Chereads / Maniac Sword And Maiden Body / Chapter 3 - Chap 3 : Masa Lalu dan Alasan

Chapter 3 - Chap 3 : Masa Lalu dan Alasan

Ketika malam hari hendak tidur akhirnya aku sadar bahwa sekarang diriku memiliki tujuan hidup yang indah. Benar ini adalah kesempatan emas.

Benar dulu, sebelum aku mati dan memulai kehidupan Irie ini.

"Mari mengingat kehidupan membosankan itu."

.

.

.

Dulu, benar saat aku masih hidup sebagai pria biasa. aku lahir terbilang lahir di keluarga berkecukupan, jika masuk golongan mana, maka aku masuk golongan kelas menengah bawah. Ayahku seorang pekerja kantoran, dan ibu melakukan jual beli di depan rumah, terkadang menyediakan jasa pulsa.

Ketika TK aku terbilang biasa saja, aku mengikuti kata orang tuaku untuk menjadi baik. Selama di TK tidak ada yang begitu wah, bahkan aku sadar bahwa diriku terbilang lebih baik dari yang lain, walaupun ada yang lebih pintar dariku.

Kemudian ketika mulai memasuki SD, aku sadar bahwa banyak sekali orang yang mulai menggapai mimpi mereka. Diriku yang saat itu, hanya bisa menjawab.

"Lihat aja nanti."

Entah seperti mantra yang bisa melepaskan diriku dari pertanyaan dan rasa malu karena takut di hina. Tetapi ucapan itu juga menjadi kutukan bagiku, benar menjadi suntikan pada diri sendiri, bawah takdir akan ditentukan begitu saja, apapun usahamu pasti sudah ditentukan.

Ketika Mulai beranjak SMP. semakin sadar bahwa diriku makin tidak memiliki Arah untuk hidup, kau hanya belajar semampunya, bermain hanya sebatas main, bersosialisasi hanya untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga hubungan dengan orang tua hanya dengan alasan bahwa mereka orang tua maka harus baik.

Saat menjelang kelas 3 SMP, aku mulai tidak bisa menjawab pertanyaan mau SMA ke mana, atau jurusan apa . tentu aku hanya memberikan kata.

"Terserah mamah, Bapa."

Ucapan memang bisa menghilangkan beban sementara dari pikiran memilih SMA.tetapi itu akan menjadi bola salju yang menggelinding menjadi sebuah longsor besar pada mental hidupku.

Benar, aku ingat bahwa Saat SMA ada istilah wajib ekstrakurikuler. saat SD dan SMP aku tidak peduli dengan itu karena hanya berpikir hidup seperlunya aja. tidak ada alasan untuk ikut karena hanya melalahkan saja.

Ketika mulai mengambil ekstrakurikuler, diriku sadar bahwa aku hanya ikut ekstrakurikuler yang bareng dengan teman SD ku. Tidak ada alasan lain, hanya berpikir untuk kabur dari pilihan aja.

"Woi... gak apa ikut ekskul ini."

"Daripada bingung dan gak dapet nilai."

Kami masuk Ekskul futsal, dan kemudian menemani teman satunya lagi masuk ekskul otaku. Secara pilihan memang terbilang aneh, tetapi aku tidak ada alasan untuk malu, karena aku membela temanku, tetapi akhirnya aku yang tidak punya pilihan hanya diam tidak berkembang.

Ketika melihat temanku melakukan futsal dengan penuh harapan menjadi nomor satu, diriku tersadar bahwa betapa indahnya itu. walaupun sekujur tubuh dipenuhi dengan keringat, baju kotor dengan debu, dan bahkan sepatu yang dia gunakan sudah mulai terbuka karena belum ada uang untuk ganti.

Momen melihat dia berlatih menjadi salah satu hal yang bisa kunikmati. Dia bahkan memintaku ikut berjuang membantu dia menjadi nomor 1. Aku yang saat itu tanpa tujuan akhirnya hanya bisa mengikuti ucapan itu.

Entah angin apa, kami ikut dalam kejuaraan SMA tingkat Kabupaten, bahkan kami bisa masuk ke final. Momen inilah aku sadar bahwa betapa indahnya mimpi itu.

Diriku saat itu hanya berjalan dengan alasan menemani temanku. Aku hanya perlu ikut bermain, bahkan jika mengeluarkan sepuh tenaga tidak akan membuahkan hasil. Benar-benar pemikiran yang apatis, tidak memikirkan mimpi seseorang, bahkan tidak peduli dengan diri sendiri.

