Bunyi peraduan besi terdengar keras dari arah dapur di sudut belakang salah satu restoran makan paling ramai di ibukota Joseon, bersaing dengan kerasnya suara obrolan dari berbagai pengunjung yang datang di tengah siang yang lumayan terik itu. Kepulan asap dan aroma dari masakan yang mengepul dari dalam berbaur rata mengundang siapapun yang kebetulan lewat untuk singgah mengisi perut. Sepasang suami istri pemilik restoran tersebut lalu lalang dari dalam dan keluar dapur, mengantarkan makanan yang sudah siap saji, hasil racikan dari seorang pria muda yang tengah sibuk dengan alat-alat dapurnya. Sementara sang istri pemilik restoran fokus mengantarkan makanan, suaminya menjadi asisten di dapur dan beberapa kali melayani tamu jika pesanan menumpuk. Di sela hiruk pikuk kunjungan restoran yang seperti tidak ada hentinya, putri pemilik tempat itu yang sebenarnya ditugaskan menjaga bagian kasir menyelonong masuk ke dalam dapur dan langsung disambut ayahnya dengan omelan.
"Hei, siapa yang jaga bagian kasir kalau kau datang kemari? Bagaimana kalau ada pembeli yang tidak bayar?" Bentak sang ayah hampir melayangkan sendok kayu yang kebetulan sedang ia pegang.
Karena sudah cukup terbiasa dengan gerakan maut tersebut, putrinya itu berhasil menghindar dan menginsyaratkan ayahnya agar diam sebentar, "Tunggu dulu, Ayah. Aku kesini untuk memberitahu sesuatu. Ada seseorang dari uigeumbu yang ingin bertemu dengan orabeoni."
Sejurus dengan perkataan itu, si pemilik restoran segera melirik ke arah koki yang dipanggil dengan sebutan 'kakak' oleh putrinya. Orang yang dimaksud sekarang sedang mematung dengan salah satu tangannya yang sedang mengambang di udara memegang pisau pemotong daging. Pemilik restoran tahu betul ada hubungan buruk apa antara juru masaknya tersebut dan badan peradilan uigeumbu, oleh karena itu ia ingin memastikan kembali apakah kokinya itu benar-benar ingin menemui 'tamu'nya atau tidak.
"Sung Hoon-ah, kalau kau tidak ingin menemuinya aku bisa bilang kepada orang itu untuk pergi." Ujar si pemilik restoran. Lagipula kedatangan 'setan merah' ke dalam restoran yang sedang ramai ini hanya akan membawa desas-desus tidak enak.
Pria yang dipanggil dengan nama Sung Hoon tersebut menurunkan pisau daging dari tangannya dan menatap ke arah pria tua yang berdiri tak jauh di belakangnya itu dengan tenang dan tanpa ekspresi. "Tidak perlu, Paman. Aku akan menemui orang itu langsung. Bisa tolong gantikan memasak pesanan meja nomor 15 sebentar?"
Pemilik restoran hanya bisa mengikuti kemauan Sung Hoon yang segera meminta putrinya untuk mengantar ke meja orang yang ingin menemuinya di lantai dua. Pria tua itu hanya berharap bahwa kedatangan petugas dari uigeumbu tidak akan membawa masalah baik bagi Sung Hoon maupun restorannya. Badan peradilan uigeumbu sendiri merupakan lembaga yang biasanya menangani kasus-kasus berat seperti tindakan makar. Di era pemerintahan sekarang yang dipimpin oleh Raja yang terkenal kejam dengan segala kecintaannya yang berlebihan terhadap barang seni, badan yang satu ini jadi lumayan aktif menangkap siapa saja yang menentang kehendak Raja dan tak jarang main hukum tanpa bukti yang kuat. Itulah mengapa kebanyakan orang menghindari berurusan dengan lembaga yang anggotanya menggunakan seragam militer berwarna merah hitam hingga mendapat julukan 'setan merah'.
Saat baru saja ingin menaiki tangga untuk ke lantai dua, bisik-bisik dari pengunjung terdengar ke telinga Sung Hoon. Kebanyakan dari mereka penasaran ada tujuan apa petugas dari uigeumbu datang jauh-jauh ke restoran ini. Karena tidak ingin muncul rumor buruk mengenai restoran tempatnya bekerja, Sung Hoon mempercepat langkahnya menaiki tangga. Sesampainya di atas, matanya langsung menangkap sosok seorang pria berbalut pakaian militer dengan punggung lebar dan tetap terlihat tinggi, lumayan mencolok meskipun sedang duduk di bangku di sudut yang agak tersembunyi, nampaknya sengaja tidak ingin menarik perhatian lebih banyak orang.
