Chapter 2 - chp2. kok bisa?

 

   Abi melompat kaget dari tidurnya, bingung kenapa dia ada disini, "jam berapa sekarang?" Abi bertanya ke orang yang membangunkannya.

   "Lah napa lu? Udah jam setengah sepuluh ini, udah mau mulai bolanya tuh"

  "Bola? Bola apaan?" Abi bertanya bingung, kata itu cukup asing untuknya yang bertahun-tahun hidup di dunia yang hancur.

  "Euro ini, Portugal lawan Jerman, capek banget kayaknya tuh tidur sampe lupa sebegitunya"

  "Euro? 2012?" Abi masih bingung dengan apa yang terjadi.

    "Ett pe'a! Ya udah mau minum apa lu?"

"Hughh.." Abi memijat keningnya, pusing bercampur kebingungan mengisi kepalanya, "apa aja, yang dingin tapi"

"Apa aja yang dingin ya? Oke, tunggu bentar, jangan tidur lagi lu, gak enak diliatin orang"

  "Yaa, makasih"

  Abi duduk tegak di sofanya, melihat orang-orang banyak tersenyum ceria, memakai atribut dari tim bola yang didukungnya, 'euro 2012?', Abi mencoba mengingat ingatannya, itu tepat setahun sebelum menara tutorial muncul, artinya Abi kembali ke sebelas tahun dari hari pertarungan terakhirnya melawan Balrog,  'kok bisa?'.

   Kemunduran ke masa lalu, kekuatan yang mempengaruhi waktu secara menyeluruh dalam jangka waktu yang sangat panjang, kekuatan yang sangat mengerikan dan Abi tidak bisa membayangkan orang seperti apa yang membuatnya kembali ke masa lalu.

   Di zaman kehancuran yang datang satu tahun kemudian, Abi pernah melihat orang-orang dengan kekuatan waktu, sesederhana mempercepat dan memperlambat waktu ke orang yang ditunjuk, menjadikannya sangat cepat ataupun sangat lambat, bahkan ada orang yang terus memundurkan dirinya sendiri dalam kurun waktu singkat, membuatnya susah dikalahkan karna dia terus kembali kebentuk sempurna dengan tubuh yang utuh.

   "Udah, udah gua pesenin minumannya, entar dianterin kesini"

  Abi menoleh ke orang yang duduk disampingnya, Ivanka, teman kantor tempat dia bekerja sebelum datangnya menara tutorial, "makasih Van".

  "Ayo Bi, cepek tarohan kita" Ivan mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan menaruhnya dimeja, "megang mana lu?".

  "Nih, gua megang Jerman"

  Abi menyanggupi taruhan yang Ivanka tawarkan, sepak bola adalah olahraga favoritnya, itu juga yang menolongnya ketika tutorial dimulai, kelihancahan dan kemampuan berlarinya yang biasanya dia lakukan ketika bermain bola rutin tiap minggu membantunya lari dari segala macam bahaya.

  "Oke, cepek cepek nih ya, maen tipis aja kita"

   Pertandingan Jerman vs Portugal dimulai, ruangan yang tadinya berisik menjadi tenang, semua orang menonton pertandingan dengan serius, sesekali teriakan terdengar, umpatan 'sit pelanggaran tuh!' dari waktu ke waktu terucap seiring pertandingan yang semakin intens.

   Abi melihat suasana yang sangat hidup, hal yang sangat langka ketika zaman kehancuran datang, orang terlalu sibuk bertahan hidup dan sangat sulit merasakan kebahagian sederhana seperti berkumpul bersenda gurau.

  "Silahkan kak, minumannya" pelayan wanita datang membawa dua minuman dengan kontras warna yang berbeda, satu coklat satunya lagi campuran warna-warna cerah yang aneh.

  "Makasih kak" Abi tersenyum ramah ke pelayan wanita yang menbalasnya dengan pandangan aneh dan pergi membawa nampannya, "Punya gua yang mana Van?"

   "Gua yang ice latte, lu yang satunya lagi"

 

  "Dih, minuman apaan nih?"

  "Norak lu, enak itu cocktail, biar melek mata lu"

  Srrupp

  Abi menyeruput cocktailnya, rasanya yang asam bercampur manis pahit  seolah menendang kepalanya, membangunkan dari rasa pusing dan ngantuknya.

  "Enak kan? Pesen lagi"

  "Gak usah, nanti lagi aja"

     Pertandingan bola berlanjut, minuman terus diisi ulang, tentu saja bukan hanya cocktail, Abi mengganti minumannya dengan yang lebih ringan, kopi, teh, bahkan air putih karna dia harus pulang sendiri mengendarai motor.

    "Hahaha, nih gua ambil ya duit lu" Abi tertawa mengambil uang taruhan Ivan, pertandingan berjalan seperti yang diingatnya, Jerman menang, yah walaupun uang taruhan sangat kecil dibanding minuman dan makanan yang terus dipesan Abi, itu semua cuma seru seruan saja.

   "Ambil dah, cepek doang ini" balas Ivanka sembari meneguk bir di gelasnya, " lu mau pulang sendiri apa gua anter Bi?".

