Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Bangku Bara dan Rania

🇮🇩Analisa_Fii
1
Completed
--
NOT RATINGS
1.3k
Views
Synopsis
Aku ingin menceritakan tentang kenangan kita di surat ini. Kenangan masa kecil kita. Kenangan saat kita berpisah. Kenangan kisah manis kita saat SMA. Rooftop persembunyian kita. Kelas kita. Bangku kita dan meja belakang kelas yang tertulis "Bangku Bara dan Rania". Apakah kamu mengingatnya? - Rania
VIEW MORE

Chapter 1 - Bangku Bara dan Rania

***

Sudah satu tahun berlalu sejak aku lulus dari SMA. Sudah satu tahun aku tidak bertemu denganmu. Hari ini aku menulis surat untukmu lagi di rooftop SMA kita. 

Di usiaku yang menginjak 19 tahun mungkin sudah terlalu tua untuk mengingat pertemuan pertama kita saat berumur 5 tahun. Tapi aku tidak pernah lupa hari itu. 

Kamu dengan keras kepala berdebat dengan anak-anak dari desa sebelah di kebun nenekku. Hanya perdebatan antara anak kecil, tapi aku cukup tertarik saat itu. 

Mereka mengejekmu mengompol di celana. Saat itu kamu bersikeras bahwa celanamu terkena tumpahan teh. Tentu saja mereka tidak percaya. Hingga akhirnya Nenek melerai perdebatan itu.

Aku bahkan masih bisa tertawa saat mengingat kejadian itu. Hari itu adalah saat pertama kali aku bertemu denganmu dengan celana yang bau pesing itu. 

Kita bertemu kembali di bangku SMA setelah 10 tahun berpisah, itu benar-benar sebuah keajaiban untukku. Saat itu aku bahkan tidak tahu apa itu cinta. 

Tapi kamu bilang kamu sudah menyukaiku saat kita masih kecil. Seperti biasa, kamu memang selalu di luar dugaan.

Aku tidak pernah percaya saat kamu mengatakan itu. Tapi sekarang memoriku menyeretku ke masa kecil kita ketika kamu akan pindah ke Jakarta, ketika Ayahmu akan menyekolahkanmu di SD dekat tempat kerja barunya. 

Memori ini membuatku percaya pada perkataanmu waktu itu.

Hari itu adalah pagi yang berisik. Ayahmu menyeretmu masuk ke mobil dengan kerepotan. Seperti biasa, seorang Bara akan berteriak marah saat sesuatu tidak berjalan seperti yang dia inginkan. 

Kamu terus berteriak "Tidak mau!" dan berusaha masuk ke rumah. 

Aku ingat dulu suaramu sangat cempreng dan berisik. Anehnya, saat kita bertemu kembali di SMA suaramu berubah menjadi berat. Itu cukup mengejutkan. Tapi kamu tetap Bara yang suka berteriak. Suara teriakanmu masih sama kerasnya seperti suara teriakanmu pagi itu, teriakan yang membuat para tetangga keluar rumah. Begitupun aku dan nenekku.

Tentu saja, tidak ada yang melerai saat Ayahmu ingin membawamu ke Jakarta. Kamu terus memanggilku. Tapi aku hanya diam dan bersembunyi di balik pinggang Nenekku. Aku tidak bisa membantumu karena saat itu akupun takut pada Ayahmu.

Hari itu pertama kalinya aku melihatmu menangis. Padahal untuk ukuran anak kecil berumur 6 tahun, kau hampir tidak pernah menangis. Bahkan kamu tidak menangis ketika lututmu berdarah karena kamu jatuh saat memanjat pagar Pak RT. Justru akulah yang menangis karena melihat darah di lututmu. Saar itu aku pikir dengkulmu akan bolong seperti itu selamanya.

Kamu menangis karena kamu tahu hari itu adalah perpisahan. Tapi aku tidak. Aku pikir Ayahmu hanya memaksamu pergi ke tempat kursus piano lagi. Jika aku tahu kamu akan pindah sekolah, jika aku tahu kamu akan pergi, aku akan meminta kontakmu terlebih dahulu. Sehingga kita tidak akan lost contact selama 10 tahun.

