"Apakah kamu tau di mana mata air itu berada?"
Mendengar informasi mengenai mata air mana, Alaric bersemangat. Ia ingin melihat seperti apa rupa mata air dan bagai mana rasa air mana tersebut.
"Ya, itu cukup dekat dari sini. Hanya saja aku tak bisa memberi tahu mu, kau akan mati saat melangkah memasuki wilayah di mana mata air itu berada"
"Ya? Mengapa kamu sangat yakin aku mati dengan mudah?"
Laviertha mengangkat bahunya, acuh tak acuh. Ia sadar bahwa Alaric sama kuatnya dengan Hadrian walau terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Namun tetap saja, walau keduanya yang sekarang ini pergi menuju wilayah yang ia sebutkan. Keduanya akan mati.
"Disana hidup salamander, terakhir yang ku ketahui, panjangnya sampai 7 meter. Dia hidup di mata air tersebut. Mungkin sekarang umurnya telah ratusan tahun. Dia sangat ganas dan buas, bukan salamander biasa tapi monster jenis salamander."
"Nona berapa umur anda?"
Laviertha mengabaikan pertanyaannya Alaric untuk kedua kalinya dan lanjut memetik buah matang yang terlihat sangat segar.
Alaric sedikit kesal, bukan hanya karena sejak awal Laviertha menggunakan bahasa formal pada dirinya, tapi karena ia juga terus mengabaikan pertanyaannya.
Ia mencoba menelan rasa kesalnya dan melupakan hal yang ia tanyakan dengan kembali memetik buah dengan giat.
Sementara itu, Hadrian kembali bertanya banyak hal yang membuatnya penasaran dan mengganggunya. Setelah beberapa saat yang lalu, Hadrian memeriksa wilayah sekitar, memindai apakah ada monster didekat mereka secara tiba-tiba.
"Nona, mengapa tak ada monster disini? Bahkan dalam radius 1000 m itu benar-benar bersih tanpa ada satu monsterpun."
Hadrian memeriksa beberapa kali, tetapi hasilnya sama. Ia tak bisa merasakan ada monster didekat mereka. Padahal jangkauan yang bisa ia periksa lebih dari 1000m.
"Kamu akhirnya menyadarinya? Itu cukup lambat untuk setingkat Swordmaster's Aurha."
Laviertha sedikit memicingkan matanya, sekarang ia pikir seorang Swordmaster's Aurha tak sehebat itu.
Laviertha terheran-heran mungkin saja informasi yang ia terima adalah suatu yang keliru dan tak benar adanya. Lamunannya pecah dengan pertanyaan lain yang dilontarkan Hadrian.
"Satu lagi, mengapa anda mengetahui saya seorang Swordmaster's Aura?"
Hadrian menatap punggung Laviertha dengan seksama. Laviertha bisa merasakan bahwa Hadrian menunggu reaksi dan jawaban darinya.
Laviertha terdiam, ia pikir ia telah ceroboh. Ia terlalu banyak bicara. Ia memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan Hadrian dan menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Naga, ini semua berkat naga sehingga wilayah ini maupun pondok, jauh dari sentuhan monster. Singkatnya wilayah ini di lindungi olehnya"
"Oleh naga? Maksudmu Naga bersisik Merah? Mengapa anda-"
"Kami memiliki cerita yang panjang, tolong jangan bertanya megenai hubungan kami. Anggap saja seperti pelayan dan majikan. Aku menyediakan makanan untuknya dan ia menyediakan tempat di mana aku tinggal."
Setelah kabar keberangkatan mereka menuju jantung hutan kematian tersebar, setiap malam ia meredupkan cahaya pondoknya. Ia tidak bisa mematikan semua lampunya karena ia terbiasa tidur dengan lampu menyala.
Ia pikir itu dapat membuat keberadaan pondoknya tak tertangkap mata mereka saat malam tiba.
"Tapi kami adal-"
"Kalian adalah tamunya, namun kalian sekarat dan berakhir di depan pondokku. Berhenti berbicara, mari kita kembali, bisa saja rekan kalian sudah terbangun dengan begitu akan mengusir kalian dari pondokku tanpa rasa bersalah."
Nada Laviertha yang sedikit berhabat sekarang kembali dingin. Selama perjalanan pulang ketiganya tak membuka pembicaraan seperti sebelumnya.
Hadrian maupun Alaric sadar bahwa Laviertha kembali menarik garis, walau mereka membuka mulutnya. Keduanya akan diabaikan dan yang lebih buruk dapat membuat Nona penyelamat mereka tak senang.
Alaric dan Hadrian mengekori di belakang Laviertha, menelusuri hutan kembali ke pondok.
Sudah hampir seminggu tapi Theodore tak kunjung sadarkan diri. Ini aneh pikir Laviertha. Alaric, Hadrian dan Laviertha tak begitu banyak berbicara selama beberapa hari terakhir setelah memetik buah.
