"Ray… Ray…" suara bisikan seorang perempuan yang menggema sekitar tubuh Ray, membangunkannya dari tidurnya. Ray pun membuka matanya, tetapi menemukan dirinya mengambang di ruang hampa dan gelap membuat dirinya bingung akan dimana posisinya saat ini.
"Ini dimana…" gumamnya sembari melihat-melihat keadaan sekitar. "Hallo? Ada orang? Siapa tadi manggil nama gue?" ucap Ray sedikit lantang. Seperti yang Ray kira, tidak ada yang menjawab. Ray pun bingung mengapa hal ini terjadi kepadanya, walaupun sudah beberapa kali terjadi, namun baru kali ini mendengar suara yang memanggilnya di ruang hampa tersebut.
Tidak lama kemudian, suara perempuan tersebut terdengar kembali. "Ray bangun, cepat sadar. Dia ada disini." kata perempuan itu dengan nada kekhawatirannya. Ray yang mendengar perkataan itu, semakin bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi disini. Saat Ray memutarkan badannya ke belakang, tiba-tiba terdengar suara lelaki yang kasar berkata, "Dirimu kah yang dia maksud?" sekejap bulu kuduk Ray berdiri mendengar suara lelaki tersebut, dan merasakan kehadiran sesosok yang sedang berdiri tinggi di belakangnya ini.
Dengan meneguk liur sendiri, Ray memberanikan diri untuk memutarkan kembali badan ke arah berlawanannya. Tidak menduga, mata Ray membelalak dan badannya gemetar saat melihat sosok yang berada di belakangnya tersebut. Sesosok yang tinggi nya dua meter lebih, terselimuti kabut pada seluruh tubuhnya, hanya terlihat kedua mata tajam yang seharusnya pelindung mata tersebut berwarna putih, melainkan berwarna hitam, dan warna mata yang merah menyorot melihat ke arah Ray.
Badan Ray yang masih tidak berkutik bergerak, perlahan kedua tangan dari sosok tersebut mendekati leher Ray, dan mencekiknya. Ray menyadari bahwa sosok yang di depannya ini bukanlah manusia, tekstur kulit dan bentuk tangan sosok tersebut yang sekarang menyelimuti leher Ray, sangat berbeda dari tesktur dan anatomi tubuh manusia. Di detik berikutnya Ray menggeliat mencoba untuk melepaskan diri dari genggaman sosok ini, namun tidak ada hasilnya. Ray pun sekarang berteriak sekencang mungkin, dengan harapan bahwa bisikan perempuan yang sebelumnya terdengar oleh Ray, bisa menyelamatkan Ray dari cengkraman sosok ini.
"TOLOOONG! SIAPAPUN DISANA! TOLOOONG!!!" teriak Ray ke ruang hampa tersebut. Namun, hal tersebut hanya membuat jengkel sosok di depannya yang terlihat dari ekspresi kedua matanya. Sosok tersebut melepaskan salah satu tangannya dari posisi cengkaraman, seketika tangan tersebut menggenggam lidah Ray, dan menariknya tanpa ampun membuat lidah Ray terlepas dari tubuhnya dan darah keluar deras menenggelami tenggorokannya tersebut. Ray menjerit kesakitan setelah apa yang terjadi kepadanya, dan melihat eskpresi kedua mata sosok tersebut berubah menjadi kesenangan, "Makhluk apa sebenernya lu… Bangsat…" gumamnya dalam hati seraya menahan sakit yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tak lama kemudian, kesadaran Ray perlahan mulai hilang.
Sebelum Ray benar-benar hilang kesadarannya, terdapat sinar yang menyinari di belakang sosok tersebut dan berteriak "Lepaskan dia sekarang jugaaa!". Ray berpikir tidak ada yang akan menyelamatkannya, tetapi walaupun ada yang menyelamatkannya, sudah terlambat. Dengan pikiran terakhirnya tersebut, Ray sudah tidak sadarkan diri.
Sekejap Ray terbangun dengan tubuh terhentak kearah kasurnya, seolah-olah dirinya baru saja melayang diatas ranjang tidurnya. Tubuh lemasnya yang terbaring, sekarang diselimuti oleh keringat dingin karena tubuhnya merasakan hal yang sangat mengerikan telah terjadi kepada tubuhnya tersebut. Bulu halusnya terus bergidik selama beberapa saat, yang membuatnya menyadari betapa mengerikannya mimpi tersebut yang baru saja ia rasakan. Tak lama kemudian, tersadar dari lamunannya, Ray segera menyentuh lidahnya, untuk menemukan bahwa benar lidahnya masih utuh, dan hal itu hanyalah sebuah mimpi. Ray menghela napas lega.
Tiba-tiba seseorang wanita membuka pintu kamarnya, "Mas Ray, saatnya kita lakukan check up ya. Kondisinya gimana hari ini…" ucap wanita tersebut sambil menulis di kertas pada papan berjalan yang dibawanya. Ray yang berbaring di ranjang tidur, seketika teringat bahwa ia sedang berada di rumah sakit. Lampu pun dinyalakan oleh suster tersebut sembari melihat ke arah Ray dan bertanya "Jadi bagai..ma…" sebelum suster tersebut dapat menyelesaikan pertanyaannya, seketika mata suster membelalak dan melontarkan pertanyaan "Ini kenapa bisa berantakan seperti ini ruangannya.". Ray yang terbaring di kasur bingung akan pertanyaan tersebut. Tidak lagi ia melihat langit-langit ruangan, Ray pun melihat ke sekitar ruangannya. Ray tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya saat ini, keadaan di sekitar ranjangnya sangat berantakan, seperti angin tornado telah melanda ruangan tersebut. "Tapi kenapa gue sama ranjang nggak kenapa-napa ya." gumamnya dengan ekspresi heran.