Tapi dengan bodohnya kamu memilih untuk berteriak dan membuat kerusuhan dibanding datang ke rumahku dan meminta nomor telepon rumahku. 

Setelah 10 tahun dan bertemu kembali di SMA, kamu bilang kamu lupa meminta kontakku waktu itu. Ha… tentu saja, kamu pasti sibuk berteriak. Aku yakin dulu setelah berteriak-teriak, suaramu pasti hilang selama berhari-hari. 

Sekarang, hari hariku terasa aneh tanpamu. Mungkin karena kenangan 3 tahun di SMA menjadikan kita semakin dekat. SMA kita menjadi tempat yang aku kunjungi saat aku merindukanmu. Rooftop persembunyian kita. Kelas kita. Bangku kita. 

Bangku Bara dan Rania. 

Tulisan itu masih terukir pada meja kayu di pojok belakang kelas. 

Bangku kita. Tempat kita bertemu kembali setelah 10 tahun berpisah. 

Ya. 

Kamu kembali lagi setelah 10 tahun pindah ke Jakarta. Kamu terlihat banyak berubah, ya. Pertumbuhan anak laki-laki benar-benar bukan main.

 Tubuhmu menjadi tinggi sekali. Rambutmu menjadi agak gondrong. Aku tidak menyangka anak kecil ingusan bisa berubah menjadi raksasa seperti itu.

Pagi itu, aku sedang sibuk mencari pita merah putihku dan kamu tiba tiba tiba duduk di kursi sebelahku. Kamu membunyikan kursi dengan keras hanya untuk duduk. Membuatku terperanjat dan melotot ke arahmu. 

Jujur saja, aku bahkan tidak mengenalimu waktu itu. Sampai kamu berbicara dengan bersemangat.

"Rania! Ini Bara!" katamu sembari manatap ke arahku. 

Tatapanmu masih tajam seperti dulu. Jika aku tidak mengenalmu sebagai Bara, aku pasti akan takut berbicara dan duduk sebangku denganmu dulu.

Hari itu menjadi permulaan kisah kita yang baru. Kisah yang mungkin menjemukan untuk banyak orang karena hampir seluruh halaman akan diisi dengan "Sama Rania!" atau "Bareng Rania!".

Haha... Ya. Kamu selalu mengatakan hal yang membuat orang bosan. Sebangku sama Rania. Sekelompok sama Rania. Satu team sama Rania. Maju sama Rania. Duduk di bus sama Rania. Ha..

Semua teman di kelas bahkan memberimu sebutan 'Ekornya Rania'. Tahu tidak, sih? Semua orang bosan saat kamu menyebut namaku terus. 

Saat bersamamu aku akan menjadi perhatian banyak orang. Harusnya aku merasa malu seperti biasanya. Tapi justru aku merasa sangat spesial saat bersamamu. Semua hari sekolah terasa menyenangkan bersamamu.

Hanya saja aku harus menjawab ribuan pertanyaan dari penggemarmu tentang siapa aku. Kamu pasti tidak tahu tentang ini, kan? Aku bahkan sangat lelah menjawab "Aku sahabatnya". 

Ada dari mereka yang percaya dan ada yang tidak. Tapi kecemburuan mereka terlihat jelas. Aku dengar kamu berkoar-koar pada semua orang agar jangan menggangguku. Syukurlah. Mungkin karena itu aku tidak habis dicakar oleh penggemarmu.

Selain mempunyai banyak penggemar ternyata dulu kamu juga punya banyak musuh, ya. Berbeda denganku yang cinta damai, kamu teguh berdiri pada prinsipmu "Memberi kesempatan kedua adalah kebodohan". 

Dulu aku tidak sepenuhnya setuju padamu, tapi aku tidak pernah berkomentar. Aku ingat jika ada yang membuat satu kesalahan besar padamu, kamu langsung terjun untuk bertengkar dan tidak ada pilihan perdamaian, karena kamu tidak akan memberi kesempatan kedua. 

