Jakarta Pusat, 19 Januari 2024.
Aku tersentak dengan napas memburu udara. Mataku menyapu pandang cepat dan menyadari kalau aku telah berada di kamarku. Sementara itu, tepat di sisi ranjang Fiona juga mulai bangun dari tidurnya.
"Akhirnya bangun juga," katanya setelah menguap cukup panjang lalu mengusap wajahnya.
"Apa yang terjadi?" tanyaku sambil menerima segelas air yang ia julurkan.
"Harusnya aku yang nanya," ucap Fiona dengan muka masam.
Aku menunduk dan memegangi kepala karena terasa sangat berat.
"Kau babak belur, untung saja Mas Neo mengantarmu ke sini," Fiona menjelaskan lalu beranjak dari duduknya.
"Kenapa ga ke rumah sakit?" tanyaku sambil mencari bekas luka di tubuhku. Sayangnya tidak ada.
"Apa itu menghilang? Tapi, bagaimana bisa?" aku bertanya-tanya sendiri.
"Kau mau menambah pengeluaran?" tutur Fiona ketus lalu menyerahkan sebuah surat.
"Dari siapa?" tanyaku.
"Pesan dari Mas Neo," jawab Fiona kemudian beranjak pergi sembari berkata, "Ada makanan di kulkas, kau tinggal memanaskannya. Aku mau pergi dulu,"
"Ke mana?" tanyaku.
"Ga lihat jam?" Fiona balas bertanya.
Aku melihat angka yang ditunjukkan pada jam dinding, dan menyadari kalau sudah waktunya bocah itu berangkat sekolah. "Tapi, apa selama aku tidur dia membolos?" aku hanya bertanya sendiri.
Kubuka pesan dari Neo.
------------------------------
Kau punya kualifikasinya.
Kau pantas mendapatkannya.
------------------------------
Kemudian dengan cepat mataku beralih pada nakas di mana ada sebuah botol kecil dengan air putih mengkilap. Seketika aku terkejut setelah sistem menunjukkan nama item itu.
"Holly water!" seruku tersentak girang. "Hahaha ... ini bayaran yang setimpal."
***
Tower Lantai 3, 16 Januari 2024.
Neo baru saja mengaktifkan skill wind barrier, melenyapkan semua makhluk hidup di dalamnya kecuali dirinya dan aku, sekaligus menghalau siapa saja masuk. Membuat area sparing seluas lapangan sepak bola hanya dalam satu kedipan mata.
Aku menelan ludah pada kerongkongan yang kering. Berpikir, "Masa iya, aku harus latih tanding dengan monster itu?"
"Aku akan mulai dalam hitungan lima," ucap Neo sambil mengangkat sebelah tangannya.
"Kau takkan menggunakan skill wind breaker lagi, kan?" tanyaku gemetar. Bagaimana tidak? Bocah itu bisa meledakkan kepalaku bahkan sebelum aku bisa menyadarinya.
"Setiap skill, punya batasannya masing-masing. Cobalah untuk tidak menghirup anginku," Neo menjelaskan dan melompat cepat.
Aku bertahan dari hantamannya sambil mengumpat, "Sialan! Mana bisa aku bertarung tanpa bernapas?!"
"Kau pikir aku peduli?" sambungnya sambil melakukan sepakan yang membuatku terpental cukup jauh.
Aku menyeringai, melirik ke lengan kananku yang masih bergetar karena menahan tendangannya. "Itu sangat kuat. Sialan! Padahal ini belum setengah dari kekuatan penuhnya. Sebenarnya, berapa banyak jumlah strenght-nya?" gerutuku sembari menghirup udara dengan bantuan punggung tangan. Sebisa mungkin mencegah angin milik Neo masuk ke tubuhku.