Suster pun langsung mengambil telfon darurat yang berada di kamar, dan menelfon rekan kerjanya untuk segera membersihkan ruangan ini. "Mas Ray selagi ini akan dibersihkan, kita pindah ke ruang yang lain dahulu ya. Mohon nunggu dulu, nanti ada yang bantu buat mindahin ranjangnya." ucap Suster. Ray mengangguk.
Setelah melihat apa yang terjadi di sekitarnya, Ray tiba-tiba merasakan pusing dan seluruh ruangan tersebut serasa berputar-putar. Refleks tangan Ray memijat-mijat kepalanya namun tak kunjung reda. Tak lama kemudian, ia pun pingsan. Suster yang melihat hal ini menyegerakan untuk dapat memindahkannya ke ruang lain.
Di pagi hari, Ray mulai sadar kembali walaupun dengan rasa pusing yang masih tertinggal di kepalanya. Saat membukakan matanya, dengan pandangan yang masih samar-samar, ia melihat sesosok bayangan hitam di pojok kamarnya. Ray tidak bisa melihat dengan jelas bayangan apa yang berada di kamarnya tersebut. Namun secara tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan ibu Ray menatapnya dengan tatapan kesedihan sambil menahan air mata. Seketika ibunya langsung bergegas ke ranjang tidur Ray dan menggenggam tangannya.
"Nak… Baguslah kalo kamu sudah sadar…" sembari mengusap air mata yang perlahan menetes.
"Mah… Kenapa kok nangis?" tanya Ray kebingungan.
"Mamah khawatir kamu nggak bangun-bangun lagi…" jawab sang Ibu sambil menahan tangisan dan kesedihannya.
"Maksudnya nggak bangun-bangun lagi? Kan baru kemarin aku pingsannya mah…" ucap Ray.
Sebelum ibunya bisa menjawab, seorang dokter laki-laki yang sudah berumur pun masuk. "Gimana kabarnya? Baguslah akhirnya udah bangun." ucap dokter sembari tersenyum. "Dok maksud ibu saya kalo saya nggak bangun-bangun lagi itu apa dok?" tanya Ray dengan penuh penasaran. Mendengar pertanyaan tersebut, dokter pun menyiapkan diri untuk menjelaskan. "Jadi, yang dimaksud sama ibu kamu, seperti apa yang kamu dengar. Karena, kamu tertidur selama tiga hari penuh setelah kejadian yang kemarin." ungkap sang dokter sambil membaca catatan medis Ray pada papan berjalan.
Ray yang terbaring di ranjang menatap sang dokter dengan tatapan tidak percaya. "Tiga hari dok?" ujar Ray sambil menundukkan kepala dan menatap kedua tangannya. "Kalo diliat dari track record medis kamu, memang dari dulu kamu selalu suka sakit-sakitan. Tetapi untuk hal ini, adalah pertama kalinya. Secara diagnosa medis, badanmu itu memiliki keanehan, walau tidak bisa kami ketahui apa penyebabnya bisa tidak sadar sampai 3 hari, tapi kami sudah melakukan treatment yang memungkinkan untuk kamu bisa sembuh kembali." ucap dokter.
Seketika Ray dipenuhi oleh perasaan sedih yang meluap dalam dirinya dan rasa bersalah terutama kepada ibunya. Ray pun teringat kembali, pada saat ia kecil, sering kali dirinya dibawa ke rumah sakit. Yang membuat pernikahan kedua orang tuanya menjadi kandas, karena biaya yang ditimbulkan dari pengobatan sungguhlah banyak. Setelah kedua orangtua nya bercerai, Ray pun hanya diasuh oleh ibunya. Dimana sering kali ibunya bekerja dari pagi sampai malam untuk dapat membiayai semua biaya medis yang ditimbulkan dari sakitnya Ray. Sampai sekarang pun, di usia Ray yang sudah 23 tahun, bagaimanapun usaha yang dilakukan oleh Ibunya dan Ray masih tidak membuahkan hasil untuk tetap menjaga diri Ray sehat.
Ray termenung sambil menantap kedua tangannya yang sedang menggenggam erat selimutnya tersebut. Dalam otaknya sedang beradu sebab dan akibat dari apa yang dipikirkannya sekarang, yaitu apakah harus tetap hidup atau mati saja saat ini. Dirinya tidak tega melihat ibunya yang berjerih payah untuk menghidupinya saat ini, dan Ray pun tidak dapat begitu membantu ibunya karena diri Ray memang lemah secara fisik.
"Sekarang harus banyak istirahat, makan dan minum obat teratur agar cepet kembali sembuh. Satu-satunya nasehat yang bisa saya kasih untuk sekarang." ucap dokter tersebut sambil menatap kasihan kepada Ray. "Semoga cepet sembuh biar nggak buat ibumu ini khawatir.". Dokter pun pergi meninggalkan Ray, untuk memeriksa pasien yang lainnya. Ibunya pun beranjak dari duduknya dan mengikuti dokter tersebut.
Tak lama setelah ibunya pergi, Ray masih termenung dalam pikirannya. Ray masih bimbang dalam keputusan apa yang harus diambil, apakah dengan kematiannya akan membuat Ibunya tersebut mampu mendapatkan kehidupan ideal yang Ibunya inginkan atau akan membuatnya menjadi putus asa akan kehilangan satu-satunya anak yang lahir dari pernikahannya yang indah sesaat itu. Dirinya pun tidak mengerti bagaimana dampaknya jika Ray memutuskan untuk bunuh diri, tetapi yang pasti adalah dengan bunuh diri akan meringankan beban Ibunya tersebut. Tidak akan ada lagi sakit yang tiba-tiba dan sesering itu saat Ray masih hidup. Dalam lamunannya, Ray meneguk ludahnya, seakan-akan alam bawah sadarnya telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya tersebut.
