Shiro menerjang kumpulan monster yang ketakutan menggunakan Dragonic Charge, dan langsung melanjutkan serangannya dengan Soul Hunter. Para monster yang ketakutan tidak memiliki pilihan, sehingga mereka mulai memaksakan dirinya untuk menyerang, meski tahu bahwa mereka bukanlah tandingan Shiro.
Ia menciptakan jarak antara dirinya dengan para monster setiap kali menggunakan Soul Hunter. Jarak yang tercipta kemudian dimanfaatkan untuk memperpanjang durasi Regret, yaitu skill yang digunakan untuk melampaui batas kemampuan dirinya. Meski terdengar sangat kuat karena mampu meningkatkan kemampuan secara drastis, Regret tidak bisa digunakan oleh sembarang orang. Regret memiliki durasi yang semakin pendek jika terus diaktifkan. Regret hanya akan bertahan selama 11 detik, jika skill itu sudah berada di tingkat maksimal.
Sebelum 11 detik tersebut habis, Shiro harus segera mengaktifkannya lagi untuk mengembalikan durasi menjadi 11 detik. Jika ia gagal dan kehabisan durasi, maka ia bisa mati. Sambil terus menghitung durasinya, ia menyerang para monster menggunakan Dragonic Charge dan Soul Hunter yang memiliki tipe serangan area. Sebagai pengguna tombak, menggunakan Regret untuk melawan kerumunan monster adalah hal menguntungkan jika dibandingkan dengan senjata lain. Infinite Dimension dengan buff Regret yang mengenai banyak monster sekaligus akan memberikannya mana tanpa batas, sehingga ia memiliki jaminan untuk memperpanjang durasi Regret setiap saat. Sisanya hanyalah sampai kapan kesadaran Shiro dapat bertahan dan tetap fokus menghitung durasi Regret.
"5 ... 4 ... 3 ... " Shiro menghitung durasi Regretnya sambil menggunakan Soul Hunter.
"Kembali ke 11!" Ia mengaktifkan Regret kembali. Mengulang hitungannya dari 11, dan melanjutkan serangannya.
Ia menggunakan Chronos Drive dan Infinite Dimension kepada monster besar. Infinite Dimension tersebut membunuh monster-monster kecil disekitar, dan memulihkan kembali seluruh mananya.
"Heh, terimakasih karena telah berkerumun," ucap Shiro sambil mengaktifkan kembali Regret untuk kesekian kalinya.
Sementara itu, Army, Saki, dan Rikka yang telah berlari selama beberapa jam akhirnya tiba di gerbang kota.
"Keadaan darurat!" Rikka berteriak dari jauh kepada para penjaga gerbang.
"Ada apa?!" Para penjaga gerbang mulai berkumpul. Mereka mulai panik melihat kami yang berlari mundur dengan anggota party yang tidak lengkap, dan satu orang yang sudah kelelahan.
Rikka kemudian menjelaskan apa yang terjadi di dalam hutan kepada para penjaga. Ia meminta mereka untuk memasukan kota kedalam mode darurat monster.
"Nyalakan peringatan darurat!" teriak kapten penjaga.
Beberapa saat kemudian, muncul sebuah barrier yang menyelubungi kota. Menurut kapten penjaga, barrier tersebut dapat menahan serangan monster. Akan tetapi, jika jumlah monster tersebut tanpa batas seperti yang Army dan Rikka jelaskan, maka barrier tersebut tidak akan bisa bertahan lama.
Saki menyadari kalau mereka sudah sampai di kota setelah mendengar percakapan Rikka dengan para penjaga. Ia membuka matanya dan berkata, "Senior, tolong turunkan aku. Aku sudah merasa baikan sekarang."
Army segera menurunkan Saki dan mengembalikan pedang miliknya. "Baiklah, jangan memaksakan diri ya."
"Baik, terimakasih senior." Saki mengambil kembali pedangnya.
