Chapter 4 - 3

Akhirnya diriku dan Aruka sampai di depan pintu kelas.

Ah, bagus sekali, ternyata aku diceramahi hingga jam istirahat, buktinya kelas ini berisik sekali sekarang, tak hening seperti saat jam pelajaran berlangsung. Yah, kuanggap ini berkah untuk hari ini, aku tidak boleh sesial itu.

Ingin sekali diriku yang lelah ini duduk di kursi dan tidur dengan kepala tertunduk sambil melipat tangan di atas meja belajarku. Ingin melupakan ceramah dari penyihir tua yang cerewet.

Namun realita memang mengecewakan ekspetasiku.

Tepat ketika aku membuka pintu, aku dibaptis.

Terima kasih Tuhan, rasa lelahku hilang dan kekesalanku bertambah.

Aku mengutukmu, angka tiga belas!

Ada orang yang menyiram wajahku dengan air dingin. Aku sedikit terkejut karena orang ini tidak membawa gelas ataupun ember berisi air. Sepersekian detik aku menyadari kalau dia menggunakan sihir. Sekarang jubahku dan Aruka basah kuyup.

"Kalian berdua, apakah tidak kapok melakukan hal konyol seperti ini?"

Suara tegas dan dingin ini, yang tidak jauh berbeda dari caraku berbicara. Nayanika, sahabat karibku si paling perhatian.

"Sepertinya tidak, aku baik-baik saja" jawabku.

"Kuharap kalian sadar setelah kusiram. Jangan salahkan aku ya, ini permintaan Madam." Ia melipat tangannya sambil mengatakan itu. Mengerutkan alisnya dan menunjukkan gurat kekecewaan.

Menyiramku ribuan kali juga sia-sia, Madam.

"Seharusnya aku sudah menduga apa yang akan kalian lakukan kali ini dan menghentikan kalian. Terutama kau Ashina, kau hampir tak pernah terlihat dalam pembelajaran di kelas sihir! Aku selalu khawatir kalau kau ketahuan." Ia mengatakan kalimat penyesalan itu dengan dalam. Aku jadi kasihan. Orang yang perhatian.

"Kalau tidak, tidak akan jadi seperti ini.." lanjutnya, sambil mengeringkan pakaianku menggunakan sihir angin.

"Jangan cuma Ashina yang dimarahi dong... aku juga salah sih.." Aruka, sudah terlambat untuk menyesal.

"Tapi Ashina benar-benar hebat tahu, dia berhasil menyembuhkan seekor kadal!"

Jangan asal bicara, anak biadab.

"Pfft."

Apaan tuh?! Menertawakanku huh? Nayanika!

"Baiklah, baiklah aku paham betapa antusiasnya kau berlatih menyembuhkan makhluk hidup karena kemampuan medis dan sihir penyembuhanmu sangat bagus, namun seharusnya kau juga bisa membagi waktu Ashina, mengertilah" katanya.

"Aku membagi waktuku, jangan terus menceramahiku. Ngomong-ngomong.. aku menemukan sesuatu dari hal yang kulakukan. Ini cukup menarik. Kau mau tahu?" Kataku sembari memberi isyarat dengan menepuk bahu Aruka. Cepat paham, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

Ini adalah hal sederhana yang kulakukan. Ketika menyembuhkan seekor kadal yang kukira sekarat dikarenakan diinjak oleh teman biadabku, ternyata ada hal lain yang membuat kadal itu menderita.

"Ini, telur kadal." Aku menunjuk toples kecil di tangan Aruka, "Aruka pasti telah melepaskan kadalnya di luar saat ia kabur lewat jendela."

Nayanika menggelengkan kepalanya, terlihat kesal.

"Telur kadal? Kau ini. Sejak kapan kau menyukai hewan melata? Mau kusiram lagi?"

Aruka menunjukkan telur kadal tersebut, yang telah ditaruh di dalam toples berukuran sebesar ibu jari. Toples ini biasanya digunakan untuk menyimpan ramuan khusus, aku mengambil satu dari lemari alat laboratorium medis.

"Kadalnya bukan sekarat hanya karena diinjak oleh Aruka, namun ia juga sedang bertelur, dan pengeluaran telurnya bermasalah karena Aruka injak. Ibarat diberi racun saat kau sedang sakit. Jadi aku membedahnya."

...

"Ehe, maafkan aku kadal kecil~"

Ada-ada saja anak ini.

"Lalu ingin diapakan telur ini? Mau kau buat menetas juga?" Nayanika terlihat jengkel.

"Nayanika, aku sama sekali tidak menyukai hewan melata. Aku hanya mencoba membangkitkannya seperti semula."

...

"Sungguh, tindakan nekat yang di luar nalar." Cetusnya.

Memang.

"Biar aku yang menyimpannya!"

Yah~ Aruka, terserahlah.

——————

Aku memiliki dua orang teman, Aruka sudah kuperkenalkan. Kemudian yang satu ini Nayanika, merupakan seorang gadis yatim piatu yang tajir melintir. Ia pewaris tunggal dari pasangan tuan tanah yang konon katanya amat tersohor di negeri ini. Sayang sekali, mereka harus meninggalkan kehidupan ini lebih awal.