Ray pun melihat sekitarnya untuk mencari benda yang dapat mengakhiri hidupnya ini. Tetapi dikarenakan ruangan tersebut adalah ruang untuk pasien sakit di rumah sakit, tentu saja tidak akan ada benda tajam tergeletak dimana pun ia mencari. Saat melihat-lihat sekitarnya kembali, diujung pandang matanya terlihat jam di dinding yang menunjukkan sebentar lagi jam dua belas siang, dimana normalnya pasien yang sakit akan dibawakan makanan beserta alat makan dan obat yang akan diminum. Ray pun akhirnya menemukan alat yang dapat membantunya untuk bunuh diri. Mengetahui fakta ini, Ray kembali terlentang pada kasurnya tersebut, dan tinggal menunggu jam makan siang untuk para pasien yang sakit.
Tak lama kemudian, suster pun datang membawa makanan, minuman, serta obatnya. "Siang mas, ini makan siangnya, saya taro disini ya. Jangan lupa diminum obatnya juga, biar cepet sembuh." ucap suster sembari meletakkan nampan makanannya pada meja memo yang melekat di sisi kanan ranjang Ray. "Terimakasih suster." ucap Ray dilanjut dengan senyum. Suster yang melihat senyum Ray, tiba-tiba merona pipinya. Suster pun segera langsung keluar untuk mengantarkan makanan ke pasien sakit lainnya.
Ray segera terbangun dan duduk merubah posisi terlentangnya, yang dilanjut dengan menggeser meja memo yang melekat pada rangka ranjang kehadapannya. Ray pun menelusuri sekilas apa saja yang ada di nampan tersebut, dan berharap bahwa alat yang dapat membantunya benar datang bersama nampan makanan yang disajikan. Ia pun melihat sebuah peralatan makan yang bungkus dengan plastik putih di sebelah makanan utama tersebut. Tanpa berpikir panjang, Ray membuka plastik tersebut mengharapkan akan ada pisau yang dapat menyukseskan rencananya dalam mengakhiri hidupnya. Yang dirasakan dari indera peraba Ray saat menggenggam bungkus tersebut, benar terdapat sebuah pisau di dalamnya, tetapi seketika saat Ray membuka bungkus tersebut, yang ditemukannya hanyalah sebuah kekecewaan.
Memang bentuk yang dirasakan oleh Ray adalah sebuah pisau, tetapi pisau tersebut terbuat dari plastik yang cukup kokoh. Hal ini membuat dirinya geram, apakah ini pertanda dari tuhan jika Ray sebenarnya tidak perlu mengakhiri dirinya? Tetap teguh pada keputusannya, Ray melemparkan alat makan tersebut ke sisi ranjangnya. Seiring detik berjalan, Ray memikirkan cara lain untuk mengakhiri hidupnya. Melihat piring dan gelas-gelas yang berada di nampan, terdapat satu alternatif lain untuk dapat menyukseskan keputusannya. Yaitu dengan membanting salah satu item yang ada di nampan tersebut, dan berharap pecahan yang terjadi, menghasilkan serpihan cukup tajam untuk bisa melukai dirinya.
Ray tenggelam dalam pikirannya ketika melihat tiga benda tersebut yang berada di nampan. Piring yang ia lihat cukup besar dan berat, dan Ray pun mengetuk pinggir piring tersebut tetapi suara yang dihasilkan tidak nyaring dan sedikit memendam, yang mengindikasikan piring tersebut tidak terbuat dari kaca. Ray pun berlanjut ke benda gelas yang ada, pada nampan yang ada terdapat dua gelas, gelas yang cukup tinggi dan gelas yang pendek. Kedua gelas yang berada dihadapan Ray ini terbuat dari kaca, yang membuat Ray bisa memilih salah satu dari yang ada. "Sepertinya gelas yang tinggi ini bisa dipake buat bunuh diri." pikir Ray tanpa berpikir panjang.
Tetapi saat Ray ingin menggenggam gelas tinggi tersebut, Ray menyadari bahwa gelas yang tinggi ini jauh lebih tebal daripada gelas yang pendek di sebelahnya. Sangat beruntung bagi Ray tidak terburu-buru langsung membanting gelas tinggi tersebut ke lantai, karena bisa saja yang terjadi adalah gelas yang ia lemparkan ke lantai ini tidak akan pecah sempurna yang akhirnya akan berdampak pada para suster yang menjaga mendengar hal ini dan menggagalkan Ray menemukan serpihan yang tajam. Walaupun membanting gelas pendek satunya akan tetap membuat suara, tetapi akan meningkatkan persentasenya Ray mendapatkan serpihan gelas yang tajam. Ray menghela napas lega.
Seraya menenangkan dirinya, Ray memeriksa jam yang ada di dinding ruangannya, dan jarum jam menunjukkan bahwa sudah sepuluh menit berlalu. Ray meneguk ludahnya sembari berpikir bahwa hal ini harus segera dilakukan sebelum Ibunya kembali dari dokter tersebut. Tak lama kemudian, Ray menggenggam gelas kaca pendek tersebut sembari menggeserkan kembali meja memo ke sisi kanan ranjangnya, dan membanting gelas itu sekeras-kerasnya ke lantai tanpa berpikir panjang.
Ray sekarang miliki waktu paling maksimal satu menit semenjak suara pecahan ini menyeruak ke seluruh ruangannya ini. Ia pun bersegera bangkit dari ranjangnya walaupun masih lemas tubuhnya. Posisinya yang sekarang terduduk di ranjang, Ray dengan segera memutarkan badannya ke sisi kanan ranjang dimana gelas itu dipecahkan. Tetapi ditengah menggerakkan tubuhnya ke kanan, tangan kiri Ray merasakan sakit seperti ditusuk jarum. Ray secara refleks memandang kearah tangannya tersebut yang sekarang mulai mengeluarkan darah. Ia baru ingat bahwa di punggung tangan kirinya tersebut masih terpasangkan jarum ke nadinya agar infus mengalir ke tubuhnya. Sekarang Ray merasakan jarum yang tertanam dipunggung tangannya tersebut terasa menusuk ke area lain yang seharusnya tidak tersentuh oleh jarum tersebut.
