9 Juni 2012 Jakarta Selatan.
Di gedung kosan 18 pintu, penghuninya berkisar anak-anak muda perantauan yang mulai kuliah ataupun bekerja.
Kos campur pria dan wanita tapi bukan kosan bebas dengan penghuninya yang sering melakukan seks bebas.
"Berangkat bro? Tumben pagi amat?"
"Oh iya bang, ada kelas pagi, mari bang"
"Iyee, ati-ati"
Seorang pria duduk santai di kursi teras, menikmati sejuknya dingin pagi, minum segelas kopi hitam dengan rokok kretek dijarinya.
Pagi seperti ini bukannya berarti dia beraktivitas rajin mulai dari pagi, tapi dia baru pulang kerja dijam malam.
Kopi yang diminumnya bukan untuk menikmati suasana pagi dengan santai, tapi sebagai minuman yang memaksanya untuk tetap terjaga, kosan tempat dia tinggal saat ini adalah sebuah bangunan tiga lantai, dengan lantai satu ruko-ruko dan dua lantai diatasnya berisi kosan 18 pintu.
Tempatnya tinggal saat ini juga tempatnya kerja, dari sore hingga malam dia bekerja di warnet yang ada di ruko lantai satu hingga subuh, dan dari subuh hingga jam tujuh pagi bebersih satu bangunan dari lantai satu ke lantai tiga.
Bebersih bangunan tiga lantai sangatlah melelahkan, tapi untuknya itu hal yang sangat biasa, empat tahun dia bekerja disini, wajar kebiasaan yang melelahkan itu sudah cukup membuat tubuhnya mati rasa dan bergerak seolah robot yang diatur untuk bergerak sesuai jalurnya.
'yaawwwnnn..'
Pria itu, Inyo, protagonis cerita ini, berdiri dari duduknya, meneguk habis kopi, mematikan rokoknya, menguap lebar dan ngulet.
Inyo tahun ini berusia 25 tahun, hidupnya biasa saja, bahkan perlahan membosankan, bekerja di warnet dia pikir akan menyenangkan karna dia suka bermain game online, cuma dia juga bingung, kenapa semuanya perlahan menjadi membosankan.
Inyo merasa hidupnya kadang terasa seperti dipinggir jurang, hiburan yang selama ini dia nikmati menjadi tumpul dirasanya, komik, manga, novel web, film, anime dan kartun.
Hiburan 2D yang hanya dinikmati dengan melihat layar komputer habis rasa senangnya, Inyo berpikir untuk mulai menikmati hal-hal yang nyata, berpetualang keliling negeri termasuk dalam impian yang selalu ingin dia jalani, tapi mau bagaimana lagi dia tidak punya cukup uang dan tidak cukup berani untuk meninggalkan tempat kerjanya sekarang.
Inyo hidup sendiri di Jakarta, tidak punya tempat tinggal selain disini, jadi kalau dia keluar dari tempat dia bekerja saat ini, itu sama saja dia keluar dari satu-satunya tempat dimana dia memiliki rumah.
Toookkk.. Tookk..
"Haloo, bangun!! kan udah gua bilang kalo pagi tempat sampah lu bawa keluar"
Inyo mengetuk pintu kamar, mengomel kesal pada penghuni didalamnya, bagian paling susah dari pekerjaannya adalah memberi tahu pada setiap penghuni untuk mengeluarkan kantong sampah setiap pagi untuk dia kumpulkan dan dibuang di tempat sampah sekaligus.
Menyapu dan mengepel tidak seberapa capek bila dibandingkan dengan harus memberi tahu anak-anak kos bebal yang mungkin belum merasakan sulitnya kehidupan.
Kos tempatnya tinggal dan bekerja termasuk kos yang bagus dengan harga yang cukup mahal, fasilitas lengkap baik didalam kamar maupun fasilitas umumnya, jadi rata-rata penyewanya dari kalangan anak-anak berada dan orang yang bekerja dengan gaji yang tinggi.
"Kenapa bang? Ganggu aja dah masih pagi juga"
Seorang pemuda mengintip dari jendela dengan mata yang mengantuk, ya karna wajar saja ini masih pagi, waktu tidur untuk mahasiswa yang malamnya begadang dan kuliah masuk jam siang.
"Sampah lu keluarin, mau sekalian gua buang, lagian kan juga udah gua bilang, dari malem keluarin biar pagi terserah dah lu mau ngapain"
"Iya yak bentar"
-----------------------------------------------------------
Kehidupan pagi Inyo seperti itu, mengepel, menyapu dan mengumpulkan sampah dari bangunan tiga lantai, dilakukan dengan cepat dan rapih sesuai waktu yang dia jadwalkan pada dirinya sendiri, selesai jam tujuh pagi.
Inyo berjalan santai dengan rokok dibibirnya, menuju kamar kesayangannya, kamar 18, yang berada paling pojok lantai tiga.
Cliiickk
Pintu kamar yang dikunci terbuka, kamar satu ruangan dengan perabotan seadanya, meja, lemari, gantungan baju dipintu, kasur ranjang dan kamar mandi dalam.
Inyo mematikan rokok dan membuangnya langsung ketempat sampah yang dia taruh diluar pintu kamar, melepas pakaian yang dia pakai selama seharian kemarin dan bergegas mandi menyegarkan tubuhnya yang kelelahan.
Mandi tidak perlu lama, hanya membasuh keringat yang lengket ditubuhnya, toh dia akan tidur dan keringetan lagi nantinya.
Inyo berbaring dikasurnya, AC kamar dinyalakan, lampu dimatikan, baju kotor langsung dicuci dan diletakkan di ember, yang nanti langsung dijemur disiang hari ketika Inyo bangun dari tidurnya.
