"Bi, kamu kenapa? Tadi Ivan nelpon aku katanya kamu gak enak badan"
Suara yang datang dari kamarnya, yang mana itu berada sisi belakang tempat dia berdiri, membuat tubuhnya bergetar, orang yang menjadi alasan kenapa rasa takut ekstrim yang dia rasakan dari tadi, rasa takut dari alasan mengapa dia takut berdiri dari sofa di bar, rasa takut kenapa dia ragu membuka pintu bar, rasa takut jika ternyata ini semua palsu.
"Bi?"
Bahkan saat ini pun, rasa takut itu menjadi titik terekstrim, dia takut jika dia berbalik kearah suara yang memanggilnya, semuanya akan hancur ke ketiadaan.
Abi memcengkram dadanya, rasa sakit yang menusuk tajam membuatnya susah bernafas, air mata mengalir deras dimatanya, bahagia, amarah, benci, harapan, takut, bahkan haus darah bercampur dihatinya hanya dari suara dibelakangnya.
Dia bahagia mendengar suara yang sangat dirindukannya, bahkan tanpa melihatnya dan hanya suara saja, itu sudah cukup untuk memenuhi kebahagiaanya.
Dia marah pada apa yang menimpa orang yang dicintainya.
Dia benci pada dirinya sendiri, kenapa dia tidak cukup dan tidak bisa melindungi orang yang dicintainya.
Dia berharap bahwa ini semua nyata, bahwa dia diberi kesempatan lagi, untuk bisa mencintainya, dicintainya dan yang terutama penjadi orang yang berdiri paling depan untuk melindunginya.
Dia takut semua ini palsu dan hanya cuplikan kebahagiaan sebelum kematian yang abadi.
"Heyy Bi, kamu kenapa?" Wanita itu bingung melihat Abi yang hanya berdiri diam tanpa menjawab pertanyaannya.
"Bi?" Wanita itu, Karina, berjalan kearah depan Abi, "ya ampun Bi, kamu kenapa sih, udah malem ini loh"
"Hah?"2x
Karina dan Abi sama-sama terkejut, Karina terkejut melihat wajah Abi yang dibasahi air mata dan cengkraman jari didada merobek baju yang Abi pakai, Karina tidak pernah melihat Abi dalam keadaan sesedih ini, dia tahu sekuat apa prianya, orang yang selalu berdiri menghadapi apa saja, orang yang selalu ditempa rasa sakit fisik dan mental, orang yang dipaksa dewasa sebelum waktunya, orang yang mencakar-cakar kehidupan dari titik terendah.
"Bi? Kamu kenapa?" Karina mendekati Abi, menyentuh pipinya yang basah.
Abi terkesiap terhenti dari tangisnya, merasakan sentuhan lembut dipipinya, melihat Karina, wanita yang karenanya dia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, yang karenanya dia menjalani kehidupan selalu dipinggir jurang kematian, wanita yang dengan kepergiaannya membuatnya berfikir bahwa dia tidak takut apa-apa lagi, bahkan kematian itu sendiri.
Kecantikan yang sama, sentuhan yang sama, omelan yang sama, semuanya tidak berubah sama sekali, hanya hitungan menit pertemuannya lagi, dia merasakan emosi campur aduk dihatinya, kepalanya pusing, mulutnya bergetar seolah banyak kata-kata yang ingin dia ucapkan.
Huuuggg
Abi memeluk Karina dengan tiba-tiba, tidak bisa mengendalikan dirinya lagi, "Huuuaaa.. Huaaa", menangis lebih kejer dari sebelumnya.
Karina menatap Abi yang memeluknya, menangis kejer seperti anak kecil, mebiarkannya menangis seadanya tanpa menyakan apa-apa, dan perlahan matanya berkaca-kaca, menitikkan air mata.
Keduanya hanya berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Karina semakin merasakan kesedihan yang sangat pedih pada Abi dengan tubuh Abi yang terus bergetar menangis sesenggukan.
"Udah nangisnya?"
"Udah", saut Abi dengan suara serak, melepas pelukannya, berjalan kearah sofa, duduk dilantai bersandar pada sofa, "Na, sini, duduk sini" kata Abi ke Karina, menepuk laintai disebelahnya.
"Ngapain duduk dilantai, di sofa kan bisa" jawab Karina sambil berjalan kearah Abi dan duduk disebelahnya.
