Orang bilang, hanya cinta yang bisa menaklukan benci.
Orang bilang, benci dan cinta itu berbeda tipis.
Namun, kalimat itu tidak berlaku padaku.
Di kehidupan sebelumnya dan kehidupan sekarang, aku tidak pernah mencintai Ariel. Ada seseorang yang sangat aku cintai. Anak perempuan yang menolongku ketika aku diculik saat masih kecil.
Dan sekarang pun aku bahkan masih mencintainya.
Ariel mencintaiku sampai mati. Karena itu, aku tidak akan menceraikannya. Karena aku adalah kebahagiaan baginya.
Selama ini, aku berpikir, untuk apa aku dilahirkan kembali? Karena aku tidak mendapatkan jawaban, aku berpikir bahwa aku mungkin dilahirkan kembali karena harus membahagiakan Ariel.
Karena hanya aku yang mengingat semua tentang kehidupan di masa lalu.
Jadi, aku mengorbankan kehidupan cintaku sendiri demi berada di sisi Ariel. Namun, jika Ariel di masa depan berakhir mencintai orang lain dan tidak membutuhkanku, aku siap melepasnya kapan pun ia mau.
"Dari hasil pemeriksaan tadi, aku tidak menemukan apa pun yang salah dalam tubuh Ariel," kata dokter yang memeriksa Ariel, yaitu Smtih. Smith tersenyum tipis pada Ariel. "Syukurlah kau sehat-sehat saja." Dia berbicara sambil mengusap kepala Ariel dengan lembut.
Aku menepis kuat tangan yang menyentuh kepala Ariel dan menatap Smith dengan kesal. "Apa kau yakin? Jangan mentang-mentang kau adalah kakak kandungku, maka kau seenaknya dan asal memeriksa istriku."
Smith mendengus geli. "Ya ampun, tumben sekali adikku yang menggemaskan ini mengakui bahwa aku kakaknya. Apa kau sebegitu khawatirnya dengan kesehatan Ariel?"
Aku berdecak kesal. "Apa yang kau katakan? Akan sangat menyebalkan jika dia sakit-sakitan. Aku hanya akan menitipkannya padamu jika dia memiliki penyakit serius."
Smith mengedipkan matanya berkali-kali mendengar ucapanku. Dia melirik Ariel, kemudian berdeham pelan. "Tidak ada yang seperti itu. Dia sehat."
"Lalu kenapa kau melirik Ariel, barusan?" tanyaku kemudian, memandangnya dingin. Mereka pasti menyembunyikan sesuatu dariku.
"Memangnya kenapa jika aku melirik Ariel? Tidak boleh?"
"Bajingan! Apa kau bermain-main denganku?!" sentakku emosi. Aku berdiri dari dudukku dan mengambil kerah lehernya. "Mari lihat seberapa baik kau bertahan dengan kebohonganmu itu!"
"Erick!"
Smith yang melihat kelakuanku pun, menatapku dengan pandangan heran. "Erick, kenapa kau sangat aneh sekali hari ini? Ariel benar-benar sehat. Dia hanya mendapatkan luka dari perbuatanmu."
"LALU KENAPA KAU MELIRIK ARIEL BARUSAN?!" teriakku dengan tidak sabar. Aku bisa merasakan jantungku yang berdetak cepat. Napasku pun berembus dengan kasar. "Kau menyembunyikan sesuatu, kan?! Ariel menyuruhmu merahasiakan itu, bukan?!"
"Tidak!!"
"JANGAN BERBOHONG PADAKU!!"
"Aku tidak berbohong!!"
Aku mengeraskan rahangku dan memandang Smith dalam-dalam. Tidak ada keraguan di matanya. Hanya ada kemarahan dan keheranan dengan kelakuanku.
"Erick." Ariel mencoba berbicara. "Jika kau tidak percaya dengan pemeriksaan kakakmu, kita bisa ke rumah sakit lain."
Aku mengetatkan rahangku kuat-kuat. Aku menelan ludah dengan susah payah, menghela napas dan melepaskan tanganku dari kerah lehernya. Aku membuang napas pelan, mencoba menenangkan diri.
Apa aku terlalu paranoid? Mungkin, Ariel memang tidak terkena tumor di kepalanya saat ini. Kami baru menikah 3 tahun dan tidak mungkin Ariel bisa bertahan selama 5 tahun. Apa mungkin, itu terjadi saat-saat Ariel mengkhianatiku?
"Erick?" panggil Ariel lagi.
Aku mendengus dan menatap Ariel. "Kenapa harus ke rumah sakit lain? Itu buang-buang uang," kataku, kemudian kembali menatap Smith. "Baiklah. Aku akan percaya padamu kali ini saja."
Smith hanya mengedipkan matanya berkali-kali dan membenarkan kerah pakaiannya. "Ada apa denganmu hari ini? Kau sangat aneh. Datang seenaknya, marah-marah seenaknya dan berprasangka seenaknya. Kupikir, daripada Ariel, kau yang lebih membutuhkan pemeriksaan."
Aku menahan napas sejenak dan mendelik padanya. "Bukan urusanmu," kataku, mendengus kesal dan keluar dari ruangan kakakku. Tanpa harus didikte terlebih dahulu, Ariel segera berpamitan dan mengikutiku dari belakang.
Ya, tentu saja aku aneh.
Bagaimana bisa aku tidak aneh? Bagaimana bisa aku tidak khawatir? Ariel akan mendapatkan tumor entah sekarang atau di masa depan. Dan jika tumor itu ditindak dengan lambat, maka tidak ada gunanya aku hidup kembali.
