Chereads / Retakan Di Jalur Undangan / Chapter 3 - Bab 2 (Rumah sakit)

Chapter 3 - Bab 2 (Rumah sakit)

"Yan, coba ke sini!" panggil salah satu dokter kandungan bernama Bu Aminah. Sembari menunjuk lantai yang masih kotor dengan bercak darah.

"Oh iya maaf, saya lupa membersihkannya, " jelas pria yang bernama Hayan.

"Kemarin sudah saya bersihkan, tapi hari ini kok masih ada lagi ya?" pikirnya.

"Saya ingin ini segera dibereskan ya," ucap Bu Aminah dengan tersenyum.

Hayan yang penasaran pun bertanya,

"Kemarin ada kejadian apa lagi Bu?"

Bu Aminah menghela napas, sebelum akhirnya ia berbicara pelan.

"Sebenarnya kemarin malam, saya melihat seorang pria membawa wanita dan anak bayi di rumah sakit, sebelum saya pulang."

"Sayangnya,...."

Tiba-tiba ada salah satu dokter memanggil Bu Aminah untuk segera ke ruangan. Hayan hanya bisa tersenyum dan menahan rasa penasarannya. Ini sungguh aneh buatnya, Siapa pria yang membawa wanita penuh darah seperti itu ke rumah sakit? Apa dia telah membunuh wanita itu? Seketika bulu kuduk Hayan berdiri membayangkannya!

***

Hayan terduduk di kursi rumah sakit sembari istirahat. Kehidupannya hanyalah sekedar menjadi Office Boy di rumah sakit yang bernama RS. Bhakti Pertiwi, sejak 3 tahun yang lalu. Waktu itu, ia hanyalah seorang tukang kebun di rumah Pak Harno, kini ia lega bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan di rumah sakit.

"Enak banget sekarang Pak Harno, bisa menjadi orang sukses dan menawarkan pekerjaan hebat ini ke saya."

Hayan mulai menikmati hembusan angin di taman rumah sakit itu. Suasana siang itu memang tampak ramai dipenuhi suara anak-anak dari keluarga yang sedang berkumpul di tiap ruangan. Sudah lama semenjak kabar mengerikan yang terjadi di rumah sakit ini. Banyak kisah horror yang katanya akan membuat bulu kuduk berdiri. Tapi untungnya Hayan masih betah-betah saja untuk bekerja demi uang membiayai hidupnya.

"Heh Yan! Kamu kok malah ngelamun si sore-sore gini, gak baik tau!" ucap seorang pria bertubuh tegak dengan wajah khawatir. Kumis Tarno, merupakan ciri khas dari teman satu bangku SMP Hayan. Ia pun tak menyangka bisa bekerja bersamanya di rumah sakit ini.

Hayan baru-baru saja bekerja di rumah sakit yang ditawarkan oleh Pak Harno. Melihat temannya Tarno juga bekerja disini, ia semakin bersemangat. Meski Tarno adalah orang yang lebih tahu banyak tentang pekerjaan di rumah sakit yang biasanya bisa dikerjakan sampai larut malam jika dibutuhkan.

"Jadi orang tu, jangan sering ngelamun tau Ndak? Di rumah sakit, segala macam yang namanya makhluk halus juga tetap ada." Begitulah celoteh Tarno sembari ikut duduk beristirahat di samping Hayan.

"Heh, hehehe iya juga si, tapi No kamu kemarin malam ikut ngelihat kejadian gak?" tanya Hayan yang masih diliputi rasa penasaran.

"Halah, kamu itu loh, ngomong kok gak jelas!" balas Tarno acuh.

"Bener No, tadi pagi, aku sudah bersihin bercak darah di dekat tempat persalinan, anehnya ..." Hayan menghentikan perkataannya. Sementara tubuhnya terasa bergetar hebat. Apakah ia merinding? Atau justru ketakutan akan keberadaan makhluk halus.

Tarno yang memperhatikan gerak tubuh Hayan yang ketakutan itupun. Berusaha untuk membuatnya tenang.

Ia pun menghela napas panjang dan berkata, "Di mana-mana kita tidak perlu takut dengan sesama ciptaan Allah SWT, emang kamu yakin jika kejadian itu sama dengan yang kamu pikirkan? "

Hayan pun menggeleng pelan berusaha untuk tenang. "Iya, tapi masih terlintas dalam pikiran ku No, kalau darah tadi pagi sudah kubersihkan. Tapi sore ini tadi, Ibu Aminah ngira aku belum bersihkan!"

"Aku pikir No, itu adalah darah orang lain. Tapi ko anehnya, berada di tempat yang sama gitu, apa ada orang melahirkan terus ya? Kok bercak darah terus-menerus ada padahal sudah dibersihkan," jelas Hayan dengan wajah penuh tanya.

