegal di pundakku, dan di sekujur tubuh, rasanya seolah jarum-jarum menusuk dengan semangat berkali-kali. Mengikuti kembalinya kesadaranku, serangan jarumnya agak mereda, tapi pegal-pegalnya tetap mengganggu, seolah mereka ingin memberitahuku bahwa aku tidak lagi berada di lingkunganku.

Seiring hilangnya luka-luka imajinasi yang menusuk sakit, perhatianku teralihkan oleh lukisan-lukisan yang disebutkan tadi. Sangat indah, pikirku, dan mereka menggambarkan amarah yang menyala-nyala. Aku tidak paham apa yang ingin disampaikan oleh gambaran-gambaran itu, tapi setidaknya aku bisa mengapresiasi pelukisnya. Pasti dia orang yang sangat hebat.

Salah satu lukisan terbesar yang hampir mengisi seluruh tembok menunjukkan ruangan yang dipenuhi lahar api dari gunung yang meletus. Di satu pojok, seseorang yang kelihatan seperti iblis tampak duduk di atas singgasana yang terbuat dari lava yang membeku.

Dibawahnya, barisan orang-orang berlutut, menghormati iblis yang ada di atas mereka itu. Tapi setelah kulihat lebih jelas, ternyata ada empat orang di depan semua barisan yang berdiri tegak, tidak memedulikan ratusan dibelakang mereka yang menundukkan kepala seolah takut akan kejadian yang mendatang.

Kemungkinan besar mereka akan disuruh maju ke barisan terdepan di pasukan raja iblis ini, dan mereka sangat enggan berhadapan dengan pahlawan yang memimpin barisan manusia.

Dilihat dari suasana goresan warna lukisan, sepertinya pasukan iblis telah kalah dalam konfrontasi terakhir dengan pahlawan, dan saat itu berupaya merebut kembali teritori yang direbut para manusia.

Mereka tengah mempersiapkan pasukan yang lebih banyak dan dengan kekuatan berlipat ganda. Empat jenderal iblis di depan kelihatannya akan memimpin regimen masing-masing.

Tapi pertanyaan penting menyeruak keluar di sini. Bagaimana pelukis ini bisa tahu keadaan musuh? Apakah ini hanya adegan buatan? Lebih bisa dipercaya kalau ini dibuat sebagai gambaran bagaimana pasukan iblis kewalahan menghadapi pahlawan, ditujukan untuk meningkatkan moral pasukan, walau sebenarnya sekadar lukisan belaka.

Memberikanku waktu untuk menenangkan diri dari kejadian paranormal ini memang bagus, tapi kalau terlalu lama bukankah malah membuat bosan? Mana orang-orang yang akan menyambutku? Putri dari kerajaan ini, misalnya, yang disertai Royal Guard; orang-orang berpeluh keringat yang berhari-hari selalu mengenakan armor yang berat dan sesak.

Menengadahkan tombak di tangan kanan mereka, belati kecil yang selalu menghadap langit-langit kecuali jika ada orang yang mencurigakan; mereka akan mengarahkan besi lancip itu untuk menakuti mereka. Dalam kasus ini, akulah yang mencurigakan. Walau pahlawan yang dipanggil oleh mereka sendiri, tetap saja mereka tidak bakal tahu orang macam apa aku.

Mungkin aku harus bersiap diperlakukan seperti itu. Belum pada datang, tapi tidak buruk mengantisipasi kejadian yang...ya, terburuk. Begitulah, aku menenangkan napas yang kian bertambah berat, jantung yang berdebar layaknya suara tenggorokan naga.

Tidak lama setelah aku berhasil mengembalikkan keadaan badanku ke semula, derapan kaki yang bergema di lorong luar pintu itu membuatku sesak napas lagi. Mereka dengan sergap mendorong pintu double-door itu dan melangkah masuk. Tangisan besi terdengar akibat terdorongnya pintu.