Kapten penjaga kemudian meminta mereka segera masuk, dan membawa mereka menuju pemimpin kota untuk memberitahu apa yang sedang terjadi. Waktu sudah hampir tengah malam, para penduduk yang sedang tidur menjadi terbangun dan keluar dari rumah mereka untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sebelum suasana menjadi tidak kondusif, para penjaga disebar ke berbagai titik untuk melakukan komunikasi kepada para penduduk, dan meminta mereka tetap berada dirumah. Karena respon cepat dari para penjaga, perjalanan mereka menuju rumah pemimpin kota bisa menjadi lebih cepat.
"Ada apa?!" tanya pemimpin kota yang terlihat sudah berada diluar rumah, dan sedang mengenakan mantel tidurnya..
"Ada sesuatu yang memunculkan banyak monster di hutan!" ucap Rikka sambil berlari mendekati rumah pemimpin kota.
"Apa?!" Pemimpin kota kemudian menyuruh kami masuk dan mendiskusikan apa yang terjadi di dalam.
Di dalam, mereka segera menjelaskan kembali situasinya kepada pemimpin kota.
"Jadi, ada sebuah portal yang terbuka setelah monster itu mati. Portal itu mengeluarkan monster yanh sangat banyak, dan kalian sekarang dikejar waktu karena teman kalian sedang menahan mereka disana?" tanya sang pemimpin kota.
"Ya," awab Army.
"Baiklah, aku sudah mengerti situasinya. Tunggu sebentar!" Pemimpin kota keluar dari ruangan.
Saat menunggu, Saki bertanya, "Senior, apa yang dia lakukan?"
Army menjawab, " Ia menyiapkan kertas untuk meminta permohonan bantuan kepada pusat."
Rikka tiba-tiba menyela pembicaraan. "Meski meminta bantuan, aku tidak yakin kalau pusat akan bisa menyelesaikannya. Harapan kita mungkin hanyalah Ardent sekarang."
"Ya, aku juga berpikir demikian. Nanti aku akan meminta pusat memberikan perintah kepada Ardent untuk menyelesaikan ini."
Saki bertanya lagi, "Apakah tidak bisa kalau langsung meminta bantuan Ardent? Pergi ke pusat, dan menemui ketua, itu akan sangat lama."
"Kau benar. Ini akan sangat lama, tapi begitulah prosedurnya," jawah Army.
Rikka juga menambahkan, "Ardent adalah senjata berjalan yang berbahaya. Ia memerlukan perintah dari pusat untuk bisa mengurus hal-hal seperti ini."
"Seperti yang Rikka katakan, Ardent tidak bisa sembarangan bergerak, atau seisi kota akan panik," ucap Army.
Saki menjadi penasaran dengan perkataan Army dan Rikka. "Kenapa begitu? Bukankah ia adalah sosok yang sangat dihormati? Kenapa mereka bisa panik?"
Army tertawa. "Hahaha. Ceritanya panjang Saki, tapi nanti akan kuceritakan."
Terdengar suara langkah yang berlari dengan cepat dari luar ruangan. Langkah tersebut adalah langkah dari pemimpin kota yang berlari menuju mereka sambil membawa selembar kertas.
"Ini! kalian harus segera membawanya menuju pusat!" Pemimpin kota memberikan kertas yang berisi permintaan bantuan kepada mereka. Kertas itu sudah disertai dengan cap resmi, tanda tangannya, dan disegel dengan sihir.
Army berdiri dan mengambilnya. "Ayo semuanya!"
Mereka berterimakasih kepada pemimpin kota dan segera pergi menuju pusat kerajaan menggunakan item teleportasi. Mereka kembali menjelaskan tentang kejadian yang terjadi kepada penjaga istana, untuk memperbolehkan mereka menemui sang raja. Setelah sang raja mengetahui situasi darurat yang sedang terjadi, ia segera memanggil seluruh petingginya untuk melakukan rapat mendadak di tengah malam.
Para petinggi beserta party Army segera memasuki ruang rapat untuk membicarakan apa yang terjadi, dan mencari solusinya bersama-sama.
"Jadi begitulah yang terjadi disana," ucap Army.
"Sebuah portal yang mengeluarkan monster ya ... " ucap salah satu petinggi.
"Sepertinya aku pernah mendengar soal portal, tapi tidak pernah ada yang seperti ini." Para petinggi itu mulai berpikir mengenai solusi dari masalah yang belum pernah dihadapi ini.
