Adrian, seorang pria keturunan Asia-Eropa dengan tubuh atletis dan gaya berpakaian androgini yang mencolok, adalah pemilik sebuah rumah besar seluas lapangan sepak bola. Rumah itu, lebih tepatnya, adalah sebuah museum horor yang dirancang dengan estetika steampunk yang unik. Koleksinya beragam: boneka-boneka buatan tangan, minuman alkohol langka, tengkorak hewan yang diukir rumit, dan sejumlah artefak yang mengusik. Suasana rumah itu dipenuhi aroma terapi manis yang bercampur dengan aroma tanah dan logam, menciptakan kontras yang aneh.
Adrian, yang juga seorang ahli ventrilokuisme, sering kali menggunakan boneka-bonekanya untuk menceritakan kisah-kisah mengerikan. Cerita-cerita itu, meski fiktif, mengisyaratkan kekejaman dan dendam Adrian terhadap para pembully yang pernah menyiksanya di masa lalu. Ia menggambarkan bagaimana ia menghukum para pembully itu dengan metode yang kejam, tetapi tetap menghindari detail yang eksplisit tentang kekerasan seksual atau terhadap anak-anak. Penggambarannya fokus pada rasa sakit mental dan fisik yang diderita para pembully. Meskipun Adrian mengecam kekerasan, ia menampilkan dirinya sebagai "hakim" yang menghukum para pelaku bullying.
Suatu malam, Silas, seorang pengerajin mayat sekaligus pembuat minuman keras eksentrik, datang mengunjungi Adrian. Silas membawa "Air Mata Blackwood," minumannya yang terkenal kuat dan misterius. Adrian dan Silas berbincang, percakapan mereka diwarnai dengan lelucon gelap dan sindiran tentang kejahatan dan kematian. Silas mengisahkan tentang metode pengawetan mayatnya yang unik, sementara Adrian menunjukkan koleksi topeng-topeng yang ia buat, masing-masing mewakili wajah para pembully.
Di tengah percakapan mereka, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar. Adrian dan Silas bersiap menghadapi kemungkinan kedatangan polisi yang korup yang telah Adrian suap. Mereka merencanakan cara untuk mengelabuhi mereka. Adrian menggunakan kemampuan ventrilokuismenya untuk menyesatkan polisi, sementara Silas menggunakan keahliannya dalam membuat minuman untuk melumpuhkan mereka sementara waktu.
Cerita kemudian berlanjut dengan Adrian dan Silas yang berhasil menghindari polisi. Cerita diakhiri dengan Adrian menatap koleksinya, suatu ungkapan ambigu tentang rasa puas dan juga kesepian yang mendalam. Pertempuran Adrian dengan masa lalu belum berakhir, dan bayangan masa lalunya terus menghantuinya. Rumah itu, seluas lapangan sepak bola, merupakan museum horor yang dirancang dengan teliti. Bau aroma terapi manis bercampur dengan aroma anyir darah dan tanah yang membusuk. Di tengah-tengah koleksi minuman alkohol langka dan toples-toples berisi janin manusia yang diawetkan, berdirilah seorang pria. Kita sebut saja dia Adrian. Adrian, keturunan Asia-Eropa, memiliki tubuh atletis dengan sixpack yang menonjol. Rambutnya tertata rapi, dandanannya feminin, kadang-kadang mengenakan pakaian wanita, dan sepatu hak tingginya berdecit di atas lantai marmer yang dingin. Kontras yang mengerikan dengan koleksi tengkorak hewan ukiran indah dan kuburan besar yang dipenuhi bunga-bunga langka dan beracun.
Di sudut ruangan, boneka-boneka berbagai ukuran, dari bayi hingga dewasa, berjejer rapi. Celana dalam anak laki-laki kecil tergantung di dekatnya, terpajang seperti trofi. Lonceng-lonceng berbagai ukuran bergantung di langit-langit, berdenting samar setiap kali ada hembusan angin. Mata Adrian, dingin dan tak bernyawa, menatap setiap detail koleksinya dengan bangga.
"Selamat datang di kerajaan saya," suara Adrian bergema, namun terdengar berbeda. Suara itu lebih tinggi, lebih muda, seperti anak kecil. Adrian sedang melakukan ventrilokuisme. Boneka kecil di pangkuannya, yang mengenakan gaun putih lusuh, menggerakkan mulutnya seolah-olah sedang berbicara.
"Kau tahu, boneka kecilku ini sangat pandai meniru suara manusia," ucap Adrian dengan suara normalnya, suaranya dalam dan menggoda. "Dia bisa menceritakan kisah-kisah yang sangat...menarik."
Boneka itu kemudian bercerita, suaranya serak dan mengerikan, tentang pembunuhan-pembunuhan Adrian. Korbannya kebanyakan adalah anggota komunitas LGBT, yang menjadi target kemarahan Adrian yang terpendam. Dia menggambarkan tiap detail pembunuhan dengan rinci, menceritakan bagaimana dia menyiksa mereka, bagaimana dia menikmati rasa takut mereka sebelum akhirnya mengakhiri hidup mereka. Merpati putih di kandangnya berkicau seolah ikut menyaksikan kisah mengerikan tersebut.