Jika kupikir-pikir, ternyata aneh juga tidak ada orang yang menungguku di ruangan yang mirip ballroom ini. Mereka berniat memanggilku, seorang pahlawan dari dunia lain, di tempat ini tapi bahkan tidak berpikiran untuk menyambutku? Kelewatan pun ada batasnya…

Beberapa penjaga yang masuk ruangan dengan sigap membentuk barisan berlawanan yang memberikan jalan bagi orang penting untuk lewat. Mereka berdiri tegak dan membuat barisan sempurna. Tombak digenggam di tangan kanan, menghadap ke atas.

Semua mengenakan baju besi yang memiliki emblem kerajaan di bagian bahu dan punggung.

Tidak lama kemudian, seseorang terdengar bergegas melewati lorong. Ketika sampai di luar pintu, orang ini sedikit memelankan suara langkah kakinya, tiba-tiba berhenti pada detik berikutnya. Ia berhenti tepat sebelum aku bisa melihatnya dari dalam ruangan melalui pintu, jadi kurasa dia malu.

Ha-ha, tidak mungkin.

Sebentar lagi aku akan dikecewakan oleh pemandangan seorang pangeran gendut berperawakan persis babi. Ada baiknya aku jangan terlalu banyak berharap. Kekecewaannya terlalu menusuk dan berat.

Selagi aku berpikir hal-hal yang tidak penting diatas itu, orang baru itu akhirnya masuk. Senjang waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan dirinya menemuiku cukup lama, hingga aku berpikir untuk berdiri dan mengagetinya duluan.

Para paman-paman penjaga berkeringat itu pasti akan menghentikanku, jadi memang tidak mungkin dilakukan. Yah, setidaknya aku bisa menertawainya di dalam hati jika dia ternyata sesuai dengan anggapanku sebelumnya. Aku mendongak untuk melihat ke pintu dengan santai, tapi aku harus terbelalak pada detik berikutnya.

Yang berdiri di depan pintu bukanlah sosok babi yang kukagumi, melainkan seorang putri dengan makna yang sesungguhnya. Ia mengenakan gaun putih yang panjang, ujung-ujungnya terbelai dengan indah di atas lantai.

Tiara yang ditaruh lembut di kepalanya memantulkan sedikit cahaya yang kemudian menerangi mataku; tanganku dipakai untuk menghalangi kilauan itu, tapi mataku tidak bisa berpaling dari memelototinya.

Wajahnya tampak seperti dipahat dengan sempurna—hidung lancip yang melengkung, mata lebar dengan pupil berwarna biru azure yang berbinar-binar, bulu mata bagaikan sikat yang telah lama kupa—eh, bukan.

Nyatanya bulu matanya tak seindah fitur mukanya yang lain...apakah ini yang disebut gap moe itu? Blocotan kurang indah pada pahatan masterpiece wajah ini hanya memberi kesan charm yang lebih saja.

Alih-alih jadi kelemahannya, bulu mata yang alangkah bagaikan sikat gigi buanganku itu malah memberi poin tambahan lagi kepada daya tariknya yang sudah kelewatan kuat.

Baiklah, cukup dengan membahas bulu mata aneh itu. Ada banyak kelebihannya yang lain. Bahkan terlalu banyak, bisa dibilang. Okeh, lanjut terus.

Fitur selanjutnya, Pemirsa, terletak pada—

"W-wahai Sang Pahlawan Pemberani, kami memohon pertolongan anda! Selamatkan dunia ini dari genggaman keji si Raja Iblis kejam!" Seru nyaring sang putri terdengar jelas di gema ruangan.

Tersendatnya lidah di awal seruannya jelas tidak lolos dari pendengaran seluruh yang ada di dekatnya, pandangan lembut mereka terhadap putri menyiratkan kasih sayang yang tidak main-main.

Kelihatannya putri muda mereka masih terlalu kecil dan impulsif, tapi aku lega hal itu tidak membuat para penghuni istana meremehkan maupun merendahkannya.

Sepertinya ini kerajaan yang baik.

Tidak seperti kebanyakan cerita gelap kerajaan yang kubaca. Jadi penasaran dengan raja mereka, nih. Tapi tetap saja...bukankah adegan ini terlalu klise?

