"Udah dong, Lyn. Masa nangis terus dari tadi," bujuk Zion agar kekasihnya itu berhenti menangis. Dengan lembut, Zion mengusap air mata yang terus mengalir di pipi sang kekasih.
Namun, bukannya berhenti, tangisan Evelyn malah makin menjadi-jadi, tangannya mencengkram lengan kemeja yang dipakai Zion, melampiaskan semua kesedihannya.
"Lyn, udahan yaa, matanya jadi bengkak tuh," ucap Zion, mencoba membujuk kekasihnya lagi. Bukannya apa ya, Zion hanya tidak bisa melihat seorang perempuan menangis seperti ini.
Meskipun sebenarnya alasan Evelyn menangis karena hal sepele. Karena apa? Karena mereka baru saja menyelesaikan membaca sebuah novel ber-genre fantasi-romansa. Dan di ending cerita, tokoh utama pria meninggal karena mengorbankan hidupnya untuk tokoh utama wanita. Ending yang cukup klise memang, tapi hal itu membuat Evelyn menangis selama sejam penuh.
"Gue gak terimaaaa~ hiks, sroott.. gue gak bisa diginiin, Zi, gak bisaaa~ gue udah berharap dari chapter satu sampai lima ratus, hiks-hiks.. tapi kok endingnya malah ginii~" keluh Evelyn masih sambil menangis.
Coba bayangkan, dari awal cerita Evelyn sudah sangat berharap bahwa si tokoh utama pria akan bersatu dan hidup bersama tokoh utama wanita. Dengan sepenuh hati Evelyn membaca paragraf demi paragraf, chapter demi chapter, dari 1 sampai 500 lebih chapter, dan malah dihadapkan pada ending yang tidak sesuai ekspektasi nya.
Novel populer yang digandrungi siswi-siswi di sekolah Evelyn dan Zion, The Holy Fate of the Exiled Prince, menceritakan kisah Kendrick, seorang pangeran yang dijuluki pangeran buangan dari kerajaan Radiant Valoria, dan Felicia, anak dari bangsawan berpangkat Count di Radiant Valoria. Ceritanya berfokus pada Kendrick yang ternyata memegang takdir membangkitkan pedang suci, dan Felicia yang memiliki berkat dari sang Dewi. Mereka bertemu di akademi kerajaan, memulai dengan saling sapa lalu berteman, Kendrick dan Felicia pun semakin dekat. Singkat cerita, karena cerita ini bergenre fantasi, ceritanya tidak akan lepas dari serangan monster atau para demon, peperangan pun terjadi. Di akhir peperangan ini, Kendrick harus melebur menjadi butiran-butiran cahaya untuk menyelamatkan Felicia dari kutukan demon king.
Dan begitulah, akhirnya Evelyn menangisi kepergian Kendrick yang tidak bisa bersama Felicia.
"Hueee~ hati gue potok, Zi. Gue gak mau ending yang kek gini, gue gak mauuu~" ucap Evelyn, menggoyang-goyangkan bahu Zion. Masih tidak menerima ending yang ia terima dari cerita tadi.
Tak tau apa yang harus dilakukan, Zion hanya pasrah bahunya digoyang dan diremas Evelyn. Dia bingung mau menanggapi Evelyn bagaimana lagi.
Mungkin karena lelah menangis, Evelyn akhirnya berhenti menangis dan mulai tenang. Tangannya juga tidak lagi menggoyangkan bahu Zion, beralih memainkan jari jemari Zion, kepalanya pun ia sandarkan pada dada bidang Zion.
Masih sambil sesekali terisak, Evelyn sedikit mendongak ke atas, melihat wajah rupawan kekasihnya itu. "Zizi gak sedih apa?"
"Hm?"
Nah, Zion jadi bingung bagaimana menjawabnya. Dia memang membaca novelnya juga berduaan dengan Evelyn, awalnya kegiatan itu hanya untuk mengisi waktu, tapi Evelyn malah ketagihan dan selalu mengajaknya membaca juga. Sayangnya Zion hanya sebatas membaca, tidak sampai menghayati seperti Evelyn.
"Yaaa, sedih sih sedih, tapi kan ceritanya udah kayak gitu. Mana bisa kita ubah-ubah," jawab Zion.
Mendengarnya, Evelyn mengerucutkan bibirnya, yang dikatakan Zion memang benar sih, mau bagaimanapun Evelyn tak akan bisa mengubah jalan ceritanya.
"Udah ah, jangan sedih-sedih. Keluar, yuk, cari jajan," ajak Zion mengalihkan perhatian Evelyn, kalau dibiarkan bisa-bisa sampai malam nanti Evelyn akan terus kepikiran dengan ending yang tidak sesuai harapannya itu.
Dengan semangat, Evelyn menegakkan tubuhnya, "ayok!" serunya.
/°°/
Langit yang tadinya masih dihiasi gradasi orange kini tergantikan dengan gelapnya malam. Bintang-bintang mulai bermunculan dan bulan sudah menunjukkan cahayanya.
Ruang makan rumah Evelyn kini ketambahan satu orang, Zion, kekasih Evelyn itu ikut makan malam bersama keluarga Evelyn.