"Permisi, dosa-nim? Ini koki kami yang mau anda temui" Tegur putri pemilik restoran yang sudah duluan berdiri di samping pria itu, memperkenalkan Sung Hoon pada orang yang sekarang sedang menoleh ke arahnya lalu tersenyum canggung.
Pria itu beranjak dari duduknya seraya berkata, "Sung Hoon-ssi, ada sesuatu yang ingin ku sampaikan padamu. Boleh duduk bersama di sini sebentar?" Tunjuknya ke arah bangku kosong di seberangnya, masih dengan senyum yang belum lepas dari bibirnya.
Putri pemilik restoran melirik ke arah Sung Hoon seolah berkata bahwa pria itu sepertinya tidak memiliki maksud buruk. Sung Hoon pun menepuk bahu gadis tersebut dan segera duduk ke tempat yang dimaksud, hingga menyisakan dirinya dan pria yangban di hadapannya.
"Oh ya, sebelumnya aku ingin memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Cho Jae Heon." Ujar pria itu yang menyebut dirinya dengan nama Jae Heon yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Sung Hoon. Menilai dari wajah, kelihatannya pria bernama Jae Heon tersebut merupakan petugas baru dan bukan salah seorang yang terlibat dalam kejadian delapan tahun lalu. Sung Hoon sempat memicingkan matanya karena menyadari ada sesuatu yang aneh.
"Aku sudah mencicipi masakan di sini dan rasanya sungguh luar biasa. Wajar saja jika tempat ini selalu ramai pengunjung." Ujarnya berbasa-basi merujuk pada hidangan yang ia pesan sebelumnya di atas meja, semangkuk galbitang ukuran besar yang menjadi makanan unggulan di restoran ini dengan beberapa makanan pendamping yang lumayan banyak, mungkin sekalian sebagai bagian dari makan siang.
"Terimakasih atas pujiannya, tapi jika anda hanya ingin berbicara mengenai masakan disini, saya khawatir harus kembali sekarang, saya sedang benar-benar sibuk saat ini." Balas Sung Hoon dengan datar namun tetap menjaga etika bicaranya. Ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa mengenai ekspresinya yang memang selalu seperti itu sejak lama.
"Tunggu! Sebentar saja. Ada sesuatu yang ingin ku tunjukkan padamu." Jae Heon merogoh kantong di saku bagian dalam tangannya dan menyodorkan sebuah benda ke dekat Sung Hoon.
Sung Hoon mengangkat benda yang tak asing itu dan terkejut setelahnya. Sebuah binyeo yang terbuat dari jade hijau dengan ukiran bunga nancho yang sangat ia kenali, serta guratan dan pola material yang masih sangat membekas dalam ingatannya.
Sung Hoon menyentuh tekstur familiar dari binyeo tersebut. Ada rasa rindu dan marah di dalam matanya yang langsung ditangkap oleh pandangan Jae Heon. Pria itu menghela nafasnya sebelum menceritakan alasan mengapa benda itu bisa ada padanya, "Sebulan yang lalu, aku baru kembali dari Tiongkok untuk menghadiri pesta pernikahan ayahku dengan seorang wanita Joseon yang kebetulan adalah pekerja di serikat dagang miliknya. Wanita yang sekarang menjadi ibuku itu bilang padaku bahwa ia memiliki seorang putra di Joseon yang sudah berpisah dengannya lebih dari 10 tahun. Ia menyampaikan permintaan padaku untuk membawa putranya itu untuk tinggal bersama." Ujar Jae Heon yang langsung memperoleh sorotan tajam dari pria di hadapannya.
"Maaf tapi saya rasa anda salah orang, saya tidak tahu apa-apa mengenai benda ini." Ucap Sung Hoon singkat dan dingin sembari menaruh kembali binyeo itu ke atas meja dan bangkit dari duduknya. Ia berniat pergi karena tidak senang dengan arah pembicaraan itu sekarang.
