Chereads / Kehidupan (yang Normal) di Dunia Lain / Chapter 1 - Nikmati Saja Hidup (yang Normal) Ini

Kehidupan (yang Normal) di Dunia Lain

🇮🇩fikrimuzakki
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Nikmati Saja Hidup (yang Normal) Ini

"NO CONTROL ...!!! NO SURPRISE ...!!! I TOSSED-."

Pagi-pagi buta aku dibangunkan oleh teriakan mendiang Chester Bennington. Aku segera beranjak dari kamar tidur dan cuci muka. Lalu aku menyalakan TV untuk menonton kualifikasi F1 GP Kanada.

Tentu saja aku tidak berharap banyak kepada Ferrari, karena ya ..., memang tidak bisa diharapkan. Bayangkan saja, setiap balapan ada saja hal yang aneh bin ajaib dari tim itu. Apalagi tim strategisnya yang selalu saja bikin lawakan tiap balapan.

Namun aku harap ada yang bisa menghentikan dominasi Toyota Gazoo Racing yang selalu meraih juara konstruktor sejak tahun 2032.

Sayangnya harapanku tak terkabul karena Toyota kembali meraih grid pertama dan dua untuk balapan besok. Begadangku rasanya sia-sia saja, apalagi mengetahui mesin Ferrari kembali bermasalah. Kalau satu gak masalah, dua-duanya meledak, di Q1 pula.

"Sepertinya aku ingin beli baju 'BUKAN TIFOSI' nanti."

Karena sekarang masih jam 4 pagi, aku kembali ke kamar dan kembali tidur.

******

"HAH!?"

Aku terbangun dari tidurku untuk yang kedua kalinya hari ini. Kali ini aku terbangun karena mimpi yang sangat aneh. Saking anehnya, aku sampai bingun mau jelasin seperti apa mimpi itu. Yang jelas aku dikejar-kejar orang aneh dan terjatuh ke dalam lubang hitam. Hanya itu yang kuingat.

Jam ponsel menunjukkan pukul 07.12. Perutku juga berunjuk rasa minta diisi makanan.

"Hmmm ...! Baunya ...!~"

Aku mencium bau yang lezat dan menggugah selera dari dapur. Ketika kudekati sumbernya, terlihat seorang wanita berambut jingga sedang merebus mie. Ujung telinganya yang runcing dan celemek yang menutupi gaun hitamnya membuatku mengenali wanita itu.

"Oh, Envy, sejak kapan ke sini?"

"Baru saja, Felix. Mau kumasakin sekalian?"

"Mie goreng satu. Perlu aku bantu buat teh."

"Iya, tolong."

Setelah semuanya sudah siap, kami menikmati sarapan yang sudah kami buat di ruang TV. Aku juga tidak ingin ketinggalan kartun Minggu pagi.

Acara kartun pagi ditambah mie goreng dan segelas teh hitam merupakan kombinasi yang sempurna bagi kami yang ingin bermalas-malasan di hari libur.

"Kudengar Ferrari gagal lolos Q1."

"Diam! Saya tidak ingin mendengar apapun tentang Ferrari."

Setelah sarapan, aku melihat jadwal kegiatanku hari ini. Aku selalu menulisnya tiap malam agar kehidupanku tertata dengan baik.

Hari ini aku ada balapan virtual di sirkuit Monza. Aku langsung menyalakan komputerku di kamar dan melatih race pace-ku agar bisa stabil di balapan nanti. 1 menit 24 detik merupakan catatan waktu terbaikku dan race pace-ku stabil ketika memakai ban medium. Aku rasa aku sudah siap untuk balapan nanti.

Beberapa jam berlalu. Perlombaan balapan virtual F1 pun dimulai. Kami diberi waktu latihan 30 menit untuk latihan. Hasilnya lumayan karena aku bisa meraih posisi ketiga dengan ban soft. Lalu saat kualifikasi, aku berhasil lolos ke Q3 dan berhasil meraih posisi ke lima di grid. Catatan waktuku hanya kalah 0.3 detik dari pole sitter yang mengendarai Toyota.

Masih ada waktu 15 menit lagi untuk balapan, aku putuskan untuk menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk livestream. Mulai dari cek koneksi, menyiapkan OBS, mengatur webcam. Setelah semuanya siap, aku siap menyiarkan balapanku kepada penggemarku. Aku juga sudah memesan steak giant rabbit untuk makan siangku.

Setelah perut terisi, aku langsung menyapa penggemarku di internet.

"Hai, semua! Sadlife di sini."

Aku senang masih ada yang menonton livestream-ku meski hanya sekitar 40 orang. Setidaknya lebih banyak ketimbang kemarin. Karena itulah aku tidak boleh mengecewakan semua.

Balapan telah dimulai, aku dengan mobil Ferrari-ku langsung mengambil sisi luar. Namun insiden tak terduga terjadi antara posisi satu dan dua di chicane awal. Aku yang berada sedikit jauh dari mereka mampu menghindar dan memanfaatkan insiden itu untuk memimpin balapan.

