Vira duduk tercenung di kursi meja makan sembari memikirkan ucapan Panji dan Heri tadi malam yang hampir bertolak belakang. Tak berselang lama Sinta turun dari lantai atas lalu duduk di seberangnya.
"Anisa...," teriak Sinta memanggil Anisa yang merupakan asisten rumah tangga di rumah ini.
"Iya Nyonya, ada apa?" tanya Anisa yang baru saja datang.
"Buatin saya teh manis hangat ya!"
"Baik Nyonya."
"Vira, kamu harus banyak gerak ya, untuk melancarkan persalinan. Kalau ibu dulu sering ngepel sambil jongkok, kamu juga harus gitu, jangan diam saja ya!" ucap Sinta.
Semenjak Vira dan Panji pindah kesini. Sinta memang terlihat begitu perhatian, terutama pada calon bayi mereka.
"Tehnya, Nyonya," ucap Anisa sembari meletakkan secangkir teh di hadapan Sinta.
Sinta mengangguk, lalu Anisa kembali ke belakang untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Iya Bu, Vira juga sering ikut senam hamil kok."
"Nah, bagus itu. Hari ini Ibu ada urusan, kalau mau makan siang nanti bilang saja sama Anisa mau makan apa ya, biar dibuatkan, sepertinya nanti ibu pulang malam sama Jodi."
"Apa Mas Panji ikut, Bu?" tanya Vira.
"Iya nanti dia akan menyusul, katanya dia ada urusan bisnis yang nggak bisa ditunda."
"Oh iya Bu. Kalau gitu hati-hati ya."
"Sayang, aku ada urusan mendesak dan sepertinya aku akan pulang sangat larut jadi malam ini kamu tidak usah menungguku ya, kamu istirahat dulu saja," ucap Panji sambil mengecup kening Vira.
"Iya tidak apa-apa Mas, selesaikan saja dulu pekerjaanmu."
Vira mengantarkan kepergian Panji sampai ke depan pintu dengan senyuman. Setelah dirasa mereka semua telah luput dari jangkauan pandangannya ia pun berjalan masuk mencari Anisa.
"Mbak, aku ingin berkeliling sebentar menghirup udara segar di luar," ucap Vira.
"Iya, tapi jangan jauh-jauh ya, Non."
Vira pun kembali melangkahkan kakinya dengan perlahan. Ya kali ini tujuannya adalah tempat ia tersungkur sebelumnya, sebab rasa penasaran yang telah menguasai diri Vira, sudah tidak bisa ditahan lagi.
Kini Vira sudah sampai di gundukan tanah itu. Ia mencari ranting untuk menoreh tipis-tipis gundukan tanah tersebut.
"Hmm, busuk sekali, aku tidak kuat...uueek!"
Semakin dalam Vira menoreh semakin kuat pula bau tersebut menusuk hidungnya. Vira sampai menggunakan pakaiannya yang dilipat-lipat untuk menutupi hidung dari bau tersebut.
Mata Vira membulat sempurna, saat yang ia toreh bukan lagi tanah tetapi daging yang telah membusuk dan mudah terpisah dari tulangnya. Bahkan belatung-belatung juga menggunung tengah menggerogoti bangkai tersebut. Namun Vira masih belum yakin jika itu adalah mayat manusia.
"Aaarghh!"
Vira menjerit ketakutan, saat semakin memperluas torehannya menemukan bahwa yang ia gali adalah kepala manusia. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pakaiannya, gigi dan tangannya mulai bergetar hebat.
Sembari tersungkur menutup mulut yang menganga Vira masih berusaha menoreh hal yang ada dihadapannya.
Jadi gundukan tanah ini memang berisi mayat manusia? Tapi kenapa bisa berada disini? Sebenarnya apa yang terjadi pada mayat ini?
Monolog-monolog itu membuat Vira semakin terjerumus dalam ratusan pertanyaan dan teka-teki yang mengungkung benaknya. Perasaan takut dan gelisah pun mulai merasuki hati Vira.
"Apakah semua ini ada hubungannya dengan Mas Panji?" batin Vira.
Kini Vira kembali menutup bangkai tersebut menggunakan tanah dan cepat-cepat masuk ke dalam rumah sebelum anak buah Sinta melihat aksi nekatnya.
Saat Vira masuk ke dalam, rumah ini masih terlihat sepi belum ada tanda-tanda Sinta dan kedua anaknya pulang ke rumah.
Vira berusaha bersikap tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Perlahan tapi pasti, ia bertekad akan menguak semua teka-teki yang ada dalam keluarga itu.
