Chereads / Petualangan dan Cinta Sang Ksatria / Chapter 1 - Dendam Asmara dan Amarah

Petualangan dan Cinta Sang Ksatria

El_Ratna_Tiara
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Dendam Asmara dan Amarah

HEMBUSAN angin dari pegunungan terasa semakin menderu.Suaranya miriperangan raksasa kelaparan. Gumpalan awan di langit bergerak cepat, seolah-olah digusur tanpa pesangon. Hutan menjadi gusar, pohon- pohonnya gelisah, karena hembusan angin terasa ingin mendongkel akar pohon secara paksa. Anak-anak pohon terpental tunggang langgang tanpa bisa berteriak karena memang tak punya mulut.

Semakin lama angin pun mengubah dirinya menjadi badai. Kata orang, badai lebih Jahat dari angin, karena badai dapat menggulingkan batu besar dari atas gunung atau menerbangkan rumah-rumah penduduk tanpa pandang mau kenal siapa pemilik rumah itu. Bahkan bendungan dan waduk pun dapat dijungkir balikkan jika sang badai sedang mengamuk.

Begitulah perangai si badai. Jahat dan sadis. Karenanya, para sesepuh desa di kaki Gunung Merana berpendapat, lebih baik masuk angin daripada masuk badai.

"Ah, kalau menurutku daripada masuk angin lebih baik masuk kedai, bisa makan minum dan ngobrol!" ujar seorang penduduk desa yang sedang berteduh di dalam kedai.

Hari itu badai datang bukan sendirian, tap! ditumpangi oleh hujan yang kadangkala sering ngelunjak, menurut pendapat teman orang yang bicara tadi.

"Bagaimana tidak ngelunjak? Ketika ia datang rintik-rintik kita menyukainya, karena sawah ladang kita tidak dilanda kekeringan. Tapi setelah kita menyenanginya, eeh... dia datang bersama rombongan hujan lainnya.Akibatnyadesa kita kebanjiran. Itu kan namanya ngelunjak?!"

Deru hujan bercampur badai sempat menyiram bagian dalam kedai tersebut. Maklum, kedai itu mempunyai dinding hanya separuh bagian. SI pemilik kedai yang berkumis abu-abu dan berbadan kurus itu menggerutu keras-keras.

"Sial! Kalau begini caranya kerak nasiku tak bisa kering-kering!"

"Nasinya dibikin lem sandal saja, Ki!" celetuk pengunjung kedai yang lain. Si pemilik kedai jadi dongkol.

"Mulutmu itu yang dilem pakai kerak nasi."

Orang yang dicela itu tertawa. Si pemilik kedai berkata lagi, entah ditujukan kepada siapa.

"Kurasa ini ulah si Pawang Badai dari puncak gunung! Pasti dia sedang bercanda dengan badai dan hujan seperti ini!"

"Lho, apakah si Pawang Badai masih bersemayam di puncak gunung, Ki? Bukannya tempo hari ada kabar si Pawang Badai telah ditangkap oleh Ratu Cumbu Laras?!"

"Mana kutahu?! Aku tidak ikut menangkapnya!" jawab si pemilik kedai agak ketus karena masih dongkol memikirkan kerak nasinya yang sudah tiga hari tak kering-kering itu.

"Sejak kapan Ratu Cumbu Laras menangkap si Pawang Badai?! Apa benar si Pawang Badai telah berhasil ditangkap oleh Ratu Cumbu Laras?!"

Pertanyaan seperti itu sering terucap dari mulut ke mulut. Kadang ada yang hanya membatin pertanyaan seperti itu. Agaknya nama Pawang Badai sudah dikenal di daerah sekitar Gunung Merana. Juga, nama Ratu Cumbu Laras banyak dikenal oleh para penduduk desa, padahal wilayah kekuasaan Ratu Cumbu Laras ada di pesisir kulon.

Hampir semua orang tahu, bahwa di pesisir kulon atau di pantai sebelah barat, terdapat sebuah bangunan megah yang sering disebut-sebut sebagai istana. Bangunan megah itu mempunyai benteng batu kokoh yang luasnya sama dengan tiga kali luas pedesaan. Di sanalah seorang perempuan cantik bermata sayu memegang tampuk pimpinan dan menobatkan diri sebagai Ratu yang kemudian dikenal dengan nama Ratu Cumbu Laras.

Perempuan cantik itu mempunyai bentuk tubuh yang elok sekali. Pinggangnya ramping, pinggulnya bikin pusing. Pakaiannya seronok, dadanya montok. Bibirnya ranum, hobinya mesum.