Meski begitu, Laviertha sekarang tak lagi mengurung diri di atap. Ia selalu memasakan keduanya sesuatu untuk dimakan, setelah mengetahui makanan yang dibuat Alaric maupun Hadrian benar-benar tak layak makan baginya.
Ketiganya telah berkenalan, walaupun Laviertha menggunakan nama palsu. Sekarang ketiganya membagi tugas, Alaric memetik buah dan membersihkan halaman depan pondok, Hadrian mengolah kebun dan menyapu halaman belakang pondok, sedangkan Laviertha memasak dan membersihkan rumah.
Laviertha menatap wajah Theodore, ia merasa pernah melihatnya disuatu tempat. Theodore begitu familiar di matanya, tapi ia tak bisa mengingatnya dengan jelas.
Ia meneteskan sari buah ke bibir Theodore yang kering, Alaric dan Hadrian melakukan hal yang sama diwaktu yang berbeda. Memastikan setidaknya Tubuh Theodore menerima asupan Vitamin dan Nutrisi dari sari buah itu.
Alaric mengatakan bahwa Theodore adalah Pendeta Tinggi dari Kuil dan ada pembicaraan bahwa ia akan diangkat sebagai santo karena kekuatan suci yang ia miliki.
Ia juga menambahkan bahwa Theodore sendiri yang mengajukan diri untuk ikut keduanya memasuki hutan kematian. Saat pendeta yang lain acuh tak acuh, cenderung menghindar saat diminta keikutsertaan.
Fakta tersebut membuat Laviertha berpikir, mengapa Pendeta Tinggi yang dapat sembuh beberapa kali lebih cepat dari manusia biasa, tak sadarkan diri sampai sekarang.
Menyerah untuk tetap menunggu, Laviertha mengatakan untuk Alaric ikut dengannya sore ini. Setiap sore beberapa hari terakhir, Laviertha kembali mengunjungi Ryuga untuk memberikannya makanan yang ia buat.
Tapi tujuannya kali ini adalah mempertemukan Alaric dan Ryuga, yang pada awalnya Laviertha inginkan adalah setelah Theodore terbangun, ketiganya melanjutkan perjalanan mereka sendiri, pergi menuju jantung hutan d imana Sarang Ryuga berada.
Tapi apa daya, sepertinya ini adalah hal terbaik daripada harus mengulur waktu menunggu Theodore yang entah kapan terbangun.
"Bisakah saya ikut juga, nona Rienna?"
Laviertha menggelengkan kepala, mendengar permintaan Hadrian.
"Kamu jaga rekanmu dan Pondok. Ini akan berlangsung agak lama dari biasanya."
Air wajah Hadrian mengeruh, apa daya. Alhasil ia hanya bisa menunggu dan menunggu keduanya untuk pulang ke pondok. Bahkan itu belum sepuluh menit sejak keduanya pergi, tapi Pondok yang biasanya hening dengan sedikit kehangatan, sekarang mendingin sepenuhnya.
Alaric mengikuti langkah Laviertha, ia bertanya-tanya dalam pikirannya, ke mana Nona Penyelamatnya pergi di setiap sore.
Keduanya telah melangkah di jalan setapak, yang sepertinya sering dilewati Laviertha. Sehingga di jalan ini, tak ada rumput yang tumbuh.
Semakin lama jalannya agak menanjak dan banyak bebatuan, Alaric merasa bahwa ada getaran tak menyenangkan yang sedang mengincar keduanya. Ia bersiaga dengan memegang pedangnya.
Keduanya sampai di sebuah Mulut Gua yang tingginya lebih dari 10 meter dan lebar lebih dari 7m. Alaric mengawasi sekitar, semakin ia masuk ke dalam gua, mana di udara semakin murni dan konsentrasinya semakin padat.
Alaric bisa merasakah sesuatu, sesuatu yang berbahaya. Ia merasa tekan yang cukup kuat, ini bahkan dapat membuat manusia biasa pingsan. Ia tak bisa untuk tak bertanya pada Laviertha, di mana mereka berada.
"Sarang Naga"
Laviertha membuka mulutnya dengan santai, tetapi Alaric yang mendengarnya tercengang. Ia belum siap, apalagi tidak ditemani dengan Hadrian yang merupakan seorang Swordmaster's Aurha.
Laviertha mengabaikan ocehan Alaric yang cemas dan khawatir. Ia sedikit menenangkannya dengan mengatakan bahwa Naga tak akan melukainya. Setelah sedikit tenang, Laviertha menghentikan langkahnya.
"Tunggu disini sebentar, aku akan berbicara terlebih dulu dengan sang Naga. "
Alaric mengangguk, ia sebenarnya merasa khawatir karena sendirian. Tetapi ia terlalu malu untuk mengatakannya.