Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 6 - Chapter 2 - Mundur

Chapter 6 - Chapter 2 - Mundur

Army, Shiro, Saki, dan Rikka terjebak dalam situasi yang merepotkan. Setelah mengalahkan seekor monster besar, Mereka sekarang dihadapkan dengan banyak sekali monster yang terus keluar dari dalam portal. Monster yang keluar memang tidak terlalu kuat, tapi mereka akan sangat merepotkan jika dilawan oleh penduduk biasa. Selain itu, jumlah mereka yang tidak diketahui membuat pertempuran mereka terasa sia-sia, karena jumlah musuh yang keluar dari portal tidak pernah menurun. Portal tersebut seakan dapat mengeluarkan monster tanpa batas.

Pada awalnya, monster-monster yang muncul adalah monster yang lemah, tapi seiring berjalannya waktu, monster yang muncul menjadi semakin kuat dan gesit.

Army mencoba menyerang hanya dengan menggunakan basic attack. "Yang ini tidak mati hanya dengan sekali serang."

Shiro menggunakan Dive untuk mencoba efektivitasnya. Saat Shiro mendarat, ia hampir terkena serangan dari monster lain, tapi beruntung Saki menyelamatkannya. "Terimakasih Saki! Dive pun tidak terlalu berguna, karena serangan mereka datang terlalu banyak."

"Senior, Apa yang akan kita lakukan?" tanya Saki sambil mengaktifkan kembali mode Rampagenya.

Army membuka penutup matanya dan menjawab, "Satu-satunya cara adalah ini."

Army menggunakan Soul Hunter dan membunuh banyak monster dalam radius yang cukup luas, memberikan mereka ruang yang lebih untuk bergerak.

"Heh, tidak ada cara lain selain menggunakan itu ya," ucap Shiro.

Saki bergerak sedikit menjauh dari Army dan Shiro, untuk mendapatkan posisi yang paling tepat sebelum menyerang menggunakan Soul Hunter.

Mereka sangat tertolong dengan Soul Hunter yang mereka gunakan, karena radiusnya yang luas dan dapat membunuh lawan hanya dengan sekali tebas. Saat mereka sedang disibukkan dengan monster-monster kecil, tiba-tiba sebuah monster besar keluar dari portal tersebut. Bentuknya menyerupai Orc, dengan menggunakan baju zirah dan gada sebagai senjatanya. Orc tersebut hendak menyerang Saki yang berada paling dekat dengannya, tapi dengan cepat Rikka mengaktifkan Provoke untuk mengalihkan perhatian.

"Hei, aku disini bodoh!" teriak Rikka.

Saki segera mundur ke belakang, menjauh dari orc tersebut . "Terimakasih senior!"

Shiro berlari menuju Orc tersebut. "Serahkan ini padaku! Kalian jaga yang lainnya!"

Shiro kemudian mengaktifkan Dragonic Charge sebelum orc itu melakukan serangan area. Saat serangan area akan dilakukan, Dragonic Charge milik Shiro langsung terisi penuh dan ia langsung menerjangnya dengan cepat.

"Ah, sial, ternyata hp nya cukup besar."

Dari jauh, Army melompat menyerang orc tersebut, dan membunuhnya di lompatan kedua.

"Cepat kembali!" teriak Army.

Ketika Shiro sedang berlari kembali menuju Rikka, segerombolan monster menyerangnya secara bersamaan dari segala arah.

"Sial!" Shiro berusaha menghindar dengan melakukan Dive Impact, tapi ia tahu saat mendarat nanti, pukulan dari monster yang tersisa akan mengenainya.

Sebelum Shiro mendarat, Saki berlari mendekatinya dan menyerang monster-monster itu dengan Storm dari jarak yang aman. Serangan Saki membunuh monster-monster yang tersisa, sehingga Shiro bisa kembali berlari menuju posisinya.

"Terimakasih Saki!" Shiro berlari mundur bersama Saki kembali ke belakang Rikka.

Monster-monster yang berukuran lebih besar menjadi semakin sering muncul, sehingga merepotkan mereka semua.