Tentu saja harus aku yang turun tangan untuk melerai karena semua orang akan sibuk menikmati pertunjukan ekslusif ini sampai guru datang.

"Sudah! Kamu mau guru datang dan bilang pada Ayahmu? Bagaimana jika kamu pindah sekolah?"

Hanya dengan kalimat ini kamu akhirnnya langsung berhenti dan bisa berpikir rasional.

Saat SMA kita seperti dua kertas perekat yg berbeda. Kita bukan orang yang memiliki banyak kesamaan. Tapi kita selalu bersama. 

Aku menyukai Biologi. Kamu menyukai Olahraga. 

Aku menyukai sayur. Kamu menyukai ayam. 

Aku suka suara hujan. Kamu suka berjemur di musim panas.

Tapi karena perbedaan ini kita saling menguntungkan. Kamu membantuku saat olahraga dan aku membantumu saat biologi. 

Hanya saja insiden bisa saja terjadi. Saat guru biologi menyuruhmu mencari klorofil, aku membantumu menuliskan kata "hijau" di tanganmu dengan jariku. Kamu terlihat gugup. Gugupmu itu artinya kau tahu maksudku atau tidak, sih? 

Aku pikir kamu tahu, hijau yang kumaksud adalah daun. Karena daun adalah warna hijau yang dengan mudah bisa ditemukan. 

Tapi kamu selalu mengagetkanku. Seorang Bara justru mengambil seember cat hijau milik pekerja yang mengecat dinding di luar.

Kamu benar-benar tidak menyukai Sains. Saat aku tanya padamu kenapa mendaftar di jurusan IPA, kamu menjawab dengan santai jika kamu asal mendaftar ketika bertengkar dengan Ayahmu. Aku benar-benar tidak habis pikir. Seperti halnya aku frustrasi mengajarimu Sains, kamu juga pasti frustrasi mengajariku Olahraga. Seorang Bara yang bebas bergerak. Menyukai olahraga itu benar-benar dirimu sekali.

Kebersamaan kita sebagai sahabat menjadi terlalu singkat saat kamu bilang "Aku menyukaimu". 

Saat itu hari pertama kita di kelas 11. Entah kenapa banyak sekali jam kosong hari itu. Kamu menyeretku ke luar kelas dan naik ke rooftop, seperti yang selalu kamu lakukan saat jam kosong. 

Kamu diam cukup lama saat itu. Membiarkanku fokus pada langit siang dan angin yang cukup kencang. Hingga akhirnya kamu mengatakan kalimat terpanjang dan paling serius yang pernah aku dengar darimu. Kalimat yang tidak bisa aku lupakan. 

"Aku suka melihat matamu. Melihat wajahmu. Melihat kamu. Aku ingin terus menggenggam tanganmu. Memelukmu. Mengelus rambutmu." Kamu mengatakannya tanpa melihat ke arahku. Benar-benar bukan seorang Bara. 

Aku yang merasa aneh hanya menyenggol tanganmu dan tertawa garing agar kau berhenti bercanda. Hingga akhirnya kamu menatap aku. 

"Rania. Bagaimana kalau aku benar-benar menyukaimu?"

Aku refleks melihat ke arahmu dengan wajah kaget dan tanda tanya. Saat itu, aku bahkan tidak pernah memikirkan akan menyukaimu. Keberadaan kita sejak kecil sebagai sepasang sahabat dan dua sejoali terlalu akrab dan nyaman hingga aku tidak pernah terpikir akan menyukaimu. Pikiran pendekku itu datang seperti sengatan listrik. 

"Ayo terus bersama denganku."

Aku masih bisa mengingat dengan jelas matamu yang penuh harap saat itu. Kenangan indah tentang kamu yang mengatakan suka padaku. Tapi kenangan itu juga adalah kenangan yang menyakitiku setiap aku mengingatnya. 