"Sung Hoon, tunggu!" Jae Heon ikut berdiri dan meraih lengan Sung Hoon untuk mencegahnya pergi.
"Kau ingin masuk ke dohwaseo kan?" Tanya Jae Heon yang seketika berhasil membuat Sung Hoon mematung di sana.
"Kau ingin masuk ke sana kan?" Ulang Jae Heon dengan lebih lembut. "Maafkan aku sebelumnya karena telah melakukan pengecekan latar belakang mu, tapi aku sangat yakin kalau kau adalah putra yang ia maksud karena wajahmu sangat mirip dengannya. Selain itu saat kau melihat binyeo itu..."
"Jika, kau tinggal bersamaku, aku bisa membantumu untuk bergabung ke dohwaseo. Ku dengar kau sangat berbakat dalam melukis, tapi akademi tidak menerima orang yang bukan berasal dari keluarga yangban." Kalimat terakhir Jae Heon kembali mendapat sorotan tajam dari Sung Hoon. Pria itu langsung menyadari bahwa ucapannya barusan terdengar menyinggung, "Ma-maksudku, ini bisa jadi kesempatanmu untuk bergabung ke sana."
Jae Heon merenggangkan tangannya dari lengan Sung Hoon karena merasa kalau ia sedikit melewati batas. "Ku mohon, pikirkan kembali tawaran ini. Tidak ada tuntutan apapun selain memintamu tinggal bersamaku dan aku akan menjamin semua yang kau perlukan."
Sung Hoon terdiam. Dohwaseo merupakan lembaga bagi pekerja seni di Joseon yang bekerja secara khusus untuk keluarga kerajaan, apalagi dua tahun ke belakang cakupan urusannya diperluas karena minat Raja yang besar terhadap kesenian, selain itu, tempat tersebut merupakan tempat di mana ayahnya pernah bekerja dulu. Namun, melihat persyaratan yang hanya membolehkan orang dari keluarga yangban sajalah yang boleh mendaftar membuat keinginan Sung Hoon pupus. Semenjak kejadian 8 tahun lalu, ia membuang nama depannya dan kehilangan status sosialnya.
Pria itu terdiam agak lama dengan ekspresi yang sulit ditebak oleh Jae Heon. Sedetik kemudian, pria itu kembali membuka suara, "Terlepas dari permintaan konyol itu, saya tidak mengerti, apa alasan anda yang sebenarnya menginginkan orang asing untuk tinggal bersama?" Tanya Sung Hoon tanpa menatap ke arah Jae Heon. Bagaimanapun jika ia menerima tawaran itu, artinya mereka berdua akan menjadi kakak dan adik. Bukankah dari ucapan Jae Heon tadi, hanya ada keuntungan untuk pihak Sung Hoon saja? Selain itu, Sung Hoon juga penasaran sejauh mana Jae Heon mengetahui tentang dirinya atau sebanyak apa yang ibunya ceritakan mengenainya.
Jae Heon yang gantian terdiam sejenak dan sekarang benar-benar melepas tangannya dari lengan Sung Hoon. Pria itu juga menghindari kontak mata dengannya. "A-aku... aku akan mengatakannya suatu saat. Maksudku akan ku ceritakan alasannya nanti, bukan sekarang."
"Selain karena ini adalah permintaan orang tua kita, aku juga setuju untuk melakukan ini dan tidak ada niatan buruk apapun di dalamnya." Lanjutnya.
"Mohon pertimbangkan kembali. Aku akan menemuimu lagi besok untuk mendengar jawabannya."
Selesai, tidak ada alasan lagi bagi Sung Hoon untuk berlama-lama di sana karena dadanya sekarang terasa ingin meledak. Pria itu buru-buru berjalan pergi menuruni tangga untuk kembali ke dapur, meninggalkan Jae Heon sendirian yang kembali duduk menatap ke arah hidangan di atas sana, ia jadi kehilangan selera makan karena usahanya yang tidak berjalan lancar.
Sesampainya di dalam, Sung Hoon langsung menumbuk bumbu yang ditinggal di atas meja oleh pemilik restoran yang saat itu tengah mencari sesuatu di rak bahan masakan dengan label tulisan yang menjelaskan bahan-bahan apa saja yang ada di dalamnya. Pria paruh baya itupun langsung terheran karena kedatangan tiba-tiba Sung Hoon yang mendadak dingin tak seperti sebelumnya. Pria itu memang selalu bersikap dingin, tapi yang kali ini jelas karena terjadi sesuatu dengan pertemuannya barusan.