Saat monster besar keluar dari portalnya, Saki segera menerjang dengan Sonic Blade dan melanjutkan serangannya dengan Meteor, untuk menghindari balasan dari monster tersebut. Setelah mendarat, ia menggunakan Lunar Slash untuk menghabisinya dan kembali menuju posisi.

Selama berjam-jam, mereka terus bertempur dengan para monster yang tak ada habisnya. Menghabisi monster besar saat ia keluar portal, dan kembali lagi menuju posisi bertahan. Begitulah yang terus mereka lakukan untuk menahan para monster yang tak kunjung habis.

Waktu terus berjalan, hingga hari sudah gelap. Mereka yang masih bertahan semakin dibuat kesulitan karena minimnya cahaya di dalam hutan. Para monster itu masih bisa menyerang dengan efisien, tidak seperti mereka yang mengandalkan pengelihatan untuk mengetahui posisi lawannya.

Sambil menggunakan Soul Hunter, Army berkata, "Sial, mereka tidak ada habisnya!"

"Hari sudah malam, dan posisi kita sangat tidak diuntungkan," tambah Shiro.

"Uhhh ... aku mulai lelah dengan semua ini," ucap Rikka yang sudah mulai lelah sambil tetap berusaha memegang perisainya dengan sempurna.

Tiba-tiba, Saki terduduk di tanah. Ia kehilangan genggaman terhadap pedangnya.

"Saki!?" Army terkejut melihat Saki yang menjatuhkan pedangnya.

"Maaf senior ... "

Saki berusaha mengangkat pedangnya dan berdiri kembali, tapi ia tidak berhasil. Ia sudah sangat kelelahan setelah melawan monster tanpa henti.

Army mulai cemas dengan kondisi Saki yang sudah tidak bisa bertarung. Ia kemudian menggendong Saki dan menyandarkannya di sebuah pohon untuk beristirahat.

"Kita harus mundur!" ucap Army.

Rikka menjawab, "Inginnya sih begitu, tapi bagaimana penduduk yang akan diserang oleh mereka? Kita saja dibuat kesusahan."

Army menatap Saki yang sudah kelelahan dibawah pohon. "Saki sudah mencapai batasnya, dan sebentar lagi kita juga."

"Lalu, apakah kita akan membiarkan para penduduk diserang?"

Dengan nada serius, Army menjawab "Ya, kita harus meminta bantuan."

"Baiklah. Aku juga tidak mau mati disini." Rikka mengangkat kembali perisainya, dan mundur secara perlahan.

Army mengambil pedang Saki dan menaruhnya bersama dengan tombak miliknya di punggung. Ia kemudian menggendong Saki dengan kedua tangannya. "Ayo semuanya! Selagi kita masih bisa berlari."

Saat Army dan Rikka akan berlari kembali ke kota, Shiro berjalan mendekati para monster.

"Kalian pergilah, aku akan menahan mereka sampai kalian kembali," ucap Shiro.

"Apa maksudmu? Kita kembali sekarang!" Army berteriak kepada Shiro, berusaha mengajaknya untuk mundur.

Sambil melihat kearah Army dan Rikka, Shiro menggunakan Soul Hunternya untuk menahan para monster yang mendekat. "Tenang saja. Dengan ini, aku tidak akan mati."

Para monster yang hendak menyerang mendadak diam tak bergerak, dan hanya memperhatikan mereka dari jauh. Para monster seakan-akan melihat sesuatu yang sangat menakutkan berada di depannya.

Army dan Rikka terdiam sebentar. Mereka mulai memahami apa yang akan Shiro lakukan. Mereka berdua saling bertatapan, membuat suasana menjadi tegang diantara mereka.

"Apakah kau bisa menghentikannya sendiri?" tanya Army.

"Tentu tidak. Karena itu kalian harus kembali dengan selamat untuk membawa kuncinya," jawab Shiro.

"Apa kuncinya?"

"Bawa Akane kesini."

"Bagaimana jika itu tidak berhasil?"

Shiro berbalik badan, menatap para monster. "Percaya saja kepadaku."

