Malam ini bulan terlihat setengah tertutup, tapi tetap terlihat terang. Dan tidak ada satupun bintang terlihat. Hanya suara suara motor dan mobil yang saling kejar kejaran bersamaan dengan desiran angin yang menyapu wajah Naomi. Sepanjang perjalanan Naomi hanya diam, tidak berkata kata. Kata kata terakhir yang ia ucapkan hanya "Iya aku mau" disertai suara riuh dari orang orang didalam bioskop. Sedangkan Naomi, setelah itu hanya merenungi ucapannya sembari memegang cincin berwarna putih dijari manisnya.
"Kenapa sepanjang jalan diem" Tanya Rio saat mereka tiba didepan rumah Naomi.
Naomi hanya tersenyum, sembari menahan Rio yang hendak ikut masuk kedalam rumahnya.
"Kita ngomong sebentar yuk, didepan" Ajak Naomi.
Rio membuntutinya, kemudian mereka berhenti dilapangan kosong dekat rumah Naomi. Agar suara mereka tak terdengar siapapun.
"Aku emang bilang iya, aku mau nikah sama kamu. Tapi bukan berarti itu dua atau tiga bulan lagi" ucap Naomi membuka pembicaraan.
"Maksud kamu ?" Tanya Rio.
"Aku nggak siap kalau kita nikah dua atau tiga bulan lagi" Jelas Naomi.
Raut wajah Rio mulai berubah serius, ia meraih kedua tangan Naomi dan menggenggamnya.
"Terus kapan kamu siap ? Kita udah punya hubungan bertahun tahun, keluarga aku udah sering tanya. Dan akupun nggak bisa ngelepas kamu Nao"
Naomi menghela nafasnya yang semakin berat, pikirannya tidak berhenti berpikir. Mencari cara untuk menyampaikan pilihannnya pada Rio. Tangannya terus menerus menyibakkan rambut tanda ia gelisah.
"Aku dapet tawaran kerja. Ke Jepang" Singkat Naomi.
Rio berhenti sejenak, kali ini ia melepaskan genggamannya dan mengalihkan tatapannya. Membelakangi Naomi sembari menghela nafas beberapa kali.
"Jadi diem diem kamu punya rencana pergi dari sini Nao?" Lirih Rio.
"Aku nggak bisa minta kamu untuk milih antara aku atau karir kamu Nao, tapi sebelumnya kita udah setuju...."
"Iya aku tau, aku tau banget. Tapi Ri, ini kesempatan aku setelah nunggu bertahun tahun, kamu tau aku udah nunggu momen ini berapa lama, kamu tau perjuanganku Ri" Potong Naomi.
"Dan kamu harus ngorbanin hubungan kita?" Rio sedikit kesal.
"Ri, aku nggak ngorbanin apapun..." Mata Naomi kini mulai berlinang.
"Tapi kamu nunda untuk nikah sama aku secepatnya" Ucap Rio, kali ini nadanya semakin tinggi.
"Kenapa kamu ngga bilang ke aku sebelumnya? Kenapa harus sekarang ? Saat aku udah yakin aku mau nikahin kamu secepatnya" Tambah Rio.
"Ri, aku baru tau kemarin malam. Kamu orang pertama yang tau soal ini. Aku nunggu waktu yang tepat untuk jelasin ke kamu, tapi tiba tiba hari ini kamu ngelamar aku. Dan didepan semua orang itu aku nggak mungkin nolak kamu Ri" Jelas Naomi.
"Kamu udah setuju Nao" Gumam Rio.
Naomi hanya tertunduk lemas, ia tidak lagi bisa memberikan penjelasan apapun pada Rio. Baginya, sekeras apapun ia menjelaskan. Rio akan tetap pada pendiriannya. Dan sebanyak apapun ia menjelaskan, itu hanya akan terus menyakiti Rio. Ia hanya memilih diam, dan tidak melakukan apapun.
"Nao, aku gak bisa ngebiarin kamu pergi. Maafin aku" Ucap Rio memecah keheningan diantara mereka.
"Ri, aku cuma mau bilang. Kamu tau sekeras apa aku berjuang selama ini, untuk sampai ke titik ini. Ri, sumpah aku nggak mau nyakitin kamu. Aku juga udah bilang, aku mau nikah sama kamu. Tapi tolong, tunggu aku sebentar lagi Ri, dua tahun. Aku janji, setelah itu aku nggak akan kemana mana"
"Aku butuh banyak uang untuk lunasin semua hutang ayah, dan ini satu satunya cara. Menikah dengan kamu sekarang hanya akan menambah beban kamu, hutang ayah ga sedikit Ri. Kamu tau, meski sudah bertahun tahun tapi hutang itu belum juga lunas kan?" Lanjut Naomi.