"Hehe, maaf ya, Tante, kalau Zion ngerepotin lagi," ucap Zion tidak enak hati ia menumpang lagi di rumah Evelyn, kekasihnya sekaligus tetangganya.
"Nggak papa, kok. Lagian Ayahnya Eve lagi pergi juga ke luar kota, jadi agak tenang kalau ada laki-laki di rumah," ucap Ibu Evelyn dengan senyum hangatnya. Dia sudah tau kalau anak tetangganya ini adalah kekasih Evelyn, dan dia lihat Zion juga punya kepribadian yang baik, jadi Ibu Evelyn tidak mempermasalahkan kehadirannya.
Zion tersenyum mendengarnya, matanya melirik pada Evelyn yang saat itu juga sedang meliriknya, dia pun terkekeh pelan dan melanjutkan makan malamnya.
Setelah makan malam, Ibu Evelyn pergi ke kamarnya untuk beristirahat, sedangkan Zion dan Evelyn memilih untuk berdiam di ruang tamu sambil menonton TV.
Sebenarnya hanya Zion yang menonton, Evelyn hanya menemani Zion sambil bersandar pada bahu Zion dan memainkan jari jemarinya.
Agak merasa aneh dengan Evelyn yang hanya diam sedari tadi, Zion melirik Evelyn.
"Loh, kok nangis lagi," panik Zion, langsung merengkuh Evelyn dan mengusap air mata yang membasahi pipi chubby Evelyn.
"Hehehe, keinget yang tadi," jawab Evelyn sambil nyengir.
Menghela nafas pelan, Zion tersenyum tipis, "ya udah nangisnya, tadi kan udah nangis sejam, kasihan loh matanya. Lagian biasanya pas baca novel juga gak nangis sampai sebegini nya."
Yah, Evelyn itu penggila novel, hampir semua novel yang sedang booming ia beli dan baca. Tidak peduli genre apapun itu, kalau Evelyn merasa tertarik, ia akan membacanya sampai tuntas.
Tapi baru kali ini Zion mendapati kekasihnya ini menangis sejadi-jadinya saat selesai membaca novel. Biasanya Evelyn hanya sedih sebentar dan akan melupakannya sesedih apapun cerita yang dibacanya.
Evelyn tersenyum, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi, "soalnya bacanya sama Zizi. Biasanya kan cuma sendirian, Zizinya asik main Hp."
Jawaban yang benar-benar tidak Zion duga, dengan gemas, Zion mengusak rambut Evelyn. "Bisa gitu ya," ucapnya, mencubit pelan pipi Evelyn.
Evelyn mengangguk semangat, "bisaaa!"
"Ah, Zi, masih gak terima sama endingnya," keluh Evelyn lagi. Kali ini dia benar-benar tidak terima dengan ending cerita yang dibacanya.
"Kalo gitu, Lyn masuk aja ke ceritanya sana," canda Zion, tiba-tiba kepikiran seperti itu karena kakak perempuannya pernah membaca cerita transmigrasi seperti itu.
Evelyn mengerucutkan bibirnya, lalu menatap Zion, "ya udah, sama Zizi tapinya. Gak mau kalau sendirian," balas Evelyn.
"Kalau bisa, Zizi temenin beneran."
"Bener ya?!"
Zion mengangguk, mengiyakan saja apa yang dikatakan kekasihnya itu.
Melihatnya, Evelyn makin mendekati Zion dan kembali bersandar di bahu Zion.
Mereka berdua pun hanyut dalam dunianya, sampai-sampai tidak sadar kalau dari tadi Ibu Evelyn memperhatikan dan merekam tingkah keduanya.
Malam harinya, Zion dan Evelyn ketiduran di sofa. Dalam posisi duduk, di mana kepala Evelyn bersandar di bahu Zion dan kepala Zion bersandar di kepala Evelyn. Mereka berdua dengan nyaman tidur dalam posisi itu.
/°°/
Merasakan cahaya terang yang menerpa wajahnya, Evelyn dengan perlahan membuka matanya.
Bukannya mendapati ruang tamu di mana tempat terakhirnya tidur atau kamarnya, Evelyn malah melihat langit-langit megah berhiaskan lampu gantung yang sepertinya terbuat dari kristal.
Terdiam sejenak, Evelyn perlahan duduk dan menelusuri ruangan yang ditempatinya ini.
Setelah beberapa saat, barulah ia sadar kalau sudah terbangun di tempat asing yang sayangnya sangat mewah dan memanjakan mata.
"I-ini di mana?"
Di sisi lain, Zion sudah terpaku dengan pemandangan di depannya, di mana hamparan taman luas yang dihiasi bunga dan tanamam yang dibentuk sedemikian rupa.
Matanya berkedip-kedip bingung mencoba mencerna kejadian yang dialaminya ini. Ia tadi baru saja terbangun di kamar mewah yang bahkan tidak pernah dibayangkannya. Berinisiatif melihat ke luar balkon yang terlihat, Zion malah semakin bingung dengan keberadaannya.
"Ini mimpi kan?"
|•BERAMBUNG•|