Army berpikir sebentar mengenai pilihan yang akan Shiro ambil, dan menyerahkan urusan monster itu kepada Shiro. "Baiklah, tapi jika kau mati, maka akulah yang akan memenjarakan jiwamu."

Army dan Rikka segera berlari mundur.

"Aku akan duluan!" Rikka berlari dengan cepat menggunakan Twin Storm untuk memastikan jalanan yang akan dilalui benar-benar aman, karena Army tidak bisa bertarung jika menggendong Saki.

Saat mereka berlari, Saki yang sedang di gendong Army mulai berbicara.

"Maafkan aku senior."

Army menatap Saki. "Jangan khawatir. Kita mundur bukan karenamu, tapi karena kami semua memang sudah kelelahan."

"Begitu ya ... " Saki berbicara dengan nada yang masih lemas.

"Mengkhawatirkan Shiro? Ia akan baik-baik saja."

Saki mengangguk. "Ya. Bagaimana kau bisa yakin kalau senior Shiro akan baik-baik saja?"

Army kembali menatap jalanan yang ada di depannya. "Hmm ... Singkatnya, dia akan memaksimalkan kemampuan kekuatan kegelapannya untuk menahan para monster."

Saki terlihat cemas setelah mendengar jawaban Army. "Kekuatan kegelapan ... Apakah itu Re ..."

Sebelum Saki selesai berbicara, Army tersenyum dan berkata, "Kau sudah bekerja dengan sangat baik hari ini Saki, tapi sekarang lebih baik kita serahkan hal ini kepada Shiro."

Saki menjadi tersipu mendengar pujian dari Army, dan menghentikan kata-kata sebelumnya. "Baiklah. Terimakasih senior." Ia kemudian memejamkan mata kembali untuk mempercepat pemulihan tenaganya.

Di lain sisi, Shiro masih berhadapan dengan berbagai macam monster yang keluar dari portal.

"Mati? Disini? Hahaha, Jangan bercanda," ucap Shiro sambil tertawa beberapa kali.

Ia menggulung lengan bajunya. "Sudah saatnya untuk serius."

Ia membuka kancing kerah bajunya, agar pergerakannya bisa lebih nyaman. Keluar aura berwarna ungu dan hitam dari seluruh tubuhnya. Para monster kembali dibuat terdiam oleh Shiro. Mereka menjadi semakin takut ketika aura tersebut mulai muncul dari tubuhnya. Ia berjalan dengan santai mendekati kerumunan monster yang ketakutan. Setiap langkahnya memberikan sebuah teror yang mencekik jiwa para monster. Mereka ingin berlari, tapi entah kenapa mereka tidak bisa bergerak sama sekali, seakan-akan mereka semua sudah digenggam oleh Shiro.

"Engkau adalah diriku, tapi aku bukanlah dirimu, wahai kegelapan dalam jiwaku ..."

Ia berjalan sambil bermonolog, seperti seseorang yang berada di sebuah teater.

"Segala kekuatanmu adalah milikku, tapi kekuatanku adalah milikku seorang, wahai sesuatu yang terkubur di dalam hatiku ..."

Ia mengayunkan tangannya mengikuti monolog, seakan-akan ia sedang bersyair di hadapan para monster.

"Tiada yang harus engkau turuti, kecuali aku. Sekarang aku memerintahkanmu untuk melepaskannya, bagaikan sebuah ledakan."

Aura yang menyelimuti tubuh Shiro menjadi semakin besar dan pekat warnanya. Para monster yang baru datang sekalipun tidak berani bergerak di hadapannya. Mereka hanya menyaksikan Shiro yang berjalan perlahan menghampiri mereka, sekaligus mengetahui kalau mereka sudah salah memilih lawan.

"Baiklah ... siapa yang mau mati pertama?"

Bola mata Shiro berubah warna menjadi merah seperti darah, dan rambutnya berdiri akibat aura yang dipancarkannya. Ia tidak lagi terlihat seperti Shiro yang biasanya.

