Chereads / Bunga-untuk-Luna / Chapter 4 - Malam ini

Chapter 4 - Malam ini

Luna dan ketiga sahabat karibnya selesai seru-seruan hampir menjelang pukul 5 sore. Sebagai konsekuensinya, Luna pun mengantarkan mereka bertiga pulang. Seperti sebelum-sebelumnya, Luna melakukannya dengan sangat senang hati. Sebelum mengantarkan Sisil, Agnes, dan Mita pulang ke rumahnya masing-masing, Luna kembali menyalakan HPnya. Setelah itu, Luna jadi tahu ada sebanyak 7 kali notifikasi telpon dari Deon yang tidak dia balas. Luna pun membatin kalau Deon pasti melaporkan hal ini kepada papanya, Ronald Pasalima atau sering dipanggil pak Ronald. Kemudian, pak Ronald pasti memberitahukannya kepada papanya. Kali ini, Luna mencoba untuk tidak mempedulikannya meskipun Luna sempat mengkuatirkannya. 

Setelah mengantarkan satu per satu ketiga sahabat karibnya pulang, Luna kembali pulang, lalu mandi. Tidak beberapa lama kemudian, papanya pulang dari kantor sekitar pukul 6 petang lebih seperempat. Seperti yang telah dialami Luna sebelum-sebelumnya, papanya tadi sempat ditegur dan dimarahi sekaligus diperingatkan pak Ronald tentang panggilan-panggilan Deon tadi. 

Seperti biasanya, mamanya Luna menyambut kedatangan suaminya dengan hangat dan mesra. Namun, karena perasaan suaminya agak terluka oleh ulah putri semata wayangnya tadi, suaminya pulang dengan jengkel bercampur dongkol. 

"Selamat petang, pa." Mamanya Luna datang dengan tersenyum menghampiri suaminya pulang dari kantor. 

Mamanya Luna siap memeluk dan mencium suaminya itu setelah beranjak dari sofa sedang bersantai menonton tivi. Tetapi, suaminya segera menghindar dengan muka cemberut. 

"Loh?" 

"Papa kenapa?"

"Ada apa, pa?" 

Suaminya, pak Wijaya, segera duduk di sofa masih dengan wajah jutek. 

"Papa kok begitu ke mama?" Istrinya bertanya dengan tersenyum ke suaminya yang barusan duduk di sofa, lalu istrinya duduk di dekatnya dengan melihatnya. 

"Papa ada masalah di kantor?" Istrinya masih bertanya kepadanya sambil mulai mengusap-usap pundaknya. 

"Luna di mana sekarang, ma?" Suaminya bertanya kepada istrinya dengan marah. 

"Luna sekarang di dalam kamarnya, pa." Istrinya menjawab masih mengusap-usap pundaknya. 

Bik Iyem kebetulan masih di dapur sedang membersihkan peralatan-peralatan dapur, sehingga pembicaraan-pembicaraan bu Mira dan pak Wijaya dapat didengarnya cukup baik, karena letak ruang tamu tidak jauh dari dapur. Bik Iyem sekarang membuatkan dua cangkir teh hangat agak manis untuk kedua majikannya tersebut sambil memasang kedua telinganya baik-baik. 

"Mungkin Luna sedang belajar, pa." Istrinya menambahkan. 

"Kenapa dengan Luna, pa?" Istrinya bertanya sangat ingin tahu. 

"Tolong mama panggilkan Luna sekarang di hadapan papa!" Suaminya menjawabnya agak marah. 

"Sebelum Luna ada di hadapan papa, mama ingin tahu dulu kenapa dengan Luna." Istrinya berkata. 

"Baik! Papa jelaskan sekarang kalau mama ingin tahu tentang Luna hari ini!" Suaminya menjawabnya dengan marah. 

"Tadi papa sebelum pulang ditegur dan diperingatkan pak Ronald!" Suaminya mulai menjelaskan. 

"Ditegur dan diperingatkan tentang apa, pa?" Istrinya bertanya dengan serius. 

"Memangnya papa salah apa kok sampai begitu? Terus, apa hubungannya dengan Luna, pa?" Istrinya bertanya lagi mendesaknya. 

