Sejak pukul tiga dini hari, Vira sudah bangun. Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki yang berjalan kearah kamarnya. Handle pintu pun terlihat diputar, saat itu juga Vira langsung berpura-pura tertidur.
Entah siapa itu yang hendak masuk kedalam kamarnya. Vira tidak tahu siapa yang membuka pintu kamarnya itu, tak lama kemudian terdengar suara pintu yang ditutup kembali.
Vira mengerjapkan matanya, ia mengira tadi itu Sinta yang sedang memastikan dirinya masih tidur atau tidak. Suara langkah kaki itu terdengar menuju ke arah dapur dan sepertinya suara itu masuk ke dalam gudang.
Dapur dan gudang memang berdekatan, jadi untuk ketempat itu maka harus melewati kamar Vira terlebih dahulu. Dilantai bawah ini hanya ada dua kamar, yaitu kamar Vira dan kamar tamu. Sebenarnya ia ingin menempati kamar diatas yang luas, akan tetapi Sinta melarangnya karena kandungan Vira yang sudah membesar. Katanya Sinta takut ia terjatuh saat menuruni anak tangga.
Perlahan Vira membuka pintu kamar dan diam-diam berjalan melangkahkan kaki kearah belakang. Vira yakin tadi yang masuk kedalam gudang itu ibu mertuanya. Entah untuk apa Sinta masuk ke dalam gudang pagi-pagi buta seperti ini? Jika bisa Vira ingin ikut masuk kedalam gudang dan melihat apa yang terjadi didalam sana? Tetapi didepan pintu gudang itu ada Heri dan salah satu pengawal Sinta yang sedang berjaga.
Vira melangkah dengan biasa saja seolah-olah ingin mengambil air minum di dapur. Cukup lama Vira duduk di meja makan sembari menyeruput teh hangat buatannya sendiri karena jam segini Anisa belum bangun. Akan tetapi pengawal Sinta tak kunjung pergi dari tempat itu, mereka tetap saja berdiri didepan pintu gudang menunggu atasannya.
Tak lama kemudian Sinta keluar dari dalam gudang dan menghampiri Vira. Sinta tampak terkejut saat melihat menantunya duduk di meja makan.
"Sedang apa, Ra? Ini masih malam loh? Tumben kamu sudah bangun?" tanya Sinta dengan ramah.
"Sarah lapar, Bu. Habis shalat tahajud langsung ke dapur, ehh belum ada makanan. Ya sudah bikin minum saja, ini." jawab Vira sembari meminum segelas teh.
"Ya ampun. Kasihan sekali kamu, Nak, cucu ibu pasti lapar ya? Anisa keterlaluan, dia tak membuat stok makanan di dapur. Padahal dia tahu sendiri, kalau menantu ibu sering lapar. Tunggu ya, biar ibu bangunkan Anisa dulu."
Sinta hendak pergi tetapi Vira melarangnya.
"Tidak usah, Bu. Sebentar lagi juga pasti Mbak Anisa bangun kok."
"Gak apa-apa, Ra. Ibu juga lapar sih, biar sekalian bikinin makanan buat ibu," ucap Sinta sembari tersenyum.
Aneh sekali, biasanya ibu bangunnya siang dan ibu juga tidak pernah sarapan ketika pagi buta seperti ini. Tetapi kenapa sekarang tiba-tiba ibu bilang lapar?
"Oh iya, tadi ibu ngapain dari dalam gudang?" tanya Vira.
Wajah Sinta tampak biasa saja, tak ada raut wajah panik ataupun kebingungan, sepertinya ia benar-benar bisa mengatur ekspresi wajahnya.
"Oh ini, tadi ibu habis nyari barang, kemarin kan Anisa habis mindahin barang-barang ibu yang sudah tidak terpakai kedalam gudang, siapa tahu kan kebawa sama Anisa, tetapi ternyata tidak ada," jawab Sinta.
Sinta tersenyum manis, kulit Sinta terlihat masih sangat bercahaya diusianya yang tak lagi muda. Berbeda dari ibu-ibu yang lain yang terlihat kusam karena terbakar sinar matahari saat bekerja di perkebunan.
Sedangkan Sinta lebih memilih membayar orang untuk bekerja di perkebunan miliknya. Dan tampaknya Sinta juga sering melakukan perawatan di kamarnya. Terlihat banyak sekali krim dan alat perawatan wajah didalam kamarnya. Ya begitulah jika perempuan banyak uang.
"Kok tidak menyuruh Heri saja, Bu? Eh, dianya malah cuma jagain diluar gitu?"
Karena jawabannya barusan tidak masuk akal, biasanya sekecil apapun pekerjaan ia akan menyuruh pegawainya.
"Ehh... baru bangun kamu, Nis? Cepat buatkan makanan untuk menantuku, sekalian buat saya ya. Nanti antarkan saja keatas ya!"