  "Gua sendiri aja, bawa motor", jawab Abi, "lu kalo mau duluan, duluan aja, tanggung gua ngabisin ini dulu nih" lanjut Abi sambil menunjuk piring berisi nasi goreng yang baru dimakan setengahnya.

   "Oke gua duluan yak" Ivan berdiri dari sofanya, memakai tas selempangnya dan mengulurkan genggaman tangannya kearah Abi.

  "Ooh ya" Abi menggenggam tangan Ivan dengan erat dan tersenyum, "hati-hati Van, makasih ya cepeknya".

  "Alah sialan" saut Ivan kesal lalu mengeluarkan dompet dari tasnya, "udah cabut gua ya, billnya tenang aja, gua yang bayar".

  "Iya makasih ya Van"

  "Iya, santai aja, abisin tapi tuh makanan lu"

    Abi menggelengkan kepalanya terkekeh melihat Ivanka yang berjalan menjauh dan melanjutkan makan.

  Lima belas menit berlalu seperti itu, Abi menghabiskan makanan dan minuman yang terlanjur dia pesan, dia sengaja memesan banyak, itu karna dia takut bahwa semua ini tidaklah nyata dan hanya cuplikan kebahagiaan sebelum kematiaan yang sebenarnya.

   Itu juga kenapa Abi sangat cepat pulih dari kebingungannya dan melanjutkan bersenang-senang dengan Ivanka, menikmati makan, minum, nonton bola, mengesampingkan bahwa ini membalikkan waktu, karna dia takut, sangat takut, dia tidak mau terlalu berharap berlebihan pada suatu hal yang hampir mustahil, mungkin saja ketika dia keluar pintu bar ini, semuanya akan hancur menjadi kekosongan, bahkan mungkin saja ketika dia bangun dari sofanya, kegelapan hampa datang didepan matanya.

   Abi mengubah raut wajah ramahnya yang dia pasang sedari tadi bersama Ivanka, menjadi raut wajah kosong biasanya.

  'heeeuup... Huuuhh' Abi menarik nafas, mencoba menenangkan dirinya dan memberanikan untuk berdiri, 'yah, tidak terjadi apa-apa', Abi menoleh kiri-kanan, menggerakan langkah kakinya ke pintu keluar bar.

   "Pulang pak Abi" sapa seorang Security di bar tersebut.

"Hughh.. ya, pak" sapaan yang datang menyadarkan Abi dari tegangnya, dia tidak terlalu ingat orang yang menyapa, tapi yang dia sedikit ingat bar tempat dia berada tempat langganan dia nongkrong bersama teman-temannya.

  Abi memegang gagang pintu dengan rasa takut, dia takut semuanya akan hilang ketika pintu yang dia pegang didorong terbuka.

  "Sini pak, biar saya yang buka"

Ahh

    Hati Abi melompat ketakutan, ketika pintu yang dia ragu untuk dia buka, terbuka lebar dibuka tanpa kemauannya.

   "Silahkan" lanjut Security itu tanpa menyadari keadaan pikiran Abi yang sangat bergejolak.

   Abi menoleh kearah Security yang berbicara, amarah yang mengerikan terpampang jelas di wajahnya, aura pembunuhan muncul tanpa terkendali.

  "Hurrghhh"

   Security itu berdiri membeku ketakutan dengan sorot mata yang menatapnya, dia belum pernah seumur hidupnya melihat orang dengan sorot mata semengerikan itu, sorot mata orang yang membunuh ratusan ribu nyawa sepanjang hidupnya.

   Amarah Abi mencapai puncaknya, dia membentuk tangan pisau dengan tangan kanannya, menebaskannya ke leher Security itu.

 

   

     " Bi, udah kelar makan lu?"

     Suara panggilan dari arah luar pintu menyadarkan Abi dari kesurupannya, menghentikan serangannya, yang hanya setitik lagi mengenai leher.

    "Udah nih, tinggal balik aja gua" Abi menjawab sambil menjambak rambutnya, memaksa kewarasannya muncul kembali, "lah lu katanya duluan?".

   "Kunci mobil gua ketinggalan didalem kayaknya dah" jawab Ivan lalu menepuk pundak Security yang berdiri ketakutan di depan Abi, "bang, ambilin kunci gua dong, kayaknya di table gua dah, kalo gk ada tanya anak-anak coba".

 

  Security itu tersadar dari rasa takutnya, membalas Ivan hanya dengan anggukan dan lari kedalam bar.

   "Van, anterin gua balik ya, puyeng banget pala gua" kata Abi yang sedang duduk dilantai menahan rasa sakit kepalanya.

   Ivan melihat keanehan yang terus menerus datang dari Abi, hanya bisa menganggukkann kepalanya.

   "Lu kenapa Bi? Aneh banget dari tadi gua liat"

   Abi mendangakkan kepalanya pada pertanyaan Ivan, tidak tahu harus menjawab apa, karna dia sendiri juga bingung, apa yang terjadi pada dirinya.

