Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Rain: A Journey Towards The End

LuminaryStar
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.1k
Views
Synopsis
Kisah bercampur antara cinta, hikmah, dan tragedi mengalir bak air dari mata air imajinasi. Di tengah kemilau romansa, pelajaran hidup yang dalam, dan tragedi yang merentang, dunia ini menjadi panggung di mana hati dan jiwa menari dalam tarian takdir yang tak terduga. Ini adalah perjalanan yang akan menguji emosi dan meretas jalan menuju keabadian, di dalam dan di luar halaman.
VIEW MORE

Chapter 1 - Cahaya Bulan Yang Menembus

"Dimana ini...? Begitu gelap dan mencekam, terlebih lagi disini sangat dingin... "

"Aku takut... Seseorang... Kumohon, kumohon dengarlah suaraku..."

Aku mencoba bangkit dari lantai yang dingin, dan melihat kakiku terikat sesuatu. "Apa ini...?" Ucapku pelan.

Aku memperhatikan tali yang mengikat kakiku, talinya tampak tidak begitu kuat, tapi mengapa aku tidak bisa melepaskan nya?

Aku mendengar suara langkah kaki, langkahnya pelan dan terkadang suara langkahnya terhenti. Selain itu, aku juga mendengar teriakan setiap langkah kaki itu berhenti.

Langkah itu terdengar semakin mendekat, dan mungkin berhenti didepan pintu ruangan tempat ku berada.

Lalu, aku mendengar suara rogohan kunci. Dan setelahnya, pintu terbuka. Pintu itu terbuka, tapi aku tidak melihat sesuatu.

Aku bingung sekaligus takut. "Apa? Kenapa pintunya terbuka... Kenapa tidak ada orang?"

Kemudian aku merasakan tali di kakiku ditarik hingga tali itu terlepas. "S-siapa.. disana? T-tolong jangan bermain dengan rasa takutku."

"Rain..." Suara yang lembut dan hangat memanggilku dari balik pintu ruangan.

Aku berdiri dari lantai dingin ini, dan berjalan menuju pintu. Hawa dingin menyentuh wajah, dan suara tetesan air terdengar.

"Rain..." Suara itu memanggilku lagi, kali ini terdengar dari arah kanan ruangan.

Apa aku harus mengikuti suara itu...? Ya, sepertinya aku harus mengikutinya...

Aku berjalan ke arah kanan, mengikuti suara yang memanggilku. Aku berharap itu adalah suara dari manusia, bukan suara dari mimic...

Aku sampai di ujung ruangan, aku melihat tubuh seseorang yang dipenuhi dengan tombak berada di perut nya. "D-dia sudah mati...??" Ucapku sambil melangkah mendekat.

Aku melihat tubuhnya, begitu ramping dan dipenuhi dengan darah. Aku mengira dia sudah mati, tapi aku bisa mendengar detak jantungnya. "A-anu... A-apa kamu baik-baik saja..?" Ucapku dan memegang tangannya.

Tiba-tiba dia menatapku. "A-ah... K-kamu bukan manusia..." ucapku sambil menarik tanganku dan perlahan menjauh karena dihadapan ku adalah Mimic.

Mimic itu tersenyum, menunjukkan gigi-gigi nya yang tajam dan rahangnya yang lebar... "Rain, a-akh-irn-ya, ki-ta, bertemu." Ucapnya dengan suara yang sama dengan suara yang memanggilku, namun suara ini terdengar lebih mengerikan.

Aku mundur perlahan-lahan, mencoba menjaga ketenangan ku. 

"Ra-in... Jang-an ting-galk-an ak-u. H-hehe-he." Mimic itu berdiri dan mencoba menangkap ku.

Aku berlari secepat mungkin, mencari jalan keluar dari ruangan ini. Mimic itu terus mengikutiku, mengeluarkan suara-suara aneh dan menakutkan.

"Rain... Rain... Rain..." Mimic itu memanggilku dengan suara yang berubah-ubah. Kadang suaranya lembut dan hangat, kadang suaranya kasar dan dingin.

Aku tidak tahu apa yang diinginkan mimic itu dariku. Apakah dia ingin membunuhku? Apakah dia ingin memakanku? Atau apakah dia ingin sesuatu yang lebih buruk?

Aku tidak mau tahu. Aku hanya ingin keluar dari sini. Aku hanya ingin hidup...

Aku menemukan sebuah pintu di sebelah kiri ruangan. Aku berharap itu adalah pintu keluar. Aku bergegas menuju pintu itu, berdoa agar tidak terkunci.

Aku mencoba membuka pintu itu, tapi ternyata pintu itu terkunci rapat. Aku merasa putus asa. Aku menoleh ke belakang, dan melihat mimic itu sudah mendekat.

"Ra-in... Akh-irnya k-ita bis-a be-rs-ama..." Mimic itu berkata sambil membuka mulutnya lebar-lebar.

Aku merasa ngeri. Aku mencari sesuatu yang bisa aku gunakan untuk melawan mimic itu. Aku melihat sebuah granat yang ntah bagaimana bisa berada didekatku.

Aku melempar granat itu kedalam mulut Mimic yang terbuka lebar. Granat itu meledak didalam tubuh Mimic.

Mimic itu meraung kesakitan, hanya menyisakan bagian mulutnya. "Ra-in... Ken-apa k-amu me-luka-i ku..." Kata-kata terakhir Mimic sebelum menghilang menjadi debu.

Setelah tubuh Mimic itu menjadi debu, aku melihat sesuatu terjatuh di sekitar debu itu. Itu adalah lidah Mimic. "L-lidah? T-tapi kenapa? Ah... Aku tau..."

Aku mengambil lidah itu, menjijikan, begitu lengket dan melekat. Lalu aku memasukkan lidah itu kedalam lubang kunci pintu dengan paksa.

Beberapa saat kemudian, besi-besi di lubang kunci perlahan meleleh. Itu karena sifat dari lidah Mimic yang bisa melelehkan besi.

Aku mendorong pintu itu, dan melihat pemandangan hutan yang luas... "B-bebas... Yeyy!"

Aku merasakan angin segar dan hangatnya cahaya matahari. Aku tidak mau berlama-lama ditempat ini, jadi aku memutuskan untuk berjalan mengikuti jalan bebatuan.

Beberapa jam kemudian, aku melihat sebuah kota. Ada menara jam dan beberapa paus terbang yang digunakan sebagai transportasi udara. "Aku sampai di kota Virthelda seperti nya..."