Kemudian ketika menit terakhir muncul sebuah kesempatan untuk mengakhiri pertandingan dengan sebuah pas penting. Benar ketika bola ada di kaki ku, aku sadar bahwa ini adalah momen yang penting untuk hidupku, saat inilah aku harus mengeluarkan seluruh tenagaku.

Sebuah pas itu beneran berhasil membalikan keadaan dan mencetak gol, bahkan tim kami bisa masuk liga lebih. tetapi ketika itu terjadi, diriku sadar bahwa tubuhku tidak benar-benar dilatih karena memang tidak ada niat untuk menjadi pemain. itu membuat diriku jatuh setelah pertandingan, dan membuat keadaanku tidak bisa berlanjut bermain.

Karena waktu dan kurang latihan. kehidupan olahragaku berhenti. Kemudian aku hanya bisa menikmati kehidupan biasa tanpa tujuan lagi. kembali menikmati semua dalam kata sudah cukup, padahal mungkin diriku bisa lebih dari itu.

Sekarang diriku melihat semua orang terasa lebih unik. berpikir bahwa mereka memiliki tujuan yang indah. Temanku yang terlihat otaku tanpa alasan, dia memiliki tujuan untuk sebuah kafe dan menulis komiknya sendiri. Melihat dia berjuang membuatku senang, tetapi aku mulai takut jika aku serius seperti kemarin, apa aku akan jatuh lagi.

benar, momen jatuh itu membuat diriku takut menjadi lebih serius. tidak ada alasan untuk serius. Tidak ada alasan untuk berjuang jika akhirnya seperti tadi, bahkan jika takdir sudah ditentukan akhirnya hanya bisa menerima itu.

"Jangan melamun terus, bakal kuliah dimana?"

"Bareng aja yuk."

kembali menjadi yang biasa dan hanya mengikuti cukup untuk diriku. tentu semua akan ada akibatnya ketika memilih.

semakin aku menjalani hidup dengan atas nama terserah nanti, malah membuat diriku tidak bisa mendapatkan kesenangan, atau emosi hidup. bahkan terasa sangat kelabu, tidak ada cahaya yang bisa menjadi senyuman, tangisan, bahkan tawa.

Bahkan sebuah senang, tawa dan senyuman dari sebuah film hanya bisa menjadi alasan untuk tidak bisa kabur dari kenyataan kelabu ini. Aku merasa iri ketika melihat orang tuaku bahagia melihat diriku lulus, temanku tersenyum lebar ketika mulai membuka kafe, bahkan diriku sampai iri melihat sahabat futsalku menangis karena kalah.

Aku ingin momen hidupku lebih berwarna. Alasan ketakutan membuatku tidak bisa usaha, tetapi ketika tidak berusaha malah membuat diriku makin gelap. semua yang kulakukan hanya repetitif yang menyebalkan, aku ingin sebuah momen indah juga.

"Hei, kamu suka banget sama pedang yah?"

"Begitulah, bentuknya unik, bahkan jika digerakan terlihat indah."

"Kenapa gak coba beli juga, walau cuma replika. kau bosan juga bisa dipajang di kafe. mumpung temanya otaku dan wibu, apalagi lagi rame tema isekai."

"Benar juga."

Alasan sederhana itu, benar-benar menjadi jembatan kecil untuk sedikit mengubah hidupku. walaupun alasannya hanya karena teman, tapi akhirnya aku mencoba memaksakan diri untuk membeli pedang replika.

Gaji dari kerja di kafe memang agak rendah, tapi jika menabung akan bisa. Dulu yang aku hanya menabung, jika ada apa-apa. sekarang aku menabung memiliki tujuan lain, aku ingin pedang replika tersebut. Bahkan yang paling bagus adalah hal baik.

Aku menabung, untuk membeli pedang tersebut. Aku mulai menggunakan kemampuan menghitung, berusaha menahan lapar, mengatur segala kehidupan lebih baik agar bisa mendapatkan pedang itu.

Ketika membeli pedang Replika di toko tersebut, disanalah aku sadar momen bahagia yang sama ketika memenangkan kebahagian kejuaraan futsal saat SMA. Walaupun sedikit lebih sederhana, tapi ini adalah yang disebut bahagia karena usaha.

.

.

.

"Tapi akhirnya aku malah mati ditabrak Truk."

Mungkin itu kisah hidupku yang membuat alasanku ingin ada mimpi, walaupun itu hanya sebuah alasan kecil ku sekarang.

Sialan pedang keluarga ini beneran keren, aku mau itu. Kenapa ayah disini jauh lebih ketat daripada di duniaku dulu.