   "Gak tau, puyeng banget pala gua"

   "Oh gitu, ya udah, gua anterin nanti"

  Ivan tidak melanjutkan pertanyaan apa-apa, sebagai orang yang kenal Abi dari masa SMA dan terus berteman nongkrong bareng walaupun beda universitas hingga saat ini bekerja ditempat yang sama selama beberapa tahun, dia tahu Abi adalah orang yang aktif, asyik, mudah diajak bicara siapa saja, jadi ketika dia kalut tidak bisa diajak bicara apapun, itu artinya dia memikirkan masalah yang sangat kacau.

   "Gak ketemu kuncinya pak" seorang wanita mendatangi Ivan, bukan Security yang tadi.

"Kok bisa? Anak-anak udah ditanyain belum?"

   "Udah pak, anak-anak juga gak ngeliat kunci mobil"

   "Waah bangsat, ada yang nyomot kayaknya" kata umpatan keluar dari mulut Ivan, "ya udah, lu suruh siapa kek, jagain mobil gua sampe besok gua dateng, kalo ada yang nyomot bakal balik lagi pasti tuh orang, entar biar gua ngomong langsung ke bos lu".

   "Iya pak, nanti ada yang jagain, sekalian langsung dicek cctv, besok saya kabarin lagi"

  "Oh itu, sekalian panggilin taksi, alamat ke apartnya Abi ya"

  "Iya pak"

  Wanita itu pergi, meninggalkan Ivan dan Abi berdua lagi, duduk deprok didepan bar, sesekali disapa orang yang lewat, pulang selesai nonton bola bareng.

    Sepuluh menit kemudian, taksi yang dipesan datang, Ivan menuntun Abi berdiri dan berjalan ke taksi.

   "Malam, pak" supir taksi menyapa keduanya, membantu membuka pintu, membaringkan Abi dikursi tengah.

    "Bi, lu tidur aja, nanti gua bangunin"

  " Gak, gak papa, tanggung tidur bentar doang, malah tambah puyeng gua"

  "Ya udah terserah"

  Perjalanan di taksi biasa saja, tanpa kejadian yang aneh-aneh, hanya obrolan ringan tipis antara Ivan dan supir.

 

 Tiga puluh menit kemudian, taksi sampai di komplek apartemen, berhenti tepat didepan lobi utama, supir keluar dari taksi, membantu Abi berdiri, dan Ivan masih didalam taksi terlihat sedang menelpon orang dengan handphonenya.

 

     Ivan keluar dari taksi, membayar ongkos lebih ke supir, "dah ayuk, gua anterin lu sampe depan unit lu", Ivan berjalan didepan diikuti Abi yang berjalan pelan dibelakangnya.

    Abi berjalan pelan, memegangi dadanya yang berdetak semakin cepat, celingukan melihat lobi apartemen yang asing namun akrab, akrab namun asing, hanya saja dia sangat ingat bahkan lebih ke tidak akan pernah lupa, alasan kenapa dia terus berusaha menjadi lebih kuat, alasan kenapa dia harus bertahan hidup.

   Tinngg

   Suara lift terbuka, keduanya masuk kedalam, Ivan menekan tombol lantai 16 dan Abi hanya berdiri disudut lift dengan wajah yang tegang.

Lift naik kelantai atas dengan cepat, tanpa ada pembicaraan diantara keduanya, Ivan terlalu lelah memikirkan kunci mobilnya, Abi berdiri merasakan jantung berdetak semakin cepat.

    Tiiing

  "Gua anter sampe sini aja ya Bi, tadi udah gua telpon Karina, katanya langsung masuk aja, pintu gak dikunci"

  "Ya.." Abi menjawab kosong pada kata-kata Ivan, berjalan keluar dari lift, "makasih Van" ucap Abi berdiri menunggu lift tertutup.

  "Santai, kayak sama orang laen aja lu"

   Lift tertutup, meninggalkan Abi sendirian di lorong apartemen yang gelap sunyi.

   Tapp... Tapp... Tapp.. tap.. tap.. taptaptaptap

  Suara  langkah terdengar dari berjalan pelan hingga lari terburu-buru, Abi berlari menyusuri lorong kearah unit apartemen yang tidak akan pernah dia lupakan.

Hah... Hahhh... Hahh

Abi terengah-engah, jantungnya berdetak sangat cepat ketika dia sampai pada pintu yang dikenalnya, tangannya bergetar memegang knop pintu.

Kreeakk

Abi membuka pintu, apa yang ada didalamnya masih seperti apa yang dia ingat, rak sepatu sandal, gantungan jaket, tempat menaruh helm, berjalan lebih dalam lagi keruang tengah dengan sofa didepan tv, meja makan, dapur dipojok ruangan, tipikal apartemen unit dengan satu kamar.

"Bi, kamu kenapa? Tadi Ivan nelpon aku katanya kamu gak enak badan"

Suara yang datang dari kamarnya, yang mana itu berada sisi belakang tempat dia berdiri, membuat tubuhnya bergetar, orang yang menjadi alasan kenapa rasa takut ekstrim yang dia rasakan dari tadi, rasa takut dari alasan mengapa dia takut berdiri dari sofa di bar, rasa takut kenapa dia ragu membuka pintu bar, rasa takut jika ternyata ini semua palsu.