Chereads / Takdir dan misteri / Chapter 2 - 1. Keindahan

Chapter 2 - 1. Keindahan

Apakah ini ilusi? Dimana ini?

Ini tidak mungkin mimpi kan? Mimpi tidak mungkin terlihat sejelas ini!

Franz Geraldheim memperhatikan sekelilingnya dengan waspada. Dia sangat bingung dengan apa yang kedua matanya lihat saat ini. Dia berada di dunia yang asing. Di dunia yang tidak memiliki apapun untuk di lihat selain kabut warna-warni yang saling menumpuk sejauh mata memandang.

Aku ingat dengan jelas kalau aku sedang berbaring di kasurku untuk tidur! dimana ini? Apakah ini akhirat? Apa aku mati dalam keadaan tertidur? Setidaknya aku tidak merasakan sakit untuk kematianku. Dengan wajah pucat berbagai macam pikirannya muncul disaat dia mulai berjalan-jalan tanpa arah yang pasti. Seketika, dia berhenti dan menatap lurus ke depan. Ada siluet seseorang muncul dalam pandangannya. Siluet itu berjalan mendekat ke arah Franz.

Ada orang lain... Dia mendekat ke arahku. Apa aku harus menjauh? Aku tidak tahu dia membawa hal baik atau buruk. Tapi, aku mungkin bisa bertanya padanya tentang masalahku saat ini, atau mungkin saja dia juga orang yang terdampar sepertiku. Dalam situasi seperti ini aku tidak punya pilihan lain. Dengan pikiran yang berkecamuk Franz segera mengambil keputusan, dia hanya berdiam diri menunggu orang mencurigakan itu mendekat. Terlihat jelas kewaspadaan di wajah Franz, bersiap meluncurkan tinjuan jika saja hal yang tidak di inginkan terjadi.

Segera, siluet itu mendekat, terus mendekat hingga berhenti tepat beberapa meter di depan Franz. Tampaknya itu adalah seorang pria muda, rambutnya hitam dengan mata ungu yang sedikit gelap. Dia terdiam selama sepuluh detik dengan matanya menatap tajam ke arah Franz. Dia tersenyum dan mulai berbicara.

"............."

"Hah, apa yang kamu katakan? Mohon maaf, aku tidak mengerti bahasamu sama sekali...!" Franz segera menjawab dengan bingung.

Pria bermata ungu tampak sedikit terkejut. Dengan menepuk keningnya sendiri, terlihat sedang mengingat sesuatu. "Ah, mohon maaf. Aku lupa kalau kamu tidak mengerti bahasaku."

"Bagaimana sekarang?"

"Y-yah, aku mengerti sekarang." Franz menjawab dengan pasti.

Pria itu tersenyum dan kembali berbicara. "Baiklah, aku ingin bertanya. Siapa namamu?"

"Tuan... Sebelum kamu menanyakan nama seseorang, alangkah baiknya kamu memberi tahu namamu terlebih dahulu. Itu sopan santun dasar." Franz segera menjawab.

Pria itu langsung terdiam, dia segera mengepalkan tangan kanannya kemulutnya dan tertawa pelan. "Mohon maaf, ini salahku!"

"Baiklah... Sebelum aku memperkenalkan diriku, biarkan aku menjelaskan sesuatu terlebih dahulu."

"Aku paham kalau kamu harus waspada kepada orang asing sepertiku, terutama pada situasimu saat ini! Tapi, aku ingin jujur dari lubuk hatiku yang terdalam, bahwa aku adalah orang yang baik! Aku tidak memiliki niatan yang buruk padamu."

"Untuk pemikiranmu yang sebelumnya, wajar sih jika kamu berpikir ini di akhirat, dan aku juga tidak akan menyangkal jika kamu berpikiran seperti itu!"

"Akulah yang memanggilmu kemari. Lebih tepatnya, aku menarik jiwamu kemari, tepat setelah kematianmu."

Orang ini telah membaca pikiranku, Yang benar saja, siapa orang mengerikan ini, orang baik? Bagaimana aku bisa mempercayai pernyataannya itu... Ehh, tunggu, tadi dia mengatakan kematianku, seperti yang aku duga, aku sudah mati, tapi apa benar aku mati saat sedang tertidur? Atau ada yang membunuhku?Dengan wajah pucat dan tubuh yang gemetar membuat kepala Franz kacau seperti air yang mendidih.

Melihat Franz yang terkejut, pria itu langsung melanjutkan perkataannya tanpa membiarkan Franz mengeluarkan satu kata pun. "Kematianmu bukanlah sesimpel yang kamu kira. Lebih tepatnya kematianmu adalah takdir yang tidak dapat kamu hindari."

"Takdir yang tidak dapat aku hindari?" Franz bertanya dalam kebingungan.