Dengan darah yang lambat laun terlihat semakin banyak pada punggung tangannya, Ray hanya bisa menahan rasa sakit yang ada dan mengambil napas panjang, setelahnya Ray dengan susah payah segera mengambil infus yang tergantung di tiang pada sisi kiri ranjang menggunakan tangan kanannya. Saat ini tubuhnya yang masih lemah mulai mengeluarkan keringat, dan banyak pertanyaan yang berpantulan di kepalanya tersebut. Apakah suster sebentar lagi akan datang? atau apakah luka dipunggung tangannya tersebut akan semakin sakit kedepannya? atau apakah dirinya dapat menemukan serpihan gelas yang tepat untuk bisa mengakhiri hidupnya? dan sebagainya terus berpantulan. Saat ini Ray hanya bisa berharap yang terbaik.
Sekarang dirinya terposisi pada arah gelas kaca tersebut dipecahkan. Sekali lagi Ray menarik napas panjang. Ray pun turun dari ranjang tersebut dan duduk bertongkak lutut kirinya di lantai, sembari menggantung tangan kirinya di udara, agar darahnya tidak berceceran pada lantai tersebut. Setelahnya Ray dengan segera mencari benda tajam yang ideal pada serpihan-serpihan gelas yang bertaburan di lantai. Setelah beberapa saat menyeleksi serpihan yang ideal, akhirnya Ray menemukan serpihan tajam dengan ukuran yang cukup. Ray pun berdiri dan melihat-lihat sekitar ruangan untuk tempat penyimpanan serpihan ini.
Tempat teraman yang Ray dapat pikirkan adalah menyembunyikannya pada celana dalam ia sendiri, namun jika ia sembunyikan tanpa adanya kain yang menyelimuti serpihan itu, pasti akan menyayat-nyayat kulitnya tersebut. Ray pun mengubah pencarian untuk penyimpanan menjadi pencarian selembar kain. Di tengah pencarian, tumit kaki kanan Ray merasakan menyentuh sesuatu. Ray secara refleks melihat ke arah tumitnya tersebut, dan menemukan bahwa itu ada bungkus yang berisi peralatan makan. Ia pun bergegas mengambil bungkus tersebut dengan tangan kanannya, dan memeriksanya. "Ini sepertinya cukup tebel supaya nggak nyayat kulit." ucap Ray sambil mengeluarkan isinya dan menempatkannya pada nampan makanan.
Di luar ruangan, terdapat dua suster yang kebetulan sedang menjaga meja depan stasiun perawat yang tidak jauh dari ruangan dimana Ray di rawat, mendengar suara pecahan gelas tersebut. Kedua suster tersebut saling menatap satu sama lain, keduanya saling mengisyaratkan agar salah satu diantara mereka menyelidiki sumber suara tersebut dan apa penyebabnya. Namun keduanya tidak ada yang mengalah. "Udah kita suit jepang aja biar adil." saran salah satu suster tersebut. "Oke kalo gitu, tapi yang menang tiga kali pertama ya." jawab suster satunya sambil menyingsingkan lengan bajunya. Setelah beberapa ronde adu suit, akhirnya salah satu suster yang kalah pun beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke arah suara tersebut.
Ray yang di dalam ruangan tersebut, ditengah memasukkan serpihan tajam ke dalam bungkus, mendengar suara hentakan sepatu mid heel pump yang semakin mendekat ke ruangan Ray. Detak jantung Ray berdegup dengan kencang, rasa sakit dipunggung tangan kirinya yang lambat laun semakin terasa, pola napas yang mulai tidak terkontrol, dan keringat dingin yang terus berderai pada tubuhnya, dalam benaknya ini mungkin hal yang paling gila dan ekstrim yang pernah dilakukan. Karena mengakhiri diri sendiri bukanlah pemikiran yang datang tanpa adanya sebab, tetapi Ray rela melakukannya agar kehidupan orang yang disayangnya tidak terbebani dan Ray telah berdamai dengan dirinya untuk menerima keputusan itu. Ray menyeka dahinya dan bergegas memasukkan bungkus tersebut ke dalam celana dalamnya, sekaligus bersusah payah kembali ke ranjang dengan infus yang sudah tergantung kembali di tiang.
Saat Ray sudah kembali di ranjang, beberapa detik kemudian pintu ruangan terbuka yang memperlihatkan suster dari stasiun perawat tersebut. "Ya ampuuun... Ada apa ini?" tanya sang suster sambil berjalan mendekati ranjang tidur Ray yang seiring jalannya menyadari serpihan gelas yang ada dan darah ditangan kiri Ray. "Astaga tangan kirinya juga sampe berdarah banyak gitu." ucap suster tersebut khawatir. Suster pun bergegas mengambil telfon darurat yang berada di ruangan, dan menginformasikan kepada rekannya untuk memanggil divisi kebersihan dan alat medis yang dibutuhkan. "Tolong bersabar ya mas, nanti ada yang dateng buat ngebersihin dan minumnya akan kami ganti. Nanti akan saya bantu untuk makannya ya, sepertinya masih kesusahan untuk makan." ucap suster tersebut sembari melangkah keluar ruangan.
Ray menghela napas lega, karena aksi yang dilakukan olehnya ini dianggap seperti kecelakaan tidak disengaja. Sekarang Ray harus benar-benar menjaga serpihan kaca yang dia sembunyikan ini, agar tidak perlu melakukan kedua kalinya. Adrenalin yang dirasakan Ray pada rangkaian kejadian itu sudah mulai mereda, dan rasa sakit yang berasal dari punggung tangan kirinya tersebut mulai merangkak kembali. Beberapa menit kemudian, suster yang sama kembali dengan staff kebersihan, yang sekarang bergegas untuk membersihkan kamarnya dan menggantikan air minum Ray. Sembari staff kebersihan menjalankan tugasnya, suster tersebut membawa peralatan medis untuk membersihkan dan mengobati tangan kiri Ray.