Petinggi yang lainnya kemudian bertanya, "Apakah kita bisa menyelesaikannya hanya dengan para penyihir kelas tinggi?"
"Menurutku itu mustahil," jawab Rikka.
"Ya, kami sendiri bahkan tidak mengetahui bagaimana cara benda itu bekerja," tambah Army.
Sang raja menjawab, "Kalau begitu, apakah kalian memiliki saran?"
"Tentu ada yang mulia. Kita harus menggunakan penyihir kelas spesial, yaitu Ardent. Menurutku, tidak ada orang yang cocok untuk diberikan kepercayaan untuk mengurus hal ini daripada dia," ucap Army.
Para petinggi dan sang raja mulai mendiskusikan saran dari Army.
"Hmm, kupikir dia ada benarnya."
"Jika mereka saja tidak mengetahuinya, maka sama saja dengan penyihir kelas tinggi lain."
"Apakah arsip kerajaan tidak memiliki informasi soal ini?"
"Tidak sama sekali. Aku sudah mengingat seluruh isi arsip kerajaan, tapi tidak ada yang seperti ini."
Pembicaraan para petinggi untuk mencari solusi lain tidak menemukan hasil. Sang Raja kemudian berdiri dan berkata, "Baiklah, katakanlah kepada Ardent bahwa aku mengandalkannya dalam situasi kali ini."
"Baiklah yang mulia! Terimakasih sudah mempertimbangkan pendapat saya," ucap Army.
Para petinggi pun terlihat setuju dengan keputusan sang raja, dan ikut mendukung keputusannya. Sang Raja kemudian membuat surat perintah dengan cap kerajaan dan tanda tangannya serta seluruh petinggi yang hadir dalam rapat darurat. Setelah selesai dibuat, kertas tersebut disegel dengan sihir dan diberikan kepada Army.
Mendapat surat perintah, mereka bertiga kemudian pergi dari istana. Mereka memakai item teleportasi untuk kembali ke kota, menuju kediaman Ardent. Sesampainya disana, Army mengetuk pintu beberapa kali.
"Papa! Papa Ardent!" Army memanggil Ardent sambil terus mengetuk pintunya.
Setelah beberapa saat mengetuk, pintu tiba-tiba terbuka sendiri, dan terdengar suara Ardent dari dalam.
"Masuklah, aku menunggu kalian di ruanganku." Suara itu kemudian menghilang, karena suara tersebut adalah suara yang dihasilkan oleh sebuah sihir.
Mereka masuk kedalam dan pergi ke ruangan Ardent melalui koridor panjang dan dipenuhi dengan berbagai senjata yang dijadikan sebagai pajangan.
"Halo ... " Army membuka pintu ruangan Ardent dengan perlahan.
"Selamat malam papa Ardent," ucap Saki.
"Sepertinya selamat pagi lebih cocok untuk sekarang," balas Rikka sambil melihat jam di ruangan Ardent yang menunjukkan pukul 04:25.
Didalam, terlihat Ardent yang sedang duduk membaca buku di mejannya, bersama dengan tumpukan berbagai buku lain di sebelahnya yang sangat tebal.
"Sepertinya ada masalah yang terjadi sampai kalian terburu-buru seperti itu," ucap Ardent.
"Raja memerintahkanmu untuk menyelesaikan masalah ini," ucap Army sambil memberikan surat perintah kepada Ardent.
Ardent menutup bukunya dan mengambil kertas tersebut dari tangan Army. "Oh, masalah apa?"
Sambil Ardent membaca surat perintah, mereka bertiga kembali menceritakan mengenai apa yang sedang terjadi kepada Ardent dengan lebih mendetail, sekaligus dengan saran-saran mereka mengenai solusi yang mungkin saja berhasil jika dilakukan.
Ardent berpikir sebentar setelah mendengarkan mereka. "Portal ya ... Sepertinya akan sulit, ditambah lagi dengan Shiro yang sedang mengamuk disana."
"Soal itu, ia berkata untuk membawa seseorang dari akademi yang bisa menjadi kunci penenangnya," ucap Army.