Tidak beberapa lama kemudian, bik Iyem datang ke ruang tamu membawa dua cangkir teh hangat manis kesukaan mereka berdua di saat petang ini. Setelah itu, bik Iyem menyuguhkannya. 

"Gara-gara Luna ditelpon Deon beberapa kali tidak digubris!" Suaminya menjawabnya. 

"Aku jadi ditegur dan diperingatkan pak Ronald bila urusan Luna dan Deon nggak selesai, aku bakal tidak dipromosikan lagi naik tingkat bahkan aku bisa dipecatnya!" Suaminya menjelaskan dengan marah. 

Bik Iyem tidak berani ikut campur. Namun, bik Iyem masih mencoba menguping sambil pelan-pelan menjauh dari ruang tamu. 

"Oke, pa!" Istrinya menyanggupinya. 

"Bik Iyem…! Kemari sebentar!" Istrinya memanggil seorang pembantunya itu dengan berdiri dan suara agak keras. 

"Iya, bu." Bik Iyem segera berhenti, lalu menoleh ke bu Mira sambil menjawab dengan perasaan setengah takut bercampur cemas. 

"Kenapa, bu?" Bik Iyem bertanya ke bu Mira. 

"Tolong bibik sekarang panggilkan Luna di dalam kamarnya. Suruh Luna kemari menghadap papanya di ruang tamu." Bu Mira menyuruh bik Iyem dengan berapi-api. 

"Baik, bu." Bik Iyem menyanggupinya. 

Setelah itu, bik Iyem segera naik tangga menuju ke kamarnya Luna untuk melaksanakan perintah-perintah majikan perempuannya itu. Bu Mira kembali duduk di samping suaminya. Istrinya mencoba menenangkan suaminya sambil dan melepas dasinya.

"Papa tenang aja ya." 

"Nanti mama yang akan bicara dengan Luna." 

"Sekarang papa minum teh hangat dulu ya, pa." 

"Papa perlu istirahat dulu sejenak untuk menenangkan pikiran." 

Tidak beberapa lama kemudian, suaminya mencoba menenangkan diri dengan meminum teh hangat agak manisnya di meja. Setelah melepaskan dasi suaminya, istrinya menaruh tas jinjing suaminya di sampingnya yang sejak tadi ditaruh suaminya itu bawahnya. Sekarang, perasaaannya agak relaks bersamaan dengan Luna dan bik Iyem datang. 

"Luna, cepat kamu duduk di sini!" Mamanya segera menyuruh Luna duduk di dekat mamanya. 

"Baik, ma!" Luna segera mematuhinya seperti sudah tahu akan dimarahi papanya. 

"Tolong bik Iyem kembali kerja!" Bu Mira menyuruh bik Iyem. 

"Baik, bu." Bik Iyem pun segera mematuhinya. 

Setelah itu, bu Mira berdiri untuk duduk di hadapan Luna. Pak Wijaya sekarang telah duduk sederet dekat Luna. 

"Luna, apakah kamu sudah tahu kesalahan-kesalahanmu hingga membuat papa kamu kecewa malam ini?" Mamanya bertanya ke Luna. 

Luna terdiam dengan menunduk. 

"Kalau kamu sudah tahu, papa minta kamu jangan mengulanginya lagi!" Papanya berkata dengan nada marah dan menoleh ke Luna di sampingnya. 

"Iya, pa, ma!" 

"Luna mengerti!" 

Tidak beberapa lama kemudian, Deon datang. Sebelum Deon bisa ke ruang tamu, seorang satpam mengantarkannya masuk ke dalam seperti yang telah dipesan sebelumnya oleh kedua majikannya itu untuk segera menerima kedatangan Deon dan kedua orang tuanya. Pak Wijaya dan bu Mira segera menyambut dengan ramahnya kedatangan Deon. Kedua orang tuanya Luna tersebut pun mempersilakan Deon duduk bersama di sofa. Lagi-lagi bik Iyem disuruh membuatkan dua cangkir teh hangat agak manis, satunya untuk Deon dan satunya lagi untuk Luna. 

"Maksud kedatangan nak Deon kemari ada perlu apa?" Pak Wijaya bertanya kepada Deon. 

Luna hanya diam dan agak cemberut sambil melirik Deon. 