Karena sudah paham bagaimana karakter orang yang bekerja dengannya sejak dua tahun lalu, pemilik restoran tidak menanyakan perihal yang membuat Sung Hoon bersikap seperti itu dan berpura-pura seolah tidak menyadari apa-apa. Ia yakin anak itu akan bercerita saat ada waktunya. "Sung Hoon-ah, setelah menumbuk itu, lanjutkan pesanan sup ayamnya lalu hidangkan untuk tiga porsi ya." Ujar pria pemilik restoran sembari mengelus pundak Sung Hoon seraya mengerjakan pekerjaan lain.
Setelahnya, semua orang bersikap biasa saja dan kembali disibukkan dengan pekerjaan hingga menjelang penutupan restoran di sore hari. Ditemani cahaya matahari sore yang kian temaram, mereka berempat membersihkan dapur dan meja-meja tamu untuk menutup hari itu. Sung Hoon kebagian tugas membersihkan meja-meja di lantai dua, namun kelihatannya pria itu sedikit kehilangan fokus karena masih memikirkan obrolan tadi siang.
"Sung Hoon-ah." Pemilik restoran menepuk pundak Sung Hoon dari belakang dengan pelan, namun sukses membuat pria itu terkejut. Saat dilihatnya, istri pemilik restoran dan putrinya juga sudah berada di sana.
"Aku sebenarnya tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman karena menanyakan ini, tapi sepertinya orang yang menemuimu tadi siang mengatakan sesuatu yang membuatmu terus-terusan memikirkannya. Apakah, kami boleh mengetahui apa yang kalian bicarakan tadi?" Tanya pemilik restoran dengan hati-hati. Ia tidak ingin terlalu ikut campur dengan urusan Sung Hoon karena ia tahu kalau pria itu cenderung tertutup.
"Tidak masalah. Aku juga berniat untuk menceritakannya pada kalian." Jawab Sung Hoon setelah baru menyadari kekhawatiran di mata orang-orang itu. Bagaimanapun, ia sudah menganggap mereka semua adalah keluarganya sendiri.
"Pria itu membicarakan mengenai ibuku." Lanjut Sung Hoon membuka ceritanya dan langsung membuat orang-orang di sana terkejut. Seingat mereka dari apa yang pernah Sung Hoon ceritakan, kedua orang tuanya bercerai saat ia berusia 7 tahun dan ibunya menghilang tanpa kabar setelahnya.
"Pria itu bilang, kalau ibuku menikah dengan ayahnya di Tiongkok beberapa waktu lalu dan dia meminta ku untuk tinggal bersamanya."
"Kalau ibu kandung orabeoni, dan ayah pria itu menikah, itu berarti kalian menjadi kakak dan adik, benar begitu?" Timpal putri pemilik restoran yang kembali dibalas dengan anggukan.
"Lalu apa kau menyetujuinya? Dia seorang pejabat uigeumbu. Bukankah kau pernah mengatakan bahwa ayahmu ditangkap secara paksa oleh mereka?" Tanya pemilik restoran khawatir.
"Aku sebenarnya tidak peduli dengan permintaan itu, tapi pria itu bilang kalau aku tinggal bersamanya, aku bisa mendaftar ke dohwaseo." Jawab Sung Hoon.
Pemilik restoran dan istrinya saling pandang penuh arti. Mereka tahu betul seberapa berbakatnya Sung Hoon dalam melukis dan impiannya untuk masuk ke akademi itu.
"Sung Hoon-ah, kau pernah bilang bahwa kau sangat ingin bergabung ke sana kan? Sejujurnya kalau kami pikir, tawaran itu adalah sesuatu yang bagus untukmu. Jika, kau tinggal bersama dengan orang itu, ku rasa kehidupanmu akan jauh lebih terjamin dan kau tidak perlu lagi selamanya terkurung di dalam dapur dan menyia-nyiakan bakat yang kau miliki."
Sung Hoon menatap ketiga orang di hadapannya dengan sedih. Kalau ia setuju dengan tawaran tersebut itu artinya ia tidak akan bisa lagi bekerja di restoran ini dan akan sulit bertemu dengan mereka.
