Di suatu gedung perpustakaan ternama, seorang pemuda terlihat mendorong daun pintu sebelum memasuki ruangan yang dipenuhi oleh rak buku. Sesosok lelaki terlihat mengenakan kemaja putih dengan jas hitam yang membalut tubuh, serta syal merah yang masih melingkar dibagian leher, seakan menggambarkan ciri khasnya sebagai seorang penulis novel ternama.
Seorang wanita muda dengan senyum indah menawan baru saja mengulurkan sebelah tangan, guna menyambut kedatangan sang pemuda yang bernamakan Nirwana Jaya Saputra.
Derap suara langkah mendominasi keheningan abadi pada ruangan tengah, membawa Nirwana agar tetap berjalan melewati puluhan rak besi yang dipenuhi oleh sekumpulan buku sekitarnya.
Kursi kayu dengan meja bernuasa klasik menyambutnya. Lelaki itu duduk bersadar guna melepas letih pada punggungnya.
Wajahnya terlihat muram dengan sebelah tangan yang menopang dagu. Pandangannya sempat teralihkan pada jendela berlapis kaca, membuat lelaki itu mengamati lamat-lamat langit biru yang berselimut hamparan mega.
"Apa yang membuat orang lain bahagia, aku sama sekali tidak pernah mengalaminya," helaan nafasnya berhasil mengusik sepasang telinga. Nirwana menyungging senyum dibalik lamunannya. "Seandainya aku dapat menjalani kehidupan seperti Anime, mungkin aku bisa menjadi pendekar layaknya kesatria di dalam game Mobil Legend atau Ghensin Impact."
Nirwana mengalihkan pandangannya dari balik jendela berlapis kaca. Kini ia dikejutkan oleh adanya buku tebal yang terpampang di atas meja. Tak berlangsung lama, buku tersebut memancarkan sebentuk aura yang tak biasa.
"Final Fantasy ... Judul yang aneh, bahkan aku tidak pernah melihat buku ini sebelumnya," kerutan pada dahinya mengawali pergerakan jemari untuk membuka sampul pada buku tersebut. "Mungkin seseorang sengaja menaruhnya saat aku melamun. Entahlah, aku merasa ada yang janggal dengan buku ini."
Dari balik hamparan udara, terdengarlah sambaran petir yang menggema ke sepenjuruh arah. Gemuruh suara angin mendominasi kepekatan awan kelabu yang berbaur dengan derasnya hujan yang mengguyur daratan.
Seorang lelaki terlihat membalik halaman buku yang terpampang di atas meja, hingga suatu ketika dirinya tanpa sadar telah membaca suatu mantra yang tertera di dalamnya.
"Grand fantasia masio gento!"
Terlihatnya suatu gelombang transparan mengawali terciptanya percikan cahaya yang mampu menyilaukan pandangan mata, mendominasi kehampaan yang tercipta dengan munculnya gerbang serta sepasang pilar di kedua sisinya. Daun pintu terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan aura hitam bercampurkan biru terang.
"Tidak mungkin ..." Nirwana terperangah dengan adanya sedikit gelengan pada kepala. "Aku yakin dengan apa yang kulihat saat ini hanyalah sebatas ilusi. Mungkin aku sedang bermimpi."
Saat Nirwana bangkit dari kursi, gelombang transparan menyerap seluruh energi supranatural di alam sekitar, menciptakan suatu tenaga yang mampu menghisap tubuh manusia di sekitarnya.
Nirwana berupaya untuk mengulurkan lengan dengan jemari yang nyaris menyentuh siku meja. Namun gelombang energi menghisap kuat tubuh sang pemuda agar tetap memasuki gerbang portal yang tercipta.
"Aku tidak ingin mati! Aku belum menikah!!"
Sepasang daun pintu pada gerbang portal tertutup dengan sendirinya, menjadi akhir lenyapnya tubuh seorang pemuda beserta gelombang energi yang telah tercipta.
Buku tebal yang sedari tadi terpampang di atas meja kini mengeluarkan asap dengan sendirinya. Terlihatnya percikan api, seakan mengawali terbakarnya sampul hingga setiap lembaran kertas di dalamnya.
Suatu aura kebiruan yang berbaur dengan warna hitam seakan menyelimuti disetiap sudut mata memandang. Pemuda itu masih dapat merasakan bahwa tubuhnya tengah melayang diantara gelombang energi supranatural.
Detak jantungnya berdegup lambat saat sepasang matanya masih terpejam rapat.
"Sepintas ingatan menjadi gambaran atas pahitnya hidupan. Dan mengenang kisah adalah suatu pelajaran sulit untuk di lupakan." Suara itu terdengar lirih dalam ambang sunyi dan mengisi kekosongan yang terjadi, kala tubuh pemuda itu mengambang dalam dimensi.