"Soal utang ayah kamu, itu cuma alasan kan Nao. Kita udah pernah bicarain sebelumnya. Kita akan cari Solusi untuk itu. Dan maaf kalau aku harus minta kamu milih antara aku atau karir kamu Nao, aku nggak bisa nunggu kamu selama itu. Aku harap kamu bisa kasih aku keputusan secepatnya"
Rio pergi dengan mata berkaca kaca, tanpa ada kata kata lain. Sedangkan Naomi, dia berjongkok lemas dan mengatupkan kedua tangannya diwajah. Mencoba menahan air matanya, tapi kemudian ia terisak dan menangis sejadi jadinya. Malam itu Naomi tidak tidur, sampai pagi dan ia tidak mendapatkan satupun pesan dari Rio.
*****
Setelah tiba dirumah, Rio lari dan masuk kedalam kamar sembari membanting pintu. Membuat seisi rumah saling betatapan dan bertanya tanya. Ia duduk didepan kaca sambil memandangi fotonya dan Naomi yang tertempel disana, dengan kesal Rio mencabut foto itu lalu membuangnya ke segala arah.
"Nao, sebelum lulus sekolah kamu ninggalin aku karena kamu bilang kamu mau fokus ujian akhir sekolah" Kenang Rio.
"Setelah kita lulus, kamu juga pergi karena kamu harus pindah keluar kota untuk kerja"
"Terus dua tahun lalu kamu juga lebih milih fokus sama karir kamu dan ninggalin aku"
"Sebelumnya, aku selalu yakin bahwa kita akan terus bareng bareng Nao. Meski beberapa kali kamu ninggalin aku"
"Tapi kali ini aku nggak yakin Nao" Lirih Rio dengan pikiran yang berkecamuk.
"Aku nggak bisa lagi kehilangan kamu, aku terlalu takut untuk liat kamu harus sama orang lain atau punya hubungan sama orang lain. Dan yang bisa aku lakuin cuma ngikat kamu dengan pernikahan Nao" Pikiran Rio berkecamuk.
Beberapa kali ia mengetuk ngetukkan jarinya ke meja, sembari menatapi dirinya didepan kaca. Dengan mata berkaca kaca, dan pikiran yang penuh dengan Naomi.
"Maaf kalau kali ini aku egois Nao, karena aku mau kamu. Karena aku ga siap kehilangan kamu dan ngebiarin kamu sama orang lain" Entah kenapa kali ini firasatnya mengatakan bahwa ia akan kehilangan Naomi.
Rio meraih ponselnya, ia mencari nama Naomi pada daftar pesannya. Beberapa kali ia mengetik pesan, tapi akhirnya ia hapus kembali karena khawatir Naomi marah padanya.
"Selamat Malam Naomi, mimpi indah" Gumam Rio sembari kembali meletakkan ponselnya tanpa jadi mengirim pesan.
Ia yakin, Naomi juga melakukan hal sama seperti apa yang dia lakukan kali ini. Dan ia percaya, ucapan selamat malamnya akan sampai pada Naomi dengan lembut sebagai penutup harinya didalam hati.
*****
"Han, oyyyy apa kabar?" Teriak Naomi saat turun dari Bus.
Tepat jam delapan pagi, Naomi sudah sampai di Bandung. Ia sudah sibuk sejak subuh mengejar ngejar bus untuk pergi ke Bandung. Dihadapannya berdiri Hana, sahabatnya saat kuliah dulu.
"Baik Nao, kaget sih aku dapet pesan dari kamu udah di Bandung" Ucap Hana sumringah.
"Iya nih, lagi pengen aja ketemu kamu, Minta pencerahan"
"Haha, bisa aja. Ayo atuh, kita kerumah. Mas Iksan sudah nunggu. Kangen Naomi katanya"
Naomi mengekor dibelakang Hana, mengikuti Hana yang mengajaknya turun naik angkot untuk sampai kerumah. Beberapa kali ia menggerutu karena Hana berjalan terlalu cepat. Tak lama, mereka sampai didepan rumah dengan aksen jaman dulu. Dibalut cat warna hijau yang terlihat belum lama diperbaharui.
Rumah Hana memang terlihat tua, karena tidak pernah dirubah sedikitpun sejak dulu. Meski beberapa kali diperbaiki, tapi Hana menolak untuk merubahnya dengan alasan kenangan masa kecil yang tidak ingin ia hapuskan. Terlebih setelah ibunya meninggal beberapa tahun lalu.
"Eh ada Naomi, apa kabar Nao?" Tanya Iksan, suami Hana.
