Seluruh warga sipil yang bertekuk lutut ke arah The Angel. Mereka berdoa dan menyanyikan pujian bersama-sama. Ardent keheranan melihat kejadian tersebut. Ia tidak ingat ajaran yang dibawa Suster Athaelai berisi tentang doa pada mahluk dunia Toram. Ia juga menyimpulkan kalau The Angel sedang lepas kendali akibat kehilangan tuannya. Karena Lucius tidak mati saat The Angel sering digunakan, ia tidak pernah tahu bahwa mereka bisa lepas kendali setelah tuannya mati. Ia memikirkan keselamatan warga yang kemungkinan akan terkena serangan The Angel secara tak sengaja.
Ardent mengarahkan jatuhnya mereka semua ke atap rumah ibadah. Baru saja mendarat, seluruh mata The Angel langsung mengarah pada mereka. Dengan cepat, keempat The Angel menembakan lasernya.
Ardent langsung merespon tembakan tersebut dengan membuat barrier. Yang lainnya langsung berlari dan berkumpul di sebelah Ardent.
"Apa selanjutnya?" tanya Ashborn.
"Tentu saja mengalahkan mereka," jawab Ardent.
Ia melirik ke arah para penduduk yang masih berdoa dan bernyanyi dengan santainya. Mereka seakan tak peduli bahwa ada 4 monster berbahaya yang bisa membunuh mereka kapan saja.
"Sudah seberisik ini loh ..." Ardent semakin heran dengan tindakan para warga yang sangat aneh.
"Papa!" Panggil Fori. "Saat masuk, aku melihat adanya bekas sihir dari 2 lingkaran sihir."
"Jadi?" tanya Ardent.
"Lingkaran sihir aktif dalam ruangan tersebut ada 4, jumlah yang sama dengan The Angel yang ada di hadapan kita. Jika ada 2 lingkaran sihir yang telah hilang, ada kemungkinan bahwa 2 sisanya sudah pergi."
"Apa?! Kemana?" Ardent menjadi panik. Ia bukan takut melawannya, tapi ia takut jika para The Angel sudah mencapai kota dan menghancurkannya lebih dulu saat ia menyusul.
Fori berpikir sebentar. "Saat Papa menyiapkan sihir yang menghancurkan pintu serta pelindungnya, aku menggunakan Concentrate dan tak sengaja mendengar sesuatu."
Concentrate adalah skill lain milik Fori yang cara kerjanya sangat simpel. Ia harus memejamkan mata dan fokus menyelami pikirannya selama beberapa saat untuk mengaktifkannya. Setelah aktif, maka kemampuan seluruh indranya meningkat selama ia masih memejamkan mata. Ia dapat merasakan sesuatu yang bergerak, memperkirakan apa saja yang ada di balik sesuatu, dan bisa mendengar sesuatu yang tidak satu ruangan dengannya. Ia menggunakan Concentrate agar bisa langsung menyerang ketika pintu diledakkan, tapi ia justru mendengar ucapan sang pemuka agama secara tidak sengaja.
"Apa yang kau dengar?" tanya Ardent dengan ekspresi serius.
"Ia mengatakan sesuatu tentang kerajaan Gozen dan Crysta Horde."
Mendengar dua nama itu, Ardent langsung mengetahui bahwa itu adalah tempat dikirimnya The Angel.
"Kalau begitu aku harus cepat!"
Sekali lagi, Ardent melirik ke arah yang warga sipil yang berdoa. Ia juga bisa melihat beberapa biarawan dan biarawati di sekitar area rumah ibadah yang juga sedang berdoa. Perasaan tentang akan ada hal buruk yang akan terjadi mulai terasa, tapi ia tetap bersiap untuk menyerang. Sambil melipat kedua tangannya, ia menatap para The Angel.
"Pulanglah ke dunia Toram."
Matanya tertutup sambil menarik nafas. Setelah beberapa saat, ia membuka kembali matanya sambil menghela nafas.
"Judgement!"
Cahaya dari langit menerangi dan membakar keempat The Angel. Saking panasnya cahaya tersebut, mereka tak bisa memberi serangan balik karena langsung hangus terbakar hingga tak bersisa. Ia tak perlu bersusah payah untuk mengeluarkan sihir yang dahsyat. Abu pembakaran mereka diterbangkan jauh oleh Ardent dengan sihirnya.
"Katanya kuat?" tanya Rikka.
Shiro melipat kakinya dan duduk. "Kuat kalau lawannya hanya kita."