Shiro mengambil kuda-kuda dan berkata, "Mari kita lihat, apakah Regret ini akan menjadi Regretfull, atau Regretless."Fallen Orions Tale Reboot

Chapter 2 - Mundur

Army, Shiro, Saki, dan Rikka terjebak dalam situasi yang merepotkan. Setelah mengalahkan seekor monster besar, Mereka sekarang dihadapkan dengan banyak sekali monster yang terus keluar dari dalam portal. Monster yang keluar memang tidak terlalu kuat, tapi mereka akan sangat merepotkan jika dilawan oleh penduduk biasa. Selain itu, jumlah mereka yang tidak diketahui membuat pertempuran mereka terasa sia-sia, karena jumlah musuh yang keluar dari portal tidak pernah menurun. Portal tersebut seakan dapat mengeluarkan monster tanpa batas.

Pada awalnya, monster-monster yang muncul adalah monster yang lemah, tapi seiring berjalannya waktu, monster yang muncul menjadi semakin kuat dan gesit.

Army mencoba menyerang hanya dengan menggunakan basic attack. "Yang ini tidak mati hanya dengan sekali serang."

Shiro menggunakan Dive untuk mencoba efektivitasnya. Saat Shiro mendarat, ia hampir terkena serangan dari monster lain, tapi beruntung Saki menyelamatkannya. "Terimakasih Saki! Dive pun tidak terlalu berguna, karena serangan mereka datang terlalu banyak."

"Senior, Apa yang akan kita lakukan?" tanya Saki sambil mengaktifkan kembali mode Rampagenya.

Army membuka penutup matanya dan menjawab, "Satu-satunya cara adalah ini."

Army menggunakan Soul Hunter dan membunuh banyak monster dalam radius yang cukup luas, memberikan mereka ruang yang lebih untuk bergerak.

"Heh, tidak ada cara lain selain menggunakan itu ya," ucap Shiro.

Saki bergerak sedikit menjauh dari Army dan Shiro, untuk mendapatkan posisi yang paling tepat sebelum menyerang menggunakan Soul Hunter.

Mereka sangat tertolong dengan Soul Hunter yang mereka gunakan, karena radiusnya yang luas dan dapat membunuh lawan hanya dengan sekali tebas. Saat mereka sedang disibukkan dengan monster-monster kecil, tiba-tiba sebuah monster besar keluar dari portal tersebut. Bentuknya menyerupai Orc, dengan menggunakan baju zirah dan gada sebagai senjatanya. Orc tersebut hendak menyerang Saki yang berada paling dekat dengannya, tapi dengan cepat Rikka mengaktifkan Provoke untuk mengalihkan perhatian.

"Hei, aku disini bodoh!" teriak Rikka.

Saki segera mundur ke belakang, menjauh dari orc tersebut . "Terimakasih senior!"

Shiro berlari menuju Orc tersebut. "Serahkan ini padaku! Kalian jaga yang lainnya!"

Shiro kemudian mengaktifkan Dragonic Charge sebelum orc itu melakukan serangan area. Saat serangan area akan dilakukan, Dragonic Charge milik Shiro langsung terisi penuh dan ia langsung menerjangnya dengan cepat.

"Ah, sial, ternyata hp nya cukup besar."

Dari jauh, Army melompat menyerang orc tersebut, dan membunuhnya di lompatan kedua.

"Cepat kembali!" teriak Army.

Ketika Shiro sedang berlari kembali menuju Rikka, segerombolan monster menyerangnya secara bersamaan dari segala arah.

"Sial!" Shiro berusaha menghindar dengan melakukan Dive Impact, tapi ia tahu saat mendarat nanti, pukulan dari monster yang tersisa akan mengenainya.

Sebelum Shiro mendarat, Saki berlari mendekatinya dan menyerang monster-monster itu dengan Storm dari jarak yang aman. Serangan Saki membunuh monster-monster yang tersisa, sehingga Shiro bisa kembali berlari menuju posisinya.

"Terimakasih Saki!" Shiro berlari mundur bersama Saki kembali ke belakang Rikka.

Monster-monster yang berukuran lebih besar menjadi semakin sering muncul, sehingga merepotkan mereka semua.