Tidur nyaman dengan sedikit dengkuran terdengar, tidur nyenyak dari rasa lelah kehidupan yang Inyo tidak tahu kapan semua ini berakhir, mungkin tidak akhirnya, dan dia akan terus strugle hingga masa tua, terus bekerja keras demi uang yang sedikit.
-----------------------------------------------------------
Buuugggg...Buugggg
"Bang!! Bang!!"
Inyo bangun dari tidurnya, kesal siapa yang membangunkannya sebelum waktunya.
"Iyaa, iya. Apaan sih!"
Inyo membuka pintu menatap kesal kearah orang yang menggebuk-gebuk pintu kamarnya, namanya Cacan, penjaga warnet jam pagi hingga sore, bisa juga dibilang bawahannya.
"Apaan sih, ganggu gua aja lu monyet!"
"Ett, itu ada yang nyariin lu"
"Nyariin gua? Siapa?"
"Kagak tau dah, lu liat dulu aja, udah ya, balik lagi gua, lagi war gua soalnya"
"Ya udah, bilang tunggu bentar, entar gua turun"
"Iyaa"
Inyo melihat Cacan lari di lorong kosan, buru-buru kembali ke PC-nya, melanjutkan game yang dia mainkan.
Melihat Cacan semangat seperti itu mengingatkan dia pada dirinya dulu ketika baru bekerja disini, semangat bekerja sambil menjalani hobi sebagai gamer, bahkan ketika jam kerja selesai kadang masih bermain didepan komputer dengan fokus.
"Ughh sialan, siapa sih"
Inyo mencuci muka dan menggosok giginya dikamar mandi, berjalan keluar kamar dengan celana pendek sedengkul dan kaos yang dia pakai untuk tidur tadi.
Inyo berjalan santai saja, sambil memakan krupuk sambel yang biasa dia beli dari penjual krupuk yang lewat, tidak perlu terburu-buru, menyusuri lorong, menuruni tangga dan membuka gerbang kos.
Jalan raya tempat lalu lalang mobil dan motor terlihat, Inyo celingukan mencari orang yang ingin menemuinya.
Warnet, warung baso dan warung pecel lele, itu tiga bisnis usaha yang ada dilantai satu bangunan tempatnya.
Inyo berjalan ke arah warnet diujung dari sisi lain tempat gerbang kos berada.
"Can, mana, katanya ada yang nyariin?" Inyo bertanya pada Cacan yang sedang bermain di PC nomer 1, PC kusus admin warnet yang berjaga, PC pilihan yang Inyo build sesuai maunya.
"Lah itu didepan, yang mobil item"
"Oh ya udah"
Inyo berjalan keluar, mobil hitam yang disebut Cacan tepat berada didepan warnetnya.
Tepat saat Inyo keluar dari warnet, orang yang ada didalam mobil juga keluar dari mobilnya.
Inyo melihat dua orang, pasangan laki perempuan, yang perempuan cantik dengan rambut panjang, kulit eksotis dengan pakaian kasual, wanita dengan kecantikan elegan dan dewasa.
Inyo lebih terkejut melihat pria itu, seorang pria tampan dan tinggi, dengan pakaian kerja formal, celana hitam panjang, kemeja biru dongker lengan panjangnya digulung, rambut yang dicukur rapih, bahkan sepertinya terlampau rapih, karna terlihat seperti baru dicukur.
Sangat kontras dengan dia yang hanya memakai celana kolor, rambut gondrong acak-acakan.
Inyo terkejut bukan karna penampilannya, tapi lebih ke kenapa orang sebegitu rapihnya hanya untuk bertemu dia.
"Halo, bang Inyo?"
"Oh iya saya sendiri"
"Oh kebetulan sekali", lanjut pria itu dan mengulurkan jabat tangannya, "saya Bena Abisatya Cakara, panggil saja Abi dan ini, Karina Delila, tunangan saya"
Inyo menjabat tangannya, sungguh aneh, dia belum pernah bertemu orang ini, tapi dari pertama kali dia keluar mobil hingga sekarang berjabat tangan, Inyo melihat orang ini sangat gugup, matanya tidak fokus, seolah melihatnya ada rasa takut yang mendalam, bahkan tangannya bergetar ketika berjabatan tadi.
'menarik', Inyo tersenyum ramah dibibirnya, tapi dalam pikirannya dia mulai berpikir liar.
"Jadi ada apa, mas Abi?"
"Ada hal penting yang saya ingin bicara secara tertutup sama abang, kayaknya kalo disini kurang pas"
Inyo mengerutkan kening mendengar perkataan orang didepannya, menengok kiri kanan, yah memang ini tempat umum, tidak cocok ngobrol hal-hal yang mungkin rahasia.
"Bisa aja, kita ngobrol di balkon lantai dua, cuma kan, saya gak kenal sampeyan siapa, jadi yah gak bisa, paling kita ngobrol di warung bakso aja" kata Inyo lalu berjalan kearah warung bakso disebelah warnet.
"Bang!"
Inyo menghentikan langkahnya, menengok kearah orang yang memanggilnya.
"Kenapa? Ayo duduk ngobrol di warung aja"
"Jangan, plis bang, saya gak bisa ngomongin apa yang pengen saya omongin ke abang didepan orang banyak"
"Oke, lu ngomong secara simple apa yang lu mau omongin, kalo menarik, ayo kita ngobrol diatas" Inyo mengubah cara dan nada bicaranya, semakin tertarik kepada orang yang dia tidak kenal, bicara semakin panik dan tergesa-gesa, seolah apa yang dia ingin bicarakan sangatlah rahasia dan penting.
"Begini, ini tentang masa depan dan kehancuran dunia".