Vira menoleh ke arah Anisa. Ternyata, Sinta sangat pandai mengalihkan pembicaraan.
"Ibu, ke kamar dulu ya, Ra." Sinta tersenyum lalu pergi meninggalkan Vira dengan Anisa.
Masa iya cari barang di gudang saja harus ditungguin penjaga? Pasti ada sesuatu didalam sana, yang mertuanya sembunyikan darinya?
"Mau dibuatkan apa, Non?" tanya Anisa.
"Nasi goreng saja, Mbak. Oh iya, kira-kira ibu habis ngapain ya Mbak pagi-pagi buta begini dari dalam gudang?"
Anisa hanya menggelengkan kepalanya.
"Oh iya Mbak, Kemarin ibu bilang kalau yang hamil itu bukan Mbak Anisa saja loh, tapi ada seorang wanita bernama Winda juga dan katanya besok pagi ia sendiri yang akan mengeceknya."
Anisa tampak terkejut mendengar ucapan Vira.
"Sebenarnya Winda itu siapa, Mbak?" tanya Vira.
Apa jangan-jangan Winda ada didalam gudang rumah ini? Tapi dimana Sinta menyembunyikannya? Bukankah ketika Vira masuk gudang kemarin tidak ada siapapun didalamnya?
"Sebentar ya, Non. Saya buatkan dulu nasi gorengnya."
Lagi-lagi wanita itu hanya mengabaikan pertanyaan Vira.
****
Jam menunjukkan pukul tujuh kami semua sedang berkumpul untuk sarapan. Seperti biasa keluarga ini terlihat sangat harmonis.
"Mas, kapan kita akan kontrol ke dokter?" tanya Vira pada Panji, suaminya.
Harusnya kemarin adalah jadwal kontrol kandungan, akan tetapi Panji menolak lantaran sibuk dengan pekerjaannya.
"Tidak usah kontrol, Ra. Toh sebentar lagi juga lahiran. Disini kalau mau ke rumah sakit, jauh. Jalannya pun jelek, bahaya juga buat kandungan kamu. Ada sih jalan pintas tetapi harus melewati danau," sahut Sinta membuat Vira menoleh kearahnya.
"Tidak perlu ke rumah sakit, Bu. Di puskesmas atau klinik bidan terdekat saja."
"Klinik juga jauh Ra, jalannya juga sudah rusak. Sudah ya tidak usah kontrol. Bahaya buat kandungan kamu, nanti terguncang lagi saat di perjalanan. Kamu di rumah saja tidak usah kemana-mana, ya!"
Vira menoleh kearah suaminya dengan tatapan kecewa.
"Emm... memang disini nggak ada bidan yang bisa dipanggil ke rumah ya, Mas?"
"Enggaklah sayang. Ini kan di desa, sudah ya kamu nurut saja sama ucapan ibu!" jawab Panji sembari mengusap pipi Vira.
Tiba-tiba selera makan Vira menghilang. Entah apa yang mertua dan suaminya itu pikirkan, seolah-olah mereka berpikir bahwa periksa kandungan disaat hamil tua seperti ini itu tidak penting. Padahal mereka memiliki banyak uang, seharusnya untuk memanggil bidan ke rumah saja pastinya mereka bisa. Apa ini hanya sebuah alasan tertentu?
"Mas berangkat kerja dulu ya, sayang. Kalau sudah ada kontraksi kamu telepon Mas, saja!"
Panji mencium kening Vira dengan lembut, lalu ia tersenyum sembari mengusap rambutnya.
"Iya, Mas. Hati-hati dijalan ya."
Vira menatap kepergiannya dengan tatapan kecewa. Sekarang ia hanya ditemani Anisa dan dua orang penjaga diluar sana.
Karena Vira kurang yakin atas jawaban Sinta dan Panji tadi. Ia pun memutuskan untuk bertanya pada para penjaga didepan sana.
"Pak?" tegur Vira.
"Iya Nona. Ada yang bisa kami bantu?" jawab salah seorang penjaga.
"Saya mau tanya. Memangnya di desa ini jika ingin ke rumah sakit atau klinik, jauh ya?"
"Ohh.. tidak, Non. Tidak jauh."
"Sssstt..." Temannya menyikut penjaga tersebut.
"Hehe... maksud saya tidak jauh jika Nona ingin menyebrangi danau. Kalau lewat jalan, ya jauh Non. Jalannya juga jelek," ucap penjaga tadi membenarkan.
Vira yakin sekali jika mereka berbohong. Entah apa maksud keluarga ini, yang mengatakan jika klinik dan rumah sakit disekitar sini, jauh?
Mengapa semua orang di rumah itu tampak begitu aneh, termasuk para pekerja Sinta?
--