"Perang saya melawan kaum LGBT baru saja dimulai," kata Adrian, dengan suara rendah dan penuh kebencian. "Mereka semua akan merasakan murka saya."
Adrian kembali berganti suara, menggunakan boneka lain, kali ini yang berwajah seperti anak kecil yang polos. Boneka itu bercerita tentang anak-anak yang menjadi korban Adrian. Suaranya lugu, namun kontras dengan cerita brutal yang diungkapkannya. Adrian tertawa, tawa yang dingin dan mencengkeram hati.
Tiba-tiba, lonceng-lonceng itu berdenting keras. Adrian menghentikan ventrilokuismenya. Ada tamu baru. Adrian menatap tamu itu dengan senyum licik.
"Oh, aku punya satu permainan baru untukmu," bisik Adrian, suaranya berubah menjadi rendah dan mengancam. "Permainan yang akan kau ingat sampai ajal menjemputmu."
Adegan selanjutnya tergambar melalui deskripsi yang mengerikan namun tidak detail, dengan suara boneka-boneka yang mengisahkan akhir tragis dari setiap korban Adrian.
Cerita ini berakhir dengan kegelapan, hanya suara lonceng yang bergema dalam keheningan rumah mengerikan itu, meninggalkan bayangan horor yang meresahkan. Adrian, sang dalang di balik kekacauan, tetap berkuasa di kerajaannya yang mengerikan. Koleksinya terus bertambah, dan daftar korbannya semakin panjang.
Classic statue clock giants decorated with imitation flowers, candles and colorful lights equipped with accessories and bells of various sizes installed horrors, mysterious, creepy and nightmare. Hujan mengguyur kota kecil Blackwood dengan derasnya. Di sebuah bengkel tua yang berbau anyir dan alkohol, Silas, si pengerajin mayat, tengah mencampur ramuan untuk minumannya yang terkenal kejam: "Air Mata Blackwood." Ramuan itu terbuat dari berbagai bahan tak lazim, termasuk darah hewan dan rempah-rempah langka. Di meja kerjanya, tergeletak alat-alat bedah yang mengkilat di bawah cahaya redup lampu minyak.
Tiba-tiba, pintu kayu bengkel berderit terbuka, memperlihatkan sosok tinggi kurus bernama Julian. Julian adalah psikopat yang terkenal di kota itu, otak di balik berbagai kejahatan yang tak terpecahkan. Matanya yang dingin dan tajam menatap Silas.
"Silas, kau sudah siap?" tanya Julian, suaranya serak dan mengancam.
Silas, tak bergeming, menatap Julian dengan senyum tipis yang menyeramkan. "Tentu saja, Tuan Julian. 'Air Mata Blackwood' edisi spesial sudah siap. Aku menambahkan sedikit... sentuhan pribadi." Ia menunjuk sebotol kecil berisi cairan merah pekat yang berkilauan aneh.
Julian tersenyum sadis. "Bagus sekali. Aku ingin memastikan pesta ulang tahunku kali ini akan menjadi yang paling berkesan."
Silas mengangguk. Ia menuangkan "Air Mata Blackwood" ke dalam beberapa gelas kristal yang sudah disiapkan. Aroma alkohol yang menyengat bercampur dengan bau anyir yang aneh, membuat Julian sedikit mengernyit.
"Apa ini?" tanya Julian, menunjuk cairan merah pekat dalam botol kecil.
"Hanya sedikit 'bumbu'," jawab Silas, suaranya lirih namun penuh arti. "Untuk menambah... rasa."
Julian meneguk minuman itu. Awalnya rasanya manis, namun setelahnya, sensasi panas yang luar biasa menyebar di tenggorokannya. Ia merasa tubuhnya mulai bergetar, penglihatannya kabur, dan pikirannya menjadi kacau.
"Apa yang kau lakukan pada minuman ini?" teriak Julian, suaranya mulai tidak jelas.
Silas tertawa, tawa yang menyeramkan dan memuakkan. "Aku menambahkan sedikit 'esensi' dari... temanmu, Arthur. Ia cukup... bersemangat, sebelum aku 'memprosesnya'." Silas menunjuk sebuah peti kayu besar di sudut ruangan. Di dalam peti itu, terdapat sisa-sisa jasad Arthur, yang diproses dengan teliti oleh Silas.
Julian semakin linglung, badannya lemas. Ia menyadari bahwa "sentuhan pribadi" Silas adalah racun yang mematikan. Racun yang terbuat dari organ Arthur yang sengaja dimurnikan.
"Kau... Kau..." gumam Julian, sebelum akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Silas tersenyum puas. Ia membersihkan meja kerjanya dengan teliti, membersihkan semua bukti kejahatannya. Hujan di luar masih mengguyur kota Blackwood, membasuh darah dan kotoran yang tertinggal di bengkel itu, sementara Silas merencanakan kejahatan selanjutnya. Minuman "Air Mata Blackwood" telah merenggut satu nyawa lagi, dan Silas, si pengerajin mayat, pembuat minuman alkohol yang kejam, kembali bersembunyi dalam bayangan. Kota Blackwood tetap terselubung dalam misteri dan teror.