Dengan usia 16 tahun, Yuki Tanaka adalah seorang anak jenius yang melampaui batas-batas konvensional seni.
Tubuhnya yang kecil dan matanya yang dipenuhi dengan hasrat seni mencerminkan tekadnya untuk mengeksplorasi keunikan di dalam diri manusia.
Rambut hitam panjangnya seperti pensil melukis yang digunakan untuk menciptakan kisah-kisah tak terbatas di atas kanvas.
Pilihan Dr. Ishikawa untuk menjadikannya subjek eksperimen The White Room tidak hanya didasarkan pada bakat seninya, tetapi juga pada ketertarikannya yang mendalam terhadap proses kreatif dan pemahaman mendalam terhadap makna di balik setiap goresan kuas.
Yuki membawa keahliannya dalam seni ke dalam ruangan steril itu dengan semangat penyelidikan yang menggebu-gebu.
Di hadapan kanvas kosong, dia mencoba menyelami pikiran dan perasaan yang belum pernah dia alami sebelumnya.
Setiap karya seni yang dihasilkannya bukan hanya tentang ekspresi kreatif, tetapi juga menjadi cermin perjalanan spiritualnya di dalam labirin pikiran dan dimensi yang dibuka oleh eksperimen The White Room.
Seiring berjalannya waktu, Yuki menemukan bahwa eksplorasi seninya membawa dampak yang mendalam pada pemahamannya tentang kenyataan dan kesadaran.
Karya-karya seninya tidak lagi sekadar representasi visual, melainkan jendela ke dalam alam pikiran yang terdalam.
Pemilihan warna, goresan kuas, dan struktur karyanya mencerminkan perjalanan kompleksnya di dalam The White Room.
Namun, keputusan Yuki untuk terus membenamkan diri dalam eksperimen itu tidak datang tanpa konsekuensi.
Hasratnya untuk mengungkap misteri semakin memuncak, dan Yuki merasa terjebak dalam labirin dimensi yang terus berkembang.
Keterikatannya pada eksperimen Dr. Ishikawa menggoyahkan stabilitas psikologisnya, dan Yuki merasakan bahwa eksplorasi seninya mungkin menghantarkan pada pengorbanan yang tak terduga.
Dalam perjalanan yang tak terduga ini, Yuki merangkul risiko dan ketidakpastian dengan tekad yang semakin kuat.
Pertanyaan tentang arti seni, batas-batas kreativitas, dan hubungan antara pikiran dan realitas menyertainya setiap langkah, menciptakan narasi yang penuh teka-teki dan kegembiraan di dalam labirin The White Room yang semakin rumit.
____________
Yuki duduk dengan peserta-peserta lain di ruanngan eksperimen, masing-masing dari peserta memiliki bakatnya tersendiri.
Yuki sebagai anak yang memiliki bakat dalam seni akan di berikan kanvas dan alat lukis.
ini hari kedua ku berada disini...satu hari disini saja sudah hampir membuatku gila. pikirku.
aku melihat seisi ruangan, ada beberapa orang yang mulai berbicara sendiri dan mulai bermain sendiri.
secara psikologis ruangan yang 100% berwarna putih akan memberikan gangguan pada jaringan korteks visual.
korteks visual yang terganggu akan mengakibatkan mulainya halusinasi, mulai merasakan kebutaan tentang warna.
ini benar-benar berbahaya, aku tidak tau sampai kapan aku akan keluar dari tempat ini. pikirku.
aku melihat salah seorang yang menarik perhatianku, anak laki-laki yang umurnya berkisar 10 tahun.
anak laki-laki dengan rambut panjang hitam dan lurus, dia seringkali mengajak bicara peserta lain dengan gaya bicaranya yang aneh.
aku menguping percakapan anak laki-laki ini dengan salah seorang peserta.
"Bagaimana denganmu, apa kamu sudah merasakannya?" ucap anak laki-laki.
"iya, sedikit lagi mungkin" jawab teman bicaranya.
aku tidak terlalu tahu apa yang mereka bicaran, namun nampaknya mereka memliki sebuah tujuan yang sama.
WAKTUNYA MAKAN SIANG!
suara keras itu keluar dari sound sistem yang berada langit-langit.
para peserta akan disuruh untuk berjalan sesuai dengan huruf depan namanya, aku selalu berada dibarisan paling akhir.
kami semua akan mengambil jatah makanan kami dari tempat yang sudah disediakan, semua makanan dibuat sama dalam bentuk dan fisiknya.
peserta duduk berdampingan, tidak ada percakapan antara satu sama lain, setiap peserta hanya fokus memakan makan siangnya.
aku menatap anak laki-laki yang sebelumnya, dia berdiri dari bangkunya.