HAPPY READING!
CHAPTER 11,5
- NIGHT CLUB
LUCIA CLUB nama club malam dimana kami berdiri sekarang. Ramai sekali, banyak gadis-gadis muda bersama pacar mereka. Ada yang menari-nari layaknya orang gila. Musik di sini sungguh mampu meretakkan gendang telinga.
Aku terus berpegangan pada Nahye. Aku takut kami terpisah, beneran! s
Sementara Alice dia sudah menghilang entah kemana dengan Lucas. Katanya dia ingin pergi sebentar dan akan kembali tak lama lagi. Meskipun bukan pertama kalinya, tetap saja semua ini berbeda.
Alice bilang club ini milik Alveus. Namun, aku tak melihat sama sekali batang hidungnya. Mungkin dia tidak ada di sini? Atau mungkin ada, hanya saja aku tidak menemukan nya.
Tunggu! aku kan sedang berusaha menghindarinya, tapi kenapa malah memikirkan dan mencari keberadaannya, sih?! Itu pemikiran yang spontan sebenarnya. Kami berdua mendekati meja dekat bartender daripada harus berdiri tak jelas di tengah-tengah orang yang menari.
"Selamat datang Nona-nona ku yang cantik!. Apa ini kunjungan pertama kalian?" sapa si bartender muda pada kami.
Kami terdiam saling memandang sebelum menjawab, "benar, kami baru pertama kali kemari" ujar Nahye menjawabnya.
Alis si bartender terangkat mengetahui ini kunjungan pertama kami. Dia seperti tau apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Ingin minuman? Cocktail atau red wine?" tawarnya, mencoba bersikap ramah pada kami.
"Cocktail seperti nya menarik.. "
"Baiklah, tunggu sebentar.. "
Kami duduk. Mataku menelusuri setiap sudut bangunan club ini, mencari sesuatu yang aneh. Nihil, nyatanya yang ku temukan hanyalah sepasang kekasih atau apalah sedang bercumbu dan minum-minum.
Alice belum kembali sampai saat ini. Aku curiga dia sengaja meninggalkan kami sendirian. Huh, dasar gadis nakal! Ku harap aku bisa membalasnya nanti.
Si bartender muda menyuguhkan kami dua gelas cocktail. Aku belum pernah mencoba yang satu ini. Nahye pun terlihat agak ragu-ragu menyentuh gelasnya.
"Minum saja.. " kata ku padanya, berusaha menyakinkan dia, walaupun aku sendiri tidak.
"Kau menyuruhku minum tapi kau sendiri masih takut ada semacam obat atau racun di dalam nya, apa aku salah?"
"Tidak.. tapi apa salah nya mencoba sedikit? Aku yakin tidak masalah.. "
Nahye meminum habis sekali teguk gelasnya bersamaan dengan diriku. Kupikir minum satu kali saja tidak akan berefek, tapi ternyata aku salah besar. Aku baru ingat tubuhku ini sangat rentan pada hal baru dan cocktail ini adalah hal baru yang kucoba.
"Sebaiknya kau jangan minum lagi, kalau tidak.. "
"Aku tau, tenang saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku seorang dokter, kan."
"Tetap saja, kau tau sendiri kalau badanmu itu sensitif seperti perasaanmu" sindirannya kena banget ke lambung.
Hari gini, masih sempat-sempatnya menyindir ku
Seketika aku merasakan mual di perutku. Aneh, kenapa tiba-tiba? Tubuhku pasti menolak cocktail yang kuminum barusan. Merepotkan sekali. Sekarang aku harus mencari toilet.
"Ada apa?"
"Aku mau toilet dulu, kau tunggu di sini saja. Jangan kemana-mana!"
Belum sempat dia menjawab, aku sudah berjalan menjauh darinya mencari dimana toilet berada. Kurasa aku bisa muntah kapan saja di mari jika tidak kunjung menemukan toilet. Perutku tersiksa parah menahan mual.
Setelah menemukan toilet di ujung, aku masuk dan menyalakan keran air, mengeluarkan semua sampah isi perutku di wastafel. Aku membasahi wajah menggunakan air, rasa mual ini tak kunjung hilang begitu saja. Rasanya akun harus memuntahkan semua isi perut ku. Dalam lambungku bagai di sup yang aduk-aduk dalam kuali besar.
Sayup-sayup aku mendengar suara dari luar toilet, makin lama bagaikan rintihan dan erangan seorang gadis. Kepalaku mengintip sedikit ke luar pintu karena penasaran, hehe. Maksudku, aku hanya mencoba memastikan saja, suer.
Ceklek..
Ku buka perlahan pintu toilet dan..
Gila! aku melihat sendiri depan mata dua insan beradu mulut di sudut tembok. Aku tahu apabila club malam megah ini memang sebagai tempat untuk melakukan hal seperti itu, tapi..setidaknya jangan di toilet yang terbuka! Aku mundur hingga bersembunyi di belakang pintu toilet. Belum ada orang lain selain aku yang lewat di sini.
Pria yang tengah mencabuli wanita itu wajahnya bertopeng, topeng pelik berwarna hitam pekat. Ibarat topeng badut, namun bukan.
Sekilas aku teringat akan si pria bertopeng yang kutemui di toko si kakek hari kemarin. Menonton kejadian di depan mata mengembalikan memor ku pada saat itu, memalukan!
Aku mengintip lagi sesaat, akan tetapi kedua sosok mereka hilang, padahal aku yakin baru saja aku mengalihkan pandangan dan menoleh lagi dan mereka tidak ada? Tepat sekali. Aku keluar dari toilet diam-diam saat sepi. Akhirnya aku bisa bebas berjalan keluar tanpa halangan lagi.