"Suster makasih ya, maaf ngerepotin banget." ucap Ray sembari senyum sekaligus berlagak berlega hati kepada suster. Suster yang melihat senyuman Ray, seketika tugas yang dilakukannya saat ini terlupakan, dirinya terpedaya. Selagi Beberapa saat suster mendapatkan dirinya mengandai-andai sepanjang menatap wajah Ray, seperti telah menemukan pria idaman yang akan membawanya pergi dari kejamnya dunia. Dirinya luluh dihadapan seorang pasien yang lemah berkulit pucat ini, hanya dengan sebuah senyuman. "Suster?" tanya Ray bingung melihatnya menghentikan tugasnya dan hanya menatap. Suster pun mengedipkan matanya berulang kali dilanjut menggeleng-gelengkan kepalanya untuk membangunkannya kembali ke kehidupan nyata. "O-oh.. iya nggak apa-apa mas, udah tugasnya kok." jawab suster sedikit canggung. Setelah mengobati tangan Ray dan membantunya untuk makan, suster akhirnya pamit meninggalkan ruangan.
Ray sekarang rebahan di ranjangnya dan menatap ke langit-langit ruangan sembari memikirkan persiapan apa lagi yang harus dilakukannya saat melakukan rencananya tersebut. "Sekarang tinggal nunggu pas malem biar lancar." pikir Ray. Lambat laun rasa kantuk mulai terasa dalam dirinya, kedua mata Ray sekarang terasa berat sekali, yang memaksakan dirinya untuk tertidur. Tetapi sesaat sebelum benar-benar tertidur, diujung pandangan mata Ray melihat kembali sesosok bayangan hitam di ruangan tersebut. Walaupun samar-samar, terlihat dua bayangan hitam yang menyerupai wujud manusia. Ray tidak tahu apa sebenarnya sosok yang ada di ruangannya ini, apakah ini malaikat pencabut nyawa? Mungkin. Bisa juga hal ini merupakan halusinasi yang diciptakan oleh pikiran Ray di alam bawah sadarnya, karena untuk dirinya benar-benar bisa menjalankan rencana bunuh diri ini, dibutuhkan pendorong yang menyerupai karakter malaikat pencabut nyawa ini.
Matanya pun terpejam dan sekarang dirinya hanyut dalam alam tidurnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, ibu Ray pun masuk ke dalam ruangan dan menutupnya kembali. Dirinya tidak beranjak dari pintu tersebut, dan hanya menundukkan kepalanya. Tiba-tiba tetesan air mata berjatuhan di sekitar lantai dimana ibu Ray berdiri, tangannya pun mengepalkan kedua tangannya dengan erat karena tidak bisa mengontrol dirinya dari emosi kesedihan yang meluap dalam diri sang ibu.
"Maaf ya nak, mamah kamu nggak bisa ngasih kamu kehidupan yang terbaik, dan tubuh yang sehat juga." ucap ibunya sembari menangis terisak-isak. Beberapa menit setelah bisa mengontrol dirinya kembali, ibu Ray menemani Ray yang sedang tertidur terlelap tersebut. Malam pun tiba, dimana ibunya harus pergi menuju pekerjaan malamnya. Ibunya pun beranjak dari tempat duduk di sisi kanan ranjang Ray, dan mengusap lembut kepala Ray. "Nak, mamah pergi dulu ya. Harus pergi ke tempat kerja walaupun pengen banget nemenin seharian disini." ucap ibunya dengan penuh kasih sayang sekaligus kesedihan. Tapi mau bagaimana lagi? Jika ibunya tidak berangkat untuk mencari uang, siapa lagi yang bisa membayar biaya rumah sakit ini? Ayahnya? Tidak perlu ditanyakan lagi, sangat tidak mungkin. Mau tidak mau ibunya harus berkorban demi kesehatan anaknya tersebut yang telah dititipkan dari tuhan. Ibunya pun bergegas pergi yang ditandai oleh suara pintu menutup di ruangan Ray.
Ray yang di ranjang tidur saat ini, sebenarnya telah terbangun beberapa saat sebelum ibunya mengusap lembut kepalanya. Namun Ray berpura-pura untuk tetap tertidur, dirinya tidak ingin melihat wajah ibunya kembali, karena Ray takut dirinya akan mundur dari keputusannya untuk mengakhiri dirinya malam ini. Dirinya tidak tega melihat kembali wajah ibunya yang sampai saat ini masih berjerih payah mencari uang untuk membayar biaya yang ada. Secara tidak sadar, air mata mulai berderai di kedua pipi Ray. Dirinya mengambil napas panjang, dan menyeka air matanya. Ray pun merubah posisinya menjadi duduk, dan menarik memo meja yang terkait pada ranjang di sisi kanan tersebut dengan tangan kanannya.
Jantung Ray serasa copot di saat pertama kali melihat makanan di nampan tersebut, seketika membuatnya kembali mengeluarkan air mata. Rasa pedih, bahagia, dan emosi lainnya yang bercampur aduk, kembali meluap ke seluruh tubuhnya saat ini. Tidak mungkin dirinya tidak mengetahui bahwa makanan yang berada di nampannya ini adalah masakan ibunya. Karena tidak mungkin secara kebetulan staff dapur rumah sakit akan membuat makanan ini. Sekarang Ray mendapatkan dirinya menatap langit-langit ruangan, mencoba untuk bisa menahan diri, menahan semua emosi yang sedang terjadi di dalam dirinya. Ray merasa sangat beruntung mendapatkan seorang ibu yang sangat peduli kepadanya, dirinya pun sangat berterimakasih pada tuhan telah mendatangkannya ke keluarga ini atau lebih tepatnya ke ibunya tersebut. Setelah beberapa saat mencoba untuk mengendalikan diri, namun dirinya tidak dapat menahan diri lagi dan memakan dengan lahap semua makanan tersebut sembari menangis. "Makasih mah… Bener-bener butuh makanan penenang ini…" pikir Ray dalam hatinya.