Di rumah memang ada Anisa, asisten rumah tangga di rumah itu. Tetapi wanita itu sangat gila hormat pada majikannya sehingga sangat kaku saat Vira ajak mengobrol.
Sore hari, langit tampak mendung gelap. Tetiba hujan pun turun dengan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar. Suara gemuruh yang menggelegar membuat suasana sore menjelang malam menjadi mencekam. Ditambah angin yang berhembus sangat kencang menambah kesan ngeri.
Vira sedang mencari kunci pintu dapur diantara deretan laci kayu, karena angin bertiup sangat kencang membuat pintu dapur terbuka dan tertutup dengan sendirinya sehingga menimbulkan suara yang sangat mengganggu.
Mata Vira tertuju pada sebuah kunci yang menurutnya itu kunci gembok, sedangkan di rumah ini pintu yang menggunakan gembok hanya pintu gudang.
"Apa kuncinya sudah ketemu, Non?" tanya Anisa.
"Sudah Mbak, aku kunci dulu ya pintunya. Oh iya, Mbak Nisa bisa minta tolong beresin kamarku?" ucap Vira mengalihkan perhatian.
"Bisa Non, tapi hati-hati ya lantainya licin, jangan sampai terpeleset."
Vira menganggukkan kepala lalu berjalan ke arah belakang.
Dengan segera Vira mengunci pintu dapur, lalu berdiri di depan pintu gudang. Vira sangat penasaran, sebenarnya apa yang Panji sembunyikan di dalam ruangan ini? Kenapa bisa, di dalam sana ada suara tangisan bayi?
Setelah dirasa aman, Vira mulai memasukkan kunci ke dalam gembok. Dua kali memutar gembok itu akhirnya terbuka. Vira celingukan ke kanan dan kiri, takut saja jika ada anak buah Sinta yang melihatnya, Vira masuk kedalam gudang dan menutup pintu itu kembali.
Banyak lemari besar dan tinggi berjejer, serta ranjang dan kasur bekas memenuhi ruangan ini. Hawa dingin dan debu-debu beterbangan pun dapat kurasakan.
Bugh!... Bugh!... Bugh!...
"Tolong...!"
"Tolong...!"
"Tolong keluarkan aku dari sini!"
Jantung Vira berdebar sangat kencang, mencari sumber suara itu. Vira sudah memeriksa semua isi lemari tetapi tak ditemukannya perempuan yang menjerit tadi.
Vira bisa saja berteriak mencari keberadaan wanita itu tapi yang ia takutkan Anisa masuk kemari dan menemukan keberadaannya.
Bugh!... Bugh!... Bugh!...
Suara itu terdengar lagi tapi Vira tidak tahu dari mana sumber suara itu. Ia terus melangkah hingga merasakan sedikit getaran dari lantai yang dipijaknya.
Bugh!... Bugh!...
Suara pukulan itu terdengar lagi, dan Vira merasa suara itu berasal dari lantai yang dipijaknya. Saat tangan Vira meraba lantai semen itu tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
"Hei, siapa yang berani membuka pintu gudang ini, hah?!"
"Itu suara ibu mertua! Gawat, ibu bisa marah besar kalau dia tahu aku ada di dalam. Bagaimana pun juga aku tak ingin ada masalah dengannya," gumamnya.
Vira segera berjinjit dan masuk kedalam lemari besar untuk bersembunyi.
"Ayo, kalian cari siapa yang berani masuk ke dalam gudang ini!" seru Sinta dengan tegas.
Suara bising dan bunyi langkah kaki pun terdengar, orang-orang suruhan Sinta sedang menggeledah isi lemari. Jantung Vira berdegup sangat kencang, sebentar lagi cepat atau lambat ia pasti ketahuan.
"Bu, sepertinya kita harus memindahkan dia dari sini. Lihatlah dia terus memukul-mukul pintu, bikin orang-orang curiga saja!" ujar Jodi membuat Vira berpikir keras apa maksud dari perkataannya.
"Ya, kamu benar! Malam ini kita bawa dia dari sini," ucap Sinta.
Sebenarnya apa yang mereka sembunyikan?
Tiba-tiba pintu lemari terbuka. Nampaklah wajah Heri di depan mata Vira, nafasnya tertahan dengan mata melotot menatap wajah pria di depannya.
"Oh tuhan, aku sudah ketahuan."
Apa yang harus Vira lakukan sekarang? Badan Vira rasanya gemetar, sebentar lagi Heri pasti akan melapor pada Sinta jika Vira lah yang masuk ke dalam gudang ini secara diam-diam.
--