Dia bahkan memotong narasi observasi ku terhadapnya.

Helaan nafas berat tak bisa kutahan dan meluncur keluar dari mulutku seakan knalpot yang panas.

Aku tidak tahu bagaimana bertindak selanjutnya. Apakah aku membalasnya dengan serius dan tulus, atau membombardirnya dengan candaan dan cendaka? Putri keras kepala ini pun juga terdiam.

Para penjaga hanya menonton adegannya dari samping, jadi suasananya berubah menjadi canggung dan aneh. Aku sangat ingin memecah keheningan ini, tapi isi benakku kosong. Aku mulai mengeluarkan keringat dingin. Kulihat putri menundukkan kepalanya, badannya sedikit bergetar. Hei, penjaga! Apa tidak bisa membaca suasana?! Bantulah putri kalian itu! Tidak bisa.

Mereka hanya akan bergerak sesuai perintah tertulis dari kontrak mereka itu, takut jika melakukan sesuatu yang memperparah keadaan. Aku yang harus bertindak sendiri. Dengan cara yang benar, tentunya.

Baiklah. Schwaltz, lakukan.

"U-umm… P-putri—"

"Yang Mulia Putri, kumohon tidak bergegas mendahului saya!" Teriakan lirih gadis menerobos pintu dari ujung lorong bagian kanan, tak lama kemudian diikuti sepasang langkah kaki.

Muncullah karakter wanita utama kedua… yang hampir tersandung tatkala melalui pijakan pintu yang memisahkan lorong dengan ruangan; ubin yang sedikit terangkat.

Tentu saja aku akan dipotong perkataannya. Begitulah, alasan kenapa adegan-adegan klise seperti ini sangat menyebalkan.

Putri menoleh ke belakang, membalikkan tubuh langsingnya dengan kesan terkejut. "Elaine?! Ah...maafkan aku. Sedari kecil aku sangat berkeinginan untuk bertemu Tuan Pahlawan, jadi aku tidak bisa menahan diriku…."

Elaine, yang memakai baju pembantu maid dengan frills dari kain berwarna putih-hitam one-piece, terhenti dari langkah tergesa-gesanya, dan segera kembali berdiri tegak sambil membenarkan baju, kain celemeknya yang berkeriput.

Juga menenangkan diri, menghela napas kecil dan menata kembali sikap yang seharusnya ditampilkan di hadapan penjaga dan umum. Kesalahan besar, dia membiarkan dirinya terbawa arus kekhawatiran akan keselamatan putri.

Dengan langkah, cara berjalan, dan kesopanan yang terlatih ia melanjutkan kembali pekerjaannya, mendekati sang putri untuk membantu memenuhi segala kebutuhan yang muncul. Seorang profesional yang asli. Keren kan, narasiku terhadap adegan ini. Walaupun sedikit lebai…

Elaine tersenyum lembut, yang tersirat di baliknya perasaan cemas dan lega bahwa putri baik-baik saja. Ia arahkan bentuk bibir menawan ini ke wajah bingung putri; kulihat dia seperti ingin menegur lembut putri tersayangnya itu, tapi segan karena sedang dikelilingi paman-paman berbau tidak enak (para bapak-bapak penjaga) dan seorang pahlawan yang baru saja mereka panggil.

Tidak karuan jikalau dia bersikap terlalu dekat dan familiar dengan putri kerajaan, dirinya hanya sebagai pembantu rendahan. (Narasi lagi.)

"Baiklah, putri," Elaine memulai perkatannya, menghela napas yang dipendekkan, "akan tetapi, mohon lain kali, jika saya sedang sibuk melakukan tugas menyiapkan keperluan putri dan ada hal yang ingin dilakukan di tempat terpisah, tunggulah dan pergi berbareng saya.

Saya sebagai tidak hanya pembantu pribadi putri, tapi juga sebagai penjaga pribadi, sudah jadi tugas saya untuk selalu menemani putri kemanapun perginya. Apabila sesuatu terjadi dan saya tidak berada di samping putri…."