Neo kembali melancarkan serangan sambil melakukan gerak pindah tempat dengan sangat cepat, jauh melebihi gnoll yang menggunkan skill flesh power. Jelas mataku tidak sanggup mengikutinya, tapi ada yang aneh denganku. Semakin aku mencoba fokus untuk melihat gerakannya, semakin aku merasakan ada sesuatu yang bergetar, dan itu ditunjukkan langsung oleh sistem.
------------------------------
SKILL ???
SEDANG BERGETAR
------------------------------
"Apa ini? Skill? Aku akhirnya mendapat skill pertama?!" aku kegirangan sampai tak menyadari tendangan Neo yang mendarat tepat di wajahku.
Aku terjungkal, mencium lantai berdebu. "Sialan! Aku harus fokus!" batinku kembali memaksakan diri mengamati gerakan Neo.
Awalnya sangat berat. Tentu saja, semua serangannya berhasil mengenaiku. Namun semakin lama, aku bisa menghindari semua terjangannya. Bahkan sampai melakukan counter.
"Kau boleh juga," ucapnya sambil mengusap ujung bibirnya. Alisnya meruncing dengan seringai yang berkilat ia berkata, "Aku akan sedikit serius sekarang," imbuhnya yang sekejap telah berada di belakangku.
Susah payah aku berusaha menghindarinya, tapi gerakan yang justru kulakukan adalah melompat dan menendang wajahnya. Itu sama persis dengan gerakan Neo sebelumnya. "Bagaimana bisa aku melakukannya?" aku bertanya sendiri.
"Aku terkejut, bagaimana kau bisa melakukannya?" tanya Neo seakan mengulang pertanyaanku. "Bagaimana pun itu … tidak penting," sambungnya sambil memasang kuda-kuda.
Melihat itu membuatku was-was, ia akan memakai 50% kekuatannya atau lebih banyak. Yang bisa kulakukan sekarang adalah terus fokus dan membuat diri larut akan perasaan ini, rasa yang tengah bergejolak dengan kuat.
------------------------------
SKILL ???
SEDANG BERGETAR
DENGAN HEBAT
------------------------------
Neo kembali melancarkan serangan dengan begitu cepat. Sementara aku terus mencoba menghindarinya dengan gerakan seminimal mungkin, meski harus menahan serangannya yang menyerempet, setidaknya dampaknya tidak terlalu besar. Sayangnya keberuntungan tidak selalu berlangsung lama, Neo berhasil menghantam pelipisku, tapi entah bagaimana aku justru memanfaatkan momen tersebut untuk mencengkeram tangannya dan melakukan counter bertubi-tubi yang tepat mengenai titik vital. Namun itu mesti berakhir setelah Neo menjejal ulu hatiku dengan lututnya.
Aku terbatuk dan sulit bernapas. Sementara Neo, bagai tak merasakan apa pun. Selain seranganku memang sekadar kuat, bisa jadi bocah itu melapisi dirinya dengan wind cloak atau semacamnya.
Neo melempar tatapan dingin dengan satu tangan mengacung ke depan, yang perlahan mulai muncul sebuah dagger dari angin yang dipadatkan.
"Sialan! Apa dia mencoba membunuhku?!" aku berbisik. "Bergeraklah! Brengseeek!" seruku ketika Neo mulai leyap bak ditelan angin.
Kala hawa membunuh terasa sangat dekat, aku bagai kesurupan berhasil menangkis tebasannya. Namun tekanan yang begitu dahsyat buatku batuk berdarah sampai pedang yang kupakai mesti hancur.
Pada sepersekian detik aku mencoba melancarkan serangan susulan, sayangnya Neo bergerak lebih cepat dengan mengaktifkan skill wind blade, menyayat sebelah pundakku. Aku tidak berhenti, terus melempar tinju sekuat tenaga. Merasa bahwa ada angin yang menghalangi seranganku, aku memaksakan diri untuk menembusnya sampai membuat kami terpental.