"Tanpa panjang lebar Deon jelaskan, Deon ingin mengajak Luna pergi keluar." Deon menjawabnya. 

"Jalan-jalan atau makan-makan?" Mamanya Luna bertanya dengan tersenyum kepada Deon.

"Makan-makan." Deon menjawabnya singkat. 

"Wah…bagus banget tuh, nak Deon." Papanya Luna memujinya dengan tersenyum. 

"Sekaligus refreshing ya nak Deon?" Papanya Luna bertanya untuk memastikannya dengan tersenyum. 

"Iya, pak." Deon menjawabnya singkat. 

"Bagaimana, Luna?" Papanya Luna bertanya kepada Luna di sampingnya. 

"Maaf aku nggak bisa malam ini, karena aku mau menulis cerpen untuk ikut lomba!" Luna menjawabnya dengan kesalnya. 

"Luna..!" Papanya memperingatkan Luna. 

Luna terdiam dengan agak menunduk. 

"Oke." Luna menyanggupinya dengan berat hati.

"Kamu tunggu aku ke kamar dulu." Luna berkata kepada Deon sambil berdiri. 

"Kamu ngapain, sayang?" Deon bertanya kepada Luna. 

"Dandan." Luna menjawabnya singkat. 

"Nggak usah, sayang." Deon berkata. 

"Aku malu kalo terlihat jelek di kedua mata orang-orang yang melihatku nanti." Luna beralasan kepada Deon. 

"Aku melihatmu sekarang sudah cantik kok, sayang." Deon memuji Luna. 

"Kedua matamu dan kedua mata orang-orang beda loh." Luna berkata. 

"Percayalah padaku, sayang." Deon menjawab.

Luna diam sejenak untuk berpikir. Penampilan Luna malam ini masih terbilang sangat cantik, karena Luna memang dasarnya sudah cantik dan sangat memperhatikan penampilannya, berkaos oblong putih bersih wangi, bercelana jeans hitam ketat, berbando pink, dan jaket kain hitamnya diikat di pinggangnya. Sehingga, Deon memutuskan kepada Luna untuk tidak berdandan lagi. 

"Oke kalau itu menurutmu." Luna berkata kepada Deon. 

"Kalau aku sampai dikatain jelek orang-orang yang melihatku, kamu yang akan bertanggungjawab." Luna menyambung kali ini dengan ketusnya. 

"Iya, sayang." Deon menjawabnya. 

Tidak beberapa lama kemudian, Luna pamit kepada kedua orang tuanya untuk pergi keluar dengan Deon. Kedua orang tuanya sangat menyetujuinya. Malam ini, Deon membawa Luna keluar dengan mobil pribadinya menuju ke sebuah diskotek yang termasuk kelas atas di kota, bukan sebuah rumah makan atau restoran seperti Deon katakan di ruang tamu tadi kepada kedua orang tuanya Luna. 

Ketika dalam perjalanan menuju ke sebuah diskotek, enam anggota Genk motornya Deon membuntutinya dari belakang. Memang sebelumnya Deon menyuruh mereka semua untuk ikut keluar bersamanya. Luna sangat terkejut melihatnya. 

"Sayang, aku sangat mencintaimu!" Deon berkata kepada Luna di sampingnya sambil menyetir mobilnya. 

"Mereka itu siapa?" Luna bertanya kepada Deon setelah melihat sekilas ke belakang dan ke samping kanan kiri mobil. 

"Ramai sekali!" Luna menggerutu agar perhatiannya pada ucapannya Deon tadi teralihkan. 

Beberapa teman segenknya Deon berteriak-teriak menyoraki Deon dan Luna dari belakang, kanan, dan kiri mobilnya dengan senang dan ngebut hingga semuanya mendahului mobilnya Deon.

"Aku jadi takut!" Luna mulai ketakutan.

"Kamu jangan takut, sayang." Deon menjawabnya. 

"Kan mereka semua temanku satu kelas." Deon menambahkan. 

"Apakah mereka semua sudah belajar?" Luna bertanya. 

"Tanya mereka sendiri aja." Deon menjawabnya dengan tertawa-tawa sambil tetap menyetir mobilnya. 

Luna terdiam dengan melihat sekilas ke Deon di sampingnya yang sedang tertawa-tawa. 

