***
Di dalam sebuah ruang kerja berperabotan nyaman, "kring....kring...!!!", telepon di meja Tuan Argani berdering. Tuan Argani yang duduk di kursi seberang memberikan gerakan isyarat dengan penanya, kemudian Bryatta selaku sekretarisnya langsung memahami isyarat tersebut dan menghampiri telepon kantor yang sudah berdering sejak 5 detik yang lalu.
"Siapa ini?" Tanya bryatta saat memulai percakapan lewat telepon. Suara sosok dibalik telepon tersebut terdengar samar-samar. "Siapa?... Aku tidak bisa mendengarmu ...". "Oh, ini Tuan Hadyan, kan?" Lanjutnya sambil menerka-nerka sosok dibalik telepon. "Ya, tapi ... Aku tahu,.. tapi dia sangat sibuk sore ini. Tidak bisakah anda,... Oh ya?, benarkah? Oke, baiklah kalau begitu,. Tunggu sebentar!!" Ia mengakhiri perbincangan dan berjalan kearah Tuan argani yang sedari tadi memperhatikannya berbincang di telepon.
Bryatta menempatkan gagang telepon di depan Tuan argani. "Ini Pak hadyan, tangan kanan pak Gumilar," katanya singkat. "Dia bersikeras berbicara dengan anda secara langsung, Tuan. Dia hanya bilang, ini adalah berita penting sekaligus berita terburuk." Lanjut bryatta menjelaskan. Tuan Argani melihat ke arah telepon. Tanpa berkata-kata, dia langsung sigap mengangkat gagang telepon.
"Iya?" katanya dengan suara yang sedikit lantang, dan mulai menyimak. "Iya... Terus?...", lanjutnya menyahuti obrolan dari pak Hadyan dibalik telepon. "Apa?,. Bagaimana bisa??" Tiba-tiba dia menukas obrolan dengan nada suara yang mulai meninggi. Bryatta yang menyaksikan hal tersebut, sangat penasaran dan bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi.
"Astaga,. Ini tidak mungkin!!!," gumam Tuan Argani sembari sedikit mencengkram telepon genggamnya. Dia perlahan bangkit, dan masih menempelkan gagang telepon di telinga kanannya. "Iya... oke... baiklah kalau begitu!" Katanya, yang kemudian langsung menutup telepon tersebut. Setelah itu, ia melirik ke arah jarum jam dinding diruangannya, dan langsung memerintahkan sesuatu pada Bryatta "segera cari Gentala dan Chakra dimanapun mereka berada,. Jangan lupa telfon aku saat kau sudah menemukan mereka, Cepat!!!" Ujarnya. Perintah Tuan Argani membuat Bryatta langsung bergegas melesat dari ruangan.
***
Jurnalis hebat itu memiliki postur tubuh yang tinggi, berbadan besar, pintar, dan berusia tiga puluh lima tahun. Mempunyai kulit eksotis, dan berkumis hitam adalah ciri khasnya. Seorang pria yang dibekali energi bisnis yang kuat, ia tak kenal lelah, yang ada di otaknya hanyalah ketelitian dalam menganalisa data.
Nampak dari penampilannya yang tampan, sangat terlihat jelas ia dibesarkan dari keluarga yang baik-baik. Hal ini semakin didukung dari caranya dalam berpakaian rapi. Ada sesuatu yang sedikit menyeramkan dari dirinya, yaitu pekerjaan yang intens dan serius begitu membekas di mata dan alisnya. Akan tetapi, saat sifatnya yang murah hati tidak terkendali, dia akan menjadi orang yang paling ramah. Dia merupakan seorang direktur perusahaan "newsprint companies" yang memproduksi koran paling laris di pasaran, disebut The Sun.
Dia juga merupakan "editor in chief" dari perusahaan media cetak, yang sudah bertahun-tahun ia naungi dengan personel atau karyawannya yang paling cakap di negara ini. Ia pun sangat disegani dan dihormati oleh stafnya.
***
"Cepat sambungkan telfonku dengannya sekarang!!!" Pinta Tuan Argani pada seseorang yang berbicara dengannya di telfon. Tanpa menunggu lama, terdengarlah suara yang berbeda dari balik telfon. Tuan argani menyimak dengan serius apa yang diucapkan orang tersebut.
"Kau yakin hanya itu saja?" tanya Tuan Argani pada orang itu, setelah beberapa menit mendengarkan. "Dan sudah berapa lama hal ini terbongkar?... Ya, tentu saja ada polisi!!!,.. tapi anak buahnya? Pasti sekarang mereka sudah tersebar dimana-mana....!!!!,." Ujar Tuan Argani mengobrol di telfon dengan sedikit panik. Rasa paniknya mulai mereda setelah mendengar beberapa patah kata orang dibalik telfon tersebut.
"Hmm,.. baiklah, akan kita coba... Begini Tuan Hadyan, aku sangat berhutang budi padamu tentang hal ini, paham?.... Datang dan temui aku pada hari pertama kau tiba di kota.... Oke, itu saja untuk kali ini. Sekarang aku harus menindak-lanjuti beritamu. Sampai nanti!!."
Tuan Argani menutup telfonnya kemudian mengambil jadwal kereta api dari rak di depannya. Segera setelah itu, ia sedikit berbisik pada Bryatta "ayo cepat masuk!!!" Katanya pelan. Bryatta pun bergegas masuk ke ruangan, diikuti oleh seorang pria berwajah keras berkacamata, dan seorang pemuda dengan mata yang waspada.