Aku merasa bahwa diriku makin hanyut akan perasaan ini. Semua luka yang kuterima sama sekali tidak membuatku berhenti, bahkan seluruh tubuh sudah benar-benar di luar kendali. Yang kutahu adalah, kami lagi-lagi saling menerjang hingga muncul sebuah ledakan yang menghancurkan barrier milik Neo.
***
Jakarta Pusat, 19 Januari 2024.
"Haha.... tentu saja aku kalah … tapi bagaimana semuanya bisa kembali normal? Apa semua player begini?" aku menggumam sendiri lalu berkata, "Status!"
------------------------------
PLAYER HAN
SEX: MALE
AGE: 23
LEVEL: 1
------------------------------
STRENGTH 1 AGILITY 1 VITALITY 1 MAGIC 1
STAT POINTS POSSESSED: NONE
CLASS: NONE
UNIQE ABILITY: NONE
SKILL: ???
------------------------------
"Apa ini?!" aku berseru sambil mencengkeram status window-ku. "Ada yang berubah! Apa akhirnya aku bakal punya skill?"
Mendapati kemajuan yang ditunggu-tunggu, aku melompat dari ranjang merasakan bagaimana otot-otot tubuhku lebih ringan dan padat. "Apa aku juga jadi berotot?" tanyaku sambil mengangkat baju di depan cermin. "Haha … mana mungkin."
Setelah menyiapkan diri untuk kembali masuk ke tower, aku membuka pintu dan terkejut mendapati Fiona yang telah berdiri di sana.
"Mau ke mana kau?" tanyanya dengan wajah sinis.
Aku gelagapan, berusaha mengubah topik pembicaraan. "Kenapa pulang? Ini masih jam sekolah. Jangan bilang kau bolos!"
Fiona mendengus lalu berkata, "Jangan ngeles! Aku pulang karena ada yang ketinggalan." ucapnya. "Mas ... kau mau ke tower, kan?"
Aku menggaruk kepala dan berkata, "Yah … kau tahu, aku cuma mau cari duit. Sudahlah, aku berangkat dulu,"
"Mas," panggil Fiona sambil mencengkeram pundakku, memaksaku diam di tempat. "Sampai kapan mau kabur?"
Aku tak berkata hanya membalas matanya yang menatapku.
"Sudah bertahun-tahun kau tidak menemui Ibu, mau berapa lama lagi?" tanyanya dengan raut wajah sedih.
Aku menunduk kepala, sama sekali tak bisa memberikan jawaban apa pun. Bahkan ketika aku sudah masuk ke tower dan menghabisi monster yang tinggal di sana, dalam batin sekali pun aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan adikku itu.
Di wilayah gnoll, aku terus menatap kosong meski para monster telah mengelilingiku. Akalku benar-benar pudar, walau secara fisik aku membantai monster manusia serigala itu, batinku terus saja mengulang pertanyaan Fiona sebelumnya.
Mungkin sebetulnya jawabannya lebih sederhana, "Karena aku yang membuat Ibu jadi begitu."
Aku masih ingat betul, kejadian dua belas tahun lalu.
Ibuku masih cantik meski sibuk kerja di kehamilan tuanya. Sementara aku berumur 13 tahun. Sebagaimana bocah labil pada umumnya, aku untuk pertama kalinya bertengkar hebat dengan ibuku, hanya karena satu pertanyaan, "Kapan Ayah pulang?"
Tak sekadar adu mulut, kami bahkan sampai angkat tangan untuk memaksa satu sama lain mendengarkan. Hingga pada puncaknya aku berseru, "Mending kau juga hilang sekalian!" kemudian berlari keluar. Mengadu kedua kaki untuk saling kejar sekencang mungkin. Menghiraukan segala seruan juga suara yang ada, yang kala itu tepat sebuah berita menyiarkan tengah terjadi fenomena abnormal.
Langit mulai menghitam dengan guyuran hujan yang lebat, ditambah pemadaman listrik akibat anomali tersebut. Aku lagi-lagi bersikap egois. Mengacuhkan apa yang terjadi di sekelilingku, termasuk Ibu yang terus mengejar meski tanpa mengenakan alas kakinya.