Satu langkah mundurku kala itu menjadi penyesalan terdalamku. Sampai saat ini aku masih bertanya, 'Kenapa aku menolakmu dulu?'.

Saat itu aku pikir hubungan kita akan baik-baik saja seperti semula. Aku hanya harus pura-pura lupa. Tapi nyatanya, setelah kejadian itu, kamu terus menghindariku. 

Hari hari yang menyenangkan itu menjadi canggung dan hubungan kita menjadi asing. Kita yang selalu suka bergosip menjadi tidak pernah berbicara. Kamu hanya duduk di sebelahku dan tidur selama pelajaran dan nongkrong di kantin bersama teman temanmu saat istirahat. 

Kita tidak saling bicara hampir sebulan, tapi rasanya seperti selamanya. Pada akhirnya aku ingin mengakhiri keadaan aneh ini dengan memberimu sesuatu dan memulai pembicaraan lagi. 

Sore itu setelah semua orang pulang, aku menunggumu bangun. Kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tapi aku tidak bisa berkomentar. Saat kamu mulai bangun dan melihatku, aku bisa tahu kamu cukup terkejut. 

Sunyi. Kita hanya menatap satu sama lain dan tidak mengatakan apapun. Aneh. Kita tidak pernah seperti itu kan sebelumnya? 

Aku yang tidak bisa memikirkan kata-kata dalam kepalaku, langsung mengangkat kotak bekal makanan berisi ayam pedas manis. Makanan kesukaanmu. Aku pikir kamu pasti kelaparan setelah pulang dan tidak ada makanan di rumahmu karena Ayahmu belum pulang. Tapi dengan dingin kamu langsung mengambil tasmu dan berjalan keluar.

Kamu yang tidak pernah menolak ajakanku. Tidak pernah menolak pemberianku. Menjadi tidak seperti dulu lagi. 

Kamu tahu tidak? Hatiku rasanya sakit. Tapi aku tidak bisa menyalahkanmu.

Suaraku yang harusnya memanggilmu terasa tersangkut di tenggorokan dan mataku seperti berubah menjadi kompor panas. Sore itu aku diam-diam menumpahkan air mataku yang mendidih. Ternyata seperti itu rasanya ditolak. Apakah seperti itu yang kamu rasakan saat aku tidak menjawabmu waktu itu? 

Setelah menolakmu dulu, aku pikir aku hanya perlu membangun hubungan denganmu lagi sedekat dulu. Aku pikir aku baik-baik saja tanpa kamu. Tapi aku sadar aku yang salah. Aku salah mengartikan perasaanku sendiri. Dadaku waktu itu bergejolak ingin mengatakan semua perasaan yang baru saja aku sadari saat itu. 

Dan selama hidupku aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk mengejarmu sore itu di antara lorong koridor yang gelap. 

Aku memanggilmu beberapa kali. Memanggilmu tidak pernah seberat dan semenyakitkan itu saat kamu tidak menganggapku ada. Kamu bahkan tidak menoleh. Tapi kamu berhenti. Hanya saja, aku tidak bisa mendekatimu, apalagi berdiri di depanmu. 

"Aku salah, Bara! .. Aku pikir aku akan baik baik saja jika kita tidak dekat lagi. Aku pikir aku akan baik-baik saja tanpa bersamamu. Saat kamu menolak pemberianku tadi, sepertinya aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan saat di rooftop waktu itu. Aku tahu yang aku katakan sia sia. Aku tahu kamu bukan orang yang memberi kesempatan kedua. Aku tahu aku akan ditolak seperti saat aku menolakmu. Mungkin setelah ini kita tidak akan saling mengenal lagi, tapi aku harus katakan sesuatu, kalau aku salah memahami perasaanku.... Aku juga menyukaimu.."

"Kamu tahu, kan? Bagiku orang yang memberi kesempatan kedua adalah orang bodoh."

"A-aku tahu, aku tahu ini sia-sia tapi -"

"Tapi kamu tidak tahu, Rania. Aku bisa menjadi orang bodoh setiap bersamamu."

"..."

"Ayo terus bersamaku selamanya, Ran."