Saat monster besar keluar dari portalnya, Saki segera menerjang dengan Sonic Blade dan melanjutkan serangannya dengan Meteor, untuk menghindari balasan dari monster tersebut. Setelah mendarat, ia menggunakan Lunar Slash untuk menghabisinya dan kembali menuju posisi.

Selama berjam-jam, mereka terus bertempur dengan para monster yang tak ada habisnya. Menghabisi monster besar saat ia keluar portal, dan kembali lagi menuju posisi bertahan. Begitulah yang terus mereka lakukan untuk menahan para monster yang tak kunjung habis.

Waktu terus berjalan, hingga hari sudah gelap. Mereka yang masih bertahan semakin dibuat kesulitan karena minimnya cahaya di dalam hutan. Para monster itu masih bisa menyerang dengan efisien, tidak seperti mereka yang mengandalkan pengelihatan untuk mengetahui posisi lawannya.

Sambil menggunakan Soul Hunter, Army berkata, "Sial, mereka tidak ada habisnya!"

"Hari sudah malam, dan posisi kita sangat tidak diuntungkan," tambah Shiro.

"Uhhh ... aku mulai lelah dengan semua ini," ucap Rikka yang sudah mulai lelah sambil tetap berusaha memegang perisainya dengan sempurna.

Tiba-tiba, Saki terduduk di tanah. Ia kehilangan genggaman terhadap pedangnya.

"Saki!?" Army terkejut melihat Saki yang menjatuhkan pedangnya.

"Maaf senior ... "

Saki berusaha mengangkat pedangnya dan berdiri kembali, tapi ia tidak berhasil. Ia sudah sangat kelelahan setelah melawan monster tanpa henti.

Army mulai cemas dengan kondisi Saki yang sudah tidak bisa bertarung. Ia kemudian menggendong Saki dan menyandarkannya di sebuah pohon untuk beristirahat.

"Kita harus mundur!" ucap Army.

Rikka menjawab, "Inginnya sih begitu, tapi bagaimana penduduk yang akan diserang oleh mereka? Kita saja dibuat kesusahan."

Army menatap Saki yang sudah kelelahan dibawah pohon. "Saki sudah mencapai batasnya, dan sebentar lagi kita juga."

"Lalu, apakah kita akan membiarkan para penduduk diserang?"

Dengan nada serius, Army menjawab "Ya, kita harus meminta bantuan."

"Baiklah. Aku juga tidak mau mati disini." Rikka mengangkat kembali perisainya, dan mundur secara perlahan.

Army mengambil pedang Saki dan menaruhnya bersama dengan tombak miliknya di punggung. Ia kemudian menggendong Saki dengan kedua tangannya. "Ayo semuanya! Selagi kita masih bisa berlari."

Saat Army dan Rikka akan berlari kembali ke kota, Shiro berjalan mendekati para monster.

"Kalian pergilah, aku akan menahan mereka sampai kalian kembali," ucap Shiro.

"Apa maksudmu? Kita kembali sekarang!" Army berteriak kepada Shiro, berusaha mengajaknya untuk mundur.

Sambil melihat kearah Army dan Rikka, Shiro menggunakan Soul Hunternya untuk menahan para monster yang mendekat. "Tenang saja. Dengan ini, aku tidak akan mati."

Para monster yang hendak menyerang mendadak diam tak bergerak, dan hanya memperhatikan mereka dari jauh. Para monster seakan-akan melihat sesuatu yang sangat menakutkan berada di depannya.

Army dan Rikka terdiam sebentar. Mereka mulai memahami apa yang akan Shiro lakukan. Mereka berdua saling bertatapan, membuat suasana menjadi tegang diantara mereka.

"Apakah kau bisa menghentikannya sendiri?" tanya Army.

"Tentu tidak. Karena itu kalian harus kembali dengan selamat untuk membawa kuncinya," jawab Shiro.

"Apa kuncinya?"

"Bawa Akane kesini."

"Bagaimana jika itu tidak berhasil?"

Shiro berbalik badan, menatap para monster. "Percaya saja kepadaku."