Nayanika pernah bilang kalau mereka dieksekusi mati tanpa diketahui penyebabnya dengan jelas. Ketika itu terjadi, Nayanika masih berusia dibawah lima tahun dan belum memahami persoalan mereka. Warisan miliknya yang tak terhitung jumlahnya sebagian disumbangkan untuk pembangunan akademi ini. Aku tidak begitu mengetahui latar belakangnya dengan jelas, informasi detail orang tuanya, kehidupannya dulu, atau jumlah kerabat. Yang kutahu, seharusnya masih ada kenalan atau kerabatnya yang hidup, karena Nayanika dikirimi perlengkapan belajar baru dari luar akademi setiap bulan.

Ia adalah murid ahli sihir tingkat tinggi yang terbaik di akademi ini. Selain itu, ia juga tertarik dalam ilmu kimia dan bertekad untuk menjadi puan sihir sekaligus kimiawan setelah lulus. Nayanika selalu menjaga dirinya agar tetap rapi dan mematuhi aturan. Aku bangga berteman dengannya. Benar-benar seorang murid teladan. Tak heran Madam Gie menyukainya, prospek masa depannya memang bagus. Anak yang rajin dan berbakat, hingga aku heran kenapa dia bisa akrab denganku.

Yah, aku cukup sadar bahwa aku termasuk anak yang kurang tahu diri, tapi... terserahlah.

Aku berteman tanpa mempedulikan status ataupun latar belakang. Aku tidak suka hal-hal menyimpang yang tidak masuk akal ketika menilai seseorang baik berdasar kata-kata, fisik, ras, suku, serta kepercayaan.

Aku melangkahkan kaki memasuki kelas. Di sisi kanan setelah membuka pintu, terdapat papan tulis kapur yang besar. Pada sudut belakang, di kanan ruangan itu terdapat sebuah lemari kayu. Lemari itu dipenuhi buku-buku, serta beberapa tumpuk kertas milik siswa, kuakui lemari itu cukup kokoh karena aku pernah memanjat ke atasnya dan tidak rubuh. Di depan tempatku duduk, ada meja guru. Di atas meja guru itu terdapat taplak rajut yang dibuat oleh Madam Gie. Taplak rajutnya sangat halus, kadang aku ingin punya satu. Di atasnya juga diletakkan sebuah vas kaca yang berisi beberapa tangkai bunga aster. Seingatku, Aruka yang meletakkannya sebagai hadiah ulang tahun Madam Gie tahun lalu.

Jam istirahat memang menyenangkan. Mejaku berada di urutan paling depan, bersebelahan dengan jendela di dinding pada sisi kiri ruangan. Kulipat kedua tanganku di atas meja tempatku duduk yang terletak di dekat jendela, meletakkan kepalaku diatasnya, dan melamun tentang apa yang kuinginkan setelah lulus. Tanpa disadari, mataku sudah melekat hanya dalam beberapa detik.

Jendela kelas yang terbuka memberikan berkah yang paling kunikmati.

Semilir angin sejuk yang masuk ke dalam ruangan menyisir rambutku, betapa menenangkan.

Ah, kuharap dapat merasakan ini selamanya.

Tapi hanya berselang dua menit setelah mataku tertutup, bel masuk berbunyi. Pelajaran berikutnya, kelas botani.

Momen menyebalkan ini, cepatlah berakhir!

——————

Kelas botani sebenarnya masih dalam lingkup peminatanku. Karena apa yang kuinginkan membutuhkan ilmu tentang tanaman juga. Aku tidak akan membolos disini karena ini cukup dibutuhkan dalam pengobatan tradisional.

Tiap pertemuan di kelas botani memiliki metode belajar yang dilakukan secara berselang-seling. Jika pertemuan sebelumnya kami melakukan praktikum, maka pertemuan berikutnya adalah teori, kemudian pertemuan selanjutnya praktikum, begitulah hingga seterusnya.

Pada pertemuan di kelas sebelumnya, kami melaksanakan praktikum membuat ramuan obat menggunakan tanaman dari rumah kaca. Aku cukup menikmatinya, aku berhasil membuat ramuan herbal untuk membersihkan tenggorokan. Ini akan sangat bermanfaat untuk Madam Gie yang cerewet, untuk meredakan tenggorokannya ketika memberi siraman rohani pada anak-anak yang bandel. Rasanya dia semakin tua, banyak berbicara akan membuatnya kelelahan. Jadi aku berencana menghadiahkan ramuan ini padanya ketika hari upacara kelulusan.

Wah, benar juga, tahun ini diriku akan lulus. Aku berada pada semester akhir di tahun ke-sepuluh. Murid disini akan diluluskan setelah belajar secara formal di akademi selama sepuluh tahun, dimulai dari usia enam tahun. Sebelum usia tersebut, kami hanya diajarkan etika, komunikasi, membaca, menulis, dan berhitung di asrama. Aku sudah berada disini sejak usiaku lima tahun, saat itu kakekku masih sering berkunjung ke akademi, biasanya setiap akhir pekan. Yah, rumah kakek tidak jauh dari tempat ini, jadi tidak sulit untuk berkunjung kemari. Aku pernah merindukan masa-masa itu, namun waktu tidak akan menunggu siapapun.

Waah~ sungguh masa-masa yang indah...

Namun aku tahu itu takkan pernah terulang kembali...