Ia bukan saja seorang ratu cantik yang gemar digelitik, tapi juga seorang perempuan yang berilmu tinggi. Persekutuannya dengan Iblis membuat sang Ratu sukar dltumbangkan oleh lawan- lawannya. Selama menjadi pengabdi iblis, ia akan tetap awet muda dan kecantikannya tak pernah luntur. Pancaran daya pikatnya begitu tinggi, sehingga setiap lelaki mampuditundukkanolehnya,baik ditundukkan dengan ilmu kanuragannya maupun dengan aji kemesraannya.

Seorang pemuda desa yang pernah berhadapan dengan Ratu Cumbu Laras menuturkan kisahnya kepada para pengunjung kedai yang sedang diterpa badai dan hujan itu.

"Jika la sedang membisikkan rayuan, suaranya ssssst... nyaris tak terdengar, Tarikannya, wuus, wuus. wuus.... Heh, heh, heh!"

"Apa maksudnya?!"

"Tahu-tahu kita dibuat tak berpakaian lagi," bisik pemuda itu.

"Gila!" mereka yang mendengarkan berdecak kagum.

"Dan kalau sedang melawan tokoh mana pun, la tak pernah menggunakan waktu lama- lama, la sangat irit waktu. Sekali pukul, lawan ngejoprak, Kadang-kadang sekali sentak, nyawa orang bisa melayang. Itu namanya sudah irit semakin irit. Cring, cring, cring...!"

"Bunyi apa itu?"

"Perhiasannya kalau berjalan gemerincing!" bisik si pemuda dengan nada suara ditekan untuk meyakinkan ceritanya.

"Ssst, dengar-dengar Raden Panji juga sedang tergila-gila sama Ratu Cumbu Laras. Apa benar?" bisik seorang lelakl berpakaian serba hitam.

"Maksudmu, Raden Panji Pura, putranya Ki Demang kita itu?!"

"Raden Panji mana lagi kalau bukan putra Ki Demang."

"Apa iya?! Aku kok baru dengar sekarang kalau Raden Panji ada main sama Ratu Cumbu Laras?"

"Bukankah dia sudah punya istri?" timpal pemuda berikat kepala hijau. "Bahkan kudengar istri Raden Panji sedang hamil tua?"

"Memang iya! Kemarin saja kulihat Muninggar sudah bolak-balik ke rumah Mak Jawil, si dukun bayi Itu. Mungkin sudah mau melahirkan."

"Muninggar siapa?"

"Ya istrinya Raden Panji Itu, Tolol!"

"Oo…jadi istrinya Raden Panji itu sekarang tolol,ya?!"

"Kau yang tolol!" bentak pemuda berbaju merah yang mengenal Muninggar, istri Panji Pura.

Gosip itu sebenarnya sudah lama menyebar dan menjadi buah bibir para penduduk Pademangan. Tetapi tidak setiap orang berani bicara di sembarang tempat dengan sembarang suara. Umumnya mereka hanya berani berkasak-kusuk dl pojokan rumah atau di sudut kedai. Sebab, bagaimanapun mereka masih merasa takut dan sungkan terhadap Ki Demang Yasaguna yang menjadi penguasa di wiiayah Pademangan tersebut yang membawahi beberapakelurahan.

Sebenarnya Ki Demang sendiri sudah mengetahui skandal putranya dengan Ratu Cumbu Laras. Namun ia menutup mata dan telinga demi menjaga gengsi di depan para kerabatnya.Tentunya Ki Demang Yasaguna sangat malu mendengar putranya yang sudah beristri terlihat hubungan gelap dengan seorang perempuan dari tokoh silat aliran hitam itu. Sebagai ketuarga darah bangsawan, Ki Demang sangat tidak setuju terhadap hubungan gelap itu. ia sendiri sudah menegur putranya berkali-kali, tapi teguran tersebut tak digubris oleh sang putra.

"Kasihan Muninggar kalau setiap malam kau tinggal pergi ke Pesisir Kulon hanya untuk menyambangi perempuan itu!" ujar Ki Demang pada suatu siang.

Panji Pura hanya menjawab, "Justru karena aku kasihan kepada Muninggar, istriku itu, maka setiap malam ia kutinggalkan, Ayah. Sebab jika aku selalu ada di sisinya, kasihan bayi dalam kandungannya. Tertekan setiap malam bisa bikin cacat sang jabang bayi, bukan?"

Panji Pura memang seorang suami yang bandel dan masih suka ugal-ugalan. Usianya yang sudah mencapai dua puluh delapan tahun itu, masih belum mampu mengendalikan dirinya untuk bersikap bagai seorang lelaki yang dewasa, apalagi seorang ayah.