Beberapa jam kemudian, jam pada dinding ruangan sudah menunjukkan jam sepuluh malam, suster pun sudah selesai melakukan check up terakhirnya untuk hari ini. Jam-jam ini mungkin jam yang ideal bagi Ray untuk bisa melakukan rencananya tersebut. Ray pun mengeluarkan bungkus yang dia simpan di celana dalamnya dan membukanya. Sekarang serpihan kaca berada di telapak tangan kanan Ray. Melihat serpihan kaca ini membuat bulu kuduknya berdiri, seakan hampir tidak percaya bahwa sebentar lagi akan melakukan aksi bunuh diri menggunakan serpihan ini. Badannya mulai mengeluarkan keringat dingin, dirinya mencoba untuk menenangkan dirinya dengan sebuah tarikan napas yang panjang, dan menghembuskannya secara perlahan melalui mulutnya. Pada saat-saat ini dia sudah membayangkan apa yang harus dilakukannya, lebih tepatnya letak dimana ia akan menyanyat serpihan gelas ini pada tubuhnya. Walaupun sebenarnya dia tidak tahu bagaimana cara pastinya untuk membunuh diri dengan serpihan gelas, namun dia pernah melihat beberapa film sadis yang memberikannya inspirasi untuk melakukannya dengan serpihan gelas ini.
Secara perlahan tangan kanannya yang menggenggam serpihan gelas, bergerak menuju pergelangan tangan kirinya. Sekarang serpihan gelas tersebut tertodong ke arah pergelangan tangan kirinya. Dirinya tidak bisa berhenti gemetar, terutama tangan kanannya yang sedang menggenggam serpihan gelas tersebut. Di kepalanya sudah berpantulan banyak asumsi-asumsi tentang rasa sakit yang akan dilaluinya ini. Ray pun menggeleng-gelengkan kepalanya berharap lepas dari asumsi-asumsi tersebut. Ray tahu, yang harus dilakukannya haruslah cepat agar tidak menguras energi mentalnya. Suara mekanisme pada detik jam dinding yang semakin lama semakin terdengar, suara kencang detakan jantung yang berpacu di dalam tubuhnya, keringat dingin yang terus keluar dan mengalir di seluruh tubuhnya, pada saat hal-hal itu mengalir secara simultan, Ray meneguk ludahnya seakan-akan alam bawah sadarnya mendorong dirinya. Tanpa disadarinya, tangan kanan yang menggenggam serpihan gelas tersebut telah menusuk pergelangan tangan kirinya dengan dalam secara bersamaan melakukan gerakan mengiris.
Ray pun ditampar dengan rasa sakit yang amat dahsyat, pada saat itu juga dirinya sangat ingin teriak, tetapi tidak dilakukan, karena akan membuat suster yang menjaga mendengarnya, rasa sakit ini benar tiada duanya. Dipikiran Ray saat ini mengeluarkan umpatan-umpatan kasar berkali-kali tiada henti, sebagai pengganti teriakan yang ingin dilakukannya. Dengan darah yang bercucuran ke sekitarnya dan bau khas yang tercipta, nafasnya menjadi singkat dan padat, air mata yang tidak kunjung berhenti, jantung yang berdegup semakin kencang dari sebelumnya, Ray semakin bisa merasakan bagaimana darah tersebut keluar dari nadinya yang membasahi ranjang dan lantai ruangan yang ada.
Darah tersebut tidak berhenti keluar dari pergelangan tangan kirinya, membuat jantungnya bekerja lebih kencang untuk memompa darah selama beberapa saat, yang mengakibatkan Ray sekarang pusing, mual, dan lebih lemah dari sebelumnya. Matanya sekarang semakin susah untuk tetap terbuka, secara bertahap Ray merasakan suhu badannya mulai menurun, dan beberapa anggota badannya sudah susah untuk digerakkan. Ray mendapatkan dirinya sudah lemah terlentang sembari menatap ke langit-langit ruangan.
Pandangannya sekarang samar-samar dan berat sekali untuk tetap membuka matanya. Pada saat ini Ray teringat seluruh perjalanan hidupnya, terutama teringat kepada perjuangan ibunya yang selama ini menghidupinya agar tetap sehat. Ibunya selalu memberikan yang terbaik agar Ray bisa tumbuh sebaik mungkin. Ibunya selalu ada untuk dirinya walaupun ibunya sendiri sibuk mencari uang agar mereka berdua bisa tetap hidup. Ibunya selalu memasang wajah tegar, dan bahagia walaupun Ray tahu bahwa ibunya ini sangat lelah karena bekerja terus menerus. Tentu ibunya melakukan hal ini berharap agar Ray tidak perlu dibebani dengan masalah finansial dan terus tumbuh menjadi anak yang baik dan sehat, dan juga membuktikan jika ibunya tidak perlu seorang ayah dalam mengasuh anaknya.
"Mah aku minta maaf nggak bisa jadi anak yang baik dan tumbuh sehat. Semoga dengan ini bisa membuat mamah hidup lebih nyaman dari sebelumnya…" harap Ray dalam hatinya dengan air mata yang menetes menuruni kedua pipinya. Mata Ray sekarang sudah tidak bisa terbuka seutuhnya, pandangannya pun semakin kabur, namun sebelum Ray menutup kedua mata untuk selamanya dalam pikirannya, dia melihat dua bayangan gelap yang masing-masing berdiri di kedua sisi ranjang seakan-akan menatap kepada Ray. "Ah… Mungkin sudah waktunya, bawa lah aku…" pikirnya dalam hati. Akhirnya Ray pun menutup kedua matanya pingsan atas banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya.