"Mungkin cuma kebetulan aja Yan, lagian kamu selama kerja disini juga gak ada gangguan apa-apa kan?" tanya Tarno padanya.

"Enggak, cuma kalau kebetulan gini mah, bikin aku deg-degan, kalau sekedar cerita mah, gak apa-apa."

Hayan tersenyum kecut menanggapi pertanyaan Tarno.

"Ha-ha-ha, ya namanya aja, hidup Yan, gak terlepas dari yang namanya cari uang, cari mati, cari bini, dan makhluk halus!" ucap Tarno sembari tertawa ngakak.

"Heleh, apa lucunya?" tanya Hayan sembari menahan senyum.

"Nih kopimu!" ucap Tarno sembari menyodorkan kopi yang sedari tadi ditaruh di samping badannya. Lebih tepatnya di atas kursi panjang yang tengah ia duduki bersama Hayan.

"Terima kasih banyak No," ucap Hayan sembari menyeruput sedikit kopi yang kini tengah berada di tangannya.

Begitupun dengan Tarno, aroma kopi yang seakan memikat mereka berdua untuk terus bersemangat dalam bekerja. Terlebih lagi, kehidupan yang masih panjang di luar sana. Pikiran mereka melayang diantara sunyinya rumah sakit yang semakin ditinggalkan oleh orang-orang yang berlalu-lalang. Menyisakan suasana sunyi yang hanya dihiasi indahnya aroma kopi.

Malam ini giliran Hayan, yang ikut membantu Tarno menjaga sekaligus membersihkan keperluan rumah sakit, baik lantai, taman, dan setiap kamar Pasien yang sudah dipindahkan, ataupun ada panggilan khusus yang memerlukan bantuan mereka.

***

Malam hari, Jumat pukul 01.05 di RS.Bahkti Pertiwi.

Suara sirine ambulan telah tiba di lokasi Rumah sakit. Beberapa orang dipenuhi oleh Isak tangis dan syok terhadap apa yang mereka alami. Korban kecelakaan parah yang terjadi tidak jauh dari rumah sakit. Menambah mencekamnya keadaan saat itu.

Derit ranjang jenazah menggiring tubuh korban yang siap dimakamkan esok hari. Namun, tubuh yang kini nampak tidak utuh itu, harus berdiam di ruang outopsi untuk mendapatkan perawatan khusus sebelum pemakamannya.

Sungguh tragedi yang malang dan tragis yang harus dialami oleh sang korban.

Seorang pria dengan muka yang hancur dan dilumuri penuh cairan merah. Terlihat kepala yang pecah dengan otak berceceran, Hayan hanya bisa terus berdoa sembari membantu pembawaan ranjang korban menuju tempat mayat.

Pak Anim, tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumah Hayan, turut hadir di lokasi rumah sakit. Untuk pengurusan jenazah.

"Maaf ya Yan, saya jadi ngerepotin kamu," ucap Pak Anim sembari menepuk pundak Hayan.

Dengan baju Koko serba putih itu Pak Anim menampakkan sosok seperti seorang ayah bagi Hayan. Semenjak ia kehilangan seorang Bapak dalam hidupnya. Saat itu Hayan masihlah berdiam di bangku Sekolah Dasar. Ayah Hayan, meninggal karena tragedi kebakaran yang sempat menimpanya. Semenjak itu pula, hidupnya menjadi tidak berkecukupan. Hanya Pak Anim dan Pak Harno yang menjadi sosok teladan bagi Hayan saat itu.

Pak Anim merupakan tetangga dekat yang juga peduli terhadap Hayan. Meski sebagian besar hidupnya selalu dikucilkan oleh orang-orang yang tidak suka padanya. Meski beliau hanyalah pekerja pengurus jenazah, berbeda jauh dengan Pak Harno yang otomatis sudah menjadi tuan rumah juga tuan tanah dimana-mana.

Hayan tersenyum pada Pak Anim, "Iya Pak, saya senang bisa ikut membantu dan bekerja di sini, jadi tidak merepotkan ibu di rumah."

Pak Anim terkekeh mendengar balasan Hayan, tak disangka Hayan kini tumbuh mandiri dan bisa merawat ibunya sendiri.

"Kamu hebat Yan, sudah mau menerima keadaan walaupun sulit, kamu masih terus berjuang demi orang tua,"ucap Pak Anim.

Pak Anim pun berjalan pergi tanpa melanjutkan kata-katanya. Tanpa alasan, Hayan sudah berdiri sendirian di depan pintu ruang jenazah. Hayan yang tertunduk menatap lantai rumah sakit itu, seketika terperanjat kaget, melihat cairan darah yang mengotori keramik putih di bawah kakinya.

"Kotor lagi, kotor lagi," keluhnya dalam hati.