"Aku tahu kau mengkhawatirkan kami di sini. Aku tahu kau juga sangat berbakat dalam memasak sampai aku sendiri bahkan tidak bisa menyaingi masakanmu. Tapi, kita semua di sini jauh lebih tahu kalau bakatmu yang sebenarnya adalah melukis, sama seperti ayah kandungmu."
"Sebelum kau ikut membantu kami di dapur, tempat ini bahkan bisa berjalan seperti biasanya tanpa dirimu jadi jangan khawatir. Kau tidak perlu lagi selamanya berada di dalam dapur, Sung Hoon-ah." Lanjut pemilik restoran dengan mata berkaca-kaca.
Sung Hoon terhenyak oleh sikap keluarga pemilik restoran yang benar-benar peduli padanya meskipun ia bukan lah siapa-siapa dan hanya pekerja di sana. Kalau di ingat-ingat lagi, hanya keluarga kecil itulah yang mau menerimanya, memberinya pekerjaan dan tempat tinggal dan menganggapnya sebagai bagian dari mereka di saat Sung Hoon hidup di jalan dan tidak memiliki tujuan yang pasti. Pria itu tersenyum kecil seraya berkata, "Terimakasih semua."
Ketiga orang di hadapan Sung Hoon tersebut tiba-tiba terisak dan berebutan memeluknya seraya berkata, "Kami belum pernah melihatmu tersenyum seperti ini" yang kemudian hanya disambut tawa oleh Sung Hoon.
"Lihat bahkan dia bisa tertawa." Ujar putri pemilik restoran di sela tangisannya yang paling keras.
"Pikirkanlah kembali tawarannya dan ikuti apa kata hatimu. Kami di sini akan tetap mendukung apapun keputusanmu."
Sung Hoon mengangguk. Sore yang hangat itu ditutup oleh suara tangis haru bersahutan dari lantai atas restoran, sukses membuat orang-orang yang kebetulan lewat di depan sana menengok ke arah atas karena penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
.oOo.
Sung Hoon sedang membereskan beberapa barang miliknya yang tidak terlalu banyak ke dalam tas kain kusam yang sudah ia simpan sejak lama, cukup untuk membawa beberapa setel pakaian miliknya serta alat-alat lukis milik ayahnya. Pria itu membuka salah satu laci dan mengambil sebuah kotak kayu kecil dari sana. Ia membawanya mendekat ke arah lilin yang ada di atas meja dan menyapu lembut bagian penutup kotak kayu yang diukir dengan pola bunga nancho, sama seperti pola yang ada pada binyeo yang diperlihatkan padanya tadi siang. Sung Hoon membuka penutup kotak itu dan mengambil benda yang ada di dalamnya, sebuah kuas lukis dari kayu dan bulu kelinci yang kelihatan biasa saja.
"Selamat ulang tahun, Hoon-ah!"
Terngiang kembali dalam kepalanya suara seorang pria yang sangat ia rindukan. Kuas itu adalah hadiah dari ayahnya saat ia berusia 8 tahun. Setelah perceraian kedua orang tuanya setahun sebelumnya, Sung Hoon tinggal bersama ayahnya dan sering ikut kemanapun ayahnya pergi. Sang ayah sering membawanya ke pegunungan, pantai, hutan, sungai, dan tempat-tempat lain untuk melukis. Karena ia sering kali melihat kegiatan ayahnya, Sung Hoon jadi ikut tertarik dan mulai belajar melukis. Hadiah itu adalah hadiah ulang tahun untuknya setelah Sung Hoon berhasil menggambar lukisan pertamanya, gambar burung pipit yang sedang hinggap di atas dahan pohon.
Sung Hoon mengenang kembali masa-masa itu. Ia benar-benar rindu.
Kuas tadi kembali ia masukkan ke dalam kotaknya kemudian ia taruh ke dalam tas. Sung Hoon kembali merogoh sesuatu dari dalam laci tadi yang tersimpan agak dalam di bagian ujungnya. Ia mengambil sebuah benda dari kayu berbentuk silinder yang saat ia cabut penutupnya ternyata merupakan sebuah belati kecil.