Aku kembali ke meja dimana aku dan Nahye duduk sebelumnya, sayang, sosok Nahye tidak ada lagi. Dia menghilang lagi sama seperti yang lainnya. Alice pun belum kembali, dan sekarang Nahye.
Bruk!
Seseorang menarik lenganku dengan keras secara tiba-tiba membuat tubuhku tetarik ke belakang. Aku tersandung ke samping hampir menerjang meja disana. Kepalaku terbalik mencari sosok yang mendorongku. Berani sekali orag ini. Sudah kusiapkan kepalan pukulan rasengan bagi orang itu.
Namun saat aku hendak menjotosnya, tunggu. Tidak, setelah melihat orang yang menarikku ternyata adalah kekasihku sendiri, Rama! Aku mengedipkan mataku berkali-kali mencoba memastikan bahwa aku tidak mabuk dan bayangan Rama di depanku bukan hayalan.
"Gadisku, seorang dokter sudah berani berpakaian minim dan bersenang-senang di club malam?" dia bersuara.
"Rama?" gumamku, tak menduga dia ada di sini? Benar, aku sedang menghayal!
"Terkejut, sayang?"
Tatapannya merendah kepadaku, kosong. Ekspresinya tak terbaca. Suasana ruang tempatku ada jadi agak suram seperti hidupku, mungkin. Rama mulai mendekatiku, sedikit menunduk agar wajah ku berpapasan langsung dengan nya. Aku tak berani berbicara satu katapun, dia jelas menangkap basah diriku. Apalagi dress yang kupakai malam ini sangat mengundang nafsu gelap. Ya ampun, Rama pasti tak akan memaafkan diriku kali ini. Dia pasti akan menghukumku! jangan sampai itu terjadi.
"Kau tidak mau memelukku? Kita sudah sebulan tak bertemu. Tidakkah kau setidaknya-merindukan diriku?"
"Kenapa kau disini? Bukannya kau ada di New York?" tanganku sediki bergetar.
Dia tersenyum, mendekap tubuhku dalam pelukannya. Dalam pelukan yang hangat, kerinduan mengalir deras di antara kami. Aku tidak tau harus senang atau bahagia saat ini, tapi yang terpenting sekarang aku bisa merasakan pelukannya lagi. Aku membalas dekapan Rama yang erat seakan tidak ingin melepaskan.
"Apakah salah, jika aku ingin datang untuk menjenguk kekasihku sendiri?"
"Tidak, aku senang kau disini."
"Benarkah? Bagus kalau begitu"
Dia meletakkan tangannya di pahaku mengusapnya dengan lembut. Selanjutnya aku merasa tangannya mengangkat dan mendudukkan ku di atas meja di dekat kami. Rama mendekatkan wajahnya, kami berjarak beberapa centi saja. Kulingkarkan kedua tanganku di sekeliling leher nya. Lalu kakiku melilit di pinggangnya. Bibir kami saling bertemu dalam ciuman bergairah.
••••
DISISI LAIN dua orang di sebuah ruangan yang di penuhi banyak kamera pengawas termasuk ruangan dimana Musa dan Rama berada. Salah satu dari mereka sedang mengamati dengan sangat intens, mata tajamnya tak pernah lepas dari pemandangan kotor depan kamera. Ini memang bukan hal biasa namun jika menyangkut pada gadis berpangkat dokter itu, Alveus tidak bisa mengalihkan intensitasnya.
Berdiri pula Lucas di sebela nya, ikut menonton kejadian panas di ruangan ersebut lewat layar monior. Wajah datar, sedatar aspal jalan raya. Cukup mengejutkan menyaksikan dokter kesayangan mereka di layar sedang bermesraan berdua dengan sang kekasih tercinta.
"Kau mengkhianatiku, ya.." desis nya masih terdengar oleh telinga Lucas.
"Aku? Semua ini ulah adik bungsumu itu yang bersekongkol dengan Nona Nahye!" elaknya. Lucas dalam hati mengumpati sang adik bungsu.
"Benarkah? Adikku yang satu itu memang sangat jahil. Kurasa sesekali aku harus memberinya peringatan" Alveus memiringkan kepala ke samping, menompang dagunya. Mata nya tak berpaling dari adegan di kamera pengawas.
"Kau mau mengerjainya balik, Kak? Aku bisa membantumu kalau mau"
Kursi putar Alveus berbalik ke arah Lucas. Ia sedikit tertarik pada idenya. Sedikit mengerjai si bungsu tak akan bermasalah, kan. Sebenarnya, ia yang meminta agar gadis itu membawa Musa berkunjung kemari. Red dress yang dikenakannya adalah sebagian dari rencana Alveus sendiri. Ya, seharusnya yang menghabiskan waktu sepanjang malam dengan Musa adalah dirinya.
Akan tetapi, Alice, adiknya sendiri merusak rencananya. Sungguh sangat disayangkan sekali. Tidak, bukan hanya ini saja rencana Alveus untuk membuat dokter itu berada penuh di tangannya. Beribu cara akan dirinya lakukan demi memisahkan dua sejoli itu.
Lagipula, Alveus sudah menebak jika rencananya kali ini akan gagal. Sebenarnya dia tahu dari awal kalau Alice bekerja sama dengan Nahye. Dia sempat mendengar percakapan mereka berdua di kamar Alice kemarin. Ia juga sengaja berpura-pura tidak tahu apapun.
"Alice.. kau memang mencobai kakakmu, menarik."
"Ku ikuti kemana arahnya ini.. "
Bersambung-