"Baik mas, ga liat aku makin gendut?" Jawab Naomi bercanda.
"Iya sih, keliatan. Naomi mah gitu yah, denger denger sibuk tapi makan nggak pernah lupa" Ledek Iksan.
"Mas kan tau, iman dietku hanya sebatas nasi padang dan es teh tawar"
"Boleh lah, besok kita cobain nasi padang depan persimpangan sana. Baru buka seminggu lalu, tapi udah rame banget. enak tuh kayaknya. Ehh, tapi nginep kan ?" Tanya iksan lagi.
"Nginep dong, dia udah kesini. Masa iya nggak nginep, Mau aku blokir dia dari daftar orang yang boleh datang ke Bandung kalau nggak nginep disini" Sela Hana sembari membawa sepiring nasi goreng dan teh manis hangat disambut Iksan yang terkekeh geli.
Naomi mulai makan setelah Iksan berpamitan berangkat kerja pada Hana. Tak lama Naomi menghabiskan makanannya dan menikmati teh manis hangat yang disediakan Hana.
"Bandung gini ya Han, nggak pernah berubah, Dingin terus kalau pagi" Ucap Naomi.
"Kamu nggak tinggal disini aja, jadi kerasanya dingin. Bandung udah beda Nao, udah panas sekarang" Balas Hana.
"Kalau disini, makan jadi berasa Han. Padahal tadi sama sekali nggak lapar. Jadi ngantuk juga, padahal dari kemarin aku belum tidur" Jelas Naomi.
"Insomniamu masih parah Nao?" Tanya Hana.
"Udah sedikit lumayan si Han, cuma ya harus dipaksa. Didorong pake obat tidur kadang kadang"
"Jangan tergantung sama obat Nao, kamu udah terlalu banyak minum obat tidur sejak kuliah" Saran Hana.
Tiba tiba keheningan muncul diantara mereka.
"Rio ngajak aku nikah Han" Lirih Naomi tiba tiba, matanya memandang jari manisnya yang terpasang cincin.
Mata Hana membesar saat mendengar ucapan Naomi, sekilas segaris senyuman muncul diujung bibir Hana.
"Bagus dong, kalian kan udah pacaran sejak SMA Nao. Udah saatnya kalian nikah"
"Masalahnya aku dapet tawaran kerja ke Jepang Han, dan kemarin Novel yang aku ajuin juga sudah lolos penerbit"
"Wahhh, ini kabarnya semua bagus ya Nao" Ucap hana sembari mengangguk anggukkan kepalanya.
"Harus ada yang aku pilih Han, Rio atau karirku, Nggak mudah"
Naomi kemudian diam, terdengar suara gemericik air dari kolam yang ada didepan rumah Hana. Dipandanginya ikan ikan yang terus berenang kesana kemari.
"Kamu tau perjuanganku gimana untuk sampai sini Han. Dan kamu juga tau hubunganku sama Rio gimana. Kalau disuruh milih, aku nggak tau. Nggak ada bayangan sama sekali" Lanjut Naomi.
"Nao, kalau susah. Jangan dipilih, jalanin aja" Ucap Hana.
"Jalanin aja, ikutin kata hati kamu, Aku tau kamu adalah orang yang selalu punya rencana, tapi kali ini Cobain deh, jalanin aja apa yang kamu mau. Nanti takdirmu yang akan tunjukin ke kamu" Tambah Hana.
"Kalau aku gagal ? kalau aku kehilangan satu diantara dua itu gimana Han? aku gak siap" Lirih Naomi.
"Siap atau nggak siap, itu Resiko Nao. Kamu akan kehilangan, tapi yang terpenting kamu nggak gagal. Kamu yang tau apa yang kamu mau. Dan saat kamu ngejalanin itu semua, itu kamu Nao. Bukan rencana rencana yang udah kamu susun rapi. Saat ngejalanin itu semua tanpa rencana, itu kamu. Naomi. Dan itu takdirmu"
"Nao, kamu perlu jadi diri sendiri untuk minta takdir nuntun kamu. Nggak akan ada penyesalan saat kamu ngejalanin hidup kamu dengan jadi diri kamu sendiri. Karena kamu tau, itu yang kamu mau" Tambah Hana.
Sekali lagi Naomi hanya diam, memandangi cincin dijari manisnya. Cincin itu terlihat lebih bagus saat dilihat dipagi hari. Ia menarik nafasnya berat, bahkan sesekali kepalanya menahan air mata agar tidak jatuh.
"Aku pengen ngilang rasanya Han, hilang, Kayak nggak pernah ada didunia ini, Supaya nggak dihadapkan sama pilihan sesulit ini" Gumamnya.