Saat itu tiba-tiba jantungnya berdetak sangat cepat, mukanya memerah melihat Nima yang tersenyum padanya.
Mira merasa bahwa ia sudah menyukai lelaki yang ada di depannya, entah sejak kapan. Ia memutuskan akan ikut dengan mereka jika diizinkan dan akan langsung bertanya pada mereka berdua saat ini juga.
"Anu, Nima.. Arin.. Eeeh.. Apa aku boleh ikut dengan perjalanan kalian berdua? Sepertinya sudah tidak ada lagi hal yang bisa membuatku tetap berada di desa ini, namun itu juga jika kalian tidak keberat-"
Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, Arin menjawab dengan penuh semangat.
"Boleeeeeeh, tentu saja, iya kan Nima!!" Ia mengangguk-anggukkan kepalanya padaku dengan sorot mata yang terlihat memohon dengan sangat, lagipula aku tak ada niat untuk menolaknya.
"Iya boleh, lakukan saja apa yang mau kamu lakukan, Mira" Aku menjawab sambil mengunyah sayuran hijau yang sudah disiapkan Mira.
"Kalian serius????" Mira menatap kami dengan penuh antusias terlihat di wajahnya, ia bahagia dan gembira akan jawaban mereka berdua.
"Tentu saja!" Nima dan Arin menjawab berbarengan.
"Kalau begitu, aku mau menyiapkan barang-barang yang perlu kubawa dulu ya!"
"Nanti saja, mari kita makan dulu, kamu ini terlalu bersemangat, Mira" Walaupun begitu namun Arin terlihat tampak sangat senang dengan adanya rekan wanita untuk kedepannya.
"Hehe, iya iya"
Mereka bertiga pun menyantap hidangan makan malam itu bersama di iringi musik dari smartphone yang Nima keluarkan dari penyimpanan dimensinya.
Kediaman Mira sebenarnya cukup jauh dari pusat desa. Bisa dibilang terpisah, tak tahu alasannya apa, dia dan keluarganya mendirikan bangunan yang terpisah seperti ini.
Rumahnya berada di ujung desa dekat bukit kecil yang masih sangat asri, tapi berkat kejadian sebelumnya, berkat iblis-iblis sialan bukit itu kini kering, tumbuhannya kurus, lesu tak bertenaga.
Namun tak apa, kedepannya lingkungan ini akan seperti semula.
Setelah makan aku menggunakan sihir penyembuhan untuk menyembuhkan luka Arin dan Mira yang di dapat selama pertempuran sebelumnya.
Meskipun tak bisa digunakan untuk diri sendiri tapi sihir ini cukup berguna bagi orang disekitar.
Hujan deras turun malam itu, Arin dan Mira memasukkan barang mereka yang tadi sempat mereka keluarkan ke depan halaman karena terlihat berantakan jika ditaruh di dalam rumah.
"Ayo! Jangan lama-lama hujan-hujanannya nanti kalian sakit"
Arin dan Mira hanya bengong ketika tangannya sudah ditarik pria kesayangan mereka menuju rumah.
"Hei! Tu-tunggu, zirahku kena hujan nanti!" Arin mencoba memberitahunya, namun Nima tak menggubrisnya dan langsung membawa mereka ke dalam.
Sampai di dalam Mira merasa tak enak sendiri, karena pria ini berkali-kali repot karena dirinya.
"Oke, Arin kamu bisa pinjam kamar mandiku, kurasa aku punya kaos yang cukup untukmu, semoga kamu suka, nanti aku habis kamu mandinya"
Arin mengangguk.
Tak lama Mira pun bergantian memasuki kamar mandi.
Berjalan ke dekat Arin, Nima meraih handuk di kursi, lalu bergerak mengeringkan rambutnya dengan berdiri di depan wanita cantik itu.
"Kamu ini, rambut basah begini harusnya kamu keringkan dulu tadi di kamar mandi. Bagaimana kalau kamu sakit?" Ia seperti ayah yang sedang menegur lembut anaknya.
Diantara helai rambut yang sedikit bergoyang di dahi Nima, Arin menatap mata Nima sangat dalam, terpesona dengan wajah tampannya.
"Kamu tampan sekali, sangat keren"
Nima tersenyum.
"Kamu juga, maksudku.. kamu cantik.."