Ia teringat lagi mengenai kejadian setelah penangkapan ayahnya 8 tahun lalu. Saat itu, ia masih berusia 10 tahun dan harus kabur tanpa tujuan. Sebelum ayahnya ditangkap, Sung Hoon dititipkan pada rombongan pedagang kenalan ayahnya yang kemudian membawanya ke pelabuhan di wilayah pesisir barat. Karena ia mendengar bahwa dirinya akan dibawa ke Tiongkok, Sung Hoon memilih lari dari rombongan itu karena ia tidak mau pergi dari tanah kelahirannya. Setelah kehilangan kontak dengan orang-orang yang membawanya tersebut, Sung Hoon mulai bertahan hidup sendiri dengan berkeliling di sekitar pelabuhan. Untuk urusan makan, kadang ada beberapa orang baik yang membantunya, kadang ia membantu orang dan mendapat upah, atau kadang ia pergi ke area hutan untuk mencari makan di sana.
Di wilayah pelabuhan sana, ada kelompok gelandangan yang menetap di wilayah kumuh tak jauh dari pesisir. Pemimpin kelompok yang kebetulan menemukan Sung Hoon mengajak anak itu untuk bergabung dan tinggal bersama mereka, dengan gantinya ia harus bekerja untuk kelompok tersebut, entah pekerjaan kasar di pelabuhan atau disuruh meminta-minta ke orang-orang yang baru turun dari kapal. Di antara kelompok tersebut ada beberapa anak yang tidak memiliki orang tua seperti dirinya. Namun, karena Sung Hoon adalah orang baru, keberadaannya tidak diterima dengan baik oleh teman-teman dan beberapa orang di tempat itu. Ia kerap kali menjadi bahan rundungan, tak jarang ia kembali dengan kondisi badan yang terluka karena perlakuan kasar orang-orang.
Pernah ada insiden di mana ia tidak sengaja menabrak seorang yangban saat sedang dikejar teman-temannya untuk dipukuli. Orang yang Sung Hoon tabrak secara tidak sengaja itu memarahinya dan memukul anak itu di tempat, disaksikan beramai-ramai oleh orang-orang yang ada di pasar. Saat kesadaran Sung Hoon hampir hilang akibat dipukuli, seseorang dari kerumunan menerobos tempat kejadian dan melindunginya. Yang Sung Hoon ingat setelah itu, orang tersebut berhasil meyakinkan orang yang ia tabrak untuk memaafkannya lalu membawa Sung Hoon ke tempat lain.
Sung Hoon kecil di ajak duduk di sudut tempat dekat tebing yang mengarah ke laut untuk diobati lukanya. Sung Hoon tidak ingat wajah orang itu, ia hanya ingat bahwa orang yang menolongnya adalah seorang pria muda yang mungkin berusia sekitar 19 tahun memakai pakaian khas seorang yangban. Pria itulah yang memberikannya belati kayu yang sekarang ia pegang, katanya sebagai jaga-jaga kalau ada orang yang berniat jahat padanya.
Sung Hoon tidak banyak mengingat mengenai orang itu, wajahnya, kalimat yang dia ucapkan. Ia hanya mengingat satu hal yang tidak pernah bisa ia lupakan.
Pria itu mengeluarkan cahaya berwarna kuning keemasan dari dalam dirinya.
Satu hal yang selama ini jarang Sung Hoon ceritakan ke orang lain adalah fakta bahwa ia sebenarnya buta warna. Baginya, dunia hanyalah hitam dan putih saja. Namun semenjak perceraian kedua orang tuanya dan ibunya yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar lagi, Sung Hoon mulai melihat warna keluar dari orang-orang di sekitarnya. Awalnya ia tidak tahu apa-apa mengenai hal itu, namun lama kelamaan ia menyadari bahwa setiap orang rata-rata memiliki warna yang berbeda-beda tergantung dari karakter dan sifat orang tersebut. Ayahnya misal, memiliki warna biru terang yang membuat Sung Hoon selalu merasa tenang setiap kali berada di dekatnya, mirip seperti perasaan yang Sung Hoon rasakan saat menatap ke arah langit ataupun lautan yang luas.
Berbicara soal kemampuannya, Sung Hoon kembali teringat pertemuan dengan Cho Jae Heon siang tadi. Saat pertama kali melihatnya, Sung Hoon menyadari ada hal yang aneh pada orang tersebut.
Pria itu, Cho Jae Heon, tidak mengeluarkan warna apapun.