Terlihatnya cahaya putih yang mampu menyilaukan pandangan mata sontak menghisap tubuh seorang pemuda yang masih mengambang di ruang dimensi alam yang berbeda.
Di suatu benua yang membentang luas di antara kepulauan lainnya, terlihatlah cahaya putih yang melesat kencang menembus hamparan mega.
Sepercik cahaya putih yang melintas di tengah hamparan udara menjadi sorotan segelintir umat manusia yang melihatnya. Hingga suatu ketika, sinar terang itu itu beransur-ansur redup dari pandangan mata dan meninggalkan tubuh seorang pemuda yang terpelanting ke permukaan tanah.
Mentari baru saja memberi warna keemasan untuk menerangi langit Netderland yang masih gelap dan dingin. Kala itu, Tiara memacu Typhoon-kuda cokelat kesayangannya-melintasi jalan setapak di kawasan hutan yang sunyi.
Jubah yang menutupi kepalanya sekarang tersibak ke belakang karena tiupan angin di pagi hari, menampilkan wajah lancap dengan rambut model undercut basic yang dipotong sebahu. Tubuhnya yang ramping masih terlihat mengenakan tunik hijau dengan pedang panjang yang tersandang di bagian punggung.
Di tengah perjalanan Tiara terlihat bimbang dengan adanya tubuh seorang pemuda yang tergeletak di permukaan tanah. Gadis itu sontak memperlambat laju kudanya, membiarkan nanar matanya menatap tubuh pemuda asing tersebut.
Tiara terperanjat. "Astaga!"
Tiara merinding setelah berhasil turun dari kuda, dan berjalan mendekati sosok pemuda yang masih terbujur lemas di permukaan tanah. Gadis itu berasumsi bahwa pemuda tersebut bukanlah bangsa Elf, melainkan manusia biasa.
Jemari lentik Tiara menyibak rambut undercut basic bagian samping pelipis kirinya, memperlihatkan satu daun telinga bermodel lancip ras elf.
"Pemuda ini sepertinya bukan dari bangsa kami, melainkan manusia." Tiara berjongkok dengan kaki kanan di depan, sebagai tumpuan memijak tanah. Sedangkan satu lengannya terulur ke depan guna menyentuh permukaan dada Nirwana. "Pemuda yang malang ... aku sama sekali tidak melihat adanya luka pada tubuhnya. Namun, kilatan cahaya yang melintang tadi menghantamkan tubuhnya ke permukaan tanah. Ya, mungkin oleh sebab itulah dia pingsan."
Sementara Nirwana tidak dapat mengingat apa yang telah menimpa dirinya. Namun satu hal yang ia ingat, tentang terbukanya gerbang dimensi yang tak dapat di buktikan secara logika.
Hal itu terbukti dari perpindahan lokasi saat ia terbangun dalam kondisi ganjil dan kebingungan. Tubuhnya juga terasa lemas seperti telah kehilangan banyak tenaga.
Entah berapa jam ia tak sadarkan diri dan seolah tengah tersentak dari dalam mimpi. Nirwana perlahan membuka sepasang mata, melihat langit biru yang berselimut hamparan mega. Beberapa pohon menjulang tinggi di sekitarnya, mendominasi keindahan alam yang penuh warna.
"Langit, awan ... di mana aku berada ...." Nirwana bergumam lirih.
Jemari Nirwana menyentuh bagian sisi dahi. Sekilas kepalanya menggeleng, tak paham dengan keanehan yang ia alami pada saat ini. Sambil meluruskan kedua kaki, matanya mengamati rindangnya dedaunan. Sampai suatu suara halus membuatnya terlonjak kaget.
"Hallo ..."
Kepala Nirwana reflek menoleh ke sumber suara. Aura dingin melingkupi tubuhnya secara tiba-tiba. Ia mendengar suara seperti muncul dari jarak yang sangat dekat, mendayu terbawa desau angin yang bertiup.
Nirwana semakin kaget sewaktu di sampingnya berjongkok sosok gadis yang nampak mempesona. Sekian detik Nirwana terpana. Belah bibirnya sedikit terbuka, hingga tatapan mata hanzelnya menelusuri bagian wajah yang dimiliki oleh gadis tersebut. Pemuda itu seakan tidak ingin mengedip sedikitpun.
Astaga! Sosok ini sangat mempesona dan muncul secara tiba-tiba. Elf? Mungkin ia adalah seorang cosplayer.
Nirwana tidak mengerti tentang apa yang membuatnya terpaku seperti patung manekin. Seumur-umur ia tidak pernah mengalami hal serupa. Terlebih, sosok gadis yang di lihatnya adalah bangsa elf, yang sejatinya tidak pernah ada di kehidupan nyata.