Putri memejamkan dan membuka matanya, membalas senyuman dengan anggukan yang menunjukkan dia mengerti dan menerima suatu pemikiran yang terbesit seketika.

"Elaine, bukankah aku telah mengatakannya berlusin kali sebelum ini? Tidak perlu bagimu untuk selalu berada di jangkauanku, entah itu untuk melindungi atau pun membantuku. Aku akan selalu baik-baik saja, tidak ada alasan bagimu untuk cemas! Lagipula...tidak. Selain itu, kenapa kamu masih saja bersikeras menggunakan bahasa sopan denganku di tempat umum? Tidak perlu seperti pembantu kaku itu didepanku! Sudah terlalu banyak mereka yang bersikap begitu...dan juga, satu lagi, apa mungkin, kamu diperintahkan Ayah untuk mengawasiku dari melakukan hal senonoh—"

"Putri!" Elaine buru-buru memotong tuduhan putri sebelum ia berhasil melontarkannya, yang memberikan kesan bahwa memang ada benarnya. "Anda tahu bukan seperti itu! Saya mohon Putri lebih menahan diri untuk tidak membeberkan h-hal semacam i-itu, d-dan—"

"P-permisi, saya…" Aku berupaya mengangkat suaraku yang memang sejak lahir sudah kecil karena sebab yang alami. Sepertinya banyak ya, pemotong perkataan dan pembicaraan hari ini.

Dan juga, tuh.

Mengapa si pembantu bernama Elaine ini mengatakan membeberkan? Jangan-jangan itu semacam konspirasi dan perintah rahasia raja? Lucu. Akan tetapi, Putri, yang menjadi target pengawasan dan tuduhan senonoh mereka berdua, mengetahuinya dan berniat memberi tahu…?

Putri dan pembantu sama-sama menoleh dengan serasi. Keberadaan seorang asing di ruangan bergema itu hampir hilang dari benak mereka selagi komedi rutin sehari-hari teman dekat itu mereka jalankan.

Selama beberapa saat, dua pasang muka meraut itu bersamaan mengeluarkan keringat di dahi, lantas mereka perlahan mengerti situasi memalukan ini (bagi mereka berdua; aku tidak, atau mungkin sedikit).

Rona merah mulai bergerak menutupi pipi mereka berdua. Hingga aku pun ikut malu gara-gara, menutupi pandanganku dengan jemari dua tangan kanan-kiri. Aku yakin dengan apa yang akan terjadi setelah ini, makbegitu aku tidak ada keinginan menyaksikan. Rasa perih di lubuk hati telah cukup tanpa tambahan adegan klise satu lagi.

Dua suara meliputi yang satunya, di ucapkan dalam waktu yang hampir sama, dengan nada yang menandakan kepanikan dan kecemasan, "T-tuan Pahlawan, maafkan kami! kami tidak bermaksud mengabaikan Anda yang sedang berada disamping kami!"

Aku tersenyum kecut. Mendengar cara mereka ngomong mengingatkanku dengan hal yang menyusahkan di masa laluku, saat aku masih remaja tidak karuan yang suka menonton film. Jarak antar jemari yang masih menghalangi pandangan kulebarkan, tapi tetap tidak kulepas. Begini lebih efisien bagiku, karena aku tidak bisa melihat perusak pandangan itu dan memperlambat waktu yang tidak perlu.

Aku mencoba memasang suara yang santai. "Ah, tidak apa-apa kok. Lagipula, saya pun ikut menikmati sajian yang kalian berikan dengan melakukan adegan tadi…." Eh….

Waduh, kenapa aku malah mengomentari…? Terlalu santai woi! Aku menegur diriku sendiri.

Putri tampak lega, terbebaskan dari rasa bersalah yang sepertinya sedikit muncul. "Syukurlah kalau begitu...saya takut anda akan tersinggung, Tuan Pahlawan."

"Hee-hee-hee, apa maksud anda, tuan putri? Saya tidak akan tersinggung dengan hal sepele seperti itu! Tenang saja." Mungkin aku terlalu kasual, ya.