Kedua bayangan yang masing-masing berada di salah satu sisi ranjangnya seakan-akan sedang membicarakan sesuatu dan akhirnya saling mengiyakan untuk melakukannya. Tiba-tiba muncul lah sesosok bayangan ketiga, hanya mengangguk dan menghilang kembali. Tiba-tiba ada sebuah lapisan cukup bening yang berbentuk kubah kecil yang menaungi area ranjang Ray. Salah satu bayangan yang berada di sisi kiri ranjang Ray membantingkan tiang dimana infus tersebut digantung dengan keras ke lantai, dan menoleh ke arah pintu terletak. Terlihat sesosok bayangan ketiga yang baru saja menghilang pada arah pintu tersebut yang tidak jauh dari ranjang, sesosok ketiga tersebut seakan-akan mengisyaratkan jika tidak ada masalah dan bisa berlanjut ke tahap selanjutnya. Lalu sosok bayangan ketiga tersebut perlahan masuk ke dalam lapisan kubah, dan menganggukkan kepalanya kepada sosok bayangan yang lainnya.
Sosok bayangan yang berada di sisi kanan ranjang Ray tersebut seperti melakukan mantra dengan tangannya yang secara simultan sebuah gambaran lingkaran sihir mulai menampakkan diri di lantai tempat mereka bernaung. Sebuah asap pun secara perlahan keluar dari lingkaran sihir tersebut, dan lambat laun menyelimuti mereka dengan tebal. Tak lama kemudian muncul lah celah berbentuk lingkaran hitam di tengah-tengah mereka semua, dengan sekejap asap yang menyelimuti terserap ke dalam lingkaran hitam tersebut bersama dengan tiga sosok bayangan dan Ray yang terbaring di ranjang penuh darah tersebut. Mereka semua pun menghilang begitu saja, tanpa ada perubahan apa pun pada tekanan udara, getaran, atau suara di ruangan tersebut. Meninggalkan rumah sakit tersebut tanpa ada jejak sama sekali.
Di suatu gunung yang dipenuhi dengan pohon-pohon tua dan kokoh, muncul lah asap dari sebuah celah berbentuk lingkaran hitam. Beberapa saat kemudian asap yang keluar dari lingkaran menebal membentuk kubah, yang lambat laun asap tersebut mulai berpencar ke lingkungan yang ada dan memperlihatkan ketiga sosok bayangan tersebut dan Ray yang sedang mengambang cukup tinggi diatas permukaan yang ada. Asap tersisa pun mulai benar-benar menghilang ke lingkungan sekitarnya, membuat sihir yang menahan Ray mengambang mulai menghilang juga. Salah satu sosok bayangan yang melakukan isyarat untuk sihir teleportasi tersebut menyadarinya, dan segera menggerakkan mana mentah di sekitarnya untuk menahan Ray agar tidak jatuh dengan begitu saja.
Salah satu sosok bayangan lainnya, bergerak dengan segera menyelamatkan Ray dalam rangkulannya setelah melihat situasi yang terjadi di depan matanya. Dengan perlahan sosok tersebut meletakkan Ray di tanah, secara refleks melihat ke arah sosok bayangan yang menggerakkan mana mentah tersebut, dan membuat gestur seperti minta maaf menggunakan salah satu tangan dan kepalanya, karena dirinya tidak bertindak lebih cepat atas situasi yang baru saja terjadi. Ketiga sosok bayangan tersebut bergegas untuk memastikan bahwa Ray yang dibawa mereka masih tetap hidup dan bernapas. Salah satu sosok memeriksa lubang hidung Ray dan dipastikan bahwa Ray masih hidup dan bernapas walaupun lemah. Mereka bertiga secara bersamaan melepaskan tudung yang menyelimuti tubuh mereka dari ujung kepala sampai ujung kedua kaki, dan memasukkannya ke dalam tas serut yang mereka bawa.
"Untung kita jadi ngebawa tudung ini, kalo nggak, bisa lebih lama tadi buat kaburnya." celetuk salah satu pria sehabis melepaskan tudungnya.
"Iyeee! Sorry sorry dikira nggak penting-penting amat." jawab seorang wanita sembari memutarkan kedua bola matanya.
Pria tersebut yang melihat ekspresi yang dilakukan wanita di depannya ini membuatnya geram. "Orang di-" sebelum pria tersebut bisa menyelesaikan perkataannya, di sela oleh seorang kakek-kakek. "Udah-udah, sekarang kita fokus saja buat nyelamatkan anak ini." ucap kakek tersebut yang sekarang sedang fokus memanipulasi mana dari sekitarnya. Sekitar tubuh lelaki tua tersebut mulai berkumpul mana-mana berwarna hijau yang mengitarinya bermulai dari kedua kakinya, kemudian tubuhnya, dan berakhir pada kedua tangan lelaki tua tersebut. Saat semua mana telah berkumpul pada kedua tangannya, kakek tersebut berteriak. "HEAL TINGKAT TINGGI!".
Serentak mana-mana yang telah dimanipulasi dan berkumpul pada kedua tangannya, melesat ke tubuh Ray yang berada di tanah tersebut, saat ini tubuh Ray pun bersinar hijau, dan pergelangan tangan kirinya yang Ray tusuk dengan serpihan gelas, lambat laun menjadi kembali ke keadaan semulanya. "Sekarang sebaiknya kita istirahat dahulu, sekaligus nunggu anak ini bangun dari tidurnya. Semoga dia tidak syok dengan keadaannya sekarang saat bangun nanti." ucap kakek tersebut kepada anggota yang lainnya. "Oke! Kalo gitu aku nyiapin buat api unggun, biar cepet hangat dia." seru wanita tersebut yang sekarang sudah berjalan mengarah pohon-pohon berada untuk mencari ranting dan daun yang kering. Sang pria yang mendengar perkataan wanita tersebut mendengus sembari berekspresi jengkel karena dirinya masih kesal dengan perilaku yang ditunjukkannya tadi. Pria tersebut pun menjauh dari mereka berdua, dan mengeluarkan perlengkapan istirahat dari tas serutnya untuk menyiapkan tempat istirahatnya. Kakek yang melihat tingkah laku pria itu, hanya menggelengkan kepalanya.
