Senin, 10 Oktober 2021
Jam menunjukkan pukul 19.15, Malam hari. Hempasan angin hujan menerpa seluruh rumahku, membanjiri seisi halaman, bahkan hingga merambat masuk ke dalam rumahku bagaikan akar. Hal yang sudah biasa terjadi setiap tahunnya, sirklus yang bahkan tidak tahu kapan berakhirnya.
Keluargaku saling berteriak, berhamburan kesana kemari sembari melakukan kerjasama bahu-membahu yang dimana sudah menjadi bagian dari tradisi keluargaku. Aku berjalan melintasi lorong-lorong kamar sam-
"WOI! Enak banget lu yaa, mondar-mandir mulu kerjaan. Lu pikir ajang catwalk. Bantuin sini." Ungkap Ibu, berdecak kesal.
[Fourth Wall]
Ya, seperti yang kalian tau, orang yang memarahiku barusan adalah Ibuku bernama Wina Seis. Dia memiliki rambut bergelombang hitam, mata kecoklatan, dan faktanya walaupun sudah berumur agak tua, dia tetap memiliki badan yang ideal layaknya anak muda. Memang dia orangnya tegas, tapi percayalahh diaa Ibu palingg baikkk seduniaa (ya iyalah, kan Ibuku). Oh iyaa, dia juga pernah mendapat julukan 'The Master Of Sapu', karena kelihaiannya menggunakan sapu. kurang keren apalagi emak-emak satu inii.
"Iyaa iyaa, 'ni Rui juga sambil bantuin nyerokin air nya kok." Jawab Rui dengan menendang-nendang airnya.
"Astagaa Tuhannn, itu bukan nyerokin 'nak ku tercintaa. Kalau bola, oke aja lu tendangin mental. Ini air nak.. Lu tendang ber abad-abad juga gabakal mental tu air." Tutur Ibu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Karena Ibu merasa kalau bagian untuk menyerok airnya dapat ia lakukan bersama Adek. Ibu pun lantas meminta tolong kepadaku untuk mengecek seisi bagian rumah bersama dengan Ayah, kalau-kalau ada bagian yang rusak karena di terpa oleh Banjir.
Aku dan Ayah lalu menyusuri setiap sudut ruangan, hingga menemukan ada sesosok hewan berukuran panjang masuk ke dalam ruang makan kami. Ayah lalu memintaku untuk berhati-hati, memperhatikan setiap langkah yang dipijak.
"YAHHHH! TOLONGG YAHH! ADA ULAR COBRAA" Teriakku, ketakutan setengah mati.
"Hah?! Dimanaaa nakk?" Tanya Ayah
"I-itu yahh, dekat meja makann."
Ayah lalu dengan gagah berani mengeluarkan tongkat kayu, yang entah darimana tongkat kayu itu berasal.. Membuat Ia tersenyum lebar, mendapatkan seluruh aura mengerikan di sekeliling tubuhnya. Dengan kuda-kuda menyerang, dia lalu berlari menerjang segala ketakutan,
BRAKK
Suara dentuman yang sangat keras. Bahkan hampir menyerupai suara Bom meledak. Aku terperangah melihat aksi Ayah, bahkan mataku terbelalak lebar. Membayangkan Ayah, bagaikan Sang Algojo yang sedang menatang tubuh hewan.
"Dek, ini bukan ular Cobra dek.. Ini lele dekk." Dengan sekujur tangan berlumuran darah, memeras tubuh lele.
"Oh.." Jawabku yang hanya bisa tercengang.
[Fourth Wall]
Orang yang mirip Algojo ini adalah Ayahku, Conor Seis. Seperti namanya dia memang cocok sebagai pemburu binatang. Walaupun ia kerap digadang-gadang mirip dengan Sang Penjagal, Ayahku ini lebih terkenal akan kesederhanaannya. Bagaimana tidak? Pada saat ke pesta saja tidak jarang Ia menggunakan sandal kuno nya, Walaupun mayoritas menggunakan sepatu (padahal ada sepatu). Warga sekitar juga banyak yang menyukainya karena kebaikan dan ketulusannya dalam membantu banyak orang.
Selesai melakukan kegiatan penangkapan lele, kami lalu bergegas kembali untuk menemui Ibu dan Adek. Tampak wajah mereka sangat kelelahan sehabis menyerok air. Tanpa berpikir lama-lama lagi Aku dan Ayah berinisiatif untuk menggantikan kerjaan Ibu dan juga Adek.
"Mah, sini biar Rui aja yang gantiin. Mamah istirahat aja udah yaa, entar kecapean sakit lagii."
"Gausah nak, biar mamah ajaa. Mamah masih kuat kokkk." Lalu ia memamerkan otot tangannya, menunjukkan bahwa ia masih kuat.
Aku hanya tertawa ringan, mengingat semasa kecil Ibu juga pernah berbuat seolah-olah kuat di hadapanku. Yang sebenarnya Ia juga sudah berumur, dan tentunya kondisi badan yang rentan sakit-sakitan.
Setelah selesai beres-beres, kami pun pergi ke ruang makan untuk melangsungkan makan malam. Canda tawa, keluh kesah semua berlangsung di meja makan bundar itu. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 20.30, malam hari. Kami segera menyudahkan makan malam kami, Aku bertugas mencuci piring, Ibu menyapu, Adek membersihkan meja, dan Ayah mengepel lantai.