Army tertawa. "Yah, sepertinya ini memang libu-"
Saat tak sengaja menengok ke arah warga sipil, Army melihat pemandangan yang tidak menyenangkan. Para penduduk menatap mereka dengan tatapan kaget, kecewa, dan marah. Para biarawan dan biarawati bahkan menatap mereka dengan penuh ketakutan.
"Hah? Mereka kenapa?" tanya Army.
Ardent menengok dan melihat pemandangan yang sama. "Ah ... Jadi begitu ya."
Salah satu biarawan berdiri dan menunjuk mereka di atap. "ITU MEREKA! SANG PENDOSA TITISAN NERAKA!"
Suara-suara hujatan lainnya ikut menyusul.
"MEREKA MEMBUNUH MALAIKAT TUHAN!"
"IBLIS! IBLIS SUDAH MENAMPAKKAN WAJAHNYA!"
"BUNUH MEREKA!"
"KITA TAK AKAN BERDOSA JIKA MEMBUNUH MEREKA!"
Berbagai cacian dan makian dilontarkan pada mereka. Para warga menganggap bawah The Angel adalah malaikat tuhan. Saat mereka dibakar oleh Ardent, maka mereka menganggap Ardent dan yang lainnya adalah penentang tuhan. Bukannya merasa takut, mereka yang berada di atap justru malah kebingungan. Mereka merasa telah menyelamatkan kota, tapi entah mengapa penduduk meresponnya dengan buruk.
Ashborn mengerutkan keningnya. "Mereka ini sudah gila ya?"
Ardent melihat batu yang memantul setelah dilempar ke arah mereka dan menabrak barrier.
"Otak mereka, sudah tak tertolong."
Tatapan Ardent berubah. Wajahnya seakan kesal sekaligus kasihan terhadap para penduduk. Tangannya mengepal dengan sangat keras. Perasaannya campur aduk. Ia tak tahu harus mengambil pilihan yang mana pada saat itu. Sekali lagi, ia kembali mengingat sesuatu yang pernah ia bicarakan dengan Suster Athaelai.
"Ardent," panggil Suster Athaelai.
Mereka berdua sedang berada di aula utama tempat berdoa. Ardent hanya berdiri di depan pintu masuk dan menunggu Suster Athaelai yang baru saja selesai berdoa.
"Ya, Suster?" jawab Ardent. Ia langsung berjalan menuju Suster Athaelai.
"Duduklah."
Sesuai arahan Suster, Ardent meletakan tongkat sihirnya dan duduk di bangku jemaat tepat di samping sang Suster.
Sambil memejamkan mata, Suster Athaelai menyatukan kepalan tangannya. "Tanpa adanya sosok kuat yang berpegang teguh pada keimanan, akan terjadi sebuah penyimpangan dalam sebuah ajaran."
Ardent hanya diam dan menatap Suster Athaelai.
"Akan tetapi, sosok kuat itu tidak mungkin bisa bertahan selamanya. Ia akan menua dan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Ia hanya bisa menyerahkan segalanya pada penerusnya."
"Suster," panggil Ardent. "Apakah kau takut bahwa ajaran yang kau bawa akan disimpangkan suatu hari nanti?"
Suster Athaelai membuka matanya dan menatap mimbar di depannya. "Tentu saja. Jika aku telah tiada, akan ada banyak celah untuk melakukan hal tersebut. Jika hal tersebut sudah dilakukan, maka sudah terlambat untuk mengembalikannya."
Ardent menyahut, "Mereka yang belum memiliki jalan bisa diberikan sebuah jalan. Tetapi, mereka yang sudah berjalan menyimpang hampir mustahil bisa diluruskan kembali."
Suster Athaelai mengangguk. "Ya. Kau masih mengingat ucapanku waktu itu ternyata."
Ardent tersenyum kecil. "Haha, tentu saja. Aku belajar banyak darimu, Suster."
"Aku akan terus berdoa ..." Suster Athaelai menutup kembali matanya. "Agar kelak manusia tak akan menyimpang dari ajarannya, karena penyimpangan itu sangat mudah terjadi, dan akibatnya jauh lebih mengerikan daripada yang bisa kau bayangkan."
"Jujur saja Suster, Aku tak berani membayangkannya," jawab Ardent.
"Tapi kau bisa mencegahnya."
"Eh?" Ardent menjadi bingung dengan ucapan tersebut.
"Kelak, engkau akan menjadi sosok yang dikenal. Dengan kekuatanmu, kau bisa mencegah terjadinya penyimpangan di dunia ini."