Arin tertawa sebentar dan berhenti saat pandangan mata mereka bertemu. Mulutnya sedikit terbuka tanpa bisa berucap lebih lanjut.
Arin menatap Nima. Pria ini memang tampan, sangat amat keren juga. Mungkin pria paling tampan dan keren yang pernah ia lihat secara langsung.
Jantungnya berdegup aneh, napasnya terasa sesak tanpa ia paham apa sebabnya begitu. Hanya karena pandangan mata mereka bertemu?? Tentu saja tidak.
Tangan kanan Arin terulur ke tengkuk Nima. Dalam detik berikutnya, bibirnya mendekat kearah lawan bicaranya.
Dalam sekejap bibir mereka berdua sudah saling memagut, berlomba memberi hisapan-hisapan kuat pada lawan mainnya.
Pulasan lidah pun tak terelakkan, sembari tubuh mereka mendekat yang kian tak berjarak.
Karena tangan kanan Arin sibuk di tengkuk Nima, tangan kirinya ia gunakan untuk menarik kerah dada sang pria sehingga mereka makin lekat dan tak ada jarak lagi diantara keduanya.
"Mmpahh! Haahh! Hhmmp! Hngaahh!"
Arin melepaskan cumbuan panas barusan. Kepalanya pusing, otaknya berdenyut menanggapi keadaan barusan.
"Apa yang kulakukan barusan?! Kenapa aku-"
Belum selesai Arin bergumam, Nima yang sejak tadi kaget dengan tingkah Arin kini menarik pinggang Arin, mengulang cumbuan panas tadi.
Kali ini tangannya tidak hanya pasif, karena telah merayap dan meraba di berbagai wilayah lekukan tubuh Arin.
"Anghh.."
Wanita itu mendesah dan tanpa disadari ketika itu juga mulut Nima turun ke leher dan tangannya mencapai pantat kecil padat sang wanita seksi di depannya.
"Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya, dimanja dan dibuai oleh pria. Apalagi oleh lelaki tampan dan keren sepertimu, kuharap kau tidak bosan denganku untuk yang selanjutnya…" Arin berbisik di telinganya.
Mulut Nima terus menjelajah. Saat ini sudah mencapai gumpalan daging montok sang wanita, dadanya yang empuk, kenyal yang dahulu kerap menyentuhnya. Kini dua buah gumpalan daging itu mengeras, terasa oleh bibir dan lidahnya.
"Kamu tak memakai Bra yaaaa, Hmm.."
Tangannya sudah menyusup ke dalam kaos Arin, menemukan benda kecil yang langsung mengeras begitu tersentuh jarinya. Ia meremas pelan kedua putingnya, melemahkan pertahanan sang wanita di depannya.
Tembok-tembok penghalang diantara keduanya mulai runtuh secara perlahan tanpa mengisyaratkan akan pertempuran.
"A-anghh.. Tadi.. Tak ada Bra di kamar Mira.. Aanghh!!" Arin tersentak tatkala putingnya sudah dikuasai mulut Nima. Pria itu mengulum benda kecil diujung gumpalan daging yang berwarna coklat muda itu, milik Arin yang mempesona dengan diiringi gairah nafsunya.
Tangannya meremas bongkahan payudaranya yang cukup besar milik Arin dengan kedua telapak tangan. Walaupun cukup besar namun tidak berlebihan seperti semangka.
Dengan skill yang baru diciptakannya, ia menghentikan waktu di kamar mandi tempat Mira berada agar Mira tak bisa mendengar aksi dari mereka berdua.
Entah sejak kapan kaos Arin sudah berada di kursi sampingnya. Wanita itu harus berpegangan pada leher Nima jika tak ingin jatuh karena pria tampan yang ada di depannya terus saja memberikan agresi kuat pada kedua benda berwarna coklat muda di ujung dadanya.
"Haangh..anghh..Niim!"
"Aku disini" Sambil menjawab, tangannya terus saja bermain di payudaranya Arin, kemudian mulutnya mulai mendera putingnya itu satu persatu, seolah tak rela jika udara menyentuh benda tersebut.
Mulut Nima terus menghangatkan benda kenyal berwarna coklat muda di ujung dadanya Arin itu. Mengulumnya dalam-dalam, sesekali menggigitnya, menghisap dengan kuat sampai sukma Arin seperti ikut masuk kedalam tubuh sang pria melalui mulutnya.