***
"Saya ingin Anda mencatat beberapa fakta, pak Gentala," kata Tuan Argani dengan menghilangkan semua tanda-tanda kegelisahan serta berbicara dengan sedikit pelan dan tenang. "Jika Anda memilikinya sekarang, bentuklah secepat mungkin untuk edisi khusus kali ini" lanjutnya. Lelaki berperawakan keras itu mengangguk perlahan dan melirik arlojinya, yang menunjukkan pukul 15:15 WIB. dia mengeluarkan buku catatan dan menarik kursi ke meja tulis besar.
"Bryatta!!!," Seru Tuan Argani memanggil sekretarisnya. "Iya Tuan??" Sahut Bryatta menyambut panggilan bos nya. "pergi dan suruh Yuda untuk segera menghubungi koresponden lokal kita, segera tinggalkan semuanya dan segera ke Malioboro. Jangan mengatakan alasannya di telegram. Selain yang ku perintahkan, jangan ada gerakan tambahan sebelum The Sun menerbitkan berita terbaru, kalian mengerti?", kata Tuan Argani melanjutkan arahannya. Yang lain hanya mengangguk tanda bahwa mereka paham atas apa yang dipinta oleh Tuan Argani.
"Chakra, beritahu Tuan Jenar untuk bersiap menghadapi dua kelompok yang akan sampai diujung kota hingga membuat kota itu terpuruk. Katakan saja padanya bahwa dia harus mengambil semua tindakan-tindakan pencegahan untuk mendapatkan informasi baru. Pak Gentala akan selesai dalam lima menit dengan semua catatannya, dan sebaiknya dia membiarkan Gentala menulis cerita itu di Ruang kerjanya. Saat diperjalanan nanti, mintalah Nona Laksmi untuk segera menemuiku disini, dan tanya para petugas telepon bisakah mereka menelfon Tuan Satria agar menghubungi ku. Ingat!!, Setelah bertemu Pak Jenar, langsung kembali ke sini dan bersiaplah." Tuan Argani menyelesaikan pembicaraannya. Pemuda bermata waspada itu segera berlalu dari tempat itu.
Setelah itu, Tuan Argani langsung menoleh ke arah pak Gentala yang pensilnya sudah siap di atas kertas. "Rigan Gumilar telah dibunuh,!!!!" dia memulai obrolan, sambil berjalan mondar-mandir di dalam ruangan itu, dengan posisi tangan kiri memegang tangan kanannya dibagian belakang badan. Pak Gentala menggoreskan sebaris tulisan steno dengan penuh emosi seolah-olah dia diberi tahu bahwa hari itu semuanya baik-baik saja.
"Dia, istrinya, dan dua sekretarisnya sudah dua minggu terakhir tinggal di rumah yang berada di Malioboro, dekat Hotel Aveta. Dia membelinya empat tahun yang lalu. Sejak saat itu, dia dan Istrinya Anjani, menghabiskan setengah tahun mereka di sana. Terakhir, Malamnya dia tidur sekitar jam 22:30 WIB, seperti biasa.
Tidak ada yang tahu kapan dia bangun dan keluar rumah. Namun, Sekitar jam sepuluh pagi, tubuhnya ditemukan oleh seorang tukang kebun, tergeletak dekat gudang di halaman. Dia ditembak di kepala, lewat mata kirinya. Kematiannya pasti terjadi begitu cepat. Jenazahnya tidak dirampok, tapi terdapat bekas luka di pergelangan tangannya yang menandakan telah terjadi pekelahian atau pembelaan diri dari pak Gumilar." Tuntas Tuan Argani, yang setelah itu melihat tulisan steno pak Gentala yang begitu rapi. Pak Gentala membalas tatapannya, "Lanjutkan keteranganmu!!!" Tukasnya.
Tuan Argani pun segera melanjutkan "Dr. Arya, dari Malioboro akan segera dipanggil, untuk melakukan pemeriksaan post-mortem. Polisi yang berada di lokasi hanya diam membisu, tapi aku yakin mereka tidak tahu perihal identitas si pembunuh.".... "Nah, ini yang ku maksudkan Pak Gentala, Tuan Jenar menunggumu. Sekarang aku harus meneleponnya dan segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan!!." ujarnya. Tuan Gentala mendongak keatas, menghentikan apa yang ditulisnya. "Salah satu detektif paling cakap di Jogja, telah ditugaskan menangani kasus ini?,. Hem,. Sepertinya kita akan mudah memecahkan misteri ini" Lanjutnya, dengan sedikit mengernyitkan dahi. "Jika Anda mau, Tuan" kata Tuan Argani membalas dengan senyuman lega.
"Dan Nona Anjani? Apakah dia ada di sana juga? Bagaimana dengan kabarnya?" Tanya pak Gentala. "Dia pasti pingsan karena shock atas tragedi ini" jawab Tuan Argani. "Saya tidak akan memasukkannya ke dalam catatan, Tuan Gentala," kata sebuah suara pelan yang datang dari arah pintu kantor yang sedikit terbuka. Rupanya itu Nona Laksmi, seorang wanita pucat dan anggun, yang diam-diam muncul saat diskusi berlangsung. "Saya sudah bertemu dengan Nona Anjani" lanjutnya sambil menoleh kearah Tuan Argani dibarengi dengan senyuman manisnya. "Dan dia masih terlihat cukup sehat wal'afiat, Saya rasa keterkejutannya tidak akan membuatnya pingsan. Bahkan dia lebih aktif melakukan semua yang dia bisa untuk membantu polisi dalam memecahkan kasus ini" ujarnya menyelesaikan.
"Kalau begitu, kuserahkan padamu, Nona Laksmi," katanya sambil tersenyum sesaat. "Berhentilah menulis pak Gentala, kau boleh pergi!..." katanya sambil menolehkan pandangan secara perlahan kepada Tuan Gentala,. "Sekarang Nona Laksmi,. saya harap Anda tahu apa yang saya inginkan." Lanjutnya, melempar senyuman penuh harap.
Bersambung....