Ardent tertawa lagi. "Haha, mungkin itu benar. Tetapi, jika kau tidak ada lagi di dunia ini, begitupun dengan aku. Kita berdua sama-sama manusia biasa yang tak lepas dari kematian."
Suster Athaelai ikut tertawa. "Kau bisa mengakui kebohongan itu di bilik pengakuan denganku."
Ardent langsung menjadi waspada. Ia belum pernah menceritakan apapun tentang ia yang merupakan mahluk abadi pada seseorang saat itu.
"E-eh? Apa maksudmu Suster Lai?" Ia berpura-pura bodoh agar identitasnya tidak terbongkar lebih jauh.
Suster Athaelai berdiri dan menatapnya sambil tersenyum. "Kau tidak bisa berbohong padaku. Meski sedikit, aku tahu beberapa hal yang kau rahasiakan dari orang lain."
Ardent hanya menatap mata Suster Athaelai tanpa berkata apapun. Ia tidak tahu harus berbuat apa saking terkejutnya ada seseorang yang mengetahui identitasnya. Suster Athaelai berbalik badan dan berjalan menuju ruang bilik pengakuan.
"Aku akan menunggumu disana."
Ardent percaya bahwa Suster Athaelai tidak memiliki maksud apapun. Ia mengajak Ardent untuk membicarakan hal tersebut di bilik pengakuan agar rahasianya tidak didengar oleh orang lain.
Ardent berdiri dan berjalan mengikutinya. "Baiklah, Suster."
Sejak saat itu, Ardent belajar lebih banyak hal tentang pentingnya sebuah kultus sekaligus resikonya. Suster Athaelai menjelaskan bahwa segala penyimpangan terjadi akibat hilangnya sosok kuat yang menjaga pengikutnya dari sebuah penyimpangan. Ketika sosok tersebut sudah tak ada, maka berbagai penyimpangan pasti akan terjadi. Saat itu terjadi, maka tak bisa diketahui lagi mana yang benar dan mana yang salah. Semua yang dibangun susah payah telah hancur dan hampir tidak mungkin diselamatkan.
Suster Athaelai yakin bahwa Ardent dapat menjadi sosok kuat yang ia maksud. Dengan umurnya yang abadi, maka ia akan bisa menjaga sebuah ajaran agar tidak terjadi penyimpangan untuk selamanya. Akan tetapi, Suster Athaelai tidak membicarakan soal Ardent yang menjadi pemimpin sebuah kultus. Ia membicarakan sesuatu yang jangkauannya lebih luas dan tidak terbatas pada bidang kepercayaan. Ia percaya bahwa kelak Ardent akan menjadi seseorang yang bisa menjadi pemersatu dunia, sekaligus menjaga perdamaian di dalamnya.
Sebelum kepergiannya, Suster Athaelai terbaring lemas di kasurnya akibat sakit sambil ditemani oleh Ardent. Senyuman pada wajahnya masih terukir dengan sangat jelas meski ia sedang sakit parah. Setelah memejamkan matanya, ia mengucapkan banyak hal pada Ardent.
"Kehidupanmu itu memiliki arti yang dalam. Hidupmu tidak hanya sebatas bernafas dan menikmati alam. Hanya dirimu yang bisa menyatukan sekaligus menjaga dunia ini dari penyimpangan. Kehidupan harmonis tanpa adanya krisis bukanlah sekedar teori, jika kau telah memutuskan untuk berdiri. Dunia ini membutuhkan dirimu sebagai pembimbing yang sosoknya tak akan semu."
Tiba-tiba, ia batuk parah beberapa kali.
"Suster!" Ardent segera meninggikan bantalnya dan memberikan minum. Ia juga mengambil beberapa obat yang harus diminum oleh Suster Athaelai.
Setelah minum, Suster Athaelai kembali melanjutkan kata-katanya sambil menatap langit-langit ruangan.
"Ardent, kau akan mengalami berbagai cobaan jika berjalan di jalan yang sama denganku. Tetapi, hanya engkau yang bisa melakukannya lebih baik dariku. Meski berharap banyak, aku tidak memaksamu untuk melakukannya. Kau boleh terus berjalan sesuka hatimu dan melupakannya. Aku hanya memberitahu, bahwa kehidupan abadimu itu memiliki sebuah arti. Kau juga adalah bagian dari rencana tuhan dalam dunia ini."
