Di dalam film-film yang kutonton, ada pemeran yang seperti itu.
Pemeran yang berpura-pura baik, selalu kuat dan lembut. Namun dia ternyata adalah penjahat yang sebenarnya, yang bersembunyi di bawah label kebaikan.
Dan itulah Ariel di mataku dulu. Dia adalah orang yang jahat. Dia hanya baik karena menginginkan keuntungannya sendiri.
Ternyata, banyak di sekitarku yang memujiku di depan, tapi mereka adalah yang berbalik badan terlebih dahulu daripada yang membenciku. Anehnya, dulu aku tidak menganggap mereka negatif walaupun mereka berlaku mirip seperti Ariel.
Tapi, kenapa? Kenapa hanya pada Ariel aku tidak menganggapnya baik? Kenapa hanya pada Ariel yang selalu sabar, selalu memaafkanku dan tidak mencelaku?
Sekali lagi kutanya pada diriku sendiri.
Apa?
Apa sebenarnya salah Ariel?
"Erick, jangan melihatku," kata Ariel yang wajahnya masih menunduk ke arah toilet. Aku hanya berdiri di belakangnya, bersidekap dada dan menatapnya saja tanpa membantu.
Orang lain takkan bisa melihatnya, namun aku sebenarnya benar-benar panik. Jantungku terus berdenyut nyeri, dan jariku gemetar hebat. Aku hanya menyembunyikannya dengan sikap bajinganku seperti biasanya. Aku bahkan tidak bisa berbicara. Karena aku tahu, jika aku berbicara, dia akan mendengar gemetar dalam suaraku. Atau lebih parahnya, jika aku berbicara, aku akan berakhir menangis saat ini juga.
Tidak mungkin.
Tidak mungkin sekarang.
Tidak bisa.
Aku tidak mau.
Hanya kalimat penolakan itu yang bisa kuucapkan dalam hati. Namun, bukannya mereda, rasa sakit itu semakin terasa. Aku tidak bisa menghentikan seluruh tubuhku yang gemetaran.
Ariel selesai dengan muntahnya. Dia menundukkan kepalanya, berjalan ke arah wastafel untuk membasuh wajah dan tangannya. Setelah itu, Ariel menatapku dengan polos. "Erick, kau tidak jijik?"
Aku hanya diam saja. Menatapnya. Rasa sakit itu tidak meninggalkanku, malah membuat dadaku serasa ditusuk ribuan jarum. Wajah pucat Ariel sekilas terlihat mirip dengan wajah pucat Ariel di kehidupan sebelumnya. Wajah pucat yang dulu tidak aku perhatikan. Dan berakhir membuatnya pergi.
Denyutan itu lebih terasa di dadaku. Aku menegapkan tubuhku, dan berjalan ke arah pintu. "Nanti-" aku menghentikan ucapanku saat terdengar getaran di sana. Aku berdeham untuk menetralkan cara bicaraku. "Nanti, kita akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaanmu." Aku berbicara tanpa menoleh padanya. Karena saat ini, aku tidak bisa menahan gumpalan air yang muncul di kelopak mataku.
"Eh? Kenapa?"
Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Kau akan mati, kau tahu?
Kau akan mati, Ariel.
Karena aku selalu menyiksamu.
Karena aku selalu membuatmu tertekan.
Karena aku tidak membahagiakanmu.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Mulutku saat kering saat aku melanjutkan bicara. "Aku tidak suka mendengarmu muntah-muntah. Sangat menjijikkan. Kalau bisa, kau dirawat saja di sana."
Hening sejenak. Ariel tidak berbicara dan aku tidak kunjung pergi. "Maaf. Tapi, aku sungguh tidak apa-apa. Aku hanya alergi terhadap bawang, jadi ...."
Ariel tidak meneruskan ucapannya, dan aku tersentak di tempatku. Napasku tertahan saat aku berbalik dan menatapnya tidak percaya. "Tapi di dalam sandwich itu terdapat bawang!! Kenapa kau-"
Kali ini, aku yang menghentikan ucapanku.
Ah ... bajingan.
Benar juga.
Aku memaksanya.
Tidak. Bahkan lebih buruk lagi, aku tidak mengetahui apa-apa tentangnya. Karena itu aku memberikan sandwich berisi bawang itu. Membuatnya menelannya dan membuatnya muntah-muntah.
Aku mengeratkan kepalan tanganku. Sialan. Jika begini terus, pada akhirnya aku akan tetap membunuhnya. Entah itu karena bawang, atau makanan yang lain yang bisa membunuh Ariel.
Aku mengembuskan napas panjang dan menatap Ariel yang masih berdiri polos di sana. "Lain kali, katakan saja."
Ariel mengedipkan matanya berkali-kali. "Apa?"
