Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Take a Chance

🇮🇩Serein_
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.1k
Views
Synopsis
Hadiah termanisku adalah bertemu denganmu, membuat kenangan indah bersamamu dan menghabiskan waktu bersamamu, namun akankah cerita kita berjalan indah seperti yang kita harapkan atau hanya aku saja yang berharap seperti itu. Mawar kuning itu menjadi simbol perjalanan kita dan aku harap itu menjadi memori yang berharga bagi kita. - WARNING TYPO BERTEBARAN - BAHASA BAKU NON BAKU - CC COVER FROM CANVA - ENJOYY YOUR READING
VIEW MORE

Chapter 1 - Before

Saat ini pukul 3 dini hari aku terbangun karena mimpi itu, aku kembali memimpikannya dan mimpi ini terasa lebih nyata dari yang lain. Entah kenapa rasa itu kembali ada padahal aku sudah mencoba untuk melupakannya. Namun, rasa itu kembali muncul, rasa sedih dan rindu bercampur menjadi satu. Sial, rasanya ingin menangis saja mana ini masih jam 3 aku hanya punya waktu 2 jam untuk kembali tidur sebelum aku harus benar-benar bangun untuk kelas pagi. Tuhan aku sangat benci orang itu, kenapa dia harus datang ke mimpiku kenapa bukan idol-idol korea yang aku suka itu.

Ah.. aku belum memperkenalkan diriku, namaku Laira.aku seorang mahasiswi semester 5 jurusan bahasa inggris yang sedang gila terbantai tugas dan meratapi nasib di jurusan yang aku pilih sendiri. Jika kalian pikir kuliah itu menyenangkan hanya pergi jalan-jalan kemudian lulus, hah..tidak semudah itu kawan, kuliah itu seperti mengendarai sepeda yang terbakar dan berjalan di jalan yang penuh api. Oke..kembali ke cerita ku.

Sekarang sudah pukul 7, terkutuklah mimpi sialan itu aku harus memulai hariku dengan perasaan yang tidak nyaman. Aku harus cepat-cepat berangkat karena kelasku di mulai setengah jam lagi, setelah memastikan barangku tidak ada tertinggal aku langsung bergegas ke parkiran untuk mengeluarkan Mario. Iya Mario...Mario itu motor matic merah kesayanganku omong-omong. Saat hendak mengeluarkan mario sekelebat aku melihat motor yang aku hafal di luar kepala bentuknya. Motor itu seperti milik orang itu, ah tapi motor dengan tipe seperti itu ada banyak tidak mungkin hanya dia saja kan. Aku tidak mau ambil pusing dengan memikirkan orang itu cukup tugas saja yang membuat aku stress tidak perlu di tambah lagi.

Selama perkuliahan berlangsung aku masih saja memikirkannya, entah kenapa aku merasa dia berada di dekatku. 

"Tara." Panggilku. Itu Tara sahabatku dia temanku dari jaman kami masih mahasiswa baru sampai saat ini.

"Apa ?."

"Aku semalam memimpikannya."

"Siapa ?." tanyanya.

"Ish itu loh orang itu yang aku ceritakan padamu."

"Siapa sih?, anak bawah ?."

Fyi, kosanku itu dibagi jadi 2, yaitu kosan cewek diatas sama kosan cowok di bawah. Beda rumah tapi masih 1 lingkup.

"Iya gila masa mimpinya real banget, mana rasanya sedih banget lagi." Jawabku lesu.

"Emang kamu mimpiin gimana ?." tanyanya penasaran.

"Aku mimpi dia datang Ra, dia nemuin aku. Dia datang ke hadapan aku senyum terus dia meluk aku, mana aku nangis di pelukan dia. Pas bangun aku masih nangis."

"Berarti kamu kangen sama dia La." Jawabnya santai.

"Dih emang iya ?."

"Terus kalo nggak kangen apa ?."

"Ya nggak tau lah, padahal aku pengennya Wonwoo apa Mingyu gitu eh kok malah dia."

"Terserah kamu aja lah, denial aja terus."

"Tapi aku ngeliat motor dia di parkiran. Siapa lagi yang punya motor matic item sama stiker mickey di dashboardnya kalo bukan dia. Masa iya anak kosan lain."

"Wah sebegitu sukanya ya sampai hapal ke motornya."

"Engga ya, orang jamet kayak gitu."

"Halah jamet-jamet, orang kamu aja suka kan sama dia." Jawabnya tidak mau kalah.

 "Sial." Aku tidak bisa lagi mendebat Tara kalo soal urusan orang itu, dia pasti dapat menemukan celah untuk membalik perkataanku.

Setelah kelas berakhir aku memutuskan untuk langsung pulang ke kosan menolak ajakan nongkrong dari teman-temanku demi membuktikan apa yang aku lihat tadi pagi. Aku tidak langsung masuk ke dalam kamarku dan memilih duduk di kursi depan halaman kosan yang biasa digunakan anak-anak kosan nongkrong setiap hari. Sudah lama aku tidak duduk disini rasanya tidak ada yang berubah. Sejak hari itu aku enggan menghabiskan waktuku disini dan memilih diam di kamar atau keluar jalan-jalan. Aku tidak mau memori itu menghantuiku, aku memutuskan untuk move on. Kursi yang aku duduki ini menyimpan banyak memori tentangnya, memori yang menyenangkan dan memori yang aku benci.