Kalimat itu telah menyentuh bagian terdalam hati Ardent hingga menyadarkannya akan arti dari keberadaannya yang selama ini ia pertanyakan. Kehidupan abadi yang dijalaninya selama ini terasa hampa. Hanya sesekali ia merasa hidup, yaitu ketika bertemu dengan orang-orang seperti Suster Athaelai. Tapi kini, setelah mendengar ucapan Suster Athaelai, sebuah jalan kehidupan baru telah tercipta dan menunggu untuk dilewati olehnya.
"Karena beban berat yang akan dibawa, kau tak perlu terburu-buru untuk melakukannya. Entah 10 atau 1000 tahun lagi, entah cepat atau lambat, persiapkan saja dirimu sebelum yakin untuk menjalaninya."
Suster Athaelai menatap Ardent sambil tersenyum. 'Selain dari itu, hal penting lainnya adalah kebahagiaanmu sendiri. Meski hidup abadi, bukan berarti selamanya kau akan merasa hampa seorang diri. Bersenang-senanglah di dunia ini, Ardent!"
Beberapa hari setelah perbincangan mereka, Suster Athaelai akhirnya pergi untuk selamanya. Tubuhnya tak lagi bisa menahan penyakit yang ia alami. Ardent telahbmelakukan berbagai cara untuk menyembuhkannya, tapi semua itu tidak efektif karena memang usia Suster Athaelai yang sudah tua. Penyakit itu terus datang kembali hingga akhir hidupnya. Setelah kepergian Suster Athaelai, Ardent meninggalkan kota dan belum pernah kembali kesana lagi. Kota itu terus berkembang dengan ajaran yang dibawa oleh Suster Athaelai, dan mereka kemudian menamai kota tersebut sebagai Saint Athaelai. Merekan berkembang hingga akhirnya kota kecil itu menjadi sebuah kerajaan dengan nama yang sama.
Melihat para pengikut ajaran Suster Athaelai yang sudah tidak seperti dulu membuat Ardent marah sekaligus sedih. Ucapannya tentang sebuah penyimpangan benar-benar terjadi setelah kepergiannya. Segala emosi yang bercampur itu membuatnya ragu, tapi ia harus mengambil sebuah keputusan karena ia sudah memutuskan untuk berjalan di jalan yang sama dengan Suster Athaelai.
"Akan kuakhiri disini." Ia berjalan menuju pinggir atap rumah ibadah.
"Eh?" Army menjadi bingung. Ia melihat Ardent berjalan dengan ekspresi yang tidak biasa tanpa berkata-kata. "Apa yang akan kau lakukan Pa?"
Ardent berdiri tegap memperlihatkan dirinya dengan lebih jelas pada para penduduk yang terus melemparinya batu. "Menyelamatkan mereka semua dari penyimpangan."
Melihat tangan Ardent yang seperti hendak mengaktifkan sebuah sihir, Army langsung berlari menghampirinya. "Bagaimana caranya 'menyelamatkan' mereka dengan sihir yang akan kau lakukan itu?!"
"Dengan membebaskan mereka," jawab Ardent.
"Tunggu dulu!" Army menepuk bahu Ardent. "Apa maksudmu dengan membebaskan mereka?"
"Genosida." Ardent menengok ke arah arah Army. "Mereka yang telah rusak pemikirannya tidak akan pernah bisa kembali normal. Jika kita bersatu sekalipun, mereka hanya akan menciptakan kerusuhan akibat kebencian yang tersimpan, terutama setelah kita membunuh sesuatu yang sakral bagi mereka."
Mereka berlima terkejut ketika mendengar kata tersebut keluar langsung dari mulut Ardent. Ia yang sebelumnya sangat menghindari pertumpahan darah tiba-tiba hendak melakukan sebuah genosida. Ardent kembali menatap para warga dengan tatapannya yang mengerikan.
"Ah, Aku tak mengerti!" Army kembali mendekati Ardent.
"Aku tak tahu kenapa kau memutuskan untuk melakukan itu." Ia memutar bahu Ardent hingga memaksanya menatap dirinya. "Tapi seharusnya kau serahkan saja urusan genosida padaku dan Shiro!"
"Eh?" Ardent kebingungan. Ia tidak berpikir akan mendengar ucapan tersebut dari Army. Sihir yang akan ia gunakan sampai gagal pengaktifannya.
"Eh?" Rikka, Ashborn, dan Fori ikut bingung.
Terlalu banyak hal yang terjadi untuk bisa di proses oleh mereka semua disana. Mulut Shiro terbuka secara tidak sadar saking terkejutnya ia setelah namanya ikut disebut oleh Army.
"Eh, Aku?"