Di tengah kesadaran Abigail yang memudar, realita menjadi kabur dan terfragmentasi. Dunianya menyempit pada perjuangan untuk bernapas dan upaya putus asa tubuhnya untuk menangkal kegelapan yang mendekat.
Pada saat yang mencekam itu, ia mendengar suara dentuman rendah. Genggaman di sekitar lehernya kendur. Pembebasan itu seperti jangkar, dan dia terengah-engah mencari udara, paru-parunya rakus menyerap oksigen yang selama ini sulit ditemui.
Batuk dan tersedak, indra Abigail kembali dengan hujan sensasi. Dadanya berdenyut dengan protes, setiap tarikan napas menusuk seperti pisau. Perutnya, yang sudah lemah, semakin sakit karena intensitas perjuangan. Tapi di tengah rasa sakit dan kebingungan, dia menyadari adanya orang lain di ruangan itu.