"Apa aku menggangu, hmm?"
Suara halus dan merdu itu kembali mengusik indra pendengarannya, menyandarkan Nirwana dari keterpakuan. Sepasang mata mengerjap berulang kali, hingga ia meyakini bahwa sosok yang kini masih berjongkok di sebelahnya itu bukanlah zombie, melainkan gadis cantik dari bangsa elfen.
"A—ah! Tidak, maksudku anoo ... aku hanya terkejut karena melihat bidadari surga seperti Anda, Nona," suara Nirwana berhasil ia keluarkan meski itu dalam keterpaksaan.
Senyuman hangat Nirwana terukir membalas senyum manis yang terpatri oleh bibir tipis gadis tersebut.
"Kau sangat manis dan juga tampan. Maaf jika aku sudah mengagetkanmu," gadis yang tersenyum itu kembali berkata. "Apa kau tersesat?"
"Ter—tersesat katamu?" Jawaban Nirwana begitu cepat mengalir dari mulutnya. "Sejak kapan aku tersesat. Aku hanya pergi ke perpustakaan, membaca buku dan semuanya menjadi aneh."
"Aneh?" Tiara sedikit mendongak guna mengamati alam sekitar sebelum ia kembali bertatap mata dengan pemuda tersebut. "Kau tidak sedang berada di perpustakaan, Tuan. Kau berada di pinggiran hutan dekat pemukiman desa."
Nirwana terperangah dibuatnya. Pemuda itu seakan tidak mempercayai tentang apa yang telah menimpanya. Pemuda itu sempat menggeleng sebelum meraih kedua sisi kepala dengan sedikit jambakan pada rambutnya.
"Ini tidak mungkin. Mustahil bagiku untuk berteleportasi dari satu sisi ke sisi lain. Sementara aku tadi tengah berada di perpustakaan Gramedia." Pandangan Nirwana menjelajah ke sepenjuruh arah. "Aku tidak percaya dengan apa yang telah menimpaku pada saat ini. Aneh! Mustahil, dan tidak logika!!"
"Tuan, kau kenapa?" Tiara mengerjapkan mata. Gadis itu merasa bingung dengan pemuda tersebut.
"Aku hanya merasa bingung. Buku yang telah aku baca di perpustakaan itu tiba-tiba saja memancarkan cahaya, kemudian munculah suatu gerbang yang mampu menyeret tubuhku ke dimensi alam yang berbeda," ujar Nirwana yang nampak kebingungan.
"Kau sekarang berada di kaki gunung Alpine, tepatnya di kawasan Amarta," Tiara mengulurkan satu lengannya, hingga telapak mungil tersebut bersentuhan langsung dengan pundak Nirwana. "Kau sedang tidak bermimpi, Tuan. Kau hanya lelah."
Gadis itu berupaya untuk meyakinkan Nirwana bahwasannya pemuda itu tengah baik-baik saja, dan terlepas dari mimpi panjangnya. Namun pemuda itu dengan cekatan menepis tangan Tiara.
"Jangan bercanda mengenai Amarta."
Setelah bangkit, Nirwana berupaya untuk beranjak pergi meninggalkan Tiara, menyusuri jalan setapak yang sepi, dinaungi oleh pepohonan rimbun di kedua sisi.
Sekian detik Tiara mengamati punggung Nirwana. Gadis itu melihat sosok pemuda dengan balutan jas hitam yang berjalan semakin jauh darinya. Belah bibirnya sedikit terbuka, beriringan dengan terulurnya satu lengan menggapai udara.
"Tuan, tunggu!"
Suara Tiara berhasil menghentikan Nirwana. Pemuda itu menoleh, manik hanzelnya mengamati pergerakan langkah Tiara yang nampak membelakanginya.
"Berhentilah memanggilku Tuan. Aku bukan Tuanmu! Namaku adalah Nirwana." Pemuda itu terlihat muram dengan pandangan lurus ke depan.
Tiara berjalan lebih cepat dari biasa dan bermaksud untuk mensejajarkan langkahnya dengan Nirwana. Ia menoleh ke arah sosok pemuda di sampingnya. Bibirnya yang sensual dan seksi menampilkan senyum indah menawan.
"Namamu terkesan memiliki wibawa, Tuan. Apakah kau seorang bangsawan?"
Nirwana mendengus kesal. "Harus berapa kali aku berkata, berhentilah memanggilku Tuan."
"Maaf, Tuan. Eh, maksudku Nirwana."
"Aku adalah seorang penulis. Dalam karyaku, aku pernah menyebut kata Amarta sebagai nama negara," pada akhirnya lelaki itu menoleh pada gadis di sebelahnya. "Dan Ignea adalah ibukota yang megah."