Kata-katamu waktu itu adalah keajaiban bagiku. Aku merasa seluruh keberuntunganku telah aku pakai saat itu. Keberuntunganku mendapat kesempatan kedua. Keberuntunganku mendapatkanmu. Keberuntunganku menulis kenangan indah bersamamu di kelas 12. Kenangan di kelas 12 adalah cerita manis kita.

Saat itu adalah hari senin yang dingin. Kita bahkan rela berangkat lebih awal dari penjaga kebun dan memanjat pagar untuk melihat cahaya fajar bersama. Kita duduk di rooftop sekolah dengan mengenakan hoodie dan memeluk tas masing-masing. Aku kedinginan dan aku yakin kamupun kedinginan juga. Tapi ketika bersamamu, mengobrol, dan bercanda bersama terasa sangat hangat. Di antara cahaya fajar yang merangkak keluar, momen ini bahkan lebih manis dari mimpi indah yang pernah aku bayangkan. 

Kamu bertanya apa yang aku sukai darimu. Aku tidak bisa melihat ke arahmu karena kau terus menatapku seolah-olah pertanyaanmu itu serius. Saat kau membuka tudung hoodiemu, aku langsung tahu kalau kamu minta dipuji keren. 

Jujur saja, saat itu aku terihat kikuk, kan? Pipiku rasanya hangat. Pikiranku kosong tapi aku bisa tahu jawabannya. 

Aku suka semuanya.

Hanya saja, aku malas melihat kepalamu menjadi besar. Jadi aku hanya menjawab, "Rambutmu." 

Kamu menyentuh rambutmu berkali-kali. Sepertinya waktu itu kau senang dipuji, ya? Tahu begitu, aku harusnya memujimu lebih banyak.

Tampaknya, kau menganggap serius jawabanku itu. Kamu mengingatnya sampai hari wisuda. Pagi sebelum wisuda itu, kau menelponku dengan heboh dan mengatakan bahwa kamu merapikan rambutmu dengan keren. Kamu bahkan naik bus supaya rambutmu tidak rusak jika berangkat menggunakan motor. Benar-benar, kau menganggap serius jawabanku di rooftop dulu, ya?

Di hari wisuda itu, aku menyesal kenapa aku menjawab suka dengan rambutmu...

Aku masih ingat menunggu di halte dekat sekolah. Mataku mengembang saat aku melihat bus mu mendekat ke arah halte. Aku tidak sabar bertemu denganmu. Tapi ..

Tepat di depan mataku. Aku melihatmu 'pergi'. Aku mencoba menyangkal dan berkata bahwa ini mimpi. Tapi suara dentuman truk yang menabrak sebuah bus itu meneriakkanku bahwa ini bukan mimpi. Telingaku pengang dan aku tidak bisa mendengar apapun.

'Kamu tidak ada di dalam bus itu, kan?' 

Aku terus mengatakan itu sambil menutup mulut seakan tak percaya kau ada di dalam bus yang sudah hancur dan jatuh. 

Kenapa? Kenapa..? Padahal tinggal sedikit lagi kita bertemu..

Benar-benar sedikit lagi.. Sedikit lagi, kan? Aku ada di depanmu..

Aku ingin melihatmu berdiri dengan keren.. Aku ingin melihatmu.

Melihat tragedi di depanku, aku mencengkeram kebayaku berharap rasa sesak di dadaku bisa berkurang. Seperti halnya mengharapkan kunang-kunang di kegelapan, Aku berharap dengan putus asa. 

'Kau akan baik-baik saja, kan?'

Dengan mataku yang blur karena genangan air mata, aku terus mengulang-ulang harapan yang sia-sia.

Air mataku yang mengalir tertutupi oleh guyuran air hujan. Hujan yang selalu aku sukai. Hari itu, aku membencinya.

Aku hanyalah anak SMA biasa. Tapi saat kamu menelponku pagi itu, aku tidak menyesal mengatakan 'Aku juga mencintaimu'.