Abi menoleh kearah Karina disebelahnya, tersenyum bahagia, dia mulai berpikir 'ya udahlah ya, mungkin ini emang kenyataan yang ada', menghapus semua ketakutan yang daritadi membayangi dirinya.
"Kenapa Bi? Aku gk pernah ngeliat kamu nangis kaya tadi"
"Gak, aku cuma lagi sedih aja"
"Tumben, biasanya kamu cerita"
"Besok aku ceritain, ya kali gak aku ceritain, besok tapi ya, ngantuk" lanjut Abi lalu membaringkan kepalanya di pangkuan Karina.
Karina memperhatikan Abi dipangkuannya, "Bi, kalo ada apa-apa cerita aja, aku gak pernah loh ngeliat kamu senangis itu", kata Karina sambil mengelus-elus keningnya.
"Kamu tau kan aku safe place kamu, kamu safe place aku, aku tuh udah biasa nangis kaya kamu tadi, ngeluh, ngambek, marah-marah, kesel, jengkel tentang kehidupan pribadi aku, kerjaan aku, apapun itu aku selalu cerita ke kamu, kamu juga selalu dengerin aku, ngertiin aku, yah walaupun kadang malah ngeledekin, tapi aku bersyukur banget kamu tuh selalu ada buat aku" kata Karina menggenggam tangan kiri Abi dengan tangan kirinya dan meletekkan tangan keduanya didada Abi.
"Kadang tuh aku pengen banget jadi orang yang memperlakukan kamu kayak kamu memperlakukan aku, aku pengen kamu tuh nangis, ngambek, marah, cerita semua permasalahan hidup kamu ke aku, tapi ya mau gimana lagi kamu terlalu tabah"
"Bi, inget yah, kamu punya aku, aku punya kamu, aku tau kamu berusaha keras banget jadi pria terbaik buat aku, berusaha jadi orang yang selalu ada buat aku, Bi, aku juga mau jadi orang kaya gitu ke kamu"
"Ngeliat kamu nangis sebegitunya tuh bikin aku sakit, pedih bayanginnya, aku tuh takut kamu kenapa-kenapa, jadi kalo kamu udah siap, aku mau kamu janji ke aku cerita kenapa kok kamu nangis begitu"
Abi meneteskan air mata mendengar ucapan Karina, dia baru ingat sekarang orang seperti apa dia, orang yang egois memilih cintanya dan tidak memberi kesempatan orang lain mencintainya kembali.
Sepuluh tahun sudah hubungannya dengan Karina, dia selalu memberikan segala bentuk cinta ke wanita yang sejak awal pertama kali pertemuannya.
Tapi dia tidak pernah memberikan kesempatan pada Karina untuk membuktikan cintanya padanya.
"Na, aku janji cerita besok", Abi bangun dari berbaringnya, mengusap air mata yang basah diwajahnya dan menatap mata Karina dengan senyuman hangat, "dah, udah malem, tidur, aku mau mandi dulu, gerah banget, lengket badan".
Abi berdiri, melepas baju dan celana yang dia pakai, perlahan mengerutkan kening melihat baju yang ada ditangannya, "ini baju portugal ya?".
"Haah? Apaan sih, itu kan tim jagoan kamu, kamu bilang ada Ronaldo, jadi pasti juara portugal"
"Lah? Hahahahahah" Abi tertawa mendengar jawaban Karina.
"Girang banget ketawa gitu, kenapa emangnya?"
"Gak, tadi di barnya Riko pas nobar, aku sama Ivan taruhan, ya lucu-lucuan aja, seratus ribu"
"Ya terus?"
"Ya aku pegang Jerman, terus tadi Jerman menang lawan Portugal, jadi aku tuh ketawa karna gak engeh pake baju Portugal tapi taruhan megangjya Jerman, hahahah"
"Diih apaan sih, aneh banget orang, dah mandi sono, aku siapin dulu baju salinnya" lanjut Karina sambil merapihkan baju dan celana Abi.
"Cari yang adem ya bajunya, biar enak tidurnya, capek banget nih" kata Abi lalu berjalan ke kamar mandi dengan hanya memakai celana dalam.
Abi masuk ke kamar mandi, menyalakan shower dan membiarkan tubuhnya terbasuh air yang dingin.