Army berpikir sebentar mengenai pilihan yang akan Shiro ambil, dan menyerahkan urusan monster itu kepada Shiro. "Baiklah, tapi jika kau mati, maka akulah yang akan memenjarakan jiwamu."

Army dan Rikka segera berlari mundur.

"Aku akan duluan!" Rikka berlari dengan cepat menggunakan Twin Storm untuk memastikan jalanan yang akan dilalui benar-benar aman, karena Army tidak bisa bertarung jika menggendong Saki.

Saat mereka berlari, Saki yang sedang di gendong Army mulai berbicara.

"Maafkan aku senior."

Army menatap Saki. "Jangan khawatir. Kita mundur bukan karenamu, tapi karena kami semua memang sudah kelelahan."

"Begitu ya ... " Saki berbicara dengan nada yang masih lemas.

"Mengkhawatirkan Shiro? Ia akan baik-baik saja."

Saki mengangguk. "Ya. Bagaimana kau bisa yakin kalau senior Shiro akan baik-baik saja?"

Army kembali menatap jalanan yang ada di depannya. "Hmm ... Singkatnya, dia akan memaksimalkan kemampuan kekuatan kegelapannya untuk menahan para monster."

Saki terlihat cemas setelah mendengar jawaban Army. "Kekuatan kegelapan ... Apakah itu Re ..."

Sebelum Saki selesai berbicara, Army tersenyum dan berkata, "Kau sudah bekerja dengan sangat baik hari ini Saki, tapi sekarang lebih baik kita serahkan hal ini kepada Shiro."

Saki menjadi tersipu mendengar pujian dari Army, dan menghentikan kata-kata sebelumnya. "Baiklah. Terimakasih senior." Ia kemudian memejamkan mata kembali untuk mempercepat pemulihan tenaganya.

Di lain sisi, Shiro masih berhadapan dengan berbagai macam monster yang keluar dari portal.

"Mati? Disini? Hahaha, Jangan bercanda," ucap Shiro sambil tertawa beberapa kali.

Ia menggulung lengan bajunya. "Sudah saatnya untuk serius."

Ia membuka kancing kerah bajunya, agar pergerakannya bisa lebih nyaman. Keluar aura berwarna ungu dan hitam dari seluruh tubuhnya. Para monster kembali dibuat terdiam oleh Shiro. Mereka menjadi semakin takut ketika aura tersebut mulai muncul dari tubuhnya. Ia berjalan dengan santai mendekati kerumunan monster yang ketakutan. Setiap langkahnya memberikan sebuah teror yang mencekik jiwa para monster. Mereka ingin berlari, tapi entah kenapa mereka tidak bisa bergerak sama sekali, seakan-akan mereka semua sudah digenggam oleh Shiro.

"Engkau adalah diriku, tapi aku bukanlah dirimu, wahai kegelapan dalam jiwaku ..."

Ia berjalan sambil bermonolog, seperti seseorang yang berada di sebuah teater.

"Segala kekuatanmu adalah milikku, tapi kekuatanku adalah milikku seorang, wahai sesuatu yang terkubur di dalam hatiku ..."

Ia mengayunkan tangannya mengikuti monolog, seakan-akan ia sedang bersyair di hadapan para monster.

"Tiada yang harus engkau turuti, kecuali aku. Sekarang aku memerintahkanmu untuk melepaskannya, bagaikan sebuah ledakan."

Aura yang menyelimuti tubuh Shiro menjadi semakin besar dan pekat warnanya. Para monster yang baru datang sekalipun tidak berani bergerak di hadapannya. Mereka hanya menyaksikan Shiro yang berjalan perlahan menghampiri mereka, sekaligus mengetahui kalau mereka sudah salah memilih lawan.

"Baiklah ... siapa yang mau mati pertama?"

Bola mata Shiro berubah warna menjadi merah seperti darah, dan rambutnya berdiri akibat aura yang dipancarkannya. Ia tidak lagi terlihat seperti Shiro yang biasanya.

Shiro mengambil kuda-kuda dan berkata, "Mari kita lihat, apakah Regret ini akan menjadi Regretfull, atau Regretless."