Beberapa saat kemudian, wanita tersebut sudah kembali dan membuat api unggun cukup dekat dimana tubuh Ray terletak dan sang kakek juga menyiapkan perlengkapan istirahatnya dekat dengan api unggun yang dibuat. Sang kakek memisahkan selimut dan bantal lebihnya kemudian menaruhnya di dekat Ray berada. "Ini untuk dia supaya cepet hangat dan tidak digigit serangga yang ada." ucap kakek tersebut sembari jari telunjuknya menunjuk ke arah bantal dan selimut yang telah dipisahkan. Wanita tersebut mengangguk dan mengambil perlengkapan tersebut, tetapi diujung pandang matanya melihat sang pria menempatkan tempat istirahatnya cukup jauh dari api unggun yang telah dibuat. "Oiiii… Kenapa jauh-jauh? Sini lebih anget loh." ajakan wanita tersebut sembari gestur dengan tangan kanannya untuk kemari. Pria ini tidak menghiraukan ajakan wanita tersebut, dan tetap pada posisinya. Sekali lagi sang kakek hanya bisa menggelengkan kepalanya atas situasi ini. "Sudah cepet pakaikan itu kepada dirinya." perintah kakek sembari menyamankan dirinya untuk tidur.
Tanpa berpikir panjang, wanita tersebut beranjak dari posisinya dan menempatkan bantal di belakang kepala Ray. Saat telah menempatkan bantal tersebut, tidak sengaja wajah wanita tersebut dan Ray berdekatan, saat ini jarak wajah diantaranya sebesar sepuluh sentimeter. Wanita tersebut secara refleks memperhatikan seluruh struktur wajah Ray. Dirinya pun tersipu setelah beberapa saat memperhatikan wajah Ray. "Jadi penasaran kalo matanya terbuka gimana…" pikir sang wanita. Hembusan angin yang cukup kencang, menggerakkan beberapa ranting pohon dan dedaunan di belakangnya, membuat dirinya terbangun dari lamunan. Wanita tersebut pun tersenyum bodoh atas lamunannya yang dia alami, yang dilanjut dengan menaruh selimut diatas tubuh Ray.
Beberapa jam berlalu, Ray yang telah disembuhkan dengan sihir heal tersebut, lambat laun mulai sadar. Matanya secara perlahan terbuka, dan penglihatannya pun masih samar-samar. "Dimana ini… Apa gue di alam baka?" pikir Ray sembari mengedipkan matanya beberapa kali dengan pandangan mata ke langit. Ketiga orang yang menyelamatkan dan membawanya ke hutan sudah terbangun beberapa menit lalu sebelum Ray, menyadari bahwa Ray sekarang sudah mulai mendapatkan kesadarannya kembali. Sang wanita tersebut secara refleks langsung mendekatinya dan memperhatikan wajah Ray dan muncul dalam pandangan Ray dari arah atas kepalanya. Ray yang melihat hal tersebut, terkejut dan seketika bangun dari posisi tidurnya ke posisi duduk yang ditopang dengan kedua tangannya di tanah. "Ka-kamu siapa?" tanya Ray sembari memperhatikan sang wanita dari ujung kaki sampai kepala. Wanita tersebut sekarang tersenyum melihat wajah Ray yang sekarang telah membuka matanya, dirinya seakan puas melihat wajah Ray seutuhnya.
Suara tawa kecil pun terdengar oleh Ray yang berada di depannya tersebut, Ray yang mendengar tawa tersebut semakin heran apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Ray pun memperhatikan pergerakan sang wanita, yang sekarang seluruh jemari di tangannya membentang dan memposisikannya pada tengah dada wanita tersebut. "Nama ku Cassia Flavia, petarung dan pengawal nomor 1 di kerajaan Ambrosius! Yang sekarang ditugaskan untuk membawa kamu ke kerajaan kami!" seru Cassia kepada Ray dengan bangga. Ray semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh wanita ini, karena dirinya tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh wanita tersebut. Walaupun begitu Ray terkesima oleh penampilan wanita di depannya ini.
Kulit putihnya yang merona membuat dirinya terlihat hidup dan menawan, bentuk mata dan warna mata coklat muda yang saling melengkapi keindahannya, hidungnya yang cukup mungil dan tidak begitu mancung memberikan kesan imut, warna bibirnya yang merah dan berbentuk proporsional, dan rambut berwarna pirang yang bergaya layered bob dengan curtain bangs melengkapi keseluruhan wajahnya yang berbentuk sedikit bulat. Badannya yang cukup dewasa dengan karakteristik badan yang cukup seksi, terutama bagian payudara dan pinggang kebawah yang cukup terbentuk. Dipadukan dengan pakaian yang berpadu antara kain dan baja yang tipis sekaligus ringan yang bukan berasal dari sini, membuat mata Ray tidak bisa berhenti menatapi wanita di depannya ini yang disinari oleh rembulan.
Ray pun akhir menyadarkan diri dari lamunannya dan berpikir bahwa situasi yang dialaminya sekarang tidaklah hal yang normal. Banyak sekali pertanyaan yang berpantulan di kepala saat ini. Apakah ini malaikat pencabut nyawa yang dilihatnya di rumah sakit sebelumnya? Ataukah ini kesempatan kedua yang diberikan dari tuhan agar bisa menjalani hidup yang berbeda? Ray pun tidak tahu dan tidak mengerti apa maksud dari ini semua, firasatnya bahwa hal yang terjadi saat ini dapat merubah takdir dari kehidupan Ray.