"Ibu?" Ulangku dengan panik ketakutan saat aku menatap nanar tempat tidur rumah sakit yang kosong.
Aku terlambat.
Sebuah isak menyayat hati memecah dari bibirku saat aku menjalankan jari melawan seprai kusut. "Tidak!" Aku tersedak dalam bisikan serak.
"Sayang... Apa itu kamu?" Suara bisikan lembut menembus pikiranku. Aku melompat sebagai tanggapan dan berlari ke arah asal suara.
Aku menemukan Ibu duduk di sofa tunggal di pojok jauh ruangan, tubuhnya yang rapuh bersandar pada bantal di belakang punggungnya.
"Ibu!" Aku menangis dan memeluk tubuhnya yang kurus ke dalam pelukan, merasakan hangat tubuhnya yang nyaman pada telapak tanganku yang dingin.
Aku hampir pingsan karena ketakutan, berpikir bahwa dia akhirnya kalah melawan kanker stadium tiga.
Ayah pergi beberapa tahun lalu karena sakit kronis, dan aku masih belum pulih dari kehilangan itu. Pikiran kehilangan Ibu berikutnya sangat menakutkan bagiku.
"A-Aku pikir! A-Aku pikir kau—" Air mataku mengucur deras saat aku berlutut di depannya. Aku hampir tidak bisa bernapas ketika memeluknya dengan erat.
Pelukanku semakin erat, takut bahwa dia akan menghilang jika aku melepaskannya. "Aku tidak akan pergi, sayang." Katanya lembut seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, bahkan jika aku mati, aku akan selalu menjadi malaikat penjagamu." Sambungnya yang membuatku makin menangis keras.
Aku bisa menanggung kehilangan suamiku, tetapi kehilangan Ibu berarti menghilangkan udara yang aku hirup. Ibu terus mengusap air mataku dengan jarinya yang gemetar, memelukku erat saat aku menangis. Ketika pandanganku beralih ke wajahnya, aku melihat air mata yang bersinar di matanya tapi dia tidak menangis, mungkin dia ingin aku melihat seberapa kuat dia meskipun kondisinya.
Kekuatan ibu membuatku merasa lebih kuat juga.
Ketika emosiku akhirnya mereda, aku melepaskan pelukanku. Aku bisa bernapas lebih lega sekarang setelah menangis mengeluarkan rasa sakit dan amarah dengan dukungan Ibu.
"Sebenarnya aku tidak ingin melihatmu menangis, Phoenix. Melihat mata indahmu basah oleh air mata sangat menyakitkan bagiku. Aku mengizinkanmu menangis hari ini, tetapi besok aku tidak akan mengizinkannya lagi." Kata Ibu sambil mengangkat tangannya yang kurus, dan memegang pipiku dengan telapak tangannya. Pandangannya penuh cinta saat mereka mengawasi wajahku, seolah-olah dia mencoba menghafal setiap detailnya. Setelah momen hening yang panjang, akhirnya dia bicara, nadanya lembut dan menenangkan saat dia mengajukan pertanyaan yang aku tahu akan muncul dari bibirnya.
"Apa kamu dan Ace bertengkar?"
Aku menelan setiap kata dan menggigit bibirku tipis-tipis. Enggan menjawab pertanyaan itu, aku pegang tangan keriputnya dan bungkuskan dengan tangan ku. "Kami tidak, Bu." Aku berbohong agar tidak memberinya berita buruk.
"Kamu melakukannya." Katanya, begitu yakin pada dirinya sendiri. "Kamu tidak bisa berbohong padaku, Phoenix. Matamu mengatakan kebenaran." Tambahnya dengan cahaya pengertian yang redup di matanya.
Tak ada gunanya menyembunyikan kebenaran dari wanita yang lebih mengenalku daripada siapa pun, akhirnya kuceritakan padanya bahwa Ace meminta perceraian.
Aku menunggu Ibu untuk mengatakan bahwa aku gila karena memohon pada suamiku untuk tinggal tetapi alih-alih mengkritikku, Ibu memandangku dengan kasih sayang dan pengertian.
"Kamu tidak akan pernah bahagia kecuali kamu melepaskan hal-hal yang membuat kamu sedih. Meski sulit untuk melanjutkan, tidak ada gunanya menahan cinta yang tidak lagi menjadi milikmu." Ibu mengangkat jarinya dan menyentuh wajahku, saat itulah aku menyadari air mata kembali mengalir di pipiku.
"Aku sudah melakukan itu, bu, aku membebaskannya."
"Kamu melakukan hal yang benar, sayang, Kamu adalah wanita kuat dan aku sangat bangga padamu." Senyum lembut Ibu membuat hatiku luluh. Dia membelai rambutku yang kusut sambil perlahan melepaskan ikatannya.
"Jadi berhentilah menangis, kamu tidak kehilangan apa-apa malam ini. Sebaliknya, kamu merebut kembali kebebasan dan harga dirimu." Tambahnya sambil menatap mataku yang berbeda warna dengan penuh kasih sayang. Mata kiriku berwarna hijau laut, sementara mata kananku berwarna madu, kondisi mata langka yang disebut Heterochromia Iridis.
Keramahan nadanya menghentikan air mataku. Aku bangun dari lantai dan segera mengangkat Ibu dari sofa.
"Udah larut, Bu, waktunya ibu tidur. Aku akan di sini untuk merayakan ulang tahunmu besok."
Dia tidak protes. Ibu begitu ringan sehingga aku tidak kesulitan memindahkannya dari sofa ke tempat tidur. Tidak lama Ibu tertidur. Aku mendengarkan dengkurannya yang lembut saat melihat naik turunnya dada.
"Aku sayang kamu." Bisikku lalu mencium pipinya. Bibirku tertarik dalam senyum saat aku mendengarnya menjawab 'Aku juga sayang kamu' dalam tidurnya.
Aku kemudian duduk di sofa tunggal dan mencapai gitar yang bersandar pada dinding. Gitar itu adalah kekayaanku, kado dari Ibu saat aku berusia 18 tahun. Aku sangat menghargainya.
Aku memetik senarnya, dan kehangatan yang menenangkan menyebar ke seluruh tubuhku saat aku mendengar suara ajaib itu.
Aku mulai menyanyikan lagu sedih yang lembut tentang perpisahan dengan satu-satunya pria yang pernah aku cintai, meskipun dia tidak ada di sini untuk mendengarkannya. Akhirnya, aku tertidur, kelelahan dari peristiwa di hari itu.
Aku memimpikan Ace, dan dalam mimpi itu dia mencintaiku. Tapi kemudian mimpi mengabur bahagia itu terbangun oleh teriakan panik keras.
"KODE BIRU - KODE BIRU - PASIEN TIDAK MERESPON!"