"Benarkah? Tapi negara yang kau pijaki pada saat ini adalah Amarta," Tiara kemudian menoleh ke arah selatan. "Nah, ibukota yang kau maksud Ignea berada jauh di sana."
"A—apa katamu?! A—Amarta? Bagaimana bisa kau menjelaskan bahwa ini adalah negara Amarta. Bukannya aku masih berada di Indonesia?" Nirwana tergagap kaku.
"Indonesia itu apa?" tanya Tiara sembari menggaruk belakang kepalanya.
Butuh waktu bagi Nirwana untuk menjawab pertanyaan Tiara. Manik hanzelnya teralihkan pada pepohonan rimbun yang berjajar rapi di kedua sisi jalan setapak.
"Indonesia adalah negara kelahiranku. Berbicara mengenai Indonesia, ada banyak sekali makanan enak di sana yanh mungkin tidak kau ketahui."
"Benarkah?" ucap Tiara, membiarkan semilir angin meniup di setiap helai rambutnya.
"Tentu saja. Oh, iya ... siapa namamu?"
"Tiara."
"Nama yang indah."
"Terima kasih ..."
Dalam perjalanan Nirwana terlihat membusungkan dada dengan kedua lengan di balik punggung. Sedangkan Tiara menahan senyum setiap kali melirik paras pemuda di sebelahnya. Keduanya berjalan menuju ke pemukiman desa, lebih tepatnya tempat para elf berada.
Untuk sekian kalinya Tiara menyibak beberapa helai rambut di bagian sisi wajah, agar tertopang oleh daun telinga yang berbentuk lancip tersebut. Detak jantungnya berdegup kencang setiap kali dirinya berdekatan dengan Nirwana.
Tiara sempat merasakan adanya sesuatu yang berbeda dalam benaknya, meski ia tak pernah mengerti tentang perasaan hati yang disebut sebagai cinta pada pandangan pertama.
Padang rumput membentang luas di penghujung jalan, dinaungi oleh pepohonan rimbun yang mendominasi alam sekitar. Semilir angin berbaur dengan semerbak wewangian bunga, menciptakan nuasa indah disetiap langkah menuju ke pemukiman desa.
Ada sesuatu yang menarik perhatian Nirwana, sehingga membuat pemuda itu menghentikan langkah. Setangkai bunga Wilona menyiratkan keanggunan yang tiada tara, memaksa jemari tangannya untuk memetik satu antaranya, guna di cium semerbak wanginya.
"Aku belum pernah melihat bunga secantik ini sebelumnya," Nirwana yang sedari tadi mengamati keelokan kelopak bunga Wilona, pandangannya kini teralihkan pada Tiara. "Kau tahu, Tiara ... bunga adalah lambang kecantikan seorang wanita."
"Benarkah?" Tiara tersenyum riang dibuatnya.
"Tentu saja, Tiara ..." jemari Nirwana bergerak pelan mendekatkan bunga Wilona ke telinga Tiara guna ia selipkan pada rambutnya. "Kau sangat cantik dengan hadirnya bunga ini di rambutmu, Tiara."
Sontak Tiara tersipu malu dibuatnya. Gadis itu tak menyangka bahwa sosok Nirwana yang baru saja ia kenal tergolong romantis pada wanita.
Terlihatnya rona merah pada Tiara, seakan menyiratkan perasaan penuh bahagia yang tak mampu dapat ia sampaikan melalui untaian kata. Entah apa yang merasukinya, gadis itu sontak mengulurkan sepasang tangan untuk mendekap kuat tubuh Nirwana. Hal itu tentu membuat pemuda yang bernamakan Nirwana terperanjat dibuatnya. Terutama dengan adanya pelukan hangat yang melekat pada tubuhnya.
Saat Tiara menyandarkan kepala pada bagian dada Nirwana, gadis itu sempat merasakan kehangatan pada tubuhnya. Sementara jemari Nirwana bergerak pelan membelakangi kepala Tiara, dan mulai mengelus rambut gadis tersebut.
Nirwana sedikit mendongak, membiarkan sorot matanya menatap birunya langit berselimut mega. "Aku hanya dapat berharap semoga apa yang telah aku rasakan pada saat ini bukanlah sekedar mimpi."
"Apakah kau dapat merasakan adanya kehangatan saat aku memelukmu?"
"Tentu. Mengapa tidak?"
"Berarti kau sedang tidak bermimpi, Tuan Nirwana."
Nirwana menghelakan nafas panjangnya, membiarkan jemari tangannya membelai mesra rambut Tiara. "Berhentilah memanggilku Tuan. Kau hanya akan membuatku merasa sungkan."
"Benarkah?" Tiara mengerjapkan mata. "Lalu aku harus memanggilmu apa?"
"Kang mas Nirwana, hehehe." Pemuda itu sontak mengumbar tawa.