Untuk apa aku hidup kembali jika tujuannya hanya untuk melihat Ariel mati?
Lebih baik, aku ikut mati saja daripada harus menyaksikannya terbunuh sekali lagi.
"Erick, kita akan ke mana?" tanya Ariel yang sudah berdiri di sampingku.
"Jangan cerewet. Jangan banyak bertanya. Kau berisik sekali. Apa kau tidak bisa diam sebentar saja?!" delikku padanya.
"Oh ... oke."
Aku mengerutkan alisku dalam-dalam saat melihat Ariel berjalan cepat, hampir berlari saat berjalan di sampingku. Aku menunduk menatap kakinya, dan mendapati bahwa langkah kaki Ariel yang pendek saat ini sedang menyamakan langkah kakinya dengan langkah kakiku.
Aku mengedipkan mataku berkali-kali dan memperlambat langkah kakiku. Dan melihat aku yang agak melambat, Ariel ikut melambatkan langkah kakinya mengikuti. Namun, bagi kaki Ariel yang kecil, langkah kakiku masih terasa panjang. Aku memperlambat kakiku sedikit lagi, dan Ariel pun ikut melakukannya.
Aku menelan ludahku dan menatap sisi wajah Ariel yang saat ini berjalan santai.
Ariel tidak pernah mengeluh. Dia tidak pernah memaksakan kehendaknya untukku. Untuk menghadapiku, Ariel mencoba menyamakan langkahnya denganku daripada menyuruhku melambatkan langkah untuk mengikutinya.
Ariel selalu mencoba yang terbaik agar aku merasa nyaman. Ariel selalu sebaik ini. Dan Ariel selalu setersiksa ini.
Ariel, kenapa ... aku selalu jahat padamu?
Kau begitu kecil. Kau begitu lemah. Kenapa aku begitu keras padamu? Kenapa aku selalu menyiksamu? Kenapa kehadiranmu saja bisa membuatku kesal? Padahal, yang kau lakukan hanya membuatku merasa nyaman berada di dekatmu. Sementara kau tersiksa karena harus bertahan dengan aku yang bajingan ini.
"... Erick?"
"Y-ya?" Aku berdeham, saat mendengar suaraku yang tidak seperti aku yang bajingan di kehidupan sebelumnya. "Ekhem, maksudku, kenapa kau memanggilku? Aku sudah bilang untuk jangan berisik."
Ariel hanya menatapku polos dan menunjuk mobil yang ada di belakang. "Bukankah kita tadi menggunakan mobil yang itu?"
Aku tersentak dan melotot saat menyadari bahwa kami sudah berada di tempat parkir dan bahkan aku melewati tempat di mana mobilku di parkir. Aku tidak sadar bahwa aku sudah lama sekali melamun memikirkan Ariel.
Aku berdeham dan merogoh saku celanaku. "Ah, aku lupa karena aku memiliki banyak mobil. Kukira yang di sana bukan mobilku karena sangat jelek. Aku lupa bahwa aku membawamu dan tentunya membawa mobil paling jelek pula di rumah." Aku berdalih dan berjalan terburu ke arah parkiran.
Akan sangat terlihat bukan aku yang bajingan jika aku ketahuan melamun memikirkannya sepanjang jalan.
Aku membuka pintu pengemudi dan segera memandang Ariel. "Ah, kau duduk di depan saja."
Ariel yang baru saja akan membuka pintu pun terkejut di tempatnya. Dia bahkan mengedipkan matanya berkali-kali seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Eh?"
Aku menghela napas panjang. "Kenapa kau sangat menyebalkan hari ini?! Kenapa aku harus mengulang ucapanku berkali-kali hari ini?! Kubilang, duduklah di depan!! Jangan membuatku terlihat seperti supir! Itu menyebalkan!"
Ariel tetap terdiam dan masih mengedipkan matanya berkali-kali. Aku ingin tertawa, sebenarnya. Ariel saat ini seperti seseorang yang telah melihat salah satu dari tujuh keajaiban dunia di depan matanya. Namun, karena aku sedang menjadi aku yang bajingan, maka aku berdecak sebal padanya. "KENAPA MASIH DIAM SAJA?!" bentakku, membuatnya tersentak kaget. "Cepat masuk!! Dasar lelet!!"
"B-baik!!"
Ariel buru-buru memutari mobil dan pergi ke pintu samping pengemudi. Aku menghela napas panjang dan memukulkan keningku ke badan mobil. Memang bajingan. Sampai kapan aku harus berpura-pura menjadi bajingan dan terus menyakitinya?
Aku menghela napas panjang berkali-kali dan menganggukkan kepala. "Baiklah. Ini baru sehari. Baru sehari aku terbangun."
Ya. Ini baru sehari aku bereinkarnasi. Tidak mungkin aku mengubah sifatku seolah membalikkan telapak tangan. Aku bahkan tidak tahu apakah ini mimpi atau bukan. Dan aku bahkan takut untuk menutup mata.
Jadi, saat malam tiba, aku hanya mencari setiap kesibukan yang bisa kudapatkan di rumah. Entah itu membaca buku, memainkan ponsel jadul yang sudah aku lupakan bagaimana cara menggunakannya, dan berolahraga di setiap penjuru rumah.
Pokoknya, aku tidak boleh tidur.
Aku tidak bisa tidur.
Jangan tidur.
Jangan sampai tidur.
Yah, jangan tidur.
Jangan tidur.
Jangan tidur.
Aku tertidur. Pada akhirnya, apakah semua ini mimpi?
TBC
Follow setelah membaca