Bahkan hingga di hari kelulusan SMA kamu masih mengatakan kata-kata itu di telepon, "Ayo terus bersama selamanya, Ran."

Tapi..

Dunia menjadikan kata 'selamanya' sebagai omong kosong. Kini, saat melihat tanah yang penuh bunga ini, aku merasa ucapanmu waktu itu hanya bualan. Kata-katamu waktu itu terasa menyakitkan saat terngiang di pikiranku. Kata-kata itu selalu membawaku ke tragedi di hari kelulusan SMA kita. Di hari kamu mengatakan kata-kata itu. Di hari kamu meninggalkan aku. 

Sekarang, makan tanpamu menjadi semakin sulit. Aku selalu menantikan sayur yang kamu sisihkan untukku. Bahkan setiap kali mereka memberiku ayam, aku tanpa sadar selalu menyisihkannya. Berharap kamu akan mengambil dan melahapnnya. 

Sepertinya kebiasaan saat bersamamu terlanjur menetap terlalu dalam. Seperti ukiran di sebuah batu. Kadang-kadang semua kebiasaan ini menyeramkan karena membuatku selalu mengingatmu, merindukanmu, dan menangis karena mengenang saat-saat bersamamu. Aku sudah ikhlas. 

Tapi salahkah jika aku menangis saat mengingatmu? Mereka bilang aku belum berdamai dengan kepergianmu. Mereka bilang kepergianmu bukan untuk ditangisi tapi diikhlaskan. Bukankah artinya mereka melarangku menangis karena mengingatmu? Sepertinya itu tidak mungkin terjadi.

Mereka hanya menyuruhku untuk tidak menangis ketika aku tiba-tiba mengingatmu. Mereka tidap pernah mengajarkanku caranya berduka. Tidak ada buku dan orang yang bisa mengajarkannya. Bahkan orang sok pintar sepertimu belum mengajarkan cara berduka padaku.

Ayahmu dan kamu, kalian sama-sama keras kepala. Itulah yang membuat kalian terus bertengkar. Tapi aku tahu kalian saling menyayangi.

Setelah kamu pergipun, Ayahmu selalu mengunjungimu setiap akhir pekan. Terkadang kami saling berpapasan. Dan setiap berpapasan dengan Ayahmu, aku selalu melihat mata Ayahmu yang basah. Aku pura-pura tidak melihat. Karena aku tahu, akupun akan begitu setelah mengunjungimu. Kami hanya berbasa-basi menanyakan kabarnya. Ayahmu juga merindukanmu. Jika saja kamu mengetahuinya lebih awal.

Sepertinya ini terakhir kalinya aku menulis surat yang tidak akan pernah kamu baca di rooftop ini. Mereka bilang aku harus fokus minum obat. Aku banyak belajar tentang pencernaan manusia. Tapi sekarang aku tahu kalau pencernaan manusia itu bisa menyeramkan. 

Akhir-akhir ini orang-orang juga jadi cerewet menyuruhku makan sepertimu dulu. Mereka adalah orang baik yang selama ini membantuku. Sebenarnya hari ini mereka menyuruhku pergi ke rumah sakit lagi. Tapi aku ingin datang ke rooftop ini untuk terakhir kalinya. Karena itu aku sedikit merasa bersalah pada mereka...

....

Saat aku membuka mataku, aku kenal langit-langit putih ini. Aku kenal bau aneh ini. Bau rumah sakit. Suara dokter. Mataku yang seperti lampu yang redup tidak bisa melihat hal lain lagi. 

'Terima kasih semuanya.' Kata kata itu bahkan tidak bisa keluar untuk mereka. 

Di antara pandanganku yang memudar, bayangan kenangan itu terlihat samar-samar. Di bangku itu, kita menemukan satu sama lain setelah sekian lama.

Di bangku itu. Tempat kita dulu bertemu kembali setelah 10 tahun berpisah. 

Tempat kita sekarang bertemu kembali.

Mari bertemu lagi, Bara..

Mari bertemu lagi, Rania.

-----

Tiiiiittt----------------------

***