Dinginnya air menyegarkan rasa lelah yang menjalar ditubuhnya, tubuh dan mentalnya sangat bergelombang hanya dalam waktu kurang dari sehari, kurang dari tiga jam yang lalu dia bertempur dengan makhluk dahsyat yang bahkan mampu menghancurkan suatu negara jika dia tidak melakukan serangan bunuh diri terkuatnya, dan sekarang dia ada di setahun sebelum semua kehancuran terjadi.
"Bi, ini baju kamu aku taro di gantungan ya, jangan lama-lama mandinya, keburu tidur akunya"
Teguran Karina menyadarkan Abi dari lamunan rasa lelahnya, "bentar, lagi sampoan, gatel kepala aku".
"Jangan lama-lama ya, awas aja loh"
"Iya iya, heeh, bawel"
"Yaudah, aku tunggu dikamar"
"He'eh" jawab Abi dengan suara tidak jelas, mulutnya penuh busa pasta gigi, membersihkannya dari makanan dan minuman yang dia konsumsi tadi.
Ketenangan di kamar mandi memberi Abi kesempatan untuknya berpikir tentang apa yang terjadi sekarang, kembali ke masa lalu, dia sudah menerima fakta itu saat ini, yang sekarang dia pikirkan saat ini tentang menara tutorial yang muncul satu tahun kemudian.
Abi berencana memberitahu kebenaran tentang masa depan yang akan datang kepada Karina dan beberapa temannya.
___________________________________
"Udah mandinya? Sini?"
Abi selesai mandi, masuk ke kamarnya melihat Karina diatas kasur, lalu naik kekasur dan berbaring disebelahnya, memeluk Karina kepelukannya.
"Bi, tadi aku pas ngerapihin celana kamu, kok ada kunci mobilnya si Ivan?"
"Lah, kok bisa?"
"Ya mana aku tau, kan kamu yang abis nongkrong sama Ivan "
"Ya udah kamu kabarin ke Ivan gitu, besok ketemuan lagi di barnya si Riko"
"Aneh banget sih orang, ya udah nanti aku kabarin ke Ivan"
"Makasih ya"
"Terus tadi kamu berdua kesini naik apa? Motor kamu?"
"Gak, tadi mesen taksi"
"Dih aneh banget orang kalo udah ketemu temennya"
"Oh bilang ke Ivan juga, suruh Riko dateng, biar ramean gitu bilang aja , penting"
"Iya iya, udah ah ngantuk, besok aku ada kerja"
Abi tersenyum melihat Karina yang terlelap di pelukannya, pikirannya rumit memikirkan bagaimana melindungi wanita dia cintai.
Besok Abi berencana memberitahu kebenaran tentang masa depan yang akan datang kepada Karina dan beberapa temannya.
Hal yang rumit tentang bagaimana meyakinkan mereka pada sesuatu yang bahkan buat dia, orang yang telah melihat banyak fantasi menjadi nyata, sangat sulit untuk dipercaya.
Abi termenung bagaimana meyakinkan mereka, 'haah?', Abi terkejut, baru tersadar bahwa dari awal kembalinya di kemasa lalu, tubuhnya menjadi utuh lagi tanpa luka mengerikan yang ada dikepalanya dan tangan yang masih sempurna.
Abi memperhatikan tangan kirinya yang tadinya tidak ada, perlahan pikiran ekstrim terbersit tentang cara untuk meyakinkan teman-temannya.
"Oke gitu aja"
Banyak hal yang dia rencanakan, termasuk mencari orang-orang berbakat dimasa depan dan menjadikan orang itu sebagai bawahannya.
Rencana tetap saja rencana, dia tidak tahu dimana orang-orang itu saat ini, tapi untungnya dikota tempat dia tinggal, yaitu Jakarta Selatan, ada orang yang dia merinding hanya dengan membayangkan bertemu dengannya lagi, orang itu sering bercerita tentang masa lalunya, Abi tidak menyangka cerita sepele basa-basi dari orang itu bisa jadi kesempatan dia untuk menjadi orang paling beruntung didunia.
Dia berencana menemui orang gila itu, orang dengan potensi tertinggi didunia, orang gila yang menyelasaikan lantai paling tinggi di tingkat Hell diantara semua penantang tingkat Hell, para penantang menara tutorial tidak ada yang tahu namanya, orang-orang hanya tahu julukannya, Inyo, orang gila yang menjadikan menara tutorial sebagai taman bermain.