Hingga pada sebuah tempat, aku melihat benda raksasa muncul tepat di atas monas yang diikuti dengan angin kencang dan kilatan petir.
"Han! Berhenti!" ibuku berseru, menerjang hujan juga menyingkirkan para petugas yang menghalangi jalannya.
Tak mau ditangkap olehnya, aku justru berlari ke monas di mana benda raksasa itu mulai turun. Berharap benda itu akan menghantamku dan menghilangkan semua masalah di hidupku. Kehidupan tanpa adanya seorang Ayah.
"Han! Jangan ke sana! Itu bahaya!" ibuku lagi-lagi berseru setelah aku masuk ke halaman monas. Kulihat ia juga baru saja memukuli petugas yang menjegalnya untuk terus mengejarku.
Benda hitam raksasa itu kini mulai menekan ujung dari monas. Badai dan kilatan petir yang menyelimutinya hampir membuatku terbang, tapi lagi-lagi dengan keegoisanku aku terus merangkak untuk mendekat ke sana. Sementara di belakangku, Ibu tidak menghentikan aksinya meski aku tahu betapa susahnya ibu hamil tua untuk pindah tempat, apalagi berlari menerobos hujan badai.
Monas mulai hancur akibat benda hitam raksasa itu, dan tekanan akan angin kencang darinya tak lagi membuatku dapat bergerak. Kilatan-kilatan petir yang teramat terang dan kuat sampai menghancurkan segala benda di sekelilingnya, belum lagi gemuruh yang dikeluarkan menambah kengerian tersendiri.
Aku, dengan tenaga seorang bocah tak bisa bertahan lebih lama dan akhirnya harus terhempas kuat. Terbawa oleh angin untuk terus diputar tanpa tahu kapan berhenti.
"Jangan mendekat!" aku berteriak saat melihat ibuku justru masuk ke badai petir demi mencoba menangkapku. "Pergi! Aku tidak butuh kamu!"
"Bagaimana pun ... kau tetap anak Ibu," ucapnya begitu menangkap tanganku. Wajahnya tampak sangat kelelahan, matanya berkaca-kaca. Aku tahu, kalau aku telah sangat melukainya. "Ibu minta maaf, Nak,"
Aku akhirnya luluh. Semua amarah yang terkumpul sebelumnya seketika lenyap.
"Pegang tangan Ibu!" serunya saat cengkeramannya hampir lepas.
Susah payah aku melawan angin bertekanan tinggi untuk meraih tangan Ibu satunya. Namun belum sempat aku benar-benar menggenggamnya, petir yang begitu dahsyat menyambar ibuku.
"Ti-tidaaak!!!" aku menjerit sekuat tenaga. Dan tenaga yang entah datang dari mana membuatku akhirnya dapat memegang Ibu, sampai memeluknya.
"I-Ibuuu...." panggilku begitu melihat ia membuka mata perlahan.
Wanita itu senyum lalu mendorongku.
Aku terkejut akan perlakuannya, tapi sedetik kemudian petir kembali menyambar dengan sangat kuat. Melihat itu, aku tak dapat berkata-kata.
Ketika aku sadar, aku telah berada di rumah sakit bersama Ibu dan seorang bayi tepat di sampingnya. Awalnya aku senang karena berpikir kami masih selamat. Namun setelah bertahun-tahun berlalu, ibuku masih tak sadarkan diri. Bahkan sampai saat ini.
"Aku ... memang pantas mati." kataku begitu pandangan telah kembali pada kenyataan di depanku.
Seekor gnoll dengan tubuh lebih kecil dibanding gnoll biasa, mengeluarkan aura merah darah. Cakar dan taringnya yang panjang nan tajam baru saja memotong tangan dan kakiku. Tubuhku telah kehilangan banyak darah, dan pandanganku perlahan kabur.
"Apakah ini akhir untuk orang sepertiku?"