Kaca jendela ku bariskan satu-satu. Supaya menampilkan diriku dengan jelas sepenuhnya.
Aku terlalu sibuk rupanya, melupakan hal-hal yang penting sedang berjalan. Padahal, saat yang terlalu sibuk itu adalah upaya tergigih demi tujuan yang ku tata dari bagian-bagian kecil.
Tapi nyatanya malah lahir citra yang liar.
Sisi benarnya adalah terlalu sibuk. Bahkan kesehatan sendiripun tak ku perdulikan demi tujuan kedepan yang susah payah ku rangkai sedemikian rupa. Belum mencapai hasil, jarak pandang ke arahku sudah miring.
Anginnya memang kencang, pada arena cita yang tiap hari adu otot dengan persepsi orang yang tak sepenuhnya mengerti arti maksud sebenarnya.
Ahh, sudahlah, toh nanti hasilnya akan tercapai sedikit-sedikit, untuk diriku terutama, untuk yang lebih bermakna kedepannya.
Dalam pertarungan itu lama-lama mentalku dihabisi oleh semua orang yang punya pandangannya. Dan, disitu lampu merah menyala, aku berhenti, membuktikan bahwa saat terlalu sibuk itu bisa ku hentikan, karena bukan berorientasi untuk melupakan hal-hal sensitif. Melainkan tujuan yang kompleks dikemudian. Tapi berbusa sudah berbicara bahwa maksudnya tak seperti bagaimana mereka mengira.
Ketika berhenti, kepalaku melihat ke depan secara datar.