"Kamu sendiri sudah belajar?" Luna bertanya kepada Deon. 

Seketika itu, Deon berhenti tertawa-tawa. 

"Sudah…sudah…sudah…sayang!" Deon menjawabnya, lalu tertawa-tawa lagi. 

"Aku tidak ingin kamu tidak lulus." Luna menasehatinya. 

"Iya, sayang." 

"Aku mengerti kok, sayang." 

Tidak beberapa lama kemudian, Deon tiba di depan sebuah diskotek tujuannya. Keenam teman sekelasnya Deon sudah menunggu ketuanya di tempat parkir. Sebelum mengajak Luna masuk ke dalam diskotek, Deon menghampiri teman-teman sekelasnya itu untuk memberinya sejumlah uang untuk keamanan dirinya dan kekasihnya, termasuk mobilnya. Mereka semua pun mematuhinya. Luna masih menunggunya di dalam mobilnya. 

"Sayang, yuk kita masuk ke dalam sekarang." Deon mengajak Luna keluar setelah membuka pintu mobilnya untuknya.  

"Itu tempat apa sih?" Luna bertanya kepada Deon. 

"Tempat untuk kita berdua bersenang-senang." Deon menjawabnya sambil tersenyum dan membantu Luna keluar dari dalam mobilnya. 

"Bersenang-senang?" Luna terkejut mendengarnya. 

"Iya, sayang." Deon menjawabnya dengan tersenyum. 

"Maksud kamu bersenang-senang apa?" Luna bertanya lagi sambil sekilas melihat beberapa pengunjung keluar masuk diskotek dan mendengar detak-detak musik disko agak jelas dari luar diskotek. 

"Berdisko." Deon menjawabnya dengan tersenyum. 

"Nggak makan-makan?" Luna bertanya lagi. 

"Nggak." Deon menjawabnya singkat. 

"Kenapa begitu?" 

"Bukannya tadi kamu mengajakku makan-makan?"

Deon sekarang tertawa-tawa sejenak. 

"Jadi ini semacam diskotek ya?" 

Deon tertawa-tawa lagi.

"Nggak!" 

Seketika itu, Deon berhenti tertawa.

"Antarkan aku pulang sekarang!"

"Aku tidak mau masuk ke tempat itu!" 

Deon tertawa-tawa lagi. 

"Ayolah, sayang." 

"Sebentar saja kok, sayang. 

Luna sekarang cemberut dengan melipat kedua tangannya dan duduk di bagian depan mobilnya Deon. 

"Temani aku sebentar ya sayang." 

"Aku ingin mengajakmu sejenak bersenang-senang denganku di dalam, sayang."

"Aku ingin menghilangkan stress malam ini, sayang."

Luna masih diam seribu bahasa.

"Antarkan aku pulang sekarang juga atau aku pulang sendiri dengan taxi?" 

Deon terdiam dengan memperhatikan Luna. 

"Kamu marah kepadaku, sayang?" 

Luna diam sejenak dengan memalingkan wajahnya. 

"Aku sangat mencintaimu, sayang." 

Wajah Luna sekarang menghadap Deon di depannya sambil tersenyum. 

"Kalau kamu sangat mencintaiku, antarkan aku pulang sekarang."

"Aku tidak ingin membuatmu marah." 

"Begitu juga dengan kedua orang tua kamu kepada kedua orang tuaku." 

"Apakah kamu mau berjanji kepadaku?" 

Deon terdiam sambil memandang Luna dengan berbinar.

"Antarkan aku pulang sekarang." 

"Aku hanya ingin kamu menghargaiku malam ini."

Deon menunduk sejenak di hadapan Luna. 

"Baik, sayang." 

Tidak beberapa lama kemudian, Deon masuk ke dalam mobilnya lebih dulu, lalu diikuti oleh Luna. Setelah itu, Deon segera mengantarkan Luna pulang. Keenam temannya Deon masih bertahan di luar diskotek bercengkerama satu sama lain. Sepulangnya, Luna langsung melanjutkan menulis cerpen, sedangkan Deon kembali ke tempat itu untuk bersenang-senang dengan keenam temannya. Deon tidak mempermasalahkan penolakan Luna tadi, karena pada dasarnya dia sangat mencintai Luna.