Berbekal latihan tadi, aku melahap putaran demi putaran dengan waktu yang konsisten dan meninggalkan posisi dua dengan jarak yang cukup jauh. Dengan begini aku bisa memainkan strategi 2 stops. Medium di stint awal, lalu menggunakan medium lagi di stint kedua, dan ban soft di stint terakhir hingga finish.

"YESSS ...!!! LET'S GO ...! WOOO ...!!!"

Betapa senangnya diriku saat meraih posisi pertama untuk pertama kalinya di kompetisi ini. Walau terdapat sedikit keberuntungan yang terlibat di awal, tapi hal itu tak akan terjadi jika aku tidak konsisten mencetak waktu yang baik saat balapan tadi.

Namun yang paling penting dari semua itu, aku berhak mendapatkan uang. Jumlahnya lumayan untuk makan satu minggu. Donasi yang terkumpul juga cukup untuk membayar tagihan internet dan listrik bulan ini. Dengan begini, aku tidak perlu khawatir dengan keuanganku bulan ini.

******

Aku terbangun dari tidurku untuk yang ketiga kalinya. Kulihat langit sudah berwarna jingga dari jendela kamarku. Sudah waktunya bagiku untuk mandi sore, karena bau keringatku sudah menyengat.

Sebelum ke kamar mandi, aku mendapati Envy sedang frustrasi menatap layar TV. Ketika kulihat lagi, dia kesal karena mati mulu lawan boss di gim Resident Evil terbaru.

"Seharusnya tunggu saja dia menyerang, terus kau menghindar. Pas kau ada di belakangnya, tembak tengkuk belakang monster itu."

"Aku paham."

Sebagai veteran yang baik, aku harus memberikan tips dan trik kepada pemula untuk menyelesaikan suatu level di dalam gim. Envy melakukan yang kusarankan dengan baik dan berhasil mengalahkan monster itu.

"Mau kumasakin apa?"

"Hari ini aku ingin makan di luar. Mau ikut?"

Envy mengajakku untuk makan malam di luar, tepatnya di sebuah kafe yang bernama 'Neko Maid Café'. Nama kafe ini sendiri terinspirasi dari anime Nekopara, di mana pelayannya memakai baju pelayan seperti di anime bukan seperti pelayan kerajaan.

Kenapa aku bisa tahu?

Karena kafe ini milik temanku.

Saat berada di dalam, kami berdua langsung disambut oleh dua pelayan cantik dengan ras yang berbeda. Yang satu ras kelinci telinga putih dan yang satunya ras medusa. Kalau kau gak terbiasa melihat ras medusa, kau pasti takut melihat rambut ularnya. Tenang saja, dia tidak akan mengutukmu menjadi batu, kok.

"Selamat datang, tuan dan nyonya ...!~"

Kami berdua mencari tempat duduk dan salah satu pelayan memberikan menu kepada kami berdua. Kulihat-lihat menunya kebanyakan berada dari tempat asalku. Karena itu, aku tanpa berpikir panjang untuk memilih yang ada di menu.

"Ayam geprek sama es teh."

"Eh, bukankah itu menu yang murah? Yang mahal sedikit, kan, aku yang traktir."

"Aku udah gak pernah makan ayam geprek sejak nganterin adikku sekolah di duniaku. Jadinya kangen aja makan ayam geprek."

"Iya, iya, aku paham. Aku pesan rabbitburger dan parfait stroberi."

"Baik, silahkan ditunggu, ya."

Sembari menunggu pesanan, aku ingin memotret suasana café yang ramai ini. Kebanyakan yang datang ke sini para pria jomblo sepertiku yang butuh penyegaran dari gadis pelayan dan para gadis yang ingin makan makanan manis.

Para gadis, ya?

"Hmmm ...!"

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Felix?"

"Ras peri kalau umur 40 sepertimu masih bisa dibilang muda, gak?"

"Gak sopan!"

Aku tertawa saja melihat reaksi kesalnya. Dibilang imut, tapi dia gak cocok karena sebenarnya dia seorang tante-tante. Dibilang tante-tante juga perawakannya kayak bocah SMA.

Tunggu! Bukankah kalau begitu ini terlihat seperti diriku sedang mengajak kencan dengan gadis yang lebih muda dariku?

"Kau kenapa?"

"Eh, gak, gak kenapa-kenapa, kok?!"

"Yang bener ...!?"

Sial, dia curiga! Aku harus mencari topik lain agar dia tidak curiga dengan isi pikiranku. Seperti .... Ah, iya juga!

"Penampilanmu beda 180 derajat dari dirimu yang biasa."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Rambut panjang yang dikuncir kuda, kaca mata persegi, jaket olahraga hitam. Orang lain yang melihatmu bakalan mengira dirimu seorang wibu daripada seorang pahlawan."

"Ssshhh ...! Jangan keras-keras!"

"Iya, iya, maaf."

Tak lama kemudian, pesanan kami berdua telah tiba. Aku bisa mencium aroma rempah-rempah yang kuat dari duniaku. Aku tak sabar untuk memakannya. Akan tetapi, pelayan berambut hijau itu melarangku untuk melakukannya.

"Makanan itu belum dimantrai, tuan."

"Ah, iya."