Selesai melakukan pekerjaan kami, Ayah dan Ibu terlebih dahulu memasuki ruang kamar mereka untuk beristirahat. Sedangkan Aku dan Adekku pergi berjalan-jalan sebentar mencari udara segar. Sepanjang perjalanan kami berkeluh kesah mengenai kehidupan kami,
"Kak, kapan ya kita bisa sekaya orang-orang itu?" Keluh Adek sambil menunjukkan jarinya ke arah orang kaya yang makan di restoran mewah.
"Kapan ya? Kakak juga gatau dek. Yang pasti satu, kita gaboleh nyerah dan putus asa di hidup kita ya. Kadang emang cobaan itu berat adanya, karna itulah yang bikin kita kuat nantinya. Capek? bolehh, tapi jangan sampai nyerah terhadap tujuan dan mimpimu." Jawab aku.
"Kak..."
Terlihat mata Yuna yang berkaca-kaca, langsung memelukku dengan sangat erat, menangis sekencang-kencangnya di pelukanku. Aku pun hanya bisa terdiam, mengelus-elus rambut Yuna.
"Udah udah gapapa. Yok kita pulang yok, entar kemaleman kita pulangnya."
"…iya" Jawab Yuna yang masih tersedu-sedu.
Sesampainya di rumah, kami pun berjalan menuju kamar kami masing-masing.
"Huhh… Capekk bangett!" Teriak Adek yang lesu sambil berjalan sempoyongan menuju kamarnya.
Rasa lelah yang sudah memuncak di tubuh kecil Adek, membuatnya terbaring lemas di lantai dekat pintu kamarnya. Aku yang sudah tiba di depan pintu kamarku, tiba-tiba saja dikejutkan dengan suara jatuh. Segera aku mengecek asal suara itu. Saat aku sedang berjalan menuju arah suara, tampak Adek yang sedang terkapar lemas di lantai. Aku pun berlari tergesa-gesa menuju Adek,
"DEKK!! Kamuu kenapaa dekkk?" Teriakku dengan panik. Aliran nafasku tidak teratur, membuat penyakit Asma yang ku derita hampir saja kambuh.
*Tidak ada jawaban
Takut kenapa-kenapa, aku menggotong tubuh Adek lalu membaringkannya di kasur. Tiba-tiba saja terlintas dalam benakku akan kematian. Seketika ketakutan menyelimuti seluruh tubuhku, keringat bercucuran deras keluar dari kulitku. Untungnyaa denyut nadinya masih terasa, hingga akhirnya aku dapat bernafas lega.
Aku berpikir bahwa dia hanya kelelahan setelah seharian tadi dia melakukan banyak aktivitas,
[Fouth Wall]
Ekhm.. Aku belum ngenalin Adekku tercinta ini yaa. Okee, jadi ini Adekku, namanya Yuna Seis. Umur dia dan Aku ga beda jauh lah, sekitar 3 Tahun… Jadi Tahun ini dia berumur 12, karena aku berumur 15. Layaknyaa anak perempuan zaman sekarang, dia gemar melakukan make-up. Selain itu, dia memiliki bakat alami sedari kecil yaitu, menggambar. Jago banget sih emang, gambarannya juga banyak yang disukai orang-orang. Bahkan dia kerap mendapat julukan "Penerus Davinci".
Keren emang ni keluarga, dapet julukan semua, kecuali aku.
"Kakak.. aku capek.."
Tiba-tiba saja Yuna terbagun dari tidurnya. Sejenak aku menangis dalam hatiku melihat Yuna yang sudah terbangun. Bagaikan ombak, aku lalu menerjang memeluk Yuna,
"Dekkk, kamuu tadi kenapaa dekk? Kakak panik bangett liat kamu terkapar lemas di lantaii gituu."
"Hehehe, tumben kakak se perhatian itu sama Yuna. Biasanya enggak tuh.. hmph!"
"Kakak selaluu sayangg sama kamuu dekkk, kakak selalu merhatiin kamu dimanapun kamu beradaa…"
"Ihh.. kakak mesummm!" Teriak Yuna dengan pipi kemerah-merahan.
"Ehh.. anuu, bukann gituu maksud kakak dekk." Jawab aku dengan keringat dingin.
Yuna kemudian menarik selimutnya, bersiap-siap untuk Doa. Yuna yang melihat kakaknya sudah sangat kelelahan mengatakan,
"Kakak tidur gih, udah malem. Kakak pasti capek kann,"
"Engga kok, kakak engga pernah capek. Tunggu kamu tidur dlu, takutnya entar ada hantuu yang gangguin kamu." Usil aku
"Ishhh… KAKAK!!! Lagi-lagi bicara hantuu, diem napaa." Ucap Yuna sembari meraung-raung layaknya anak kecil.
Aku pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Yuna. Segera setelah itu, aku berjalan untuk mematikan lampu kamar. Sebelum itu terjadi aku memalingkan wajahku untuk melihat Yuna sekali lagi. Alangkah terkejutnya aku saat melihat Yuna tersenyum bahagia, tidak biasanya dia tersenyum lepas seperti itu. Lalu dia mulai berbisik sesuatu dari balik tangannya yang menutup sebelah mulutnya,
"Aku sayang kakak…" Ungkap Yuna
Tak kuasa menahan senyuman di bibirku, aku pun membalas ucapan Yuna dengan berbisik,
"I love you 3000…"