"Katakan saja apa yang kau tidak suka, apa yang membuatmu alergi, dan lain sebagainya. APA KAU TULI?! Kau membuatku harus mengulang perkataanku berkali-kali!!"
Ariel terdiam sejenak dan tetap menatapku polos tanpa kekesalan setelah kubentak. "Maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak akan muntah dan menurutimu untuk memakannya. Jadi-"
"BUKAN SEPERTI ITU!!" Aku membentaknya lagi. Hanya itu satu-satunya cara agar Ariel mengerti tanpa menganggapku aneh. "Apa kau tidak waras?! Apa otakmu sudah tidak berada di tempatnya?! Kubilang, kau boleh menolaknya jika kau tidak menyukainya atau pun alergi terhadap itu! Apa kau tidak bisa mengerti bahasa manusia?! Hah?!"
Sial. Rasanya sakit sekali.
Sangat sakit ketika harus menyakitimu lagi.
Ariel tersentak pelan. Dia menatapku yang memerah marah dan menganggukkan kepalanya dengan kencang. "Baik. Maafkan aku."
Aku membuang napas pelan, mencoba meredakan emosiku. Emosi pada diriku sendiri dan pada diriku di masa lalu yang memperlakukan Ariel dengan buruk.
"Bersiaplah," kataku. "Kita akan pergi ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu."
"Eh? Tapi pekerjaanmu-"
"Berisik! Aku bosnya!" potongku, memelototinya. "Kenapa kau selalu berkomentar?! Turuti saja perintahku!"
"Baik. Maafkan aku, Erick."
"Dan berhentilah meminta maaf!"
"Ah, ya! Maaf-" Ariel menghentikan ucapannya, dan menggigit bibir bawahnya saat keceplosan.
Aku mendengus geli melihatnya. "Biasakanlah menempatkan kata-kata maaf di tempat yang seharusnya. Kau membuatku terlihat seperti orang jahat jika terus meminta maaf kepadaku."
"Baik. Maaf-" kali ini Ariel menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia menatapku dengan pandangan takut dimarahi. "A-aku akan bersiap-siap!"
Aku menganggukkan kepalaku. "Aku akan keluar, kalau begitu," kataku sambil berjalan keluar pergi dari kamar mandi. Saat membuka pintu, yang kulihat adalah para pelayan sedang berkumpul di sana.
Wajah mereka sangat gelap. Hampir seperti menghakimiku seolah aku sudah memperlakukan Ariel di dalam dengan sangat buruk.
Aku hanya melipat bibirku dengan gondok. Merasa sangat jahat sendirian di tempat. Jadi, dengan kesal aku menendang pintu sekuat tenaga. "APA YANG KAU LIHAT?! APAKAH INI TONTONAN UNTUKMU?!"
Mereka tersentak dan anehnya tidak segara pergi.
"MENYINGKIR!! KENAPA KALIAN MASIH DI SINI?!" teriakku sekuat tenaga, membuat mereka kembali tersentak dan berlari pergi dengan acak.
"Ada apa, Erick?" Wajah Ariel tiba-tiba muncul di bingkai pintu. Dia menoleh padaku. "Kau berbicara dengan siapa?"
Aku menghela napas pelan. "Para pembantu. Mereka tadi berkeliaran di sini entah sedang melakukan apa."
Mata Ariel yang bulat pun mengedip dengan terkejut. Perlahan, kedua sudut bibirnya melengkung ke atas. "Mereka hanya terlalu menyayangiku."
Aku terdiam saat rasa sakit lagi-lagi timbul di dadaku. Pandanganku tidak lepas dari belakang kepala Ariel yang melihat ke sekitar, seolah mencari keberadaan para pelayan.
Senyuman itu masih sama indahnya.
Masih sama cantiknya.
Namun kali ini, rasa sakit ikut ditimbulkan dari senyuman itu.
Karena pada hari kematiannya karenaku, Ariel tersenyum selembut itu juga. Seindah itu juga. Dengan darah yang melumuri seluruh tubuhnya.
"Jangan tersenyum." Aku tidak bisa menahan mulutku yang mengatakannya pada Ariel.
Ariel menatapku dengan pandangan polosnya. "Erick ...?"
"Setidaknya, jangan tersenyum di hadapanku." Aku mengulangi ucapanku dan menatapnya datar. "... karena senyumanmu itu membuatku sakit."
Ariel hanya menatapku dalam diam, sementara aku mulai berjalan menjauh setelah memberinya kata-kata itu.
Karena kau tetap tersenyum bahkan di saat-saat terakhirmu, Ariel.
Karena orang yang bahkan tidak bisa memberikanmu cinta sampai sekarang ini, benar-benar busuk hingga kau bahkan tidak boleh menatapnya.
Karena bahkan aromanya akan melukai matamu juga.
Karena aku, bahkan bisa melukaimu walaupun aku bertobat hingga ribuan sekalipun.
TBC
Follow setelah membaca