"Oh ya? Siapa?" tanya Ardent.
Army menjawab, "Akane."
"Ohh ... Penyihir merah yang mencolok itu."
Ardent menggulung kembali surat perintah yang telah ia baca. "Tunggu sebentar. Aku perlu memikirkan sesuatu," ucapnya.
Suasana menjadi hening saat Ardent memejamkan matanya dan berpikir. Mereka bertiga menatap satu sama lain, menunggu jawaban dari Ardent secepatnya.
Setelah beberapa saat, Ardent berdiri dari kursinya. "Baiklah, aku sudah tau harus berbuat apa."
Ardent berjalan keluar dari ruangannya. "Kalian istirahat saja disini. Aku perlu waktu untuk menyusun strategi dan meminta bantuan tambahan ke pusat."
"Baik!" ucap mereka bertiga.
Mereka semua ikut keluar dari ruangan, dan berjalan menuju ruang tamu. Mereka duduk di sofa dan beristirahat sejenak. Army mengambil beberapa kotak kue yang tersedia dan mempersiapkan air minum di meja.
Rikka menghela nafasnya. "Hahhh ... Akhirnya kita bisa istirahat sebentar."
"Ya, tapi kita harus bersiap-siap juga untuk ikut Ardent setelah ini," ucap Army sambil menuangkan minuman kedalam gelas.
Sambil memakan kue, Saki bertanya, "Senior, apa saja yang perlu kita siapkan?"
Sebelum Army menelan kuenya untuk menjawab, Rikka berdiri tegap dari duduknya. "Tentu saja merias diri! Seorang gadis harus selalu bisa tampil menawan di medan perang sekalipun!"
Army dan Saki hanya menatap Rikka yang berbicara dengan penuh percaya diri. Saki menatapnya dengan tatapan orang yang bingung, sedangkan Army menatap Rikka seakan-akan ia sudah terbiasa dengan Rikka yang seperti itu, dan lanjut mengunyah kuenya.
"Ayolah Saki, kita harus merapihkan diri kita lagi sebelum berangkat. Kau kan juga seorang gadis," ucap Rikka.
Saki terlihat ragu menjawab ajakan dari Rikka. "Eh ... " Ia melihat kearah Army, seakan meminta saran untuk hal ini.
Army kemudian berkata, "Silahkan Saki, apa yang Rikka ucapkan itu memang benar. Kau juga pasti ingin selalu tampil cantik kan?" Army tersenyum melihat Saki yang meminta sarannya mengenai hal itu.
Saki kembali dibuat tersipu oleh kata-kata Army. Ia menunduk dan menjawab, "Bagaimana dengan waktu? Bukankah kita harus segera kembali kesana?"
"Tak apa, kita masih punya banyak waktu. Shiro jauh lebih kuat daripada yang terlihat," ucap Army.
"Ya! Dia tidak akan mati semudah itu, makanya kita harus memanfaatkan waktu yang ia berikan sebaik mungkin," tambah Rikka.
"Tapi ... Ini kan rumah papa, memangnya boleh?" tanya Saki.
Rikka mengangkat tangan Saki, dan membuatnya berdiri. "Tentu saja! Aku sendiri sudah sering memakai segala macam fasilitas miliknya."
"T-t-tapi ... " Saki kembali melihat kearah Army.
"Tak apa Saki, karena aku juga ingin kamu tetap cantik setiap saat," ucap Army sambil tersenyum.
Lagi-lagi, Army membuat Saki tersipu. Hal itu dimanfaatkan oleh Rikka untuk menggandeng tangan Saki dan membawanya berjalan.
"Ayo Saki! Kau harus merawat dirimu selagi masih muda," ucap Rikka.
Sebelum keluar ruang tamu, Rikka menoleh kearah Army.
"Kau juga Ar! Nanti kita harus ke akademi menjemput si penyihir. Bagaimana jika kau bertemu adikmu dengan kondisi seperti itu?"
Army tertawa. "Hahaha, jangan khawatir. Aku akan bersiap setelah kalian."
Rikka dan Saki keluar dari rumah tamu, meninggalkan Army yang sedang menikmati kue dan minumannya sendirian disana.