Pelayan tersebut membentuk tangannya menjadi hati dan mengucapkan mantra seperti di anime.

"Sihir lezat ...! Sihir Lezat ...! Moe, moe, kyun ...!~"

Apa kalian berharap aku mengatakan itu?

Tidak akan dan tidak mungkin terjadi!

Aku hanya meniru gerakan tangan pelayan itu untuk menyenangkan pelayan itu. Namun tampaknya tante-tante 40 tahun di depanku sangat menghayatinya.

Hmmm ...! Biarkan saja, dah. Yang terpenting aku bisa makan ayam geprek ini.

"Ummm ...! Enak ...!"

Sesuai ekspektasiku, ayam geprek ini sangat enak. Tepungnya yang renyah dipadu dengan daging ayam yang juicy yang bercampur dengan sambal geprek yang gurih dan pedas. Aku bisa bilang ayam geprek di sini nomor 2 terenak dari seluruh ayam geprek yang kumakan. Apalagi ayam geprek ini beneran digeprek, bukan ayam goreng krispi yang diolesi sedikit sambal.

Di tengah kunyahanku yang lain, Envy menatapiku dengan tatapan penasaran. Sepertinya dia penasaran akan rasa ayam geprek ini.

"Mau coba?"

"Gak, ah, pedas. Aku cuma penasaran kamu kok tahan makan makanan pedas?"

"Itu berarti aku beneran orang Indonesia," aku mengatakan itu dengan bangganya.

"Perasaan orang Solo sukanya yang manis?" balasnya sambil memiringkan kepalanya.

"Saya, kan, orang Gresik. Jadi wajar saja suka pedas.

Terus juga, aku pikir semua peri vegetarian?"

"Itu lagi?" dia menghela nafas sejenak, "dengar, ya, kayaknya pemahaman ras peri duniamu dan duniaku beda. Misalnya ras peri tidak makan daging. Sudah jelas aku bisa makan burger kelinci.

Terus apa lagi, ya?

Ah, soal umur peri. Peri di sini tidak ada yang umur sampai 1000 tahun lebih."

"Kan, di anime begitu."

"Begini, nih, kelakuan seorang jomblo 20 tahun. Kerjaannya nonton anime mulu. Jangankan 1000 tahun, ada yang umur lebih 300 tahun saja sudah hebat. Namun aku tidak memungkiri kalau kecantikan elf akan bertahan lama. Mungkin dari itu, kalian berpikiran seperti itu."

Aku mengangguk membenarkan perkataan itu.

"Lagipula ..., jika aku bisa hidup 1000 tahun sekalipun, aku juga tidak akan senang. Itu berarti aku akan lebih sering mengalami kehilangan seseorang selama hidupku. Kehilangan seseorang di medan perang saja sudah membuatku sedih. Aku tidak bisa membayangkan jika aku hidup sela-. Ummm ...!"

Karena aku tidak tahan dengan kisah sedihnya, aku langsung berinisiatif menyuapinya dengan parfrait stroberi miliknya.

"Padahal aku hanya membahas vegetarian, lho, malah ke kisah sedih."

"M-Maaf, hanya saja aku teringat akan rekan seperjuanganku yang gugur ketika perang 20 tahun yang lalu."

"Gimana, ya ...?" aku sendiri bingung bagaimana menghiburnya, sampai-sampai aku menggaruk-garuk kepalaku. "Aku gak punya kata-kata bagus untuk menghibur tante 40 tahun sepertimu."

"Jahatnya ...!" dia mengembungkan pipi layaknya bocah SMP. Jujur saja, itu sedikit menjijikkan.

"Yang jelas aku hanya ingin bilang, nikmati hidup yang damai ini. Hidup damai yang telah lama kau dan teman-temanmu perjuangkan. Jangan ..., aku juga terjebak masa lalu, sih. Yang jelas nikmati saja hidup ini, teman-temanmu pasti senang melihatmu menikmati hidup dari alam sana."

Kedua ujung bibir Envy terangkat, mata merah ruby yang biasanya tajam sekarang menatapku dengan hangat. Aku juga melihat air mata berlinang di matanya.

"Kau ini ..., susah sekali mengelurtkan kata-kata mutiara."

"Berisik! Aku juga bukan motivator yang mengeluarkan kata-kata bagus untuk membodohi orang-orang yang membayarnya."

"Aku tahu, tapi terima kasih, ya."

"Sama-sama."

Jika dipikir-pikir lagi, ras peri dan ras manusia itu sebenarnya sama. Mereka punya emosi, punya akal, bentuk badannya juga mirip selain telinganya. Aku malah bisa bilang kalau ras peri adalah ras manusia yang beda bentuk telinga saja.

Tapi kalau ras telinga kelinci dan ras medusa bagaimana?

"Felix!"

"Eh, iya, iya, ada apa?"

"Kau tidak mau menghabiskan makananmu?"

"Eh, iya, maaf aku melamun."

Kayaknya kapan-kapan saja, dah, aku mikirin hal begituan. Mending aku fokus dengan yang ada di mejaku saat ini. Takutnya ayam di rumah pada mati.

Eh, emang aku punya ayam di rumah?