"Kiamat." Pria itu menjawab dengan tegas.

"Kiamat? Apa yang menyebabkan bencana super mengerikan seperti itu?." Franz kembali bertanya dengan bingung.

Sambil memegang dagunya seolah sedang mengingat sesuatu, pria itu lalu berkata. "Mungkin itu ulah salah satu 'Dewa'. Lebih tepatnya 'Dia' melahap dunia asalmu, itu dugaanku."

"Melahap? Apa maksud dari melahap?" Franz bertanya kembali dengan lebih kebingungan.

"Itu adalah cara 'dewa - dewa' meningkatkan kapasitas Eliksir jiwanya. Itu juga dapat membuatnya naik ketingkat yang lebih tinggi."

"Kamu tidak seharusnya untuk mengetahui hal ini terlalu cepat. Dan aku telah memberitahukanmu bahwa itu hanyalah dugaanku saja. Untuk jawaban tepatnya mungkin kamu akan mengetahuinya di masa depan nanti."

Setelah mendengarkan dengan serius Franz mencoba mengatur nafasnya untuk menenangkan diri, lalu dia kembali bertanya. "Aku terlalu terkejut dengan apa yang telah kamu katakan. Mohon maaf jika aku lancang, apa kamu salah satu dari 'dewa - dewa' itu?"

Setelah mendengar pertanyaan itu, pria itu lalu tersenyum dan tertawa pelan, lalu dia bertanya."Apa aku terlihat seperti itu?"

Setelah mengetahui orang yang berada di depannya ini dapat membaca pikiran dan itu bukanlah hal yang bisa dilakukan manusia normal, dia sangat tahu kalau dia tidak boleh berkata sesuatu yang mungkin saja dapat menyakiti hati orang ini, jadi Franz hanya mengangguk untuk menjawab.

Setelah anggukan Franz, pria itu pun kembali berkata."Aku bukanlah 'dewa'... Aku memang memiliki otoritas mutlak pada dunia ini. Aku juga dapat mengetahui apapun yang terjadi di sini, bahkan jika itu hanya sebatas pemikiran, tapi itu belumlah cukup untuk menjadikanku seperti 'dewa"

"Sudah cukup untuk penjelasannya, biarkan aku memperkenalkan diri."

Pria itu lalu setengah membungkuk dan kembali berbicara. "Perkenalkan, namaku adalah Hagen Heimer."

Kepala Franz menjadi kacau atas apa yang baru saja di dengarnya. Berbagai macam pertanyaan muncul dalam benaknya, tetapi mengetahui bahwa orang di depannya dapat membacanya memaksa Franz mengosongkan kembali pikirannya. Walaupun orang itu mengaku bukanlah 'dewa' tetapi hal seperti membaca pikiran bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan orang normal. Segera, Franz melakukan sikap yang sama dengan Hagen, setengah membungkuk dan memperkenalkan diri, hanya setelah keheningan sejenak dia mulai memberanikan diri untuk bertanya. "Tuan Heimer, mengapa kamu memanggilku kemari?" Menyadari sosok kuat di depannya, membuat Franz harus memperhatikan apapun yang harus dia lakukan untuk kedepannya.

"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu biarkan aku mengganti tempat terlebih dahulu." Sambil berbicara, Hagen mengangkat tangan kirinya keatas dan mengayunkannya perlahan.

Bersama-an dengan ayunan tangannya, kabut warna-warni menyebar dan pemandangan di sekitar mereka berdua terdistorsi seperti permukaan air yang beriak.

Sebuah goresan muncul di udara, merobek ruang dan meluas. Langit biru yang indah dan tanpa Matahari mulai terlihat. Berbagai bunga dengan bermacam warna mulai tumbuh di sekitar kaki mereka. Bunga-bunga yang indah terus bermekaran di seluruh area yang dapat di lihat Franz. Kupu-kupu yang datang entah darimana beterbangan seperti menari di udara, beberapanya lagi hinggap pada bunga-bunga.

Franz kembali memperhatikan sekitarnya, disaat dia hampir melompat karena melihat pohon-pohon dengan tinggi yang berbeda-beda mulai naik dari tanah, dan di setiap tangkainya menumbuhkan bunga yang indah dengan warna merah semerah darah.

Rangkaian kejadian dengan penuh keajaiban terus muncul memenuhi penglihatan Franz. Dengan pemandangan yang sangat menakjubkan dia terpaku, lalu suara gemuruh keras terdengar, seperti sesuatu yang besar berusaha dengan paksa untuk keluar dari dalam tanah.

Segera, Franz menoleh kearah belakang, melihat kearah sumber suara besar dan mengerikan itu. Di kejauhan sebuah gunung yang sangat besar keluar dari dalam tanah. Gunung itu tampak berbeda dari gunung pada umumnya, separuh dari gunung itu berwarna hijau terlihat tertutupi oleh hijaunya dedaunan, lalu separuhnya lagi berwarna putih terlihat dengan jelas adalah salju yang sangat dingin.

"Apa-apaan ini." Setelah bergumam Franz hanya bisa terdiam. Berbagai fenomena aneh yang telah dilihatnya barusan bagaikan ribuan jarum yang sangat tajam di paksa masuk kedalam kepalanya. Itu sangat intens hingga kepalanya tak mampu mencerna dengan cepat.

Hagen yang berada di sampingnya mengangkat suara untuk berbicara. "Selamat datang di tanah surga."

"Tanah surga? Tempat ini?" Franz menoleh kearah Hagen dan bertanya, terlihat jelas kebingungan di wajahnya.

"Yah, aku menamakannya seperti itu." Jawab Hagen

Tanah surga, mengapa dia memberikan- sebelum Franz selesai dengan apa yang dipikirkannya Hagen tersenyum dan kembali berbicara.

"Jika kamu ingin bertanya mengapa aku memberikan nama seperti itu, sepertinya kamu harus melihat kembali apa yang ada di hadapanmu saat ini. Setelah itu coba pikirkan nama apa yang cocok."

Mendengar Hagen berkata seperti itu membuat Franz terlihat memaksakan senyumnya, lalu dia menunjuk ke arah gunung besar dan bertanya. "Gunung itu, separuhnya terlihat hijau, dan separuhnya lagi di tutupi dengan salju. Mengapa seperti itu?"

"Gunung itu adalah Simbolik." Hagen menoleh ke arah gunung besar dan menjawab.

"Simbolik? Simbolik dari apa?." Franz kembali bertanya.

Hagen tersenyum dan berkata. "Hijau dan subur mewakili tubuh nyata, dan salju yang dingin mewakili jiwa. Keduanya memvalidasi satu sama lain menjadi entitas yang utuh."

"Tubuh nyata dan jiwa. Lebih tepatnya gunung itu adalah Simbolik dari mahkluk hidup."

"Aku ingin bertanya padamu. Mengapa bisa di sebut mahkluk hidup?"

"Tentu saja bernafas, dapat bergerak, memiliki pertumbuhan, dan peka terhadap rangsangan. Bukankah mahkluk hidup di gambarkan seperti itu." Franz segera menjawab.

"Apa kamu bisa memberikanku contoh dari makhluk hidup?" Hagen kembali bertanya.

Sambil mengerutkan kening Franz menjawab. "Manusia, tumbuhan dan hewan." Terlihat di wajah Franz seolah ingin bertanya, mengapa Hagen Heimer memberikan pertanyaan seperti itu.

"Lalu, apa yang membedakan Manusia dengan yang kedua dan yang terakhir?" Hagen kembali bertanya untuk yang ketiga kalinya.

Franz menyilangkan kedua tangannya dan berpikir. "Yang membedakan Manusia, tumbuhan dan hewan, hmm... bukankah... Bukankah itu adalah kesadaran."

Setelah Franz mengatakan kata terakhir seketika seluruh pemandangan yang ada di depannya terbalik, seolah seperti seseorang yang membalikkan telapak tangannya. Itu terjadi bahkan tidak lebih dari satu detik. Franz melihat bahwa pemandangan yang ada di depannya sangatlah berbeda dari yang sebelumnya, dia melihat hamparan laut biru tenang tanpa ombak, dan dia sedang berdiri diatasnya.

Dia menoleh keatas langit dan sadar bahwa itu telah berubah warna dari biru menjadi ungu kehitaman, dan bintang dengan berbagai warna segera memenuhi langit. Sama seperti sebelumnya, langit biru tanpa matahari dan saat ini langit malam tanpa bulan, lalu dia menoleh kebawah dan melihat bahwa lautan yang tadinya biru juga telah berubah warna, itu memiliki warna yang sama dengan langit di atasnya, dan terlihat dengan jelas bintang warna-warni yang sangat indah, tetapi bintang-bintang itu tidak terlihat terpantul dari langit, melainkan para bintang itu berada di dalam lautan.

Hagen Heimer melangkah kedepan, membuat air tenang yang di injaknya tampak beriak, lalu menoleh kearah Franz dan berkata. "Berbagai bintang yang kamu lihat di dalam lautan ini adalah kesadaran, kesadaran dari mahkluk hidup. Karena itulah aku menamakan tempat ini; Lautan kesadaran."

"Bagaimana menurut mu?"

Franz terdiam sejenak lalu menjawab. "Aku... Aku tidak... tidak tahu harus berkata apa." Franz berbicara sambil terbata-bata, lalu tanpa sadar air matanya jatuh setetes demi setetes, dan